2 JANUARI 2014 | 18:08
Sejarah adalah milik para pemenang. Ungkapan ini memang terbukti dalam sejarah bangsa Indonesia, ketika ada banyak nama pejuang bangsa ‘tenggelam’ atau ‘ditenggelamkan’ karena tidak mendapatkan penghormatan yang layak dari penguasa negeri.
Hal ini, misalnya, terjadi pada beberapa Kepala Daerah Provinsi/Gubernur yang ketika meletus kemelut politik Gestok tahun 1965 mengambil sikap politik pro Bung Karno dan pro ‘Kiri’. Beberapa nama Gubernur yang ‘ditenggelamkan’ itu adalah Henk Ngantung (DKI Jakarta), Anak Agung Bagus Sutedja (Bali) dan Ulung Sitepu (Sumatera Utara). Diluar nama-nama itu, masih ada nama lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, yakni Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray atau Oevaang Oeray, Gubernur Kalimantan Barat periode 1960-1966.
Pejuang Dayak
Terlahir pada tahun 1922 dari keluarga etnis Dayak Kayan penganut Katolik, Oevaang Oeray menjalani masa kecilnya di tengah ketertinggalan etnis Dayak di segala bidang pada masa penjajahan Belanda. Saat itu, masyarakat Dayak jauh tertinggal terutama dalam sektor pendidikan dibandingkan dengan etnis Melayu yang juga banyak bermukim di Pulau Kalimantan.
Hal ini tidak aneh bila ditinjau secara sosio-antropologis, sebab orang Melayu yang kebanyakan pedagang telah mendirikan beberapa Kesultanan di Pulau Kalimantan beserta dengan berbagai ‘perangkat’ peradaban ‘state society’ lainnya. Sementara orang Dayak yang masih berpola hidup ladang berpindah dan berburu-meramu di daerah pedalaman seakan tertinggal dari peradaban orang Melayu. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mendukung kemajuan etnis Dayak.
Thambun Anyang (1996: 78) menjelaskan bahwa pada era kolonial, masyarakat suku Dayak tidak memiliki banyak peluang untuk mengenyam dan melanjutkan jenjang pendidikan. Sekolah-sekolah lanjutan pada masa itu kebanyakan adalah sekolah milik Belanda dan milik kesultanan-kesultanan Melayu. Dan bagi orang Dayak yang ingin masuk sekolah yang didirikan kesultanan Melayu, mereka terlebih dahulu harus masuk agama Islam supaya tidak mendapatkan stigma sebagai orang kafir yang suka mengayau (memotong) kepala orang. Tradisi mengayau memang pernah muncul dalam sejarah etnis Dayak, ratusan tahun sebelum kedatangan kolonial Belanda.
Hanya sekolah-sekolah milik Gereja Katolik atau Seminari yang relatif bisa menerima etnis Dayak. Hal ini jugalah yang terjadi pada Oevaang Oeray. Selepas lulus Sekolah Rakyat (SR), ia melanjutkan pendidikan ke Seminari Santo Paulus Nyarumkop, Singkawang. Di seminari inilah, mulai timbul pemikiran Oevaang untuk memajukan etnis Dayak.
Implementasi dari pemikiran itu awalnya ia tunjukkan dengan menulis surat kepada para guru sekolah Katolik se-Kalimantan Barat yang sedang mengadakan retreat (tur rohani) tahunan di Sanggau untuk mengajak kalangan pendidikan Katolik peduli kepada kondisi sosial masyarakat Dayak. Ternyata ajakannya tersebut disambut baik oleh para peserta retreat yang pada waktu itu dipimpin oleh beberapa guru Katolik seperti A.F. Korak dan M. Th. Djaman. Namun, penulisan surat tersebut harus dibayar mahal dengan dikeluarkannya Oevaang dari Seminari karena dianggap terlalu terlibat politik praktis oleh pihak Seminari.
Setelah membahas isi surat Oevaang itu, seluruh peserta retreat sepakat untuk memperjuangkan nasib masyarakat Dayak melalui organisasi politik. Untuk diketahui, berjuang dengan instrumen organisasi sebenarnya bukan hal asing bagi etnis Dayak. Pada tahun 1919, telah berdiri organisasi Sarikat Dayak di Kalimantan Tengah guna memperjuangkan nasib etnis Dayak.
Berangkat dari tekad Oevaang dan para peserta retreat itu, maka lahirlah organisasi Dayak In Action (DIA) atau Gerakan Kebangkitan Dayak pada tanggal 30 Oktober 1945 di Putussibau. Organisasi ini dipimpin oleh seorang tokoh Dayak yang juga guru SR, F. C. Palaunsuka. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi DIA bermetamorfosa menjadi Partai Persatuan Dayak (PD). Dan pada tanggal 1 Januari 1947, Oevaang Oeray diangkat sebagai Ketua Umum Partai PD melalui sebuah musyawarah bersama partai.
Tujuan utama dari Partai PD ini adalah mengangkat derajat penghidupan masyarakat Dayak. Selain itu, partai ini juga memiliki beberapa tujuan lain dalam skala yang lebih luas, yakni turut mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, mewujudkan suatu susunan pemerintahan berdasarkan kehendak rakyat serta ikut melaksanakan keadilan sosial dalam masyarakat. Semboyan Partai PD yang terkenal adalah “atas tenagamu, tergantung nasibmu”, sebagai refleksi dari semangat kemandirian etnis dan bangsa yang diperjuangkan partai ini.
Sementara itu, dinamika bangsa setelah kemerdekaan di proklamirkan pada tahun 1945 juga turut mewarnai perjuangan etnis Dayak dan Oevaang Oeray. Pada tahun 1947, tatkala perang kemerdekaan melawan Sekutu dan Belanda berkecamuk di seluruh penjuru tanah air, Komisaris Jenderal Belanda Van Mook membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) dengan Kepala Daerah Sultan Hamid II, seorang Sultan Pontianak ber-etnis Melayu. Oevaang Oeray, yang tetap bertekad mengangkat derajat etnis Dayak di era kemerdekaan, juga turut masuk dalam ‘pusaran’ arus politik baru itu. Bersama dengan beberapa tokoh lainnya, Oevaang Oeray masuk dalam Badan Pemerintah Harian (BPH), yang berfungsi membantu pemerintahan DIKB.
Tindakan Belanda membentuk DIKB ini dianggap oleh berbagai kalangan yang pro Republik Indonesia (Republiken) sebagai upaya Belanda untuk menjauhkan Kalimantan Barat dari pemerintahan Republik Indonesia di Jawa. Dengan dipelopori oleh Gabungan Politik Indonesia (GAPI), pada bulan November 1949 kaum Republiken mendirikan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) sebagai bentuk penentangan terhadap DIKB. Pertentangan antara KNKB dengan DIKB ini terus berlangsung hingga ditangkapnya Sultan Hamid II oleh aparat pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada pertengahan tahun 1950 karena terlibat pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling di Bandung.
Persitiwa APRA itu sendiri meupakan perlawanan para eksponen KNIL (tentara Kerajaan Belanda di Indonesia) terhadap upaya pemerintah RIS melebur eksponen KNIL ke tubuh angkatan perang RIS. Jadi, dalam arti lain, peristiwa ini adalah suatu penolakan para loyalis Belanda yang masih tersisa pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949 terhadap otoritas pemerintahan RIS. Dan tidak aneh bila Sultan Hamid II turut membantu pemberontakan itu, sebab yang bersangkutan memang pro terhadap Belanda sejak pembentukan DKIB tahun 1947.
Penangkapan Sultan Hamid II yang merupakan sultan Melayu tersebut berdampak pada pembubaran DKIB serta Kesultanan-kesultanan Melayu yang telah ada di Kalimantan Barat sejak era pra kolonial dahulu. Dan ketika RIS dibubarkan oleh Bung Karno dan bentuk negara Indonesia berganti menjadi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terhitung sejak 17 Agustus 1950, Kalimantan Barat pun melebur ke dalam NKRI. Pada tahun 1957, Kalimantan Barat memperoleh status Provinsi dengan Gubernur pertamanya AP. Afllus.
Masa Kemunduran
Kiprah politik Oevaang Oeray pun terus berlanjut pasca meleburnya Kalimantan Barat ke dalam NKRI. Melalui Pemilu 1955, Oevaang Oeray terpilih mewakili partai PD sebagai anggota Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru yang menggantikan UUDS 1950. Ketika perdebatan antara kelompok Islam dan Nasionalis mengenai dasar negara memuncak dalam sidang-sidang Konstituante, Oevaang Oeray adalah salah seorang anggota Konstituante yang gigih memperjuangkan Pancasila sebagai ideologi Negara. Sedangkan kelompok Islam yang dimotori Masyumi dan NU menghendaki Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia.
Bersama dengan kekuatan nasionalis pro-Pancasila lainnya seperti PNI, PKI dan IPKI, Oevaang Oeray memperjuangkan Pancasila agar tetap dinyatakan sebagai ideologi negara dalam UUD yang baru nanti. Menurut Oevaang Oeray, perubahan ideologi negara akan berdampak pada berubahnya pula tatanan negara yang sudah berdiri (Risalah, 1957/V: 245-246, dan Risalah, 1957/V: 485-486).
Perjuangan kelompok nasionalis di Konstituante terus bergulir hingga akhirnya lembaga tersebut dibubarkan oleh Bung Karno dengan dukungan TNI-AD melalui Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit itu juga merupakan penegasan diberlakukannya kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950.
Selepas berjuang di Konstituante, Oevaang Oeray pun kembali berkiprah di tanah kelahirannya. Figur sentralnya dalam Partai PD selaku partai pemenang pemilu 1955 di Kalimantan Barat membuat dirinya ditunjuk sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat oleh Bung Karno melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 464/M tanggal 24 Desember 1959. Oevaang Oeray pun ditetapkan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat terhitung sejak tanggal 1 Januari 1960.
Jadilah Oevaang Oeray menjadi Gubernur Kalimantan Barat pertama yang berasal dari etnis Dayak. Hal ini menjadi pertanda kebangkitan etnis Dayak secara politik, setelah sekian lama dipandang sebagai etnis terbelakang. Bisa dikatakan pula, pengangkatan Oevaang Oeray oleh Bung Karno ini juga merupakan pengakuan pemerintahan Bung Karno atas eksistensi warga Dayak sebagai salah satu penduduk pribumi Kalimantan dalam bidang politik, setelah sejak era kolonial kancah perpolitikan Kalimantan Barat dikuasai oleh etnis Melayu.
Selain dipilihnya Oevaang, pengakuan tersebut juga dibuktikan dengan dipilihnya beberapa tokoh Dayak sebagai Bupati di empat Kabupaten di Kalimantan Barat seperti MTH Djaman (Sanggau), GP Djaoeng (Sintang), Amastasius Syahdan (Kapuas Hulu) dan Agustinus Djelani (Pontianak). Terpilihnya para tokoh Dayak tersebut merupakan hasil kerja politik bersama antara Partai PD dengan PNI, partainya Bung Karno.
Sementara itu, disisi lain, kebijakan baru Bung Karno setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengharuskan seluruh partai politik harus memiliki cabang sedikitnya di tujuh provinsi untuk dapat melanjutkan aktifitasnya, secara otomatis membuat Partai PD tidak bisa lagi melanjutkan kiprahnya. Hal ini membuat para tokoh dan kader partai itu berpindah ke berbagai partai politik yang telah ada.
Secara garis besar, ada dua arus utama perpindahan para kader Partai PD seusai bubarnya partai itu. Arus pertama adalah perpindahan sebagian besar aktivis Partai PD ke Partai Indonesia (Partindo), sebuah partai nasionalis kiri yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Oevaang Oeray, merupakan ‘motor’ dari arus ini. Perpindahannya ke Partindo ini menjadikan Oevaang semakin dekat dengan Bung Karno.
Sementara arus kedua adalah perpindahan sebagian aktivis Partai PD ke Partai Katolik. Kelompok ini dipimpin oleh tokoh pendiri Partai PD, Palaunsuka. Kelak kelompok Partai Katolik inilah yang turut memelopori demonstrasi menuntut pengunduran diri Oevaang Oeray dari jabatannya sebagai gubernur pasca tragedi Gestok 1965.
Tragedi Gestok 1965 memang turut merubah wajah perpolitikan Kalimantan Barat, sebagaimana juga ia mengubah wajah Indonesia secara drastis. Para kader dan simpatisan PKI yang dituduh sebagai dalang tragedi itu mengalami penangkapan, pemenjaraan hingga pembantaian hampir di seluruh penjuru Indonesia. Selain PKI, kekuatan politik pendukung Bung Karno pun turut terkena ‘pembersihan’ itu, termasuk para Gubernur yang menjadi pendukung Bung Karno seperti Oevaang Oeray.
Pembersihan terhadap kaum Soekarnois juga menjadi ‘pintu masuk’ bagi berbagai kelompok yang tidak suka terhadap Oevaang, terutama kalangan elit Melayu yang merasa Oevaang terlalu memihak etnis Dayak dalam berbagai kebijakannya. Selain itu, kelompok Dayak yang telah masuk Partai Katolik pun turut berupaya menjatuhkan Oevaang dikarenakan orientasi politik dan ideologis yang berbeda antara kelompok Partindo dan Partai Katolik. Kalangan Partai Katolik itu menuding Partindo, partainya Oevaang, sebagai kelompok Kiri yang juga harus diberangus.
Pemecatan Oevaang Oeray pun dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Basuki Rachmat pada bulan Juli tahun 1966. Basuki Rachmat kemudian menunjuk Letkol Soemadi BCHK sebagai gubernur baru menggantikan Oevaang. Bahkan, empat Bupati yang berasal dari Partai PD pun turut dipecat oleh rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, sebagaimana yang dialami juga oleh banyak pegawai pemerintah yang berasal dari etnis Dayak.
Tersingkirnya Oevaang Oeray dari kursi kepemimpinan politik sekaligus menandakan kemunduran kembali kiprah etnis Dayak dalam sektor politik. Kiprah politik para tokoh Dayak yang mengalami masa keemasan di era Bung karno, seakan terpukul kembali pada masa Orde Baru yang kebijakannya memarjinalisasi warga Dayak dalam segala bidang.
Oevaang Oeray sendiri baru terjun kembali ke politik pada tahun 1977, ketika ia masuk Golongan Karya (Golkar). Ia pun hanya dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 1977-1982 dari golongan itu. Meskipun akhirnya masuk Golkar yang notabene merupakan penyokong Orde Baru, namun nama pejuang Dayak yang wafat tahun 1986 ini seakan masih ‘tenggelam’ dalam ‘pusaran’ sejarah hingga kini.
Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
http://www.berdikarionline.com/oevaang-oeray-pejuang-dayak-soekarnois/