Kamis, 13 Maret 2014
Nyanyi Sunyi Kembang-kembang Genjer, Bongkar Kejahatan 65?
13 Maret 2014
Rika Prasatya, peneliti di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
Setiap tanggal 8 Maret, diperingati sebagai hari perempuan internasional yang nuansanya tampaknya ingin menonjolkan dan menggambarkan permasalahan yang dihadapi oleh perempuan di berbagai negara, termasuk perjuangan kaum perempuan dalam menuntut hak-haknya.
Dalam skala global, khususnya untuk memperjuangkan “pembelaan” terhadap nasib perempuan yang kurang beruntung, maka peringatan hari perempuan internasional ini memenuhi signifikansinya. Apalagi berdasarkan hasil survei salah satu lembaga belum lama ini menyebutkan, bahwa 1 dari 10 perempuan sejak berumur 15 tahun di berbagai negara sudah mengalami kekerasan perempuan, 1-10 perempuan di dunia ini sudah mengalami pemerkosaan dan tindak kekerasan lainnya.
Momentum hari perempuan internasional tahun 2014 ini juga dimanfaatkan berbagai kalangan untuk menyuarakan aspirasinya, baik melalui aksi unjuk rasa, mengungkapkan pernyataan sikap, mengeluarkan petisi sampai kepada pertunjukan teater atau kegiatan seni lainnya.
Di Indonesia, menurut rencana pada tanggal 7 s.d 9 Maret 2014, Institut Ungu berencana mementaskan teater berjudul “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2014 di Goethe Haus Jakarta. Naskah teater ditulis oleh Faiza Masduki sekaligus menjadi sutradara, diperankan oleh pemain terater yang cukup berpengalaman, Naniek L. Karim, Pipien Putri, Ruth Marini dan Helina Sinaga.
Berdasarkan informasi yang berkembang di kalangan aktivis perempuan, pentas teater ini didukung oleh sejumlah NGO dan lembaga donor dari Belanda, Swedia dan Amerika Serikat serta didukung beberapa LSM dari Indonesia, Elsam, Perempuan Mahardhika, Indonesia untuk Kemanusiaan dan Bites.
Menurut informasi yang berkembang terkait narasi cerita teater tersebut menyebutkan bahwa “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” mengangkat kisah pergulatan pikiran dan batin lima perempuan berumur 70-an sampai 83 tahun yang dulu pernah menjadi tahanan politik ‘65 selama lebih dari sepuluh tahun. Mereka bertahan menghadapi hari-hari di masa tuanya dan bergulat dengan kenangan kegembiraan dan kebanggaan akan masa mudanya.
Dengan menggendong pengalaman pahit dan traumanya akibat kekerasan seksual, mereka menghadapi stigma yang ditempelkan padanya oleh penguasa. Semua ini harus dihadapi cucu salah seorang eyang-eyang ini, baik sebagai tantangan pribadi dan keluarga maupun sebagai perempuan muda yang memikirkan realitas negerinya. Masa lalu mereka merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang ikut membentuk generasi Indonesia sekarang.
Mempolitisasi Nasib Perempuan?
Jika melihat kepada judul teater ini yaitu “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer”, maka mereka yang aktif mempelajari sejarah dan ingat perkembangan sejarah di Indonesia, tidak akan sulit menerjemahkan untuk pertama kalinya bahwa teater ini tampaknya sangat berisi pesan dari kelompok kepentingan tertentu, terutama dari kelompok yang dalam orde baru menjadi korban utamanya. “Genjer-genjer” adalah sebuah lagu yang sangat terkenal dan sangat dipahami oleh para anggota PKI saat peristiwa 1965 (jika tidak salah).
Penilaian ini kemungkinan benar dan kemungkinan juga salah. Namun jika melihat narasi yang diambil dari literatur dan hasil survei, rencana pementasan teater ini mengambil fakta-fakta yang ada di lapangan khususnya di Yogyakarta, Solo, Klaten, Sragen, Jakarta serta di Eksil Swedia dan Belanda hingga mengunjungi tempat isolasi para tahanan perempuan di Palantungan.
Memang tujuan kegiatan pertunjukan teater ini diwujudkan untuk memberi suara atau kesempatan “pembelaan” kepada para perempuan yang mengalami sejarah kelam pada tahun 1965 yang lalu, sehingga tidak mengherankan jika ada yang menilai kegiatan pertunjukan teater ini merupakan salah satu bentuk propaganda untuk melihat kembali sejarah kelam para perempuan korban politik ‘65. Apalagi keterlibatan sejumlah kelompok civil society dan NGO’s dari luar negeri yaitu Belanda, Swedia dan Amerika Serikat tentunya mungkin dengan maksud ingin menginternasionalisasi atau menduniakan kasus ini.
Menurut salah seorang pelaku sejarah tahun 1965 kepada penulis menilai, pentas teater ini yang akan dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari perempuan Internasional patut diduga untuk mengingat-ingat kembali pengalaman pengalaman pahit perempuan bangsa ini, para perempuan yang tergabung ataupun tidak tergabung dalam organisasi perempuan seperti Gerwani telah mengalami kekejaman sebuah rezim, walaupun masih dipertanyakan apa jenis kekejaman yang telah dilakukan rezim tersebut terhadap perempuan-perempuan ini.
Menurut catatan penulis, beberapa kelompok kepentingan dalam upaya merealisasikan tujuan perjuangannya atau untuk mensosialisasikan ideologinya juga menggunakan wahana komunikasi massa seperti pertunjukan seni, teater dan pembuatan film untuk wahana propagandanya.
Sebelumnya, film berjudul “Act of Killing” yang disutradarai Joshua Oppenheimer walaupun mendapatkan nominasi sebagai film dokumenter terbaik pada perebutan Oscar tahun ini, namun akhirnya panitia secara profesional memutuskan film dokumenter yang juga menyoroti soal kekejaman pada tahun 1965/1966 ini tidak pantas memenangkan hadiah Oscar.
Tidak hanya itu saja, sejumlah kelompok kepentingan juga sedang giat mempromosikan atau mensosialisasikan film dokumenter berjudul “Jembatan Bacem” menceritakan tentang 3 orang saksi penghilangan paksa dan 2 orang survivor yang lolos dari upaya penghilangan paksa di atas Jembatan Bacem pada 1965/1966. Film Jembatan Bacem diproduksi oleh Elsam dan Sekber ‘65 Solo menggambarkan sebuah tragedi hilangnya 71 orang hilang dari kamp penahanan Solo Mulyo pada 29 September 1966.
Hanya saja generasi muda saat ini akan sulit mengklarifikasi apakah semua film-film tersebut adalah propaganda kelompok tertentu atau adalah fakta sebenarnya. Inilah pelajaran pentingnya, sejarah harus dituturkan dan ditulis secara jujur dan bebas dari kepentingan apapun juga.
Sumber: TheGlobalReview Senin, 10 Maret 2014
Tan Malaka & TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
Hasan Kurniawan | Senin, 10 Maret 2014 − 05:17 WIB
Ilustrasi (dok:Istimewa)
SETELAH sekian lama terkubur, nama Tan Malaka kembali
muncul kepermukaan. Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia.
Tan Malaka dan PKI merupakan satu napas yang tidak bisa dipisahkan. Seperti diungkapkan Djamaluddin Tamin, anggota PKI yang mendapat kartu anggota bernomor 135 pada awal tahun 1922, dalam bukunya, Sedjarah PKI.
Dalam catatan Djamaluddin, Tan Malaka sudah terlibat dalam gerakan komunis saat masih mengajar di Sanembah Mij pada akhir tahun 1919. Saat itu, dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi/pembicaraan-pembicaraan di Semarang, melalui surat-menyurat, hingga lahirnya PKI, pada 23 Mei 1920.
"Saja sebagai angkatan tua dari pimpinan PKI tahun 1920-1926, jang bersama-sama dengan saudara-saudara: Tan Malaka, Ongko D, Wiro Mihardjo, Nurut, Mardjohan, Hasan Mangkuto, dll, jang sudah sama-sama mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, sebagai kelandjutan dari Partai Rakjat jang didirikan di Solo pada 25 Mei 1946."
Berdasarkan keterangan Djamaluddin di atas dapatlah diartikan sepak terjang Tan Malaka, sebagai Ketua PKI setelah Semaun, bahwa dia tetap konsisten terhadap cita-cita komunis.
Lebih lanjut, Djamaluddin menjelaskan, bahwa Subakat ditugaskan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Republik Indonesia (PARI), pada 31 Mei 1927 yang diambil dari Manifesto Komunis/PKI 1920.
"Intisari/isi manifesto PARI, jang memang njata, setjara prinsip/ideologis, sama sadja dengan Anggaran Dasar (AD) PKI 1920-1924, jang memang kawan-kawan Subakat, Tan Malaka, Semaun, dll ikut sama-sama menjusunja pada tahun 1920, jakni ketika akan didirikannja PKI di Semarang pada 23 Mei 1920."
Namun begitu, PKI Tan Malaka dan PKI Musso berbeda. PKI Tan Malaka merupakan partai kader, yang lebih mementingkan pendidikan anggota-anggotanya agar menjadi pimpinan rakyat. Sementara, PKI Musso, mengubah PKI menjadi partai massa yang memiliki anggota sampai jutaan, pada akhir 1926.
Pada pada 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali, dengan dua orang kawan dari Solo, dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25 Desember 1925 mencetuskan Keputusan Perambanan atau Pemberontakan PKI 1926-1927.
Tan Malaka dan PKI merupakan satu napas yang tidak bisa dipisahkan. Seperti diungkapkan Djamaluddin Tamin, anggota PKI yang mendapat kartu anggota bernomor 135 pada awal tahun 1922, dalam bukunya, Sedjarah PKI.
Dalam catatan Djamaluddin, Tan Malaka sudah terlibat dalam gerakan komunis saat masih mengajar di Sanembah Mij pada akhir tahun 1919. Saat itu, dia sudah aktif dalam diskusi-diskusi/pembicaraan-pembicaraan di Semarang, melalui surat-menyurat, hingga lahirnya PKI, pada 23 Mei 1920.
"Saja sebagai angkatan tua dari pimpinan PKI tahun 1920-1926, jang bersama-sama dengan saudara-saudara: Tan Malaka, Ongko D, Wiro Mihardjo, Nurut, Mardjohan, Hasan Mangkuto, dll, jang sudah sama-sama mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, sebagai kelandjutan dari Partai Rakjat jang didirikan di Solo pada 25 Mei 1946."
Berdasarkan keterangan Djamaluddin di atas dapatlah diartikan sepak terjang Tan Malaka, sebagai Ketua PKI setelah Semaun, bahwa dia tetap konsisten terhadap cita-cita komunis.
Lebih lanjut, Djamaluddin menjelaskan, bahwa Subakat ditugaskan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Republik Indonesia (PARI), pada 31 Mei 1927 yang diambil dari Manifesto Komunis/PKI 1920.
"Intisari/isi manifesto PARI, jang memang njata, setjara prinsip/ideologis, sama sadja dengan Anggaran Dasar (AD) PKI 1920-1924, jang memang kawan-kawan Subakat, Tan Malaka, Semaun, dll ikut sama-sama menjusunja pada tahun 1920, jakni ketika akan didirikannja PKI di Semarang pada 23 Mei 1920."
Namun begitu, PKI Tan Malaka dan PKI Musso berbeda. PKI Tan Malaka merupakan partai kader, yang lebih mementingkan pendidikan anggota-anggotanya agar menjadi pimpinan rakyat. Sementara, PKI Musso, mengubah PKI menjadi partai massa yang memiliki anggota sampai jutaan, pada akhir 1926.
Pada pada 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali, dengan dua orang kawan dari Solo, dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25 Desember 1925 mencetuskan Keputusan Perambanan atau Pemberontakan PKI 1926-1927.
Ilustrasi (dok:Istimewa)
PADA 15 Desember 1925, Sardjono, Budisutjitro, Winanta,
Alimin, Musso, Ali Archam, Said Ali dengan dua orang kawan dari Solo,
dan dua orang dari Jawa Timur, berkumpul di Candi Prambanan, pada 25
Desember 1925.
Mereka sepakat untuk melakukan revolusi serentak pada 18 Juni 1926. Namun, rencana itu gagal. Tidak ada pemberontakan di sejumlah daerah pada tanggal itu. Lalu, pada 22 Duni 1926, sebelas orang yang menyetujui keputusan Candi Perambanan kembali berkumpul dan sepakat meneruskan revolusi Perambanan.
Benar saja, pada 12/13 November 1926, Revolusi PKI pecah. Terjadi pemberontakan di Jakarta, Ciamis/Bandung dan Menes, Banten, serta Silungkang, Sumatera Barat.
Pemberontakan ini berbuah kegagalan yang berakibat sangat fatal bagi pergerakan kemerdekaan. Pada pemberontakan pertama ini, sebanjak 13.000 orang komunis ditangkap. Sedang pada pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927, sebanyak 7.000 lebih komunis di seluruh Sumatera, ditangkap.
Sejak itu, PKI dinyatakan dilarang. Inilah, bencana terbesar PKI di masa prakemerdekaan. Djamaluddin mencatat, 1 Januari 1927 adalah hari kematian PKI yang mereka bentuk tahun 1920-an.
Lantas, di mana peran Tan Malaka dalam pemberontakan itu? Dijelaskan Djamaluddin, saat itu Tan Malaka sedang berada di Canton, dalam pembuangan dan berusaha menolak rencana pemberontakan. Setelah Keputusan Perambanan diambil, Alimin diutus untuk menemui Tan Malaka. Namun bukan di Canton, tetapi di Manila.
Di Manila, Tan Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan Alimin tentang rencana pemberontakan, Tan Malaka mengatakan, bahwa keputusan itu sangat membahayakan dan merugikan PKI.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Mereka sepakat untuk melakukan revolusi serentak pada 18 Juni 1926. Namun, rencana itu gagal. Tidak ada pemberontakan di sejumlah daerah pada tanggal itu. Lalu, pada 22 Duni 1926, sebelas orang yang menyetujui keputusan Candi Perambanan kembali berkumpul dan sepakat meneruskan revolusi Perambanan.
Benar saja, pada 12/13 November 1926, Revolusi PKI pecah. Terjadi pemberontakan di Jakarta, Ciamis/Bandung dan Menes, Banten, serta Silungkang, Sumatera Barat.
Pemberontakan ini berbuah kegagalan yang berakibat sangat fatal bagi pergerakan kemerdekaan. Pada pemberontakan pertama ini, sebanjak 13.000 orang komunis ditangkap. Sedang pada pemberontakan Silungkang 1 Januari 1927, sebanyak 7.000 lebih komunis di seluruh Sumatera, ditangkap.
Sejak itu, PKI dinyatakan dilarang. Inilah, bencana terbesar PKI di masa prakemerdekaan. Djamaluddin mencatat, 1 Januari 1927 adalah hari kematian PKI yang mereka bentuk tahun 1920-an.
Lantas, di mana peran Tan Malaka dalam pemberontakan itu? Dijelaskan Djamaluddin, saat itu Tan Malaka sedang berada di Canton, dalam pembuangan dan berusaha menolak rencana pemberontakan. Setelah Keputusan Perambanan diambil, Alimin diutus untuk menemui Tan Malaka. Namun bukan di Canton, tetapi di Manila.
Di Manila, Tan Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan Alimin tentang rencana pemberontakan, Tan Malaka mengatakan, bahwa keputusan itu sangat membahayakan dan merugikan PKI.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Tan Malaka (dok:Istimewa)
TAN Malaka menyamar dengan memakai nama Fuentes, di
Filipina, sejak pertengahan tahun 1925. Setelah mendengarkan keterangan
Alimin, Tan Malaka mengatakan, bahwa Keputusan Perambanan sangat
membahayakan dan merugikan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Bahkan, Tan Malaka mengatakan, para pengambil Keputusan Perambanan pada 25 December 1925, bukan sebagai seorang revolusioner, tetapi adalah putchers semata-mata, seperti yang pernah terjadi dimasa yang sudah-sudah, sampai beratus-ratus kali yang berakhir pada kekalahan dan kehancuran partai.
Setelah mendengarkan penjelasan Tan Malaka, Alimin dengan segera mengaku salah, dan berencana pulang ke Singapura menemui Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Sugono, Musso, dan Subakat yang sedang berada di pondok KH. Masduki, di kebun pisang kampung Gelang Serai, sembilan kilometer lebih, dari pinggir Kota Singapura.
Pada awalnya, Tan Malaka hanya bermaksud ingin menyampaikan secara lisan saja alasan penolakannya kepada Alimin. Namun setalah Alimin bertanya sampai tiga kali, kapan akan berangkat ke Moskow, Tan Malaka mulai curiga.
Dari situ, Tan Malaka menulis thesis penolakannya. Berikut thesis penolakan Tan Malaka:
I. Saja sudah mendengar langsung dari mulutnja Alimin, bahwa HB PKI Sardjono, Budisutjitro bersama sembilan orang anggota staffnja, HB PKI sudah berkumpul di atas Tjandi Prambanan, pada 25 December 1925, dan sudah mengambil keputusan penting ijalah memutuskan-menentukan, akan mengadakan Revolusi serentak seluruh Indonesia pada 18 Djuni 1926.
Tuan-tuan sebelas mengharapkan kepada saja supaja segera mengirimkan perbantuan-perbantuan berupa sendjata, dll.
II. Sambutan saja/Tan Malaka terhadap putusan Prambanan 1925 tersebut adalah putusan jang amat sesat/salah, karena sesuatu Revolusi tidak mungkin dapat ditentukan lebih dahulu oleh pemimpin-pemimpin Revolusioner dan diputuskan oleh tuan-tuan sebelas di atas Tjandi Prambanan pada 25 December 1925 adalah Putch semata-mata, jakni bukanlah Revolusi namanja jang demikian itu.
III. Mengingat keadaan/kondisi seperti jang sudah didjelaskan oleh Alimin seperti di atas, saja mengusulkan supaja Putusan Prambanan tadi dibatalkan dengan segera dan diganti dengan Massa-Actie.
Jawaban Tan Malaka di atas menunjukan kualitas dan kematangan pikirannya tentang gerakan komunis. Bahwa, gerakan revolusioner membutuhkan perhitungan yang sangat matang dan dapat berakibat fatal. Analisis Tan Malaka terbukti benar.
Alimin tidak meneruskan pesan yang disampaikan kepadanya. Dia lantas berangkat ke Moskow bersama Musso dan Pemberontakan PKI 1926-1927 pecah di Jakarta, Bandung, dan Sumatera. PKI hancur dan dinyatakan terlarang.
"Bukankah pada bukan Djanuari 1925 setahun jang lampau saja sudah menjatakan di Canton, bahwa membubarkan Sarekat Rakjat itu adalah suatu kesalahan taktik jang amat besar, membahajakan dan merugikan kepada PKI?".
Lebih jauh, Tan Malaka menjelaskan kepada Alimin, tidak ada dalam sejarah revolusioner yang menyatakan bahwa sesuatu revolusi itu bisa ditentukan, hari, tanggal, bulan, dan tahunnya.
Bahkan, Tan Malaka mengatakan, para pengambil Keputusan Perambanan pada 25 December 1925, bukan sebagai seorang revolusioner, tetapi adalah putchers semata-mata, seperti yang pernah terjadi dimasa yang sudah-sudah, sampai beratus-ratus kali yang berakhir pada kekalahan dan kehancuran partai.
Setelah mendengarkan penjelasan Tan Malaka, Alimin dengan segera mengaku salah, dan berencana pulang ke Singapura menemui Sardjono, Budisutjitro, Winanta, Sugono, Musso, dan Subakat yang sedang berada di pondok KH. Masduki, di kebun pisang kampung Gelang Serai, sembilan kilometer lebih, dari pinggir Kota Singapura.
Pada awalnya, Tan Malaka hanya bermaksud ingin menyampaikan secara lisan saja alasan penolakannya kepada Alimin. Namun setalah Alimin bertanya sampai tiga kali, kapan akan berangkat ke Moskow, Tan Malaka mulai curiga.
Dari situ, Tan Malaka menulis thesis penolakannya. Berikut thesis penolakan Tan Malaka:
I. Saja sudah mendengar langsung dari mulutnja Alimin, bahwa HB PKI Sardjono, Budisutjitro bersama sembilan orang anggota staffnja, HB PKI sudah berkumpul di atas Tjandi Prambanan, pada 25 December 1925, dan sudah mengambil keputusan penting ijalah memutuskan-menentukan, akan mengadakan Revolusi serentak seluruh Indonesia pada 18 Djuni 1926.
Tuan-tuan sebelas mengharapkan kepada saja supaja segera mengirimkan perbantuan-perbantuan berupa sendjata, dll.
II. Sambutan saja/Tan Malaka terhadap putusan Prambanan 1925 tersebut adalah putusan jang amat sesat/salah, karena sesuatu Revolusi tidak mungkin dapat ditentukan lebih dahulu oleh pemimpin-pemimpin Revolusioner dan diputuskan oleh tuan-tuan sebelas di atas Tjandi Prambanan pada 25 December 1925 adalah Putch semata-mata, jakni bukanlah Revolusi namanja jang demikian itu.
III. Mengingat keadaan/kondisi seperti jang sudah didjelaskan oleh Alimin seperti di atas, saja mengusulkan supaja Putusan Prambanan tadi dibatalkan dengan segera dan diganti dengan Massa-Actie.
Jawaban Tan Malaka di atas menunjukan kualitas dan kematangan pikirannya tentang gerakan komunis. Bahwa, gerakan revolusioner membutuhkan perhitungan yang sangat matang dan dapat berakibat fatal. Analisis Tan Malaka terbukti benar.
Alimin tidak meneruskan pesan yang disampaikan kepadanya. Dia lantas berangkat ke Moskow bersama Musso dan Pemberontakan PKI 1926-1927 pecah di Jakarta, Bandung, dan Sumatera. PKI hancur dan dinyatakan terlarang.
Tan Malaka (dok:Istimewa)
SEPAK terjang Tan Malaka dalam Partai Komunis Indonesia
(PKI) hingga dibunuhnya dia, pada Februari 1948, diulas dengan sangat
rinci oleh sejarahwan Harry Poeze. Buku-buku awalnya yang mengulas sepak
terjang pacar merah Indonesia itu adalah "Tan Malaka, Pergulatan Menuju
Republik 1897-1925".
Setelah sukses dengan buku tersebut, Harry Poeze kembali menulis buku tentang Tan Malaka, sebagai kelanjutan dari buku yang sebelumnya dia tulis. Buku itu diberi judul "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Buku ini terdapat empat jilid, dan sangat detail menceritakan peran Tan Malaka dalam revolusi Indonesia.
Kehadiran buku Harry Poeze ini mendapatkan sambutan hangat dari masyartakat Indonesia, khususnya mereka yang peduli dengan sejarah perjuangan bangsanya. Namun begitu, tidak sedikit yang mengecam dan menganggapnya sebagai penyebaran dan upaya penghidupan kembali paham komunisme di Indonesia.
Harry Poeze Tidak hanya menulis sosok Tan Malaka. Bersama Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka, dia juga menyelidiki kematian Tan Malaka yang masih misterius. Termasuk mencari makamnya, di Selo Panggung, Kecamatan Semen, Kediri.
Saat peluncuran buku jilid ke empat itu, Harry Poeze sempat berkeliling ke sejumlah daerah di Indonesia. Dia mendatangi kampus-kampus, dan LSM untuk berdiskusi. Banyak diskusinya dengan LSM dilarang, dan dibubarkan oleh ormas Islam dan kepemudaan yang melihat sosok Tan Malaka sebagai komunis.
Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia. Hingga detik ini, komunisme masih haram di bumi Indonesia.
Dasar pelarangan itu adalah kecaman terhadap peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang jenderal, terdiri dari Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target gerakan. Namun dia berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tendean tewas dalam usaha peristiwa ini.
Sebagai akibat dari gagalnya pemberontakan itu, paham komunisme dilarang. Jutaan orang komunis diburu, dibunuh, ditangkap, dan dibuang. Inilah tragedi berdarah dan kelam sepanjang sejarah Indonesia modern. Tewasnya enam orang jenderal dibayar dengan pembunuhan besar-besaran, sadis, dan tidak berprikemanusiaan.
Menanggapi ketetapan itu, Ibrahim Isa, salah seorang delegasi Indonesia di Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966), seorang eksil menyatakan, pelarangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme oleh MPRS, sudah tidak memiliki legilimasi lagi.
"MPRS yang mengambil keputusan itu sudah dibongkar pasang oleh Jenderal Suharto. Sudah banyak yang ditangkap, di penjarakan, dan ada yang dibunuh. MPRS serupa itu tidak ada legitimasi sama sekali. Maka keputusannya sudah ditentukan lebih dulu di MBAD TNI," demikian kata Ibrahim Isa, kepada Sindonews, Senin 10 Maret 2014.
Di luar pro dan kontra paham tersebut, seperti dilansir halaman Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI), sedikitnya ada dua pimpinan komunis yang masuk dalam daftar pahlawan nasional. Kedua komunis itu adalah Tan Malaka diurutan ke-17 dan Alimin diurutan ke-27.
Setelah sukses dengan buku tersebut, Harry Poeze kembali menulis buku tentang Tan Malaka, sebagai kelanjutan dari buku yang sebelumnya dia tulis. Buku itu diberi judul "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia". Buku ini terdapat empat jilid, dan sangat detail menceritakan peran Tan Malaka dalam revolusi Indonesia.
Kehadiran buku Harry Poeze ini mendapatkan sambutan hangat dari masyartakat Indonesia, khususnya mereka yang peduli dengan sejarah perjuangan bangsanya. Namun begitu, tidak sedikit yang mengecam dan menganggapnya sebagai penyebaran dan upaya penghidupan kembali paham komunisme di Indonesia.
Harry Poeze Tidak hanya menulis sosok Tan Malaka. Bersama Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka, dia juga menyelidiki kematian Tan Malaka yang masih misterius. Termasuk mencari makamnya, di Selo Panggung, Kecamatan Semen, Kediri.
Saat peluncuran buku jilid ke empat itu, Harry Poeze sempat berkeliling ke sejumlah daerah di Indonesia. Dia mendatangi kampus-kampus, dan LSM untuk berdiskusi. Banyak diskusinya dengan LSM dilarang, dan dibubarkan oleh ormas Islam dan kepemudaan yang melihat sosok Tan Malaka sebagai komunis.
Seketika, masyarakat Indonesia kembali diingatkan dengan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang berisi tentang larangan paham komunisme di Indonesia. Hingga detik ini, komunisme masih haram di bumi Indonesia.
Dasar pelarangan itu adalah kecaman terhadap peristiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang jenderal, terdiri dari Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, dan Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo.
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target gerakan. Namun dia berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tendean tewas dalam usaha peristiwa ini.
Sebagai akibat dari gagalnya pemberontakan itu, paham komunisme dilarang. Jutaan orang komunis diburu, dibunuh, ditangkap, dan dibuang. Inilah tragedi berdarah dan kelam sepanjang sejarah Indonesia modern. Tewasnya enam orang jenderal dibayar dengan pembunuhan besar-besaran, sadis, dan tidak berprikemanusiaan.
Menanggapi ketetapan itu, Ibrahim Isa, salah seorang delegasi Indonesia di Konferensi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin (OSPAAL), di Havana (Januari, 1966), seorang eksil menyatakan, pelarangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme oleh MPRS, sudah tidak memiliki legilimasi lagi.
"MPRS yang mengambil keputusan itu sudah dibongkar pasang oleh Jenderal Suharto. Sudah banyak yang ditangkap, di penjarakan, dan ada yang dibunuh. MPRS serupa itu tidak ada legitimasi sama sekali. Maka keputusannya sudah ditentukan lebih dulu di MBAD TNI," demikian kata Ibrahim Isa, kepada Sindonews, Senin 10 Maret 2014.
Di luar pro dan kontra paham tersebut, seperti dilansir halaman Kementerian Sosial Republik Indonesia (RI), sedikitnya ada dua pimpinan komunis yang masuk dalam daftar pahlawan nasional. Kedua komunis itu adalah Tan Malaka diurutan ke-17 dan Alimin diurutan ke-27.
http://nasional.sindonews.com/read/842660/15/tan-malaka-tap-mprs-nomor-xxv-mprs-1966-1394403425
Sabtu, 01 Maret 2014
Kisah Djajeng Pratomo di Kamp Nazi [1]
Oleh :
Tempo.co
|
Sabtu, 1 Maret 2014 11:40 WIB
Amsterdam- Perlawanan terhadap fasisme Jerman pada 1940-an melibatkan beberapa aktivis Perhimpunan Indonesia di Belanda. Mereka saat itu juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah seorang aktivis itu bernama Djajeng Pratomo. Ia tinggal di Belanda. Djajeng pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Dachau, Muenchen. Kamp Dachau disebut-sebut kamp konsentrasi Nazi yang paling kejam dan banal.
Di kamp ini terdapat banyak fasilitas penyiksaan seperti ruang gas, rumah krematorium dengan tungku pembakaran mayat dan alat siksa beraliran listrik. Ribuan mayat ditumpuk tiap hari sehingga orang harus menggunakan tangga untuk meletakkan mayat di bagian teratas.
Djajeng pada 22 Februari lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Di usianya yang seabad itu,Lea Pamungkas dari Tempo menggali kisah aktivitasnya di Perhimpunan Indonesia dan bagaimana ia bertahan untuk hidup di Kamp Konsetrasi Dachau. Berikut tulisan pertama dari lima tulisan yang disajikan disini.
Nama Djajeng tak dikenal dalam sejarah Indonesia. Tapi dia salah satu saksi hidup perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tapi juga saksi hidup kekejaman tentara Nazi.
Djajeng lahir di Bagansiapiapi, Sumatera Utara pada 22 Februari 1914. Anak Pasangan Raden Mas Pratomo- Raden Pratomo dan Raden Sujatilah. Lahir dengan nama Amirool Koesno. Ayahnya keturunan Keraton Pakualaman Yogyakarta.
Dialah lulusan pertama dokter Jawa dari sekolah bergengsi School toto Opleiding van Inlandsche Artsen-STOVIA, sebuah pendidikan untuk Dokter Pribumi. Dr Pratomo pindah ke Bagansiapiapi untuk memimpin sebuah poliklinik pada 1911 hingga meninggal pada 1939. Namannya diabadikan untuk nama rumah sakit umum daerah di Jalan Pahlawan Nomor 13, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Amirool kecil pindah ke Medan pada usia 7 tahun untuk masuk sekolah dasar. Dia meneruskan sekolah menengah di Yogyakarta dan HBS di Koning Willem School, Jakarta. Semua siswa dan gurunya Belanda tulen atau Indo. “Seingat saya hanya ada satu guru Indo,” ujarnya.
Setelah lulus dia meneruskan pendidikan ke Medische School, sekolah kedokteran di Belanda dan sang ayah mengirimnya ke Leiden. Adiknya, terlebih dulu sudah sampai di Belanda. Hanya setahun di Leiden, dia pindah ke Economische Hogeschool-sekolah tinggi ekonomi di Rotterdam. Adiknya pun mengikuti jejaknya pada 1940.
LEA PAMUNGKAS | DIAN YULIASTUTI
Sumber: Tempo.Co
Langganan:
Postingan (Atom)