OCTOBER 1, 2014
WAKTU bergulir 49 tahun lamanya sejak Peristiwa 30
September 1965. Dalam metafora perlukaan, peristiwa tersebut dan berbagai ikutannya,
adalah sebuah luka lama yang sebenarnya sudah kering. Hanya saja, luka kering
sekalipun, selalu meninggalkan tanda di kulit dan mungkin kenangan traumatisma.
Terkait peristiwa yang terjadi tanggal 30 September menuju 1 Oktober 1965 dan
kekerasan massiveberupa pembunuhan massal yang terjadi selama beberapa
waktu setelahnya, meski luka telah kering namun kenangan traumatisma yang
mengiringinya tak mudah padam.
Paling tidak, sekali dalam setahun pada tanggal
yang sama dengan terjadinya peristiwa, rasa sakit itu kembali dibicarakan.
Bahkan sekelompok kecil bekas aktivis organisasi-organisasi yang dilarang
setelah peristiwa, ikut dalam suatu acara Kamisan ‘korban’ Orde Baru yang
selalu dilakukan di depan Istana di Jalan Merdeka Utara.
Bila diasumsikan bahwa kader PKI –sebagai partai yang
paling terlibat dalam G30S– termuda kala peristiwa terjadi berusia 17 tahun,
maka kini mereka telah berusia 66 tahun. Dan jika digunakan ukuran bahwa
seorang kader pantas dianggap matang pada usia 21 tahun, bila kader itu masih
hidup, paling tidak ia sudah berusia 70 tahun saat ini. Bisa diperkirakan bahwa
kader PKI yang lebih senior, mayoritas telah meninggal dunia. Kalau pun masih
hidup, sudah terlalu tua. Dan, semestinya juga telah berproses secara bathiniah
menjadi manusia yang semakin arif, sehingga takkan membiarkan dirinya
memelihara dendam politik secara berkepanjangan. Tetapi seberapa lama suatu
rasa sakit yang traumatis bisa membekas dan seberapa lama suatu dendam politik
berlangsung, hanya mereka yang bersangkutan yang lebih mengetahui.
JOKOWI DAN MEGAWATI
SOEKARNOPUTERI. “Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan
tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi
saya pribadi serta ke orang tua saya.” Pola reaksi merasa terhina juga
ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya
menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan
oarang-orang anti militer.” (foto download)
TERHADAP pembunuhan massal yang terjadi setelah Peristiwa
30 September 1965, banyak keluarga korban, begitu juga ribuan bekas tahanan
politik, menuntut pemerintah menyampaikan permintaan maaf. Beberapa di antaranya
disertai permintaan rehabilitasi PKI, terkait posisi terlarang yang
dikenakan terhadap partai tersebut.
Dalam batas aspek kemanusiaan, banyak pihak dalam
masyarakat yang bisa memahami pengajuan tuntutan permintaan maaf maupun
rehabilitasi sosial bagi korban peristiwa. Tetapi bilamana tuntutan itu meluas
melampaui batas aspek kemanusiaan tersebut, katakanlah sudah menjadi tuntutan
politik, akan muncul penolakan. Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI
dan organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan
masyarakat yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh
pengikut partai tersebut. Misalnya, pernah dirampas tanahnya oleh massa Barisan
Tani Indonesia –organisasi sayap PKI– atau dihujat agamanya oleh PKI dan mengalami
kekerasan melalui aksi sepihak Pemuda Rakyat. Orientasi utama masyarakat
Indonesia selama ini, untuk sebagian besar memang adalah pada aspek keadilan.
Karenanya, masyarakat juga cenderung merasa sebagai korban dalam berbagai
peristiwa.
Dengan orientasi keadilan seperti itu, dalam kaitan
Peristiwa 30 September 1965, semua pihak merasa sah menegakkan keadilan dengan
melakukan pembalasan dendam. Terhadap apa yang telah dilakukan PKI sebelum
peristiwa, maka para anggotanya –terlibat langsung atau tidak dalam rangkaian
peristiwa– harus membayar ‘mahal’ dengan menerima pembalasan yang
berpuluh-puluh kali lipat dari apa yang telah dilakukan. Dan mesti dicatat,
jangankan mereka yang terdaftar atau nyata adalah anggota PKI dan organisasi
sayapnya, terdapat banyak anggota masyarakat yang tak tahu menahu mengenai
partai tersebut, ikut menjadi korban ‘pembalasan’ dalam suatu malapetaka
sosiologis yang dahsyat. Dan pada gilirannya, akan juga menuntut keadilan.
Kita kutip suatu penggalan pengantar dalam buku Simtom
Politik Tahun 1965, PKI dalam Perspektif Pembalasan dan Pengampunan (Editor
OC Kaligis dan Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2007). Dengan orientasi utama
kepada aspek keadilan, yang menimbulkan rasa dirinya juga adalah korban, “bagi
masyarakat umum, yang paling mungkin dapat diharapkan untuk dilakukan adalah
kesediaan meninggalkan perspektif pembalasan (dendam) yang pernah mereka miliki
di masa lampau tak lama setelah Peristiwa 30 september 1965 terjadi.”
Lalu,
“pada waktu yang sama bersedia memasuki perspektif pengampunan –yang lebih
sering ditampilkan sebagai pelupaan perbuatan– terhadap mereka yang pernah
terlibat dengan PKI, agar bisa berdampingan secara layak sebagai sesama warga
negara.” Ini berarti, yang bisa dimasuki hanyalah rekonsiliasi dalam bentuk dan
pengertiannya yang paling lunak.
Dalam realita, relatif keadaan tersebut yang terjadi di
masyarakat. Banyak ex PKI dan atau keluarganya dalam beberapa tahun ini,
khususnya pasca Soeharto, hidup berdampingan secara layak dalam masyarakat.
UNJUK RASA 2014 TOLAK
KOMUNISME DAN PKI. “Penolakan terhadap suatu pemulihan terhadap PKI dan
organisasi-organisasi sayapnya, akan datang terutama dari kalangan masyarakat
yang merasa dirinya atau keluarganya pernah dibuat menderita oleh pengikut
partai tersebut.” (foto download)
BERIKUT ini sedikit catatan ringan.
Dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati, yang di tahun 1965
baru berusia 7 tahun, menulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” di tahun 2002.
Tak ada akibat berarti yang menimpa dirinya. Dalam suatu wawancara televisi,
Lativi (yang kini telah pindah kepemilikan dan berganti nama) ia mengaku memang
orangtuanya adalah anggota PKI dan cukup mengalami banyak penderitaan hidup
yang berat karena stigmatisasi. Tapi kini ia bebas bergerak di masyarakat dan
selama beberapa tahun menjadi anggota DPR dari PDIP.
Ikrar Nusa Bakti pengamat LIPI, juga putera anggota
organisasi terlarang. Dibesarkan oleh pamannya seorang perwira tinggi militer.
Praktis tak pernah terkena gangguan stigmatisasi. Ia pun menjalani hidupnya
sebagai seorang akademisi yang bebas berpendapat. Pandangannya umumnya jernih
dan argumentatif. Tidak kiri. Hanya dalam masa-masa pemilihan presiden yang
baru lalu Ikrar cukup berpihak, yakni kepada pasangan Jokowi-JK. Tapi itu tidak
mencederai intelektualitasnya, dibanding beberapa akademisi dan kaum
cendekiawan lainnya yang tak segan terjun dalam kancah prostitusi intelektual
saat itu.
Sejarawan Asvi Warman Adam, malahan lebih kiri
orientasinya dibanding Ikrar. Asvi banyak meluncurkan tulisan dan pendapat
untuk mematahkan versi militer Indonesia di bawah Jenderal Soeharto, tentang
Peristiwa 30 September 1965 serta kejahatan kemanusiaan yang menjadi ikutannya.
Akan tetapi, versi dan penafsiran sejarah yang dipaparkannya seringkali terasa
tak kalah manipulatifnya dengan yang menjadi versi militer Orde Baru masa
Soeharto. Agaknya ia tidak merasa harus cermat menggali berbagai sisi untuk
mencari kebenaran sejarah.
Ilham Aidit, putera pemimpin PKI Dipa Nusantara Aidit,
diam-diam bisa menyelesaikan pendidikan tingginya sebagai seorang arsitek di
Universitas Parahyangan Bandung. Pasca Soeharto ia sudah bebas tampil di
berbagai forum menyampaikan pendapat berbeda dan berbagai kecaman, termasuk
mengenai masalah PKI dan Peristiwa 30 September 1965.
Dan berikut ini, sebuah catatan yang sedikit lebih ‘berat’.
Dalam masa-masa menjelang Pemilihan Presiden yang baru
lalu, Joko Widodo digempur dengan isu bahwa orang tuanya terindikasi PKI. Isu
ini meluncur dari Obor Rakyat dan dikutip oleh berbagai media. Kubu
pesaing menyangkal sebagai sumber isu. Kalau isu ini betul diluncurkan kubu
pesaing, pasti ini suatu kebodohan. Tapi yang lebih mungkin, isu ini adalah
hasil kerja orang-orang dengan pengalaman intelejen dan nantinya akan diketahui
juga siapa dan apa tujuan sebenarnya.
Sedikit mengagetkan adalah reaksi Jokowi terhadap tuduhan
tersebut. Dituduh keturunan PKI, Jokowi mengatakan “Ini penghinaan besar bagi
saya pribadi serta ke orang tua saya.”
Pola reaksi merasa terhina juga
ditunjukkan para petinggi PDIP ketika tvOne dalam salah satu pemberitaannya
menyebut PDIP adalah partai tempat berkumpulnya orang-orang PKI dan orang-orang
anti militer. Maka di bulan Juni, massa PDIP menyeruduk kantor tvOne di
Yogyakarta dan di Pulogadung Jakarta.
Reaksi Jokowi dan PDIP ini sedikit mengherankan juga.
Apakah memang Jokowi dan para petinggi PDIP masih melihat PKI sesuai sudut
pandang di masa Orde Baru bahwa PKI adalah stigma yang harus dihindari?
Bukankah PDIP selama ini memang membuka diri bagi mereka para penderita
stigmatisasi terkait PKI?
Ada Ribka Tjiptaning di sana, ada juga eks tokoh PRD
Budiman Sudyatmiko yang diberi label PKI muda oleh kalangan tentara. Dan harus
diakui sepanjang yang bisa diamati, mereka yang di masa lampau adalah pengikut
atau simpatisan PKI, sejak awal memang berkecenderungan menjadikan PDI dan atau
PDIP sebagai pilihan untuk bernaung. Dari pemilu ke pemilu secara empiris
diketahui bahwa sebagian suara untuk PDIP berasal dari simpatisan eks PKI.
Mayoritas simpatisan eks PKI memang menempatkan PDIP sebagai pilihan pertama,
dan hanya beberapa lainnya yang memilih partai lain, seperti misalnya Golkar.
Dalam perkembangan terbaru, bekas anggota PKI dan keluarganya kini legal
sejajar dengan warga negara yang lain, dan sudah sama memiliki hak politik.
Lalu kenapa PDIP harus merasa terhina? Bukankah dengan demikian, mungkin ke
depan massa eks simpatisan PKI dan keturunan mereka akan mencatat bahwa PDIP
–seperti halnya dengan partai yang lain– ternyata telah menggunakan
standar ganda kepada diri mereka?
Kegamangan PDIP kembali terlihat dalam pokok masalah
larangan ajaran komunisme. Salah seorang anggota tim sukses Jokowi-JK, yakni Dr
Musda Mulia menjelang pemilihan presiden mengungkapkan bahwa bila menang,
Jokowi-JK akan mengupayakan penghapusan Ketetapan MPRS XXV/1966 tentang
pelarangan paham komunisme di Indonesia.
Dengan cepat hal itu dibantah oleh
Jusuf Kalla –seorang aktivis gerakan tahun 1966– dan Jokowi sendiri. Tetapi
belakangan lagi, bulan Agustus lalu, bekas aktivis anti Soeharto yang menjadi
anggota DPR-RI antar waktu menggantikan Taufiq Kiemas di Fraksi PDIP,
Bambang Beathor Suryadi, menegaskan akan memperjuangkan penghapusan Tap MPRS
pelarangan ajaran komunisme itu. Dan untuk itu ia akan mengajak kader-kader
PDIP yang lain untuk bersama memperjuangkannya.
SEKALI lagi, luka dari Peristiwa 30 September 1965,
adalah sebuah luka yang telah kering. Teori bahwa waktu akan menghapus segala
luka politik dan luka sosiologis, seakan-akan hampir menjadi benar. Hanya saja,
ketika ia selalu diangkat kembali sebagai isu dan senjata politik seperti yang
terjadi dalam ajang Pemilihan Presiden 2014 yang baru lalu, luka itu
seakan-akan basah kembali. Artinya, alternatif pengampunan dan pelupaan dengan
meninggalkan perspektif pembalasan, yang biasanya mengikuti hasil ‘politik’ keadilan
di masyarakat, tidak menyelesaikan banyak konflik sejarah.
Bekas Jaksa Agung RI yang sebelumnya dikenal sebagai
aktivis masalah HAM, Marzuki Darusman, sejak beberapa tahun lalu menyarankan
untuk memilih politik kebenaran. Satu-satunya penyelesaian yang tepat dilakukan
dalam kerangka politik kebenaran, menurut Marzuki, tak lain adalah menggali
kebenaran sejarah melalui penulisan sejarah secara baik dan benar.
“Kegunaannya
tidak untuk masa lampau melainkan untuk menciptakan babak baru ke masa depan di
mana kita semua yang masih hidup mampu menarik pelajaran, agar masa lampau
tidak lagi menjadi beban yang menghambat totalitas kita sebagai bangsa untuk
menghadapi tantangan masa depan yang secara eskalatif menjadi makin berat.”
Selain itu, ia juga pernah ikut menggagas pembentukan semacam Komisi Kebenaran
mengenai berbagai konflik horizontal yang pernah dihadapi bangsa ini. Komisi
ini akan bisa menyelidiki dan mencatatkan temuannya sebagai suatu dokumentasi
tentang kebenaran suatu peristiwa. Berguna untuk menangkal manipulasi sejarah.
Sebenarnya, bukannya upaya semacam ini tak pernah dilakukan. Beberapa tahun
lalu ada upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tapi,
Mahkamah Konstitusi mematahkannya.
Pembentukan suatu Komisi Kebenaran perlu dipikirkan
kembali. Bukan hanya untuk Peristiwa 30 September 1965, tapi untuk berbagai
masalah bangsa lainnya, lama atau baru. Tak terkecuali mencari kebenaran
tentang berbagai kecurangan laten yang senantiasa mengiringi setiap pemilihan
umum dan pemilihan presiden di Indonesia….. (rum aly/socio-politica.com)