Soeharto-Untung: Hubungan spesial [jitunews]
Siapakah Letkol Untung dan apa hubunganya dengan peristiwa G30S PKI?
Letnan Kolonel Untung bin
Syamsuri, lahir di Kedungbajul, Desa Sruni, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli
1926 dan wafat di Cimahi, Jawa Barat; pada tahun 1966. Dia adalah Komandan Batalyon I Tjakrabirawa
yang memimpin Gerakan 30 September pada tahun 1965.
Untung adalah bekas anak
buah Soeharto ketika ia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah
Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI,
Alimin.
Masa kecil
Letkol
Untung Sutopo Bin Syamsuri dipindah dari Kebumen ke Desa Jayengan, Solo, pada
tahun 1927. Nama kecilnya adalah Kusman. Ayahnya bernama Abdullah dan bekerja
di sebuah toko peralatan batik di Pasar Kliwon, Solo.
Sejak kecil Kusman telah
diangkat anak oleh pamannya yang bernama Syamsuri. Kusman masuk Sekolah Dasar
di Ketelan dan di sanalah dia mengenal permainan bola dan menjadi hobinya
kemudian hari.
Karena senang bermain bola Kusman pernah menjadi anggota KVC
(Kaparen Voetball Club) di desanya.
Setelah lulus Sekolah Dasar, Kusman
melanjutkan ke sekolah dagang namun tidak sampai selesai karena Jepang mulai
masuk ke Indonesia dan Kusman bergabung ke dalam Heiho.
Karier militer
Semasa
perang kemerdekaan untung bergabung dengan Batalyon Sudigdo yang berada di
Wonogiri, Solo. Selanjutnya Gubernur Militer Kolonel Gatot Soebroto memerintahkan
agar Batalyon Sudigdo dipindahkan ke Cepogo, di lereng gunung Merbabu.
Kemudian
Kusman pergi ke Madiun dan bergabung dengan teman-temannya. Setelah Peristiwa
Madiun, Kusman berganti nama menjadi Untung Sutopo dan masuk TNI melalui
Akademi Militer di Semarang.
Letkol
Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah
satu lulusan terbaik Akademi Militer.
Pada masa pendidikan ia bersaing dengan
Benny Moerdani, perwira muda yang sangat menonjol dalam lingkup RPKAD.
Mereka
berdua sama-sama bertugas dalam operasi perebutan Irian Barat dan Untung
merupakan salah satu anak buah Soeharto yang dipercaya menjadi Panglima
Mandala.
Untung dan Benny tidak lebih satu bulan berada di Irian Barat karena
Soeharto telah memerintah gencatan senjata pada tahun 1962.
Sebelum
ditarik ke Resimen Cakrabirawa, Untung pernah menjadi Komandan Batalyon
454/Banteng Raiders yang berbasis di Srondol, Semarang. Batalyon ini memiliki
kualitas dan tingkat legenda yang setara dengan Yonif Linud 330/Kujang dan
Yonif Linud 328/Kujang II.
Kelak dalam peristiwa G30S ini, Banteng Raiders akan
berhadapan dengan pasukan elite RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo.
Setelah G30S
meletus dan gagal dalam operasinya, Untung melarikan diri dan menghilang
beberapa bulan lamanya; sebelum kemudian ia tertangkap secara tidak sengaja oleh
dua orang anggota Armed di Brebes, Jawa Tengah.
Ketika tertangkap, ia tidak
mengaku bernama Untung. Anggota Armed yang menangkapnya pun tidak menyangka
bahwa tangkapannya adalah mantan Komando Operasional G30S.
Setelah mengalami
pemeriksaan di markas CPM Tegal, barulah diketahui bahwa yang bersangkutan
bernama Untung.
Setelah
melalui sidang Mahmillub yang kilat, Untung pun dieksekusi di Cimahi, Jawa
Barat pada tahun 1966, setahun setelah G30S meletus.
Hubungan dengan Soeharto
Bagi
Soeharto, Untung bukanlah orang lain. Hubungan keduanya cukup erat apalagi
Soeharto pernah menjadi atasan Untung di Kodam Diponegoro. Indikasi kedekatan
tersebut terlihat pada resepsi pernikahan Untung yang dihadiri oleh Soeharto
beserta Ny. Tien Soeharto.
Pernikahan tersebut berlangsung di Kebumen (Jl. Pemuda 77_Red); beberapa
bulan sebelum G30S meletus.
Kedatangan komandan pada resepsi pernikahan anak
buahnya adalah hal yang jamak, yang tidak jamak adalah tampak ada hal khusus
yang mendorong Soeharto dan istrinya hadir pada pernikahan tersebut mengingat
jarak Jakarta - Kebumen bukanlah jarak yang dekat.
Belum lagi ditambah pada masa
tahun 1965 sarana transportasi sangatlah sulit.
Siapa Memanfaatkan Letkol. Untung?
Siapa dalang utama gerakan 30
September?
Dari kesaksian pelaku yang terlibat, gerakan 30 September ditujukan kepada
jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden Soekarno. Itulah sebabnya
Letkol Untung menjadi pemimpin gerakan.
Menurut
versi pemerintahan Orde Baru, Letkol Untung merupakan ‘orang suruhan’ Aidit.
Sementara di lain pihak mengabarkan Letkol Untung dekat secara pribadi dengan
Mayjen Soeharto; sosok yang memberangus gerakan 30 September.
Soeharto
dikabarkan menghadiri pernikahan Letkol Untung di Kebumen. Kedekatan ini,
menurut analis banyak pengamat, memberi alasan mengapa Letkol Untung tidak
memasukkan Soeharto kedalam daftar jenderal yang harus diculik.
Ada pula
versi yang mengungkapkan bahwa gerakan 30 September yang dipimpim Letkol
Untung ini diprakasai Presiden Soekarno sendiri.
Presiden yang merasa jengah
dengan perilaku jenderal-jenderal yang tidak loyal memerintahkan Untung untuk
mengamankan mereka.
Namun yang terjadi, muncullah gerakan yang kemudian
berjalan di luar kendali pimpinannya sendiri.
Lalu siapa yang sebenarnya
memanfaatkan Letkol. Untung?
Peran Untung
dan Soeharto dalam G-30S-PKI
(Pengungkapan Keterlibatan Soeharto dalam G-30SPKI)
Hari Selasa,
penghujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria
saling berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun.
Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung
Syamsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno.
Suara Untung
bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada
Soebandrio.
Itulah
perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio
dalam buku Kesaksianku tentang G30S.
Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan,
selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi.
Untung mengaku
G-30-S atas setahu Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal
Soeharto.
Keyakinan
Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” Tragedi
September. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak
habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi
kedekatan Untung dan Soeharto.
Memperingati
tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang
menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan
dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,”
kata sejarawan Asvi Warman Adam.
***
Tempo
berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi
adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah
sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung
tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di
Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri.
Samsuri dan istrinya bekerja di
pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko,
seorang priayi keturunan trah Kasunanan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo.
Wergoe adalah orang tua Suhardi.
“Dia
memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi,
yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: Si Kus. Nama asli Untung
adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi
Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal. “Potongannya seperti
preman.
Orang-orang Cina,yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah
saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa.
Menurut Suhardi, Untung
sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat
berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor
Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”
Setelah
Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya
berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini
satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi.
Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari
oleh Gatot Subroto.
Clash yang
terjadi pada Desember 1949 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran
terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa
bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo.
“Untung kemudian masuk Korem
Surakarta,” katanya.
Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah
Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang.
“Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan
Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,
Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi
Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat
melihat, kedekatan Soeharto dan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini.
Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan
Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai
operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi
yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion
454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian,
Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara
Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan
Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau
Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian,
Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan
Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.
Dalam sejarah Indonesia, hanya beberapa
perwira yang mendapatkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto, selaku panglima saat
itu, hanya memperoleh Bintang Dharma, setingkat di bawah Bintang Sakti.
“Kedua
prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan
Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan
Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk
menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders
saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel
saat itu.
Anggota
Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat
Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi
Tjakrabirawa. “Adalah menarik mengapa Soeharto merekomendasikan dua kompi
batalion Banteng Raiders masuk Tjakrabirawa,” kata Suhardi. Sebab, menurut
Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota
Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI
Madiun.”
Di
Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa.
Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung
berhubungan dengan presiden.
Maulwi,
atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung. Untung, menurut dia,
sosok yang tidak mudah bergaul dan pendiam.
Suhardi masuk
Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah
dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus
menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu
mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
Menurut
Maulwi, kedekatan Soeharto dengan Untung sudah santer tersiar di kalangan
perwira Angkatan Darat pada awal 1965. Para perwira heran mengapa, misalnya,
pada Februari 1965, Soeharto yang Panglima Kostrad bersama istri menghadiri
pesta pernikahan Untung di desa terpencil di Kebumen, Jawa Tengah. “Mengapa
perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada
satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada
yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya,
Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan
anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang
saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar
sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan
Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan
intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
***
Dari mana
Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di
penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965
mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan
kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
“Bagus kalau
kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” demikian kata
Soeharto seperti diucapkan Untung kepada Soebandrio.
Bila kita
baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada
awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena
mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum
Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi
melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta
terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa,
Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Artinya ia isu.
Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama
kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri
1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu
Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut
Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan
Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per
telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan
radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa
Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka
diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5
Oktober.
Pasukan itu
bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu
membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu
membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas
di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk
teknisnya,” ujarnya.
Pasukan
dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal
Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen
Nasional.
Dinihari, 1
Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh
jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto syahdan dalam perjalanan pulang
dari menunggui anaknya, Tommy, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot
Subroto. Soeharto sempat melintasi kerumunan pasukan dengan mengendarai jip. Ia
dengan tenangnya melewati pasukan yang beberapa saat lagi berangkat membunuh
para jenderal itu.
Adapun
Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih
memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa
mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi
menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra.
Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan
hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29
September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada
anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama
Jahuruk hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, itu tidak diperbolehkan karena
tugas mereka adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1
Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari
sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung
mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang. Yang
membuatnya heran lagi, pengawal di pos yang biasanya menghormat kepadanya tidak
menghormat lagi. “Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari
Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di
Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu
hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi
langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak
oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan
Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau
Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,”
katanya.
Kepada
Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para
jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada
Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Untung, Seorang Penculik atau Boneka
Komunis?
Sosok utama
Gerakan 30 September adalah Untung. Namanya singkat, satu kata, seperti
kebiasaan tokoh Partai Komunis Indonesia menyebut diri; Nyoto, Nyono, Pono.
Sebagai sosok utama sekaligus pusat peristiwa, Komandan Dewan Revolusi tersebut
akhirnya diringkus di kebun tebu sekitar daerah Brebes, Jawa Tengah.
Sesudah
sepuluh hari berkelana seusai gagalnya aksi perebutan kekuasaan yang dia
pimpin, Untung mencoba menyelamatkan diri ke Jawa Tengah. Dengan memakai
pakaian sipil dia meninggalkan Jakarta, naik bus malam. Menjelang masuk Tegal,
bus berhenti karena lewat pos pemeriksaan. Mungkin merasa akan dikenali, Untung
malahan turun dan berlari.
Sebuah
langkah fatal sekaligus memancing perhatian. Untung segera dikejar, diringkus,
dan kemudian diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Sesudah
melewati persidangan secara maraton, pada Maret 1966 Untung dinyatakan
bersalah, dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh regu tembak di daerah
Cimahi, Jawa Barat.
Pertanyaannya,
apakah dia seorang ksatria yang ingin menyelamatkan Bung Karno dari kudeta
Dewan Jenderal, sebagaimana alasan yang dia kemukakan ketika membentuk Dewan
Revolusi? Apakah Untung seorang pengkhianat yang menculik sekaligus membunuh
atasannya? Atau, sekadar boneka yang dimainkan Biro Khusus PKI pimpinan DN
Aidit?
Senang main bola
”Nama
aslinya Kusman. Semasa remaja senang main bola, anggota KVC (Keparen Voetball
Club) di Kampung Keparen, Kelurahan Jayengan, Solo. Nama ayah angkatnya
Sjamsuri, seorang buruh batik. Dia memanggil saya Gus Hardi sebab saya anak
juragan tempat Sjamsuri bekerja.”
Sesudah
sekian lama membisu, akhirnya Soehardi bersedia membuka misteri Untung bin
Sjamsuri, Letnan Kolonel Infantri NRP 11284 dengan jabatan resmi terakhir
Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, kesatuan khusus
pengawal Presiden Soekarno.
Untung baru
setahun bertugas di Tjakrabirawa. Sebelumnya, dia menjabat Dan Yon 454/Para
Kodam Diponegoro, pasukan yang populer dengan sebutan Banteng Raider.
Kepindahannya ke Jakarta tanpa sengaja karena Bung Karno semula mengharapkan
Mayor (Inf) Benny Moerdani, Dan Yon II RPKAD, untuk menjadi Tjakrabirawa. Dalam
pandangan pribadi Bung Karno, Benny sosok perwira ideal. Penerima Bintang
Sakti, tanda kehormatan tertinggi untuk anggota TNI, dan baru saja berhasil
melerai perkelahian massal ketika RPKAD menyerbu asrama Kwini di Senen, asrama
Yon II Tjakrabirawa eks KKO (kini Marinir) Angkatan Laut.
Benny
menolak tawaran Bung Karno sehingga Untung yang kemudian diperintahkan ke
Tjakrabirawa untuk menggantikan Benny. Meski Markas Banteng Raider di Semarang,
pasukan tersebut slagorde Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Buku
sejarah Kostrad melukiskan, ”Kostrad ditugaskan Angkatan Darat menyiapkan
pasukan dalam rangka upacara Hari ABRI 5 Oktober 1965 dengan mendatangkan Yon
530/Para dari Jawa Timur, Yon 454/Para dari Jawa Tengah, Yon 328/Para dari Jawa
Barat, Kesatuan Panser dan Tank dari Bandung serta Artileri dari Cimahi.”
Menjelang
tanggal 30 September, Untung bertemu kembali dengan bekas anak buahnya. Maka pada
Jumat pagi dia menempatkan Banteng Raider bersama Yon 530/Para di Lapangan
Merdeka depan Istana, dengan dalih menjaga Presiden dari ancaman kudeta Dewan
Jenderal. Pasukan Kostrad lainnya, Yon 328/Para berikut Kesatuan Panser, tank
serta artileri tidak diajak karena Untung tidak punya akses ke sana.
Pada dini
hari 1 Oktober 1965, Untung memimpin Gerakan 30 September menculik delapan
jenderal Angkatan Darat, namun pada saat terakhir nama Brigjen Sukendro
dicoret. Tuduhannya, tujuh jenderal tadi anggota Dewan Jenderal yang akan
menggulingkan Bung Karno. Dari tujuh sasaran, enam bisa diculik. Namun sasaran
utama, Jenderal AH Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, justru lolos.
Dalam kegelapan malam serta tergesa-gesa, para penculik ternyata keliru sasaran.
Mereka malah meringkus Letnan I Pierre Tendean, ajudan Nasution.
Tradisi menculik
Melakukan
penculikan tentu saja bukan tindakan seorang ksatria, sosok ideal dalam
pandangan prajurit TNI. Namun, menculik lawan politik lewat perintah resmi atau
tidak, sejak perang kemerdekaan sampai masa pemerintahan Soeharto ternyata
bukan hal baru. Kasus menonjol antara lain penculikan Perdana Menteri Sutan
Syahrir di Solo (1947) serta penculikan para aktivis demokrasi di Jakarta
(1988). Maka ancaman yang dikemukakan Presiden Soeharto untuk menculik anggota
MPR demi menyelamatkan UUD 1945 bukan sekadar wacana kosong. Aksi penculikan
terbukti bukan sesuatu hal yang tabu, sudah sering terjadi.
Penculikan
yang dilakukan Untung berlangsung dini hari tanggal 1 Oktober. Maka Bung Karno
memberi nama Gestok, Gerakan Satu Oktober. Tetapi jangan lupa, Untung sendiri
menyebutnya Gerakan 30 September. Sedangkan Pusat Penerangan ABRI sengaja pakai
istilah Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh). Meski singkatan semacam ini
bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetap dilakukan dengan tujuan agar
masyarakat terbawa ingatannya kepada kekejaman Gestapo.
Menurut
Untung, sesudah anggota Dewan Jenderal ditangkap, akan langsung dihadapkan
kepada Bung Karno. ”Terserah Bapak Presiden, apa hukuman yang akan dijatuhkan.”
Skenario ini berantakan karena tiga sasaran telanjur tertembak dan kendali
operasi ternyata tidak sepenuhnya di tangan Untung. Semua sasaran akhirnya
ditembak. Siapa memberi perintah?
”Bukan
saya,” jawab Untung tegas dalam sidang Mahmilub.
Perintah
tembak memang bukan datang dari Untung. Perintahnya datang dari warga sipil.
Namanya Kamaruzaman, biasa dipanggil Sam, anggota Biro Khusus PKI. Eksekusi
tersebut menyebabkan skenario awal lepas kendali.
Menyambar ke segala arah dengan
ekses berikut derita, yang sampai sekarang belum terpulihkan. Memicu aksi balas
dendam berupa pembunuhan massal yang dalam taksiran moderat menghabiskan
500.000 nyawa pengikut komunis atau mereka yang begitu saja dituduh komunis.
Sesama Tjakrabirawa
Semasa
peristiwa G30S meletus, Soehardi menjabat perwira provost Tjakrabirawa. Ketika
tahun 1966 pasukan tersebut dibubarkan dan tugas mengawal Presiden digantikan
Yon POMAD/Para, Soehardi tidak ikut dibersihkan karena memang tidak terlibat.
”Untung menjabat Dan Yon I Tjakrabirawa. Tetapi, hanya satu kompi anak buahnya
ikut ke Lubang Buaya.” Anggota Tjakrabirawa lain sama sekali tidak tahu ketika
sebagian kecil rekannya meninggalkan asrama di Jalan Tanah Abang II (kini
Markas Paspampres), mengikuti petualangan Untung.
Pertemuan
kembali antara Soehardi dan Untung berlangsung awal tahun 1965 di tangga Istana
Merdeka. ”Lho, Gus Hardi inggih tugas wonten mriki? (Lho, Gus Hardi juga tugas
di sini?).”
Menurut
Soehardi, ”Saya jawab sambil menghormat, siap Mayor. Saya lebih dulu menghormat
karena saya hanya kapten sedangkan dia mayor. Meski saya bekas juragannya dan
sudah bertugas di Istana sejak tahun 1954, sementara Untung orang baru,
pindahan dari Semarang.”
Pengalaman
semasa kecil, jarak sosial, dan hal-hal lain menyebabkan ketika di Jakarta
antara Soehardi dan Untung tidak akrab. ”Sebagai pejabat baru di Tjakrabirawa,
dia tidak menonjol, tinggal di Jalan Cidurian No 9. Kami tak pernah kontak
sebab sejak kecil Untung pendiam.”
Kusman
dilahirkan di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, pada 3 Juli 1926. Ayah
kandungnya bernama Abdullah, bekerja di toko bahan batik milik warga keturunan
Arab di Pasar Kliwon, Solo. Sejak kecil dia diambil anak oleh Sjamsuri,
pamannya, buruh batik di rumah orangtua Soehardi. Masuk sekolah dasar di
Ketelan, Kusman melanjutkan ke sekolah dagang. Pelajaran belum selesai, Jepang
masuk dan Kusman mendaftar jadi Heiho. Sesudah proklamasi, dia menjadi anggota
TKR, embrio TNI.
Meloloskan diri ke Madiun
Semasa
perang kemerdekaan Kusman betugas di daerah Wonogiri, sebagai anggota Batalyon
Sudigdo. Ketika September 1948 meletus Peristiwa Madiun, Gubernur Militer
Kolonel Gatot Soebroto memperoleh informasi, batalyon tersebut disusupi
komunis, ”Pak Gatot memerintahkan Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Komandan
Brigade V, membersihkan.”
Soehardi
melukiskan, ”Slamet Rijadi menggeser Mayor Soedigdo ke Cepogo, lereng Gunung
Merbabu. Tetapi Kusman, pada waktu itu sudah sersan mayor, meloloskan diri ke
Madiun, ikut memberontak.”
Mengapa keterlibatan dalam peristiwa
Madiun tidak diselesaikan?
”Tanggal 19
Desember 1948 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi Militer Kedua. Peristiwa
Madiun tidak tuntas. Hanya sebelas tokoh pemberontak, Amir Syariffudin dan
kawan-kawannya, pada tengah malam masih sempat dijatuhi hukuman tembak di
Ngalihan, Karanganyar, Solo. Sisanya terpaksa diputihkan karena semua potensi
segera bergerak untuk melawan serbuan Belanda.”
Sesudah
peristiwa Madiun, Kusman berganti nama jadi Untung, bergabung kembali di TNI,
bertugas di Divisi Diponegoro. Tahun 1958, dalam operasi penumpasan PRRI,
Letnan I Untung menjabat komandan kompi, bertugas di Bukit Gombak, Batusangkar,
Sumatera Barat.
Tanggal 14
Agustus 1962, Mayor Untung selaku Dan Yon 454/Para Banteng Raider diterjunkan
di daerah Sorong, Irian Barat.
Tanggal 25
Agustus 1962, Panglima Mandala Mayor Jenderal Soeharto mengeluarkan perintah
gencatan senjata karena di New York, AS, sudah ditandatangani persetujuan damai
antara Indonesia dan Belanda. Selama sebelas hari bertugas di Irian, Untung
belum sempat bertemu, apalagi bertempur, melawan Belanda.
Kapan kenal Soeharto?
Menurut
Soehardi, ”Sesudah kembali dari Makassar, selesai menumpas pemberontakan Andi
Azis, Pak Harto menjabat Dan Rem Salatiga, Dan Rem Solo, kemudian Panglima
Diponegoro. Sesudah itu masuk Seskoad di Bandung, sebelum nantinya ditunjuk
sebagai Panglima Mandala. Untung dan Soeharto kenalan lama. Akrab atau tidak,
hanya mereka berdua bisa menjawab.
Tetapi yang jelas, ketika akhir tahun 1964
Untung melangsungkan pernikahan di Kebumen, Pak Harto rela naik jip dari
Jakarta untuk njagong.”
Dari luar
rumah azan magrib terdengar jernih. Soehardi minta diri untuk shalat, sesudah
selesai saya langsung menemaninya berbuka puasa. Kisah sekitar Letnan Kolonel
(Inf) Untung bin Sjamsuri untuk sementara terpaksa harus berhenti dulu.
Julius Pour Wartawan dan Penulis
Sejarah
Kenangan Pernikahan Lelaki Kedung
Bajul
Di Kebumen,
Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan Tien yang
mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya.
Dusun yang
tak jauh dari Pantai Krakal, di bagian timur Kebumen, siang itu begitu panas
menyengat ketika Tempo mengunjunginya Hawanya gersang, khas kawasan pesisir.
Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai perajin dan pedagang peci. Dulu,
daerah itu basis Angkatan Oemat Islam, organisasi yang didirikan untuk melawan
pendudukan Belanda sekitar 1945-1950.
Orang-orang
Kedung Bajul, Desa Bojongsari, nama daerah itu, tergolong pemeluk Islam yang
taat. Tua-muda rajin beribadah dan mendaras Al-Quran. Dusun itu merupakan
tempat kelahiran Letnan Kolonel Untung. Tetangga dan teman masa kecil
mengingatnya sebagai Kusmindar atau Kusman. Kus, begitu ia biasa dipanggil.
Dari
percakapan dengan penduduk setempat, Tempo mendapat informasi Untung tak punya
darah militer maupun politik dari kedua orang tuanya. Slamet, kakek Kusman,
cuma tukang sapu di Pasar Seruni di desa itu. Ayahnya, Abdullah Mukri, buruh
peralatan batik di Solo, Jawa Tengah.
Meski cuma
buruh, Mukri dikenal sebagai penakluk wanita. Ia kawin-cerai sampai tujuh kali.
Untung lahir dari istri kedua Mukri.
"Ibunya pemain wayang orang desa
kami," kata Sadali, 71 tahun, tetangga dekat Untung di Kedung Bajul.
Sadali, yang sekarang berdagang peci, tak ingat nama perempuan yang minggat,
menikah dengan lelaki lain ketika Untung masih 10 tahun, itu.
Sepeninggal
ibunya, Untung hijrah ke Solo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri, yang tak punya
anak. Karena itu, "Dia lebih dikenal sebagai Untung bin Samsuri,"
kata Sadali, yang kakaknya sekelas dengan Untung di Sekolah Rakyat Seruni,
Kebumen, hingga kelas III. Seperti kakaknya, Samsuri buruh perajin batik di
Solo. Meski begitu, Samsuri memperhatikan pendidikan sang keponakan.
Suhardi,
teman kecil sekaligus junior Untung di Tjakrabirawa, bercerita, dari sekolah
rakyat di Kebumen, Untung dipindahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan,
Kartopuran, Solo. Barangkali karena Samsuri berada di lingkungan pedagang yang
kuat, selepas sekolah rakyat Untung dimasukkan ke Klienhandel, sekolah dagang
Belanda setingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang, Untung tidak jadi saudagar.
Ia malah masuk Heiho pada 1943, yakni ketika Jepang masuk ke Indonesia. Sejak
itu ia terus berkarier di militer.
Sejak pindah
ke Solo, Untung tak pernah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar 1957-1958,
menurut Sadali, yang kala itu berdagang batik, dia beberapa kali bertemu dengan
Untung. Temannya itu, kata bulan ketika masih berdinas di kesatuan Banteng
Raiders di Gombel, Semarang.
Bagi Sadali,
Untung orang yang ramah, halus tutur katanya dan rajin mengaji hingga dewasa.
Jika bertemu, ia senang mengajak ngobrol Sadali, bahkan menasihati.
"Sesama orang Kebumen di perantauan harus saling membantu."
Selebihnya, orang-orang Kedung Bajul tak tahu lagi kabarnya hingga
pernikahannya dengan Hartati digelar megah pada 1963, setahun setelah
kepulangannya dari Irian Barat.
"Pesta paling meriah waktu itu," kata
Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun, tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.
Untung
menikahi Hartati setelah bertemu di rumah Yudo Prayitno di Kecamatan Klirong,
pesisir selatan Kebumen, pada sebuah acara keluarga. "Usia Hartati jauh
lebih muda dari Untung," kata Siti Fatonah, kerabat Hartati di Kebumen.
Hartati adalah anak kelima dari tujuh anak Sukendar, pemborong besar yang kaya
dan terpandang. "Dia punya banyak kuli," ujar Syukur. Beberapa gedung
besar di Kebumen adalah hasil karyanya.
Tak aneh
jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikin megah.
Tenda besar dibentang. Hiburannya wayang orang Grup Ngesti Pandawa dari
Semarang yang sedang ngetop. Jalanan sekitar rumah Sukendar ditutup. Mobil
tetamu berjajar di sepanjang jalan di sekitar rumah Sukandar.
Menikah
dengan adat Jawa, Untung mengenakan beskap dan blangkon.
Setelah itu ia
mengenakan pakaian kebesaran militer. Tamunya kebanyakan petinggi pemerintahan,
pejabat militer, dan anggota Dewan. Soeharto dan Tien Soeharto pun datang.
"Soeharto datang mendadak, membuat tuan rumah sedikit kebingungan
menyambut kedatangannya," kata Syukur, yang sempat dipenjara enam tahun
karena dituduh terlibat G-30-S.
Di antara
para tamu, tak ada tetangga dan kerabat dari Kedung Bajul yang diundang.
Dikabari pun tidak. "Mungkin karena ia sudah menjadi orang besar,"
kata Mashud, tetangga dekat Untung di dusun.
Padahal keluarga besar Slamet
masih berada di dusun itu hingga sekarang. Setelah menikah, Untung memboyong
Hartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabat Hartati yang masih tinggal di
Kebumen, mengatakan, dari pernikahannya dengan Hartati, Untung mendapat seorang
anak lelaki, Anto. Fatonah menyebutnya, Insinyur Anto.
Sepeninggal
Untung, Hartati menikah lagi dengan seorang petinggi sebuah perusahaan tekstil
di Bandung.
Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel
Di mata
Sadali, teman masa kecilnya, Untung adalah seorang prajurit cerdas. Sadali,
yang sekarang berdagang peci, masih ingat perjalanan karier karibnya itu.
Untung, kata Sadali, memulai dinas militernya di Heiho pada 1943.
Setelah
Jepang hengkang, Untung bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya
mulai bersinar terang di kesatuan Banteng Raiders, Diponegoro, yang bermarkas
di Gombel, dekat Semarang, Jawa Tengah.
Pada 1961,
pangkatnya sudah mayor.
"Ada satu melati putih di pangkatnya." Warga
Dukuh Kedung Bajul, tempat kelahiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah, amat
mengingat Untung ikut berjasa membebaskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sadali
percaya, Untunglah arsitek di balik perebutan Irian Barat dari tangan Belanda.
Dari mulut
Sadali terurai strategi Untung yang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjunkan
di Irian Barat, konon Untung memadamkan semua lampu di kota-kota. Sebaliknya
hutan-hutan dibuatnya benderang.
"Belanda tertipu," kata Sadali.
"Untung bersama pasukannya berhasil masuk ke kota-kota." Entah dengan
cara apa Untung menerangi rimba Papua yang ganas itu.
Prestasi di
Irian Barat membuat Untung menjadi salah satu penerima penghargaan Bintang
Sakti, yang langsung disematkan Presiden Soekarno. Penerima penghargaan lainnya
adalah Mayor L.B. Moerdani. Pangkat Untung dinaikkan menjadi letnan kolonel.
Dia pun secara khusus diminta Presiden Soekarno menjadi anggota pasukan
pengawal Tjakrabirawa.
Hingga
dieksekusi pada pertengahan 1966, pangkat Untung masih letnan kolonel. Namun,
bagi warga Kedung Bajul, pangkat Untung terus terdongkrak beberapa tingkat
sekaligus. Dengan takzim mereka menyebutnya Jenderal Untung. "Jenderal
Untung dikenal karismatis," Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal
berdekatan dengan rumah Untung, memuji.
Kepala Desa Bojongsari Mohamad Asibun
ikut menyebutnya Jenderal Untung. "Paling tidak ada orang Kebumen yang
berhasil membebaskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.
Mereka
bukannya tak tahu soal keterlibatan Untung dalam penculikan para jenderal Angkatan
Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli.
Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di
belakang rumah Sukendar, mertua Untung, mengetahui keterlibatan Untung dalam
peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempat menjadikan rumah
Sukendar sebagai sasaran.
"Sekitar
seratus orang siap membakar rumah Sukendar dengan bom molotov," kata
Syukur, yang kini 71 tahun. Beruntung rumah itu bisa diselamatkan seorang
anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Kendati Syukur mendengar Untung
terlibat G-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Dia hanya alat atau
korban politik. Dalangnya, ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untung
orang yang jujur dan bertanggung jawab.
Dan, seperti
warga dukuh lainnya, ia bangga ada putra Kebumen yang menjadi pahlawan
pembebasan Irian Barat. Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang masih terhitung
kerabat Hartati, istri Untung, tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajul itu
terlibat penculikan para jenderal. Pada malam kejadian, kata dia, Untung
nongkrong makan bakso di Hotel Des Indes Harmoni, Jakarta, atau Duta Merlin
sekarang.
Yang lebih
unik, seorang kerabat dekat Hartati lainnya percaya Untung masih hidup dan
tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Tengah. "Ia menjadi kasepuhan atau
paranormal," kata orang yang tak pernah bertemu dengan Untung itu.
Sebuah Kunci dari Swedia
Letnan
Kolonel Untung Samsuri diyakini ditanam Sjam Kamaruzzaman di Tjakrabirawa
melalui Kapten Rochadi. Kapten itu eksil dan meninggal di Swedia.
30September
1965. Jam menunjuk pukul 7 malam di Istora Senayan, Jakarta. Tamu besar,
Presiden Soekarno, sudah datang untuk menutup Musyawarah Kaum Teknisi
Indonesia. Terasa benar Istora kian bungah.
Wakil
Komandan Tjakrabirawa Kolonel Maulwi Saelan tak ikut larut pada pesta yang
berlangsung hingga tengah malam itu. Ia makin waspada. Malam itu, dialah yang
bertanggung jawab menjaga keselamatan Presiden. Atasannya, Brigadir Jenderal
Moch. Saboer, sedang ke Bandung. Sekali lagi ia memeriksa setiap jengkal gedung
itu.
Lhakadalah...,
satu pintu yang mestinya tertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriak kepada
seorang anak buahnya. Tentara itu kekarnya setanding dengan dia, namun lebih
pendek. "Kenapa pintu itu terbuka?" Maulwi menghardik.
Yang ditegur menjawab singkat, lalu menjalankan perintah Maulwi. Dialah Letnan
Kolonel Untung Samsuri, Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa.
Kepada Tempo
dua pekan lalu, Maulwi menceritakan kembali kisah ini. Inilah pertemuan
terakhirnya dengan Untung, sebelum peristiwa penculikan para jenderal beberapa
jam kemudian. Maulwi mengaku sempat heran atas kelalaian Untung kala itu.
"Dia itu tahu tugasnya apa. Saya heran, kenapa malam itu dia bisa sangat
ceroboh dan lalai begitu," ujarnya.
Tapi ia tak
memperpanjang urusan tersebut. Ia tahu Untung sebenarnya dapat diandalkan.
Untung memang tentara bermutu kelas satu. Dalam Operasi Mandala di Irian Jaya,
ia menerima anugerah Bintang Sakti. Di medan tempur itu, cuma ada satu orang
lagi yang menerima penghargaan tertinggi untuk tentara tersebut. Dia adalah
L.B. Moerdani, yang juga pernah digadang-gadang untuk menjadi Komandan Tjakra
di awal berdirinya resimen ini.
Tapi Heru
Atmodjo, mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, menduga bergabungnya
Untung dengan Tjakra tak semata karena prestasinya. "Ia bagian dari
strategi Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI," ujarnya. Heru—namanya
dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi—menyatakan penaut Untung dan
Sjam adalah Kapten Sujud Surachman Rochadi. "Sjam yang memasukkan Untung
ke Tjakrabirawa melalui Rochadi," ujar Heru.
"Dia
itu agen yang disusupkan Sjam ke Tjakra." Nama Rochadi juga disebut
anggota Provoost Tjakrabirawa, Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi.
"Ke-PKI-an Rochadi dibina langsung oleh Sjam," ujarnya.
Suhardi
mengatakan informasi soal Rochadi-Sjam didapatnya dari Kapten Soewarno,
komandan kompi lainnya di Batalion I Kawal Kehormatan. Soewarno mengaku
kepadanya bahwa ia bersama Rochadi sering bertandang ke mes tentara Jalan
Kemiri di bilangan Senen. "Di tempat itulah Sjam melakukan pembinaan
terhadap keduanya," kata Suhardi.
Jelas
Rochadi orang penting PKI. Namun, menurut Heru, namanya tak pernah disebut
dalam berbagai cerita tentang Gerakan 30 September 1965, "Karena pada 26
September ia berangkat ke Peking (sekarang Beijing) untuk menghadiri peringatan
Hari Nasional RRC."
Yang Terbaik Lalu Terbalik
dul Adha,
Mei 1962. Presiden Soekarno pagi itu salat di lapangan rumput Istana Presiden.
Ia di saf terdepan. Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdiri menghunus
pistol. Ia membidik Presiden. Tar! Tembakannya luput. Peluru mengoyak dada KH
Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itu meninggal setahun kemudian.
Sudah
berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh. Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG,
tapi insiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat. Detasemen Kawal Pribadi
Presiden kecolongan di halaman Istana, yang dijaganya 24 jam. Karena itu,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution memanggil Letnan
Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presiden, untuk membicarakan pembentukan pasukan
pengawal presiden. Sebenarnya itu bukan gagasan baru, tapi selalu ditolak
Soekarno.
Namun, kali
ini Nasution berhasil meyakinkan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itu lazim di
semua negara. Karena tak ada waktu untuk menyeleksi personel kesatuan baru itu,
Nasution memerintahkan setiap angkatan menyetorkan pasukan khususnya.
Masing-masing satu batalion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Brimob), Angkatan
Laut memberikan Korps Komando (KKO), dan Angkatan Udara menyetor Pasukan Gerak
Tjepat.
Angkatan
Darat seharusnya mengirimkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). L.B.
Moerdani—waktu itu masih berpangkat mayor RPKAD—sudah digadang-gadang sebagai
komandan di kesatuan itu.
Namun, pasukan elite ini menolak tugas tersebut
dengan alasan ingin berkonsentrasi sebagai pasukan tempur. Sebagai gantinya,
mereka memberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tjadangan Umum Angkatan Darat,
Tjaduad). Dua kompi di antaranya dari Batalion 454/Kodam VII Diponegoro, yang
dikenal dengan sebutan Batalion Raiders atau Banteng Raiders.
Batalion ini
sebenarnya punya catatan buruk di masa lalu. Sebagian anggotanya berasal dari
Batalion Sudigdo, yang terlibat pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketika
pemberontakan itu dipadamkan, batalion ini sempat dibersihkan dari unsur PKI.
Namun, sebelum rampung, Belanda melancarkan agresi militer kedua.
Tapi soal
itu sepertinya tertutupi oleh pamor tim tempur ini yang moncer dalam operasi
PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di Irian Barat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani,
yang dekat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini. Pada hari ulang tahunnya, 6
Juni 1962, Soekarno meresmikan resimen itu.
Ia memberi nama Tjakrabirawa,
senjata pamungkas Batara Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Ia pulalah
yang memilihkan seragamnya: baju warna cokelat tua dengan baret merah gelap.
Setahun
kemudian, pasukan ini sudah dalam kekuatan penuh. Senjata mereka serba canggih.
Maklum, pasukan ini mendapat anggaran langsung dari pemerintah pusat, bukan
dari kantong ABRI. Lalu, 30 September 1965, Letnan Kolonel Untung Sjamsuri,
Komandan Batalion I Kawal Kehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakrabirawa
setelah itu cuma berisi tragedi.
Tjakrabirawa, Dul Arief, dan 'Madura
Connection'
Benedict
Anderson menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik
para jenderal adalah "komunitas Madura", yang di antaranya sudah
dikenal oleh Ali Moertopo, intelijen Soeharto sejak 1950-an.
Lelaki tua
itu duduk bersandar di atas sebuah dipan besi.
Dengan susah payah ia menyuapkan
nasi dan lauk itu ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh di atas seprai. Sudah
enam bulan ini Boengkoes, nama lelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tempat
tidur.
Stroke melumpuhkannya. Mantan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dilihat
Tempo di rumah anaknya di Besuki, Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskan sisa
hidupnya di atas dipan besi. Boengkoes adalah salah seorang pelaku dalam
tragedi 30 September 1965. Pria berdarah Madura, yang saat itu berpangkat
sersan mayor, ini bertugas menjemput Mayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi III
Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Dalam sebuah
wawancara dengan Tempo setelah bebas dari LP Cipinang pada 1999, Boengkoes
menceritakan tugasnya itu dengan terperinci. Pada 30 September 1965 sekitar
pukul 15.00. "Dalam briefing itu dikatakan ada sekelompok jenderal yang
akan 'mengkup' Bung Karno, yang disebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat, menurut
saya."
Ia menyangka
perintah itu baru akan dilaksanakan setelah 5 Oktober 1965. Namun, pada pukul
08.00, dipimpin oleh Dul Arief, pasukannya kembali ke Halim. Sekitar pukul
03.00 keesokan harinya, kata Boengkoes, komandan komandan pasukan berkumpul
lagi.
"Lalu, pasukan Tjakra dibagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahu
sasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jenderal M.T. Harjono," ujar Boengkoes.
Boengkoes kemudian berhasil menembak M.T.Harjono.
"Setelah sampai sana (Lubang Buaya), mayatnya saya serahkan ke Pak Dul
Arief." Seluruh pengakuan Boengkoes ini menarik minat Ben Anderson,
Indonesianis dari Universitas Cornell. Ben pada 2002 sampai datang lagi ke
Indonesia menemui Boengkoes di Besuki. Pertemuannya itu menghasilkan paper
setebal 61 halaman, The World of Sergeant-Mayor Bungkus, yang dimuat di Jurnal
Indonesia Nomor 78, Oktober 2004.
Paper ini,
menurut Ben, melengkapi Cornell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun
setelah peristiwa berdarah—bersama Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben menulis
Cornell Paper. Pada saat itu Ben mengira bahwa inti serdadu yang bergerak di
lapangan adalah orang-orang Jawa. Anggapan ini berubah setelah Ben bertemu
dengan Boengkoes. Ia melihat fakta menarik bahwa hampir semua serdadu yang
ditugasi menculik berdarah Madura. Pimpinan lapangannya juga berdarah Madura.
Pimpinan
lapangan penculikan, seperti dikatakan Boengkoes di atas, adalah Dul Arief. Dul
Arief adalah serdadu berdarah Madura. Nah, menurut Ben, Dul Arief adalah orang
yang sangat dekat dengan Ali Moertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenal Ali
sejak Benteng Raiders memerangi Darul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada
1950-an.
Perihal
apakah benar Dul Arief dekat dengan Ali Moertopo, Tempo mencoba mengecek kepada
Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Untung diikutkan
dalam Dewan Revolusi. Heru sendiri berdarah Madura. Dan ternyata jawabannya
mengagetkan: "Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo," kata Heru
kepada Erwin Dariyanto, dari Tempo.
Dalam paper
Ben, anggota Tjakra lain yang berdarah Madura adalah Djahurup. Ini pun
informasi menarik. Sebab, Djahurup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawirawan)
Suhardi diceritakan (baca: Perwira Kesayangan Soeharto), adalah orang yang
ingin menerobos Istana pada 29 September, tapi kemudian dihadangnya.
Stroke Mengalahkan Penyuka Keroncong
Itu
"Gelap.
Saya coba cari stop kontak, saya raba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan
putih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, ada bayangan putih.' Saya
mengangkat senjata dan dor...."
Hernawati
baru saja menyiapkan makan siang untuk ayahnya. Menunya: nasi putih dan telur
mata sapi. Meski rapuh, lelaki tua itu menolak disuapi. Ia berkeras makan
dengan tangannya sendiri. "Sambil melatih tangan," kata Hernawati, 50
tahun.
Lelaki yang
kini berusia 82 tahun itu adalah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa.
Pangkat terakhirnya sebelum mendekam selama 33 tahun di Lembaga Pemasyarakatan
Cipinang, Jakarta, adalah sersan mayor. Menurut Hernawati, anak kedua
Boengkoes, sudah enam bulan ini ayahnya tergolek lemah karena stroke. Ia susah
berbicara. Tangan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Ia kini terbaring di rumah
anak keempatnya, Juwatinah, yang berdempetan dengan rumah Hernawati di Jalan PG
Demaas, Dusun Kalak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur.
Hernawati
tak mengizinkan Tempo menemui ayahnya. Ia hanya mengizinkan Slamet Wagiyanto,
30 tahun, anak keduanya, untuk memotret sang kakek. "Percuma, Bapak tidak
bisa bicara dan ingat apa pun," ujar Hernawati. Boengkoes tinggal di
Situbondo setelah mendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habibie pada 25 Maret
1999. Di kota inilah istri dan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoes masuk
bui. Sebelumnya, keluarga Boengkoes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Ia
menikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun) dan dianugerahi enam anak.
Hernawati
berkisah, sebelum menderita stroke, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktunya
di pekarangan belakang rumah. Di atas lahan berukuran 10 x 15 meter itu,
Boengkoes merawat 10 ayam kampung dan suka menanam pisang.
"Ayamnya
sekarang tinggal tiga ekor karena nggak ada yang ngerawat lagi," kata
Hernawati.
Hobi lain
lelaki kelahiran Desa Buduan, Besuki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong.
Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Bengawan Solo. Menurut Hernawati, hanya
itulah kegiatan Boengkoes setelah bebas dari bui. Ia tak aktif di kegiatan
kampung. Boengkoes juga tak pernah bertemu dengan temantemannya sesama mantan
tahanan politik.
Kepada
anak-anaknya pun ia tak pernah bercerita tentang pengalamannya di dalam penjara
atau saat berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau
menambah beban keluarganya. Dulu, setiap tahun beban itu terasa makin berat
ketika televisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu diputar,
keluarganya tak pernah berani keluar dari rumah.
Hampir seisi kampung tahu
Boengkoes terlibat dalam pembunuhan para jenderal.
Namun,
sepahit apa pun pengalaman masa lalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnya tak
bersalah. "Ayah cuma bawahan yang menjalankan perintah atasan,"
tuturnya. Boengkoes pada 1999, selepas keluar dari penjara, dalam sebuah
kesempatan wawancara, mengatakan hal yang sama, "Nggak ada, tentara kok
merasa bersalah, mana ada...."
Boengkoes
kini terkena stroke. Entah apakah ia masih ingat detik-detik ketika masuk
mendobrak rumah M.T. Harjono. Thompsonnya melepaskan tembakan pada bayangan
putih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuh M.T. Harjono tak berdaya. Peluru
menembus tubuhnya dari punggung sampai perut.
Misteri Rekaman Tape Di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, Untung menghadirkan
saksi Perwira Rudhito Kusnadi Herukusumo, yang mendengar rekaman rahasia rapat
Dewan Jenderal.
Letnan
Kolonel Untung bin Syamsuri layaknya seorang pelaku kriminal. Turun dari
panser, lelaki cepak bertubuh tegap itu tampak menggigil ketakutan. Kepalanya
menunduk, takut menatap ratusan orang yang tak henti menghujatnya. Bekas
Komandan Batalion I Tjakrabirawa itu juga gamang ketika akan menembus barikade
massa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, yang menyemut di pelataran parkir
gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Kala itu,
Rabu, 23 Februari 1966, pukul 9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Taman Suropati
Nomor 2 itu, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mengadili Untung, 40 tahun,
bekas Ketua Dewan Revolusi Indonesia, dengan tuduhan makar.
Saat akan
memasuki gedung itulah Untung terus mendapat hujatan dan cemoohan massa. Letnan
I Dra Sri Hartani, yang saat itu menjadi protokoler atau semacam pembawa acara
sidang, ingat intimidasi massa tersebut membuat nyali Untung ciut. "Untung
terlihat takut dan tidak terlihat seperti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak
begitu," kata Sri, kini 69 tahun, kepada Tempo di rumahnya di Jakarta
Pusat pada pertengahan September lalu.
Sri
menyatakan Untung menjadi orang kedua setelah Njono, tokoh Partai Komunis
Indonesia, yang diperiksa dan diadili di Mahmilub 2 Jakarta.
Di depan Mahmilub,
Untung sangat yakin bahwa Dewan Jenderal itu ada. Menurut Untung, ia mendengar
adanya Dewan Jenderal dari Rudhito Kusnadi Herukusumo, seorang perwira menengah
Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat-6. Untung mengatakan,
kepada dirinya, Rudhito mengaku mendengar rekaman tape hasil rapat Dewan
Jenderal pada 21 September 1965 di gedung Akademi Hukum Militer (AHM), Jalan Dr
Abdurrachman Saleh I, Jakarta.
Rekaman itu
berisi pembicaraan tentang kudeta dan susunan kabinet setelah kudeta. Itu
sebabnya, Untung ngotot menghadirkan Rudhito sebagai saksi dalam persidangan.
Rudhito kemudian dihadirkan di Mahmilub 2. Dalam kesaksiannya, seperti dapat
kita baca dalam buku proses mahmilub Untung (1966), Rudhito memang mengaku
pernah melihat tape rekaman tersebut dan sudah melaporkannya kepada Presiden
Soekarno.
Rudhito
menjelaskan, dirinya menerima tape rekaman yang dia dengar dan catatan tentang
isinya pada 26 September 1965 di ruangan depan gedung Front Nasional. Dia
menerima bukti itu dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi
Nasution, keduanya dari Nahdlatul Ulama, plus Sumantri Singamenggala dan Agus
Herman Simatoepang dari IP-KI.
Menurut
Rudhito, keempat orang itu mengajaknya membantu melaksanakan rencana-rencana
Dewan Jenderal. Mereka mengajak karena kapasitasnya selaku Ketua Umum Ormas
Central Comando Pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rencana Dewan
Jenderal itu adalah mengudeta Soekarno seperti cara-cara di luar negeri.
Misalnya Soekarno akan disingkirkan seperti matinya Presiden Republik Korea
Selatan Sihgman Ree.
Untung dan Jejaring Diponegoro
“Cornell
Paper", yang disusun Ben Anderson dan Ruth McVey setelah meletus Gerakan
30 September, mengesankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa internal
Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando Daerah Militer Diponegoro. Tentu
saja pandangan tersebut merupakan versi awal yang belum lengkap walau tetap
menarik untuk diulas dan diteliti lebih lanjut.
Setelah tiga
dekade di penjara, Soebandrio, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri/Kepala
Badan Pusat Intelijen, mengelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal
dari Diponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung, Latief) dan
ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama, dan Ali Moertopo). Dari dua
trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupun pihak yang menumpasnya berasal
dari komando daerah militer yang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang
menjelaskan bahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayah Kodam
Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapat dipadamkan dalam hitungan hari.
Alasan itulah yang digunakan kenapa Soeharto tidak masuk daftar orang yang
diculik: ia dianggap "kawan", minimal "bukan musuh".
Soeharto dan Latief sama-sama ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, yang
kemudian dijadikan hari sangat bersejarah oleh pemerintah Orde Baru.
Pada malam
30 September 1965, Latief menemui Soeharto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat
Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latief bersama
istrinya sempat berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Walau tidak
sedekat dengan Latief, Soeharto berhubungan baik dengan Untung. Kabarnya,
sewaktu Untung menikah di Kebumen, Soeharto menghadirinya. Di jalur yang lain,
hubungan Yoga Soegama dan Ali Moertopo terbina ketika mereka melakukan
serangkaian manuver untuk mendukung Soeharto menjadi Komandan Teritorium IV,
yang kemudian menjadi Kodam Diponegoro.
Ketika
pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terdapat satu batalion Angkatan
Darat. Sejak Mei 1965, batalion ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang
karena keberaniannya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada
informasi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang
"mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.
Rochadi
adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah satu rombongan delegasi
Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965 dan sejak itu terhalang pulang.
Terakhir ia memperoleh suaka di Swedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar
(meninggal pada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup. Kapten
Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpin Letnan Kolonel Untung di
Kodam Diponegoro.
Resimen Khusus Tjakrabirawa dan
G-30-S
Resimen
Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Panglima Tertinggi
Angkatan Perang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tanggal 5 Juni 1962.
Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resimen khusus di bawah Presiden yang
diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia beserta keluarganya. Resimen ini
terdiri atas Detasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, dan Batalion
Kawal Kehormatan.
Pembentukan
Tjakrabirawa merupakan tanggapan strategis atas upaya pembunuhan terhadap
Presiden Soekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presiden bersembahyang
Idul Adha di Masjid Baitturahman di kompleks Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai
suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiapkan sebagai suatu kesatuan militer
yang memiliki kualifikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawancara
dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (Indonesia No. 78, Oktober 2004),
mantan komandan peleton Tjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakan
sulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorang prajurit ABRI untuk
dapat bergabung di Tjakrabirawa.
Tidak
seperti pembentukan kesatuan-kesatuan baru lainnya yang sekadar mengandalkan
penggabungan dari beberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batalion,
resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkan kumpulan individu yang
berhasil lulus dari rangkaian tes seleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa
tampak dari data bahwa hanya 3-4 prajurit dari satu kompi suatu batalion yang
berkualifikasi raider atau paratrooper atau airborne yang mendapat panggilan
untuk mengikuti tes seleksi.
Letnan
Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpinan militer Gerakan 30 September,
misalnya, dari 1954 sampai 1965 bertugas di Batalion 454 Banteng Raiders yang
memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961, Untung memimpin salah satu
kompi relawan dalam Operasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuan
Irian Barat di bawah pimpinan Panglima Komando Mandala Mayor Jenderal Soeharto.
Atas
keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung, bersama L.B. Moerdani sebagai
pimpinan kompi relawan lainnya, mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari
Presiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung, yang saat itu menjabat
Komandan Batalion 454 Banteng Raiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion I
Tjakrabirawa.
Kualifikasi
khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidak langsung menjadikan Tjakrabirawa suatu
kesatuan militer yang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965. Kompi
Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu Dul Arief dipilih menjadi penjuru
Pasukan Pasopati untuk melaksanakan operasi penculikan para jenderal karena
kesatuan ini berada langsung di bawah Presiden (bukan di bawah Markas Besar AD)
sehingga saat melaksanakan operasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para
jenderal TNI-AD.
Keterlibatan
Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosok Letkol Untung, yang memiliki rekam
jejak militer yang memungkinkannya membangun jejaring militer dengan
kesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung dalam Gerakan 30 September, yaitu
Batalion 454, Batalion 530, dan Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga
kesatuan ini memperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 454 dan 530 juga digelar
untuk melakukan pengamanan Istana dan kantor RRI.
by
taan dika
at
8:14 AM
http://sejarle.blogspot.co.id/2014/12/letkol-untung.html