“Menurut taksiran, korban yang dieksekusi dan dibuang di lokasi ini tak kurang dari 2.000 orang”, kata saksi sejarah sambil menunjukkan lokasinya [Foto: Humas YPKP]
SIMPOSIUM NASIONAL
Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965 Pendekatan Kesejarahan yang pertama digelar Negara memicu kepanikan kelompok yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66; lalu menggelar simposium tandingan
Sejumlah dokumen diplomatik Amerika Serikat periode 1964-1968 (BBC/TITO SIANIPAR)
MASS GRAVE
Penggalian kuburan massal korban pembantaian militer pada kejahatan kemanusiaan Indonesia 1965-66 di Bali. Keberadaan kuburan massal ini membuktikan adanya kejahatan kemanusiaan di masa lalu..
TRUTH FOUNDATION: Ketua YPKP 65 Bedjo Untung diundang ke Korea Selatan untuk menerima penghargaan Human Right Award of The Truth Foundation (26/6/2017) bertepatan dengan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Korban Kekerasan [Foto: Humas YPKP'65]
Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan
aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka
mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai
pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya.
ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Jakarta
- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Siti Noor Laila
mengatakan dalam waktu dekat, pihaknya berencana menggelar pertemuan
dengan Markas Besar Kepolisian untuk membicarakan sejumlah aksi
kekerasan terhadap diskusi tentang korban 1965.
“Komnas
berharap polisi punya standar bersama di seluruh Indonesia dalam memberi
pengamanan terkait diskusi,” kata Siti saat dihubungi, Selasa, 24
Februari 2015. Siti berharap ke depan tak ada lagi diskusi tentang
korban 1965 yang dibubarkan.
Pada Selasa, sekelompok massa
termasuk Front Pembela Islam Surakarta melarang seminar yang
diselenggarakan Sekretariat Bersama Korban 65 di Surakarta. Seminar
dengan tema Layanan Kesehatan Korban Tragedi 1965/1966 untuk Mewujudkan
Rekonsiliasi tersebut dinilai menghidupkan kembali komunisme.
Sebelum di Solo, aksi pembubaran serupa juga terjadi di Bukittinggi,
Ahad lalu. Sekelompok masyarakat membubarkan paksa diskusi yang digelar
Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) 1965 di Bukik Cangang Kayu
Ramang Kecamatan Guguk Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Pembubaran itu
juga didukung kepolisian setempat.
Siti mengatakan lembaganya
mengecam pelarangan dan pembubaran seminar tentang korban 1965 yang
dilakukan sekelompok orang di Solo. Menurut Siti, aksi itu merupakan
bentuk pelanggaran hak berekspresi, berserikat dan berkumpul.
Siti menyayangkan lambatnya respons pemerintah dalam menuntaskan kasus
1965. Selama ini rekonsiliasi yang diupayakan Komnas HAM sejak zaman
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak pernah menunjukkan titik
terang.
Menurut Siti, rekonsiliasi akan membantu menghilangkan
stigma negatif masyarakat terhadap segala sesuatu yang berhubungan
dengan peristiwa 1965.
Kuasa hukum Abraham Samad, Nursyahbani Katjasungkana, dikelilingi awak
media terkai pemanggilan kliennya oleh kepolisian di Gedung KPK,
Jakarta, 17 Februari 2015. TEMPO/Eko Siswono Toyudho
TEMPO.CO, Padang
- Nusyahbani Katjasungkana akan mengirim surat ke Presiden Joko Widodo
dan Mabes Polri terkait pembubaran diskusi rehabilitasi korban tragedi
1965 Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan (YPKP) di Kota Bukittinggi,
Sumatera Barat. "Saya akan surati Jokowi dan Mabes hari ini," ujar
Nursyahbani, Senin 23 Februari 2015.
Jika tak ada tanggapan
yang memuaskan, Nursyahbani akan membawa persoalan ini ke lembaga HAM
internasional. Nursyahbani ikut hadir dalam diskusi tersebut.
Pada Ahad lalu, acara diskusi tentang rehabilitasi korban tragedi
pembantaian terhadap pengikut PKI 1965 di Bukittinggi, Sumatera Barat,
dibubarkan. Acara tersebut digelar YPKP.
Menurut Nursyahbani,
para korban merasa terancam dengan kejadian tersebut. Apalagi kebanyakan
mereka telah berusia 70 hingga 90 tahun. "Ini menambah trauma mereka.
Padahal trauma mereka baru akan sembuh," ujarnya.
Menurut
Nursyahbani, kepolisian tidak mampu memberikan keamanan dan perlindungan
terhadap korban yang pada umumnya lansia. "Ibu-ibu berusia 80 tahun itu
tunggang langgang lari. Ada yang ngumpek di toilet," ujarnya. Mereka
ketakutan.
Kata Nursyahbana, mereka itu bukan penjahat. Malah
mereka korban 1965. Makanya negara harus memberikan perawatan kesehatan,
dan menyebuhkan trauma psikologis yang dialaminya.
Kepala
Kepolisian Resor Bukittinggi, Amirjan, menyangkal telah menerima surat
pengajuan izin diskusi itu. Ia juga membenarkan ada beberapa kelompok di
masyarakat setempat yang tidak menerima pelaksanaan kegiatan tersebut.
"Ada kegiatan yang diduga gerakan PKI," ujarnya. Menurut versinya,
setelah dimediasi, akhirnya kegiatan tersebut dibubarkan.
Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan
aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka
mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai
pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya.
ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO,Padang - Diskusi Yayasan
Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 di Bukit Cangang Kayu
Ramang, Kecamatan Guguk, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, dibubarkan
warga pada Ahad, 22 Februari 2015.
"Ya, kita dibubarkan paksa oleh warga," ujar Ketua YPKP 1995/1966 Sumatera Barat Nadiani, Senin, 23 Februari 2015.
Padahal, kata Nadiani, surat pemberitahuan kegiatan ini sudah dikirim
ke kepolisian dan Pemerintah Kota Bukittinggi. Kegiatan ini
mengagendakan konsultasi dan sosialisasi Rancangan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi bagi korban tragedi kemanusiaan 1965-1966.
Menurut dia, diskusi ini membicarakan rehabilitasi para korban tragedi
kemanusiaan 1965-1966. Diskusi ini tak berkaitan dengan ideologi Partai
Komunis Indonesia (PKI). "Kita ingin merehabilitasi korban. Para korban
yang telah lanjut usia akan diberi bantuan psikologi dan kesehatan,"
ujarnya.
Nadiani, yang sudah tinggal 60 tahun di kawasan itu,
mengaku terkejut dengan kejadian ini. Ia menyesalkan sikap warga. "Kami
hanya ingin memberi bantuan kepada korban kejahatan '65-66," ujarnya.
Adapun Kepala Kepolisian Resor Bukittinggi Amirjan menyatakan
penyelenggaraan kegiatan itu tak berizin. Sebab, dia tak menerima surat
izin pelaksana kegiatan tersebut. "Belum masuk ke kita," ujarnya, Senin,
23 Februari 2015.
Amirjan mengatakan ada beberapa kelompok
masyarakat yang menolak kegiatan tersebut karena menduga ada pembahasan
ihwal komunisme. "Ada kegiatan yang diduga gerakan PKI," ujarnya.
Menurut Amirjan, setelah polisi melakukan mediasi, kegiatan tersebut
akhirnya dibubarkan.
Tumiso bersama korban pelanggaran HAM tahun 1965/66 lainnya melakukan
aksi di pelataran gedung Komnas HAM, Jakarta Pusat, (4/6). Mereka
mendesak Komnas HAM untuk menyatakan peristiwa 1965/66 sebagai
pelanggaran HAM berat, serta mengumumkan hasil penyelidikannya.
ANTARA/Fanny Octavianus
TEMPO.CO, Jakarta - Tindak
kekerasan terhadap korban peristiwa 1965 kembali terulang. Kali ini,
ratusan preman dan aparat kepolisian membubarkan paksa acara yang
digagas Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 di
Bukittinggi, Sumatera Barat, pada Ahad, 22 Februari 2015.
Kepala Biro Pemantauan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) Feri Kusuma menuturkan peristiwa itu terjadi saat
YPKP menggelar acara sosialisasi Rancangan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Sekaligus temu korban '65 Sumatera,"
katanya saat dihubungi, Senin, 23 Februari 2015.
Acara itu
awalnya akan diselenggarakan di pendopo kantor Bupati Padang Pariaman.
Namun, beberapa aparat kepolisian dan tentara menekan Bupati Ali Mukhni
agar menolak rencana itu. Karena itu, YPKP harus mencari lokasi lain.
Kemudian panitia sepakat menggelar acara tersebut di rumah salah
seorang anggota YKPP di Bukittinggi. Feri hadir dalam acara tersebut
bersama Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris
Semendawai, Ketua Komisi Nasional Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, dan
tokoh wanita, Nursyahbani Katjasungkana.
Feri mengatakan,
sekitar pukul 10.00 WIB, tiba-tiba ratusan preman menggeruduk lokasi
penyelenggaraan acara itu. "Mereka dimobilisasi aparat," katanya.
Kelompok preman tersebut memaksa masuk ke rumah untuk membubarkan acara.
Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Namun, kata Feri, polisi
sudah jelas membiarkan tindak kekerasan tersebut terjadi. "Mereka hanya
diam saat melihat lansia didorong-dorong dan diinjak," katanya.
Feri mengatakan Kontras akan mendatangi Markas Besar Kepolisian RI
untuk mengadukan insiden ini. Feri melanjutkan, seharusnya aparat
kepolisian dan tentara melindungi masyarakat, dan bukan mendukung
premanisme.
Jaksa Agung Swiss dan timnya menggeledah kantor HSBC
Oleh :
Adrianus Mandey, Ade Alfath
Kantor bank HSBC (REUTERS/Peter Nicholls)
VIVA.co.id - Jaksa Agung
Swiss menggeledah kantor HSBC di Jenewa, Rabu, 18 Februari 2015, serta
mengatakan telah membuka penyelidikan kriminal atas tuduhan tindak
pencucian uang.
"Pencarian sedang dilakukan, dipimpin oleh Jaksa
Agung Olivier Jornot dan jaksa penuntut Yves Bertossa," demikian
pernyataan kantor jaksa Jenewa yang dikutip Reuters.
HSBC
yang merupakan bank terbesar Eropa, sebelumnya mengeluarkan permintaan
maaf pada konsumen dan investor, Minggu, 15 Februari 2015, atas praktik
masa lalu mereka di Swiss.
Permintaan maaf itu dikeluarkan
terkait tuduhan, bahwa bank itu telah membantu ratusan klien untuk
menghindari pajak. Jaksa mengatakan penyelidikan dapat berkembang kepada
para individu.
Juru bicara HSBC di Jenewa dan London menolak
untuk berkomentar. HSBC telah mengatakan bahwa bisnis yang mereka
jalankan telah berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara
di Prancis, penyelidikan terhadap HSBC disebut telah selesai, dengan
langkah selanjutnya adalah pengadilan. Demikian menurut laporan Reuters,
Selasa, 17 Februari 2015.
Prancis memulai penyelidikan resmi
sejak November 2014 dan menyelesaikannya pada 12 Februari 2015, terkait
kasus penipuan pajak yang melibatkan sekitar 3.000 pembayar pajak
Prancis.
Sementara di Inggris, otoritas pengawas keuangan (FCA)
mengatakan telah menyelidiki HSBC, tapi lebih fokus pada prilaku bank
itu saat itu daripada pelanggaran yang mereka lakukan di masa lalu.
Analis
keuangan Gary Greenwood mengatakan, fokus pada prilaku saat ini positif
untuk HSBC, jika klaim bank itu benar bahwa mereka telah meninggalkan
praktek menyimpang pada masa lalu. (ren)
SUTAN SJAHRIR merupakan salah
seorang pejuang kemerdekaan yang kisah hidupnya penuh dengan tragedi.
Ibarat kisah cinta Romeo and Juliet yang berakhir tragis, drama
kehidupan Sutan Sjahrir patut dikenang.
Sjahrir dilahirkan
di Padang Panjang, Ranah Minangkabau, Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Dia
dilahirkan dari pasangan Mohamad Rasad bergelar Maharadja Soetan dan
Poetri Siri Rabiah yang masih keturunan raja-raja swapraja.
Sjahrir menghabiskan
masa kecilnya di Kota Gadang. Dia mulai menikmati dunia intelektual
dari kecil, saat menjadi murid Europeesche Lagere School (ELS), dan Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Di sekolah, Sjahrir tumbuh
dan berkembang menjadi anak pandai. Dia sudah lancar berbahasa Belanda
dan gemar membaca buku. Sejak kecil, dia sudah menunjukkan
ketertarikannya terhadap seni dan olahraga.
Dari Kota Gadang, Sjahrir pindah
mengikuti ayahnya yang ditugaskan menjadi Jaksa Kepala Pengadilan
Negeri Medan, dan Penasihat Sultan Deli. Setelah pendidikan MULO-nya
selesai, dia pindah ke Bandung.
Di Bandung, dia meneruskan
pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Algemene Middelbare School
(AMS) mengambil jurusan Westers Klassieke Afdeling atau Budaya Barat
Klasik berbahasa Belanda.
Saat SMA inilah Sjahrir mulai
terlibat dalam politik praktis. Pertama-tama, dia bergabung dengan
gerakan pembebasan buta huruf Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi
Indonesia Muda.
Keterlibatan Sjahrir dalam
Pemuda Indonesia dan mendirikan Tjahja Volkssuniversitiet atau
Universitas Rakyat "Tjahja" dalam memberantas buta huruf, membuat
namanya terkenal di kalangan pemuda.
Lulus dari AMS Bandung, dia
meneruskan pendidikannya ke Negeri Belanda, mengambil Fakultas Hukum di
Universiteit Leiden. Di Belanda inilah, Sjahrir terbawa gelombang pemikiran Marxisme-Leninisme.
Ketertarikannya
terhadap politik dan ideologi Marxisme-Leninisme membuatnya tidak mau
setengah-setengah mempelajari gerakan buruh di dunia itu. Lambat laun,
dia pun menemukan apa yang dicarinya.
Setelah banyak bergaul dan terlibat langsung dalam gerakan buruh di Belanda, Sjahrir pun memantapkan diri untuk memilih sosialisme sebagai ideologi dan jalan politik yang harus ditempuhnya kemudian.
Di saat itulah, dia bertemu dengan karibnya Mohammad Hatta, Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa Indonesia pertama di Negeri Belanda yang menggunakan nama Indonesia.
Bersama Hatta, Sjahrir seolah
menemukan pegangan hidup yang senapas dengan ideologi yang diyakininya,
yakni sosialisme. Dia pun bergabung dengan PI dan menjadi salah satu
pemimpinnya.
Ketertarikan Sjahrir terhadap
politik membuat kuliahnya berantakan. Dia tidak pernah menyelesaikan
pendidikannya itu. Dunia politik dan pejuangan kemerdekaan Indonesia
menjadi tujuan utamanya.
Saat bergabung dengan PI, dia telah
menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan. Dia juga mulai banyak menulis
hingga namanya dikenal para pejuang di Indonesia. Saat itu usianya baru
20 tahunan.
Permulaan tahun ke-30, Sjahrir pulang
ke Indonesia dan memimpin para pemuda yang tergabung dalam Golongan
Merdeka, yakni para pendukung Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang
militan.
Kelompok ini menolak pembubaran PNI, dan membentuk PNI baru atau
Pendidikan Nasional Indonesia, sebagai satu reaksi atas ketidakpuasan
sikap para pemimpin PNI lama yang membubarkan PNI lama.
Kendati
sama-sama PNI, PNI baru memiliki karakter yang berlainan sama sekali
dengan PNI lama. PNI baru merupakan partai kader yang tidak sembarang
orang bisa bergabung dengannya.
Pada kongres pertama partai ini, Syahrir terpilih menjadi Ketua Umum PNI baru yang pertama. Beberapa tahun kemudian, setelah Hatta kembali ke Indonesia, kepemimpinan PNI baru diserahkan kepada Hatta.
Aktivis
PNI baru yang militan di berbagai daerah membuat partai ini dicurigai
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Partai ini menemui ajalnya saat para
pemimpinnya ditangkap dan dibuang.
Hatta dan Sjahrir akhirnya
ditangkap, lalu dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian keduanya dibuang
ke Boven Digoel. Setelah sekian tahun berada di Boven Digoel, mereka
kemudian dipindahkan ke Banda Neira, Maluku.
Selama di Banda Neira, Sjahrir merasa
sangat kesepian. Namun dia bisa mengatasi rasa kesepiannya itu dengan
bermain dengan anak-anak di pantai, memancing, dan mengajarkan mereka
baca tulis.
Dari beberapa anak itu, Sjahrir mengangkatnya sebagai anak angkat. Salah seorang anak angkat Sjahrir adalah Des Alwi yang kemudian menjadi sejarawan, dan menulis buku tentang sejarah Banda.
Setelah beberapa tahun di Banda Neira, Sjahrir dan Hatta dibawa kembali ke Jawa. Kembalinya Sjahrir dan Hatta ke Jawa, ibarat angin segar bagi dunia pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bersamaan dengan itu, Soekarno yang
sebelumnya dibuang ke Ende, Flores, lalu ke Bengkulu, dan Padang,
akhirnya kembali ke Jawa. Kedatangan para buangan ke Jawa semakin
menghangatkan suasana.
Selama masa pendudukan Jepang, Sultan Sjahrir banyak bergerak di bawah tanah, memimpin para pemuda untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di antara para pemuda itu ada Soedjatmoko.
Dengan
analisanya yang tajam, Sjahrir sangat yakin jika Jepang akan kalah dari
sekutu. Informasi ini dia dapatkan dari mendengarkan radio gelap siaran
Australia secara sembunyi-sembunyi.
Dari hasil mendengarkan radio gelap, dan melakukan analisa atas situasi saat itu, Sjahrir berkeyakinan Indonesia akan merdeka. Namun bukan diberikan oleh Jepang, tetapi atas kemampuan sendiri.
Naskah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dibuat. Para pemuda dari berbagai
daerah pun disiapkan untuk pembacaan teks Proklamasi itu. Sayang, usul
itu ditolak oleh Soekarno dan Hatta.
Penolakan oleh Soekarno dan Hatta berkali-kali membuat kelompok Sjahrir sangat kecewa. Saat itu Soekarno dan Hatta bertindak sangat hati-hati agar tidak banyak jatuh korban dari para pemuda.
Teks
proklamasi ala Sjahrir itu akhirnya dibacakan di Cirebon pada 15
Agustus 1945 oleh para pemuda. Hal ini dilakukan karena infomasi dari
Jakarta lambat sehingga pemuda bergerak sendiri tanpa komando.
Pembacaan
teks Proklamasi di Cirebon kurang mendapat sambutan dari rakyat
sehingga tidak membawa pengaruh yang kuat. Sayang, teks yang dibuat
Sjahrir itu tidak berhasil ditemukan.
Pembacaan teks Proklamasi baru dilakukan, pada Jumat 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Sjahrir tidak datang dalam pembacaan teks itu karena tidak suka adanya perwira Jepang.
Saat kabinet perlementer terbentuk, Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama. Peran Sjahrir sebagai perdana menteri cukup besar, terutama dalam melakukan diplomasi.
Salah
satu diplomasi Sjahrir yang terkenal adalah Perundingan Linggarjati
yang menghasilkan diakuinya Jawa dan Sumatera menjadi bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Perundingan ini banyak dikecam, terutama oleh kelompok Persatuan Perjuangan (PP) yang antidiplomasi pimpinan Tan Malaka. Bahkan akibat penolakan itu Sjahrir diculik.
Bahkan, Amir Syarifuddin Harahap yang merupakan karib Sjahrir di Partai Sosialis ikut mengecamnya. Sjahrir pun seolah ditusuk dari belakang oleh kawan seperjuangannya setelah perjanjian itu.
Merasa tidak memiliki dukungan di parlemen, Sjahrir akhirnya meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri. Pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifuddin, rekannya di Partai Sosialis.
Hubungan Amir dengan Sjahrir awalnya
sangat dekat. Mereka sama-sama membentuk Partai Sosialis. Partai ini
merupakan peleburan dari Partai Rakyat Sosialis (Paras) dan Partai
Sosialis Indonesia (Parsi).
Partai Sosialis kemudian pecah lagi, menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dikomandoi oleh Sultan Sjahrir. Sedang Partai Sosialis kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tidak jauh berbeda dengan Sjahrir, Amir Syarifuddin yang
sebelumnya mengkritik Perundingan Linggarjati malah menyetujui
Perjanjian Renville yang makin mengecilkan wilayah kekuasaan Indonesia.
Partai Masyumi dan PNI bahkan menarik para menterinya sebagai reaksi atas perjanjian itu. Kabinet Perdana Menteri Amir Syarifuddin pun akhirnya jatuh, dan dibentuklah Kabinet Presidensial oleh Hatta.
Sejak itu, peran Sjahrir dalam pemerintahan hilang sedikit demi sedikit. Sjahrir pun tersingkir dari persaingan politik. Untuk menghormati jasanya, dia diangkat menjadi Penasihat Khusus Presiden Soekarno.
Setelah tidak memiliki jabatan di pemerintahan, Sjahrir aktif
dalam PSI dan gagal membawa partai itu sebagai pemenang. Namun, banyak
pihak mengakui pengaruh orang PSI dalam pemerintahan masih kuat.
Pada tahun 1951, Sjahrir menikahi
Siti Wahyuni Saleh atau biasa dikenal Poppy. Pernikahan itu merupakan
yang kedua dan terakhir bagi Syahrir. Istri pertamanya merupakan orang
Belanda, Maria Duchateau.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1 Desember 1956, Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta mengundurkan diri dari kabinet. Pengunduran diri Hatta banyak disesalkan oleh masyarakat.
Sejak
awal berdiri, politikus Indonesia kerap terlibat konflik. Persatuan
dalam politik sebelum kemerdekaan pecah. Masing-masing kelompok mulai
menunjukkan egonya untuk berkuasa. Munculah rasa ketidakpuasan.
Di antara ketidakpuasan itu adalah Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menentang Presiden Soekarno. Gerakan ini terjadi akibat dari akumulasi konfrontasi militer.
Terlibatnya sejumlah tokoh PSI dalam peristiwa itu menyeret Sutan Sjahrir yang mulai hidup tenang. Akhirnya, Presiden Soekarno bertindak. Sutan Syahrir dijemput paksa dari rumahnya, di Jakarta.
Dia
lalu dijebloskan ke dalam penjara. Sejurus kemudian, sejumlah tokoh
Masyumi juga ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. PSI dan Masyumi
pun akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Di penjara Madiun, Sjahrir menderita tekanan darah tinggi. Dia lalu mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Sjahrir dirawat selama delapan bulan.
Setelah
agak sehatan, dia kembali dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini, di
Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Ruang penjara Sjahrir sangat
sempit dan lembab yang membuat sakitnya semakin parah.
Dalam waktu beberapa minggu, Sjahrir menderita stroke. Suatu ketika Sjahrir jatuh pingsan selama satu malam di teras kamar mandi, tanpa ditolong oleh tentara yang menjaga penjara tersebut.
Baru besoknya Sjahrir dibawa ke rumah sakit. Dia dioperasi akibat stroke yang dialaminya. Namun operasi itu gagal. Akibatnya mulut Sjahrir tidak bisa digerakkan, dan dia tidak bisa bicara lagi.
Keluarga Sjahrir kemudian mendesak Soekarno agar mengizinkannya berobat ke luar negeri. Permintaan itu dikabulkan, dengan catatan status Sjahrir tetap sebagai tahanan politik pemerintah Indonesia.
Sjahrir akhirnya
berangkat ke Kota Zurich, Swiss. Selama berobat di Swiss, dia tetap
memperhatikan kondisi politik di Indonesia, dan jalannya Pemerintahan Soekarno. Reaksi Sjahrir saat itu sangat sedih.
Terlebih ketika dia mendengar kabar Peristiwa 30 September 1965. Tidak sanggup menahan perih akibat peristiwa itu, kesehatan Sjahrir semakin menurun. Dokter memvonisnya mengalami pendarahan otak.
Tidak lama kemudian, pada 9 April 1966, Sjahrir yang saat itu berusia 57 tahun akhirnya meninggal. Sjahrir pergi meninggalkan seorang istri dan kedua anaknya. Saat meninggal, Sjahrir masih sebagai tahanan politik.
Mendengar kabar Sjahrir meninggal, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret Presiden, dan menganugerahi Sjahrir sebagai pahlawan nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dalam prosesi pemakaman, Hatta mengatakan:
Sutan
Sjahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya
hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan supaya rakyat
Indonesia merdeka dari segala tindasan. Dia meninggal dengan tiada
mencapainya.
Dia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam
perjuangan Indonesia merdeka, ikut serta membina Indonesia merdeka,
tetapi dia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia
yang merdeka.
Demikian perjalanan hidup Sutan Sjahrir ini diakhiri. Semoga tulisan ini dapat menambah khazanah pengetahuan pembaca Cerita Pagi yang budiman.
Sumber Tulisan: Rosihan Anwar: Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, Penerbit Buku Kompas, Mei 2011. Dr
Ignas Kleden: Etos Politik dan Jiwa Klasik (diambil dari Rosihan Anwar:
Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului
Zamannya, Penerbit Buku Kompas, Mei 2011).
Genosida berarti suatu tindakan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian bangsa, etnis, ras atau kelompok kepercayaan. Genosida adalah suatu proses yang terdiri dari delapan tahap. Tahapan- tahapan ini terjadi berurutan dan dapat diprediksikan sebelumnya.
Penggolongan atau klasifikasi : dalam suatu masyarakat yang majemuk, sering terjadi suatu pembedaan antara “kita” dan “mereka”. Perbedaan itu didasari oleh suku, ras, agama, golongan serta ideologi. Penggolongan Dayak dan Madura, Islam dan Kristen, Pribumi dan non- pribumi merupakan tahap awal genosida yang bisa dicegah dengan adanya suatu lembaga, kegiatan ataupun cara pandang yang mampu mengolah dan memfasilitasi perbedaan itu menjadi suatu hal yang positif. Dalam hal perbedaan suku, lembaga agama bisa memfasilitasi perbedaan itu. Dan dalam hal perbedaan agama, negaralah yang mampu memfasilitasinya, walau bukan menjadi satu- satunya pihak yang berperan.
Simbolisasi : kita memberi nama atau simbol tertentu untuk perbedaan itu. Banyak julukan- julukan yang ada di masyarakat seperti “cina” untuk warga keturunan ras Tionghoa, julukan “kaum salibis” untuk menggambarkan warga Kristen, “ekstrimis”, “komunis”. “fundamentalis” dan sebutan- sebutan lainnya untuk membedakan antar kelompok dan menerapkan julukan itu kepada setiap anggota kelompok. Simbolisasi adalah suatu hal yang lumrah dan tidak selalu berbuntut genosida, kecuali jika meningkat ke tahap berikutnya, dehumanisasi. Simbolisasi akan berpeluang besar meningkat ke tahap berikutnya jika bercampur dengan kebencian. Simbolisasi dapat dicegah misalnya dengan melarang secara resmi simbol- simbol kebencian, atau melarang kampanye- kampanye kebencian yang sering terjadi di masyarakat saat ini. Simbol swastika Nazi misalnya, menjadi simbol yang dilarang untuk dipergunakan.
Dehumanisasi : artinya kurang lebih “menurunkan derajat kemanusiaan”, “tidak menghargai kemanusiaan seseorang” atau “meniadakan hak pada seseorang”. Suatu kelompok mengingkari kemanusiaan kelompok lainnya, menganggapnya bukan manusia, sehingga meniadakan rasa berdosa dalam pembunuhan terhadap kelompok itu. Pada tahap ini propaganda- propaganda melalui media massa, selebaran atau sarana- sarana umum lainnya digunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap kelompok lain. Guna mencegah tahap ini berkembang, haruslah dibedakan antara kampanye- kampanye kebencian dengan kebebasan mengutarakan pendapat. Kampanye kebencian bukanlah demokrasi, sehingga media massa yang menyebarkan kebencian harus ditutup, dan propaganda kebencian haruslah dilarang. Kejahatan dan kekejaman karena kebencian haruslah segera dihukum.
Pengorganisasian : Genosida selalu terorganisir, biasanya oleh negara, terkadang dilakukan oleh kelompok informal seperti milisi dan pasukan sipil atau oleh teroris. Pengorganisasian tercermin dari adanya pelatihan, pembekalan senjata dan perencanaan genosida. Dalam kasus Armenia dan Nazi, suatu pasukan khusus dibentuk untuk melakukan genosida. Untuk mencegah tahap ini berkembang, kelompok informal seperti milisi bersenjata haruslah dilarang keberadaannya. Perserikatan Bangsa- Bangsa harus mengusahakan agar penjualan senjata ke negara- negara yang terlibat genosida tidak terjadi. Polarisasi/pemecahbelahan: kelompok ekstrimis menyiarkan propaganda- propaganda yang bersifat memecah belah, hukum atau peraturan sering digunakan. Misalnya melarang perkawinan campur atau interaksi sosial antar kelompok yang berbeda. Kaum moderat, yang tidak ingin terlibat dalam situasi kebencian menjadi sasaran intimidasi dan pembungkaman. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberi perlindungan serta dukungan terhadap golongan moderat atau organisasi kemanusiaan. Jika sampai kelompok ekstrimis melakukan kudeta, hendaknya dikenai sanksi internasional.
Persiapan : pada tahap ini terjadi pengidentifikasian dan penyortiran terhadap korban, daftar- daftar korban dibuat dan disebarkan. Anggota dari kelompok korban dipaksa untuk mengenakan atribut tertentu. Korban- korban ini lalu dikelompokkan dan dikirim ke kamp- kamp konsentrasi atau dibuang ke daerah yang minus sehingga menderita kelaparan dan kekurangan kebutuhan hidup. Pada tahap ini, peringatan bahaya Genosida harus segera dibuat dan ditindaklanjuti, baik oleh PBB maupun badan- badan Internasional lainnya. Pengorganisasian kelompok humanitarian juga merupakan hal yang penting untuk membantu para korban dalam hal asistensi, advokasi, kampanye dll. Sebelum pembantaian simpatisan PKI tahun 1965 terjadi, daftar anggota- anggota PKI disebarkan oleh CIA dan daftar ini dipakai oleh angkatan darat guna melikuidasi PKI. Sedangkan contoh bagaimana korban dikirim ke daerah minus adalah ketika orang- orang keturunan Armenia dipaksa mengungsi ke daerah gurun oleh pemerintahan Turki.
Pembasmian : suatu pembunuhan massal yang disebut Genosida dimulai, seringkali secara legal (contoh pembantaian Nazi oleh Yahudi dan pembantaian orang Armenia oleh pemerintahan Turki). Disebut pembasmian karena bagi para pembasmi, hal ini mirip tindakan membasmi hama atau binatang, dimana korban tidak lagi dihargai eksistensi kemanusiaannya. Jika pembunuhan disponsori oleh negara, Angkatan Bersenjata yang bertindak melakukan hal ini dibantu oleh milisi sipil bersenjata. Walaupun tidak terlibat langsung, jika negara gagal melindungi warga negaranya dari ancaman genosida dan pembunuhan massal yang dilakukan oleh kelompok lain, maka negarapun harus bertanggung jawab atas kegagalannya ini. Oleh karena itu sangatlah penting peran negara dalam mencegah perkembangan tahap genosida sedini mungkin. Terkadang genosida disusul tindakan balasan oleh kelompok yang dirugikan, sehingga mengakibatkan lingkaran kekerasan berlanjut. Dalam mengatasi pembasmian, diperlukan suatu kekuatan militer bersenjata yang bertugas mencegah berlanjutnya kekerasan. Suatu daerah bebas yang bisa menampung pengungsi perlu diadakan dan dilindungi oleh suatu pasukan internasional. Campur tangan internasional mendesak dalam hal ini.
Penyangkalan : selalu menyusul setelah terjadinya genosida. Penyangkalan ini merupakan indikasi bahwa genosida akan berlanjut. Pelaku genosida akan berusaha menghilangkan bukti- bukti misalnya dengan pembakaran jenazah, atau intimidasi dan ancaman terhadap para saksi. Pada genosida yang terencana rapi, biasanya penghilangan bukti ini sudah menjadi satu paket dalam kegiatan pembasmian, misalnya setelah korban- korban dihabisi, tubuh mereka lalu dikremasi atau dikuburkan di suatu tempat khusus yang sulit ditemukan. Para pelaku menyangkal keterlibatan mereka, dan sering justru menyalahkan para korban atas apa yang terjadi. Mereka mempersulit proses penegakan hukum dan terus berkuasa sampai mereka diturunkan paksa dan menjadi pelarian. Mereka tetap saja susah untuk diadili seperti apa yang terjadi pada Pol Pot atau Idi Amin, kecuali mereka tertangkap dan diadili. Pengadilan seperti yang terjadi terhadap pelaku di Yugoslavia atau Rwanda mugnkin saja tidak berhasil menyeret seluruh pelaku, namun dengan kemauan politik, beberapa dari mereka bisa diadili dan menjadi contoh agar di masa depan kejadian serupa tidak terulang kembali.
Disadur dari tulisan Dr. Gregory H. Stanton, Presiden Genocide Watch Informasi lebih lanjut mengenai Genosida bisa dilihat di www.genocidewatch.org
Yang akan Anda baca iniadalah cerpen karya sastrawan Triyanto Triwikromo, menurut pengakuan penulisannya sendiri, cerpen tersebut terinspirasi kegiatanku bersama rekan-rekanku di Semarang, Unu Herlambang, Rian Adhivira, Setya Indra Arifin, Said Muhtar, Hasan Djajadiningrat, David Narendra, Exsan Ali, Heinrich Seta, Suluh Wening, Rama, M Syafig, dll, dalam usaha-usaha pemakaman ulang secara layak korban pembunuhan di kuburan massal tepi hutan jati Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Tanggal 24 Oktober 2014 saya bersama sejumlah penduduk Plumbon telah mengantar Triyanto Triwikromo dan sejarawan Rukardi ke lokasi kuburan massal korban Peristiwa 1965 tersebut, untuk memperlihatkan secara langsung situasi alam dan lingkungan masyarakat masyarakat Plumbon kepada Triyanto da Rukardi.
Triyanto Triwikromo meninjau langsung lokasi kuburan massal di Kampung Plumbon Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, 24 Oktober 2014.
Tanggal 6 November 2014 situs bersejarah kuburan massal tersebut kami laporkan ke Komisi Nasional Hak Nazasi Manusia (Komnas HAM) yang laporannya kami tembuskan ke Kontras Jakarta dan beberapa LSM HAM lainnya dan telah mendapat respons positif dari Kontras (Fery Kusuma) dan Ikohi (Mugiyanto).Saat-saat ini saya dkk menelusuri keluarga korban berkaitan dengan upaya permohonan penetapan pemakaman ulang secara layak ke Pengadilan Negeri Semarang. Cerpen Triyanto Triwikromo berjudul “Pemakaman Kembali Sitaresmi” telah dimuat harian Kompas edisi Minggu 1 Februari 2015 di rubrik “Seni” halaman 27. Triyanto Triwikromo telah berterima kasih kepadaku karena telah menunjukkan dan mengantarkannya ke lokasi kuburan massal. Berikut di bawah ini materi cerpen yang bersangkutan. Selamat membaca!
***
SELAMA 50 tahun aku dipaksa menjadi orang bisu. Selama 50 tahun warga kampung mungkin sudah menganggap aku sebagai batu berlumut. Namun karena kau bersama puluhan anak muda tiba-tiba berniat membongkar gundukan menyerupai kuburan dan ingin memakamkan kembali siapa pun yang dibunuh dan dikubur di gundukan batu menyerupai makam di Bukit Mangkang, aku harus menceritakan kisah pembantaian konyol kepada 24 perempuan tangguh itu kepadamu.
Aku tak akan mengisahkan cerita lama kepada para penganggit kisah sepertimu. Aku tak akan bercerita tentang Lembulunyu dan 23 pasukan berani mati yang begitu ganas menyiksa para serdadu yang tersesat di hutan. Aku tak akan berkisah tentang perempuan-perempuan yang bisa berubah jadi lembu-lembu terbang meskipun hujan terus-menerus menghajar rerimbun pohon jati.
”Tetapi orang-orang sudah telanjur percaya pada cerita lama. Orang-orang telanjur percaya di Bukit Mangkang terkubur Lembulunyu bersama perempuan-perempuan tangguh yang setiap Kamis malam bisa dimintai nomor togel. Orang juga percaya Lembulunyu—yang bisa menghilang dan menyusup ke tubuh lembu paling tambun saat dikejar-kejar musuh—tak ditembak oleh serdadu, tetapi minum racun bersama 23 perempuan lain setelah sebelumnya mereka membunuh lebih dari 100 serdadu dengan menanduk lambung atau menginjak-injak kepala hingga pecah,” katamu.
”Kau percaya pada kisah konyol yang diembuskan oleh para serdadu culas yang sedang mabuk itu?”
”Apakah salah percaya pada hal-hal yang menakjubkan? Bukankah kisah-kisah para nabi di kitab-kitab suci juga menakjubkan?”
Masalahnya kita tak hidup pada zaman para nabi. Masalahnya kita tak hidup di kitab-kitab suci, di alam yang serba-ajaib. Karena itu, sebaiknya percayailah kisahku. Kisah tentang pembantaian dalang bernama Sitaresmi dan 23 perempuan lain yang kelak kau ketahui sebagai sinden dan penabuh gamelan itu.
”TAK semua orang akan percaya pada kisahmu. Kecuali jika….”
Kecuali jika aku menjadi saksi pembantaian itu bukan? Kurasa akulah satu-satunya saksi yang masih hidup. Waktu peristiwa itu terjadi aku berusia 17 tahun dan pandanganku—meski terhalang hujan yang turun terus-menerus—masih sangat waras. Aku masih remaja penasaran dan ingin tahu segala yang terjadi. Meskipun menyaksikan dengan gemetar, aku masih bisa membedakan siapa yang ditembak, siapa yang menembak. Aku masih bisa memergoki beberapa jip dan truk yang mengusung perempuan-perempuan malang yang hendak dibantai di tengah hutan, masih bisa menghitung berapa tentara yang pethenthengan sebelum mereka menghajar kepala-kepala ringkih dengan gagang bayonet.
Kepala-kepala mereka, sebagaimana kepala kita, sungguh sangat ringkih. Tak ada yang tidak pecah saat dihajar popor tentara. Tak ada yang utuh dan tak berceceran—kecuali kepala Sitaresmi—saat dihantam beberapa peluru serdadu.
”Sitaresmi tidak bisa dibunuh saat itu?”
Dalang perempuan asal Kendal yang mahir mengoprolkan wayang dengan sabetan-sabetan sangat cepat itu sepertinya dilindungi oleh semacam karet tak tembus peluru. Semua peluru mental dari tubuh.
”Apakah karet pelindungnya berlapis-lapis?”
Ya, karet pelindungnya berlapis-lapis. Kuharap kau tidak meledek kisah yang terdengar konyol ini. Aku tahu siapa pun akan sulit memercayai kisah dalang perempuan tak tembus peluru. Aku tak peduli kau percaya atau tidak. Aku sekadar ingin mengatakan, hanya karena Sitaresmi dan 23 perempuan penabuh gamelan dan sinden selalu memainkan lakon Dewa Sampun Pejah, mereka dikejar-kejar serdadu. Mereka dianggap antek Gerwani. Mereka dianggap telah menghina Gusti Allah.
Kau tahu apa isi lakon Dewa Sampun Pejah? Ini hanyalah kisah biasa tentang Drupadi yang yang dilucuti pakaiannya di Istana Kuru oleh Dursasana. Kisah tak istimewa tentang penelanjangan Drupadi oleh Dursasana yang digagalkan Kresna. Saat itu Kresna menutupi tubuh Drupadi dengan bentangan jarit tak putus-putus sehingga tak seorang pun bisa menatap tubuh tangguh istri Yudistira itu.
”Ya memang bukan cerita yang luar biasa,” katamu, ”Jadi, apa yang membuat Sitaresmi dikejar-kejar para serdadu?”
Tak ada yang luar biasa andaikata Drupadi dalam lakon itu tidak bilang, ”Dewa telah mati. Ya, Dewa telah mati karena Dia—sebagaimana Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa—tak berkutik saat Dursasana dan Duryudana melecehkan aku. Di mana Dewa saat manusia-manusia utama di dunia tak sanggup menolongku?”
”Lalu, apa hubungan lakon itu dengan pembantaian di Bukit Mangkang?”
Tentu saja tidak ada. Akan tetapi pada Desember 1965 setiap alasan bisa digunakan untuk membunuh siapa pun yang dianggap musuh. Kau bisa membunuh orang-orang yang kau benci hanya dengan menuduh mereka sebagai tukang santet. Kau bisa membunuh perempuan paling cantik dengan hanya menuduh dia sebagai penyebar agama sesat.
”Kau hendak memaksaku percaya bahwa Sitaresmi tidak bersalah?”
Tentu saja dia tidak bersalah.
”Kau juga ingin memaksaku percaya pada kisah kekebalan Sitaresmi?”
Aku tak membutuhkan persetujuan orang lain untuk mengisahkan apa pun yang terjadi pada Sitaresmi. Kau boleh tertawa keras-keras saat mendengarkan kisah bunyi klonthang-klonthang yang berdentang teramat keras ketika para serdadu menghantam kepala Sitaresmi dengan popor senapan. Kau juga boleh tertawa saat kukatakan Sitaresmi tak lebih dan tak kurang adalah penjelmaan Dewi Sri—istri Batara Indra—yang tak akan bisa dibunuh oleh manusia sesakti apa pun.
”Baiklah, aku akan berusaha percaya,” katamu memancing, ”tetapi apa yang sesungguhnya terjadi saat itu sehingga 24 perempuan harus dibantai dan dikuburkan secara paksa?”
Segalanya bisa begitu gampang terjadi gara-gara tak satu pun peluru serdadu bisa menembus tubuh Sitaresmi. Ini membuat Komandan Regu Tembak berang. Tak hanya marah-marah, dia kemudian meminta para penembak mengikat tubuh Sitaresmi di pohon jati.
”Kalau tak mati ditembak, tusuk saja lambungnya dengan bayonet!” teriak Komandan Regu Tembak memberi perintah.
Para penembak pun menusukkan bayonet ke tubuh Sitaresmi, tetapi hanya terdengar semacam benturan besi dengan besi.
”Tusuk matanya!”
Para penembak menusukkan bayonet ke mata, tetapi hanya terlihat semacam perisai cahaya yang menghalangi siapa pun menatap Sitaresmi menyanyikan tembang ”Maskumambang”. Tembang berbunyi: kelek-kelek biyung sira aneng ngendi/ enggal tulungana/ awakku kecemplung warih/gulagepan wus meh pejah2 itu dinyanyikan lirih, tetapi entah mengapa bisa kudengarkan dengan sangat jelas.
Tetap tak bisa membunuh Sitaresmi, Komandan Regu Tembak rupa-rupanya tidak kehilangan akal. Dengan sigap, dia berteriak, ”Jika salah satu dari kita tak bisa membunuh Sitaresmi, bukan tidak mungkin para sinden, yang mungkin tahu rahasia sang majikan, justru bisa dengan mudah menghabisi dalang sialan itu. Beri mereka belati. Suruh mereka menguliti tubuh Sitaresmi!”
Para penembak memanggil tiga sinden dan segera memberi mereka belati.
Tiga sinden tegang. Mungkin mereka gamang melukai perempuan kencana yang sangat mereka kasihi.
”Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak.
Tiga sinden kian tegang. Mereka bergeming. Mereka ketakutan. Mereka gemetar.
”Lakukan sekarang!” teriak Komandan Regu Tembak sekali lagi.
Di luar dugaan, tiga sinden itu justru berbalik ke arah penembak dan berupaya menusukkan belati ke dada para penembak. Tindakan konyol itu berakibat fatal. Para penembak lebih cepat melesatkan peluru ke tubuh para sinden. Daging-daging tubuh para sinden pun memburai. Darah mengucur di antara hujan yang terus mengguyur.
”Masih ada yang akan melawan perintahku?” kata Komandan Regu Tembak.
Tak ada yang berani menjawab. Tak ingin ada korban lagi, Sitaresmi memberi isyarat kepada para penembak agar mendekat. Aku tak bisa mendengarkan segala yang mereka perbincangkan. Aku hanya tahu tiba-tiba para penembak mengeluarkan seluruh peluru dari senapan dan mereka beramai-ramai mengencingi timah pembunuh itu.
”Apakah akhirnya Sitaresmi terbunuh oleh peluru yang sudah bersepuh urine para penembak itu?” tanyamu.
Apakah perlu kuceritakan?
”Tak perlu. Siapa pun akan mudah menebak apa pun yang terjadi. Siapa pun akan menganggap kamu gila. Siapa pun akan menganggap ceritamu berlebihan.”
Aku tak peduli. Aku hanya ingin orang tak percaya lagi pada cerita tentang Lembulunyu dan lebih memilih mengisahkan kepada siapa pun kisah Sitaresmi.
”Dan itu tak mungkin terwujud. Kau akan berhadapan dengan orang yang tidak percaya pada kisahmu. Sebagian kisahmu memang bisa dianggap benar, sebagian yang lain sedikit keliru, sebagian lain, aku yakin, hanya terjadi di kepalamu. Kau tidak bisa melawan mitos dengan mitos. Kau jangan terlalu percaya diri menganggap kau sebagai satu-satunya saksi. Bisa saja akan ada saksi lain yang akan menceritakan penembakan Sitaresmi dan 23 perempuan itu dalam versi lain.”
Aku tak peduli akan ada saksi lain atau tidak. Kalaupun ada saksi lain, mereka—yang dipaksa menggali makam dan mengubur mayat-mayat berserakan—toh sudah mati diberondong senapan.
Jadi, mengertilah, aku hanya ingin mengatakan kepadamu, tak ada gunanya lagi kisah ini ditutup-tutupi. Karena itulah, aku setuju ketika kau bersama Komunitas Rekonsiliasi Kanan Merah dan Kiri Putih akan membongkar makam dan menguburkan tulang-tulang mereka kembali dengan doa yang sebenar-benar doa. Dulu kami tak pernah bisa mendoakan mereka. Aku tahu membongkar makam berarti membongkar hal-hal lain. Membongkar kuburan ini sama saja membuat kuburan untuk orang-orang yang masih hidup. Bisa saja mereka yang terlibat dalam pembunuhan itu akan ganti dikejar-kejar serdadu, segera diadili dan bukan tidak mungkin juga ditembak mati.
Tidak! Tidak! Aku tak ingin para penembak itu dibantai layak anjing buruan. Setelah semua kisah kuceritakan kepadamu aku tak akan mau menjadi saksi bagi siapa pun. Aku akan membisu lagi. Aku hanya ingin menjadi saksi hidup bagi pembongkaran, penguburan kembali tulang-belulang, pengiriman doa bagi para arwah, dan senyum manis terakhir Sitaresmi.
Senyum manis? Ya, sebab aku yakin setelah 50 tahun dikubur di bawah rerimbun pohon jati, ketika semua tulang-belulang 23 perempuan lain membusuk dan merapuh, senyum dan tubuh Sitaresmi tak akan berubah. Tubuhnya tak membusuk. Tak ada lubang bekas peluru di tubuhnya yang berbau harum itu. Tak ada kulit yang disayat. Tak ada ulat yang menggerogoti. Tak ada…
Karena itu, segera salin seluruh kisahku. Aku akan membisu lagi. Aku tak akan bicara lagi. Aku takut, seperti dulu, mereka memaksaku minum racun lagi…
Rizky Sekar Afrisia, CNN
Indonesia | Selasa, 03/02/2015 20:00 WIB
Poster publikasi pemutaran dan diskusi film Senyap alias Look of
Silence. (Dokumentasi: LPPM Sintesa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Film yang berkisah soal sejarah
kelam pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) menuai pujian di dunia.
Setelah berhasil memenangi penghargaan tertinggi dari juri di Festival Film
Venesia, kini giliran ajang film di Swedia yang terkagum-kagum akan The
Look of Silence, alias film Senyap.
Film garapan sutradara Joshua Oppenheimer itu mendapat penghargaan Film
Dokumenter Terbaik di Goteborg Film Festival, Swedia, Senin (2/2). The Look of
Silence merupakan sekuel film Oppenheimer sebelumnya, yang berjudul The
Act of Killing alias Jagal.
Kalau The Act of Killing bercerita dari sisi Anwar Ko Go yang
mewakili masyarakat pembantai para terduga PKI, The Look of Silence lebih
humanis.
Oppenheimer "meminjam" sudut pandang Adi Rukun, seorang ahli kaca
mata di Deli Serdang yang kakaknya menjadi korban keganasan Negara pada PKI.
Adi menemui satu per satu pembantai kakaknya, menjemput detik demi detik nyawa
sang kakak dalam memori mereka.
"Sampai sekarang yang mendapat stigma negatif tetap korbannya, tapi saya
tidak mau anak saya berpandangan negatif terhadap PKI," ujar Adi dalam
pemutaran perdana film The Look of Silence di Taman Ismail Marzuki,
tahun lalu.
Ia ingin meluruskan sejarah yang diputarbalikkan selama sekian lama oleh Orde
Baru. Sekaligus ingin membuka mata masyarakat bahwa pembantai PKI 1965 yang
disebut-sebut sebagai pembela negara sejatinya telah "dicuci otak"
dengan tujuan tertentu.
Oppenheimer, sutradara asal Amerika menggarap The Look of Silence bersama
sekelompok kru Indonesia yang hanya mau disebut anonim. Riset dan pendekatannya
tidak singkat.
Oppenheimer pernah mengatakan, kedua filmnya bertujuan membuka sejarah agar
pemerintah sekarang menyadari kesalahannya dan meminta maaf, bukan sekadar
mengorek luka lama dan menyebarkannya ke mata dunia.
Di Indonesia sendiri, The Look of Silence bisa diputar secara terbatas. Namun,
beberapa kali pemutaran terpaksa batal karena mendapat serangan, seperti di
Malang dan Yogyakarta.
Sayang, tak seperti The Act of Killing yang berhasil masuk nominasi
Academy Awards untuk Fikm Dokumenter Terbaik, The Look of Silence hanya
berjaya di festival-festival. The Act of Killing juga tak berhasil
membawa pulang Piala Oscar tahun lalu, karena dikalahkan oleh film lain, 20
Feet from Stardom.
The Look of Silence bukan satu-satunya film dengan isu serius dan mendalam
yang memenangi Goteborg Film Festival. Dalam festival yang berlangsung 23
Januari hingga 2 Februari 2015 itu, In Your Arms menjadi Film
Terbaik. Film garapan sutradara berdarah Denmark, Samanou Acheche Sahlstroma
itu berkisah soal euthanasia atau suntik mati.
Mengutip Variety, kemenangan membuatnya layak atas hadiah sebesar US$ 120
ribu. Sedangkan Ingmar Bergman International Debut Award jatuh kepada
film The Lesson, yang bercerita soal guru di provinsi di Bulgaria yang
terbelit utang.
In the Crosswind, film garapan Martti Helde menjadi Film Fitur Terbaik. Besutan
sutradara asak Estonia itu bercerita soal penduduk di Baltik yang pada musim
panas 1941 telah dideportasi ke Siberia. Mereka juga mendapat titah untuk
dibunuh dari pemimpin Soviet, Joseph Stalin.
Sementara itu, The Swedish Church’s Angelos Award diberikan kepada film yang
digarap Magnus Gertten, Every Face Has a Name. Film itu menggunakan
cuplikan sesungguhnya dari arsip sejarah tentang kamp konsentrasi Jerman yang
datang ke Malmo tahun 1945.
Penghargaan lainnya, Sven Nykvist Cinematography Award diberikan kepada film
drama remaja, They Have Escaped. Penghargaan juri jatuh je tangan
sutradara John Skoog untuk film Swedia, Reduit (Redoubt), sementara
penghargaan publik diperuntukkan bagi film garapan Amanda Kernell, Northern
Great Mountain.
Akhirnya, Mai Zetterling Scholarship diberikan kepada sutradara Swedia, Mans
Mansson lewat filmnya Stranded in Canton.