Minggu, 31 Mei 2015
Rekonsiliasi Roh ’65: Penisanan, Doa bersama, & Nyadran
14.45
Anti Orba, IPT65, Kisah, Kliping #65, Mass-Graves, Press-Release, Sejarah, Sejarah #Gerwani, Tragedi
No comments
Sehubungan akan dilaksanakannya
pemasangan nisan kuburan massal korban korban Peristiwa 1965 di Kampung
Plumbon Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, kami dari
Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM)
bersama berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa turut mengundang
Bapak/Ibu untuk berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Adapun tujuan
pemasangan nisan ini adalah dalam konteks kemanusiaan, yaitu menghormati
jenazah yang menjadi korban ’65. Berdasarkan penelusuran kami, makam
tersebut berisi antara 12-24 jenazah.
Pemasangan nisan ini turut terselenggara
atas inisiatif dan kerja sama berbagai pihak, mulai dari unsur lintas
agama, akademisi, masyarakat, maupun pemerintah daerah. Dengan demikian,
kami berharap upaya ini mampu menumbuhkan gerakan rekonsiliasi
kultural, di Indonesia pada umumnya dan Semarang atau Jawa Tengah pada
khususnya. Rencana kegiatan ini juga sudah mendapat izin tertulis dari
Perum Perhutani selaku penguasa lahan, dan sudah sepersetujuan,
sepengetahuan, dan koordinasi dengan kepolisian (Kapolsek Ngaliyan) dan
TNI (Danramil 09/Ngaliyan).
Adapun pemasangan nisan akan diselanggarakan pada:
Waktu: Senin, 1 Juni 2015. Pukul
09.00-12.00 WIB Tempat: Tepi hutan jati Perhutani Kendal dekat
permukiman Dusun Plumbon Kelurahan Wonosari Kecamatan Ngaliyan, Kota
Semarang. (Lokasi kumpul di Warung Barokah RT 7 RW 3 Dusun Plumbon).
Contact Person: Unu Herlambang (085645929805)
Oleh karena upaya rekonsiliasi kultural
berupa pemasangan nisan ini baru pertama kali terselenggara di Jawa
Tengah, kami berharap kawan-kawan dapat berkenan hadir.
Didukung oleh: Pemkot Semarang, PMS-HAM,
SeBUMI, Rumah Buku Simpul Semarang, DPC GMNI Semarang, PK PMII
Diponegoro, PK IMM Ibnu Sina Undip, Satjipto Rahardjo Institute,
Komunitas Payung, Exsara Unnes, LPM Gema Keadilan, Komunitas Pegiat
Sejarah Semarang, DPC Permahi Kota Semarang, dan lain-lain.
Selasa, 26 Mei 2015
768 Nama Korban Pelanggaran HAM 1965/1966 di Palu
26/05/2015
PALU, BERITAPALU.com – Hasil penelitan dan verifikasi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) peristiwa tahun 1965/1966 di Kota Palu mencapai 768 nama yang tersebar di 8 kecamatan. Ke-768 nama korban itu berasal dari data awal sebanyak 500 nama dan data tambahan sebanyak 268 nama. Demikian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu merilisnya, Senin (17/5/2015).
Laporan korban pelanggaran HAM yang dirilis itu adalah hasil penelitian dan verifikasi yang dilakukan oleh Tim Peneliti yang terdri dari Moh. Syafari Firdaus, M. Isnaeni Muhidin, Iksan, dan Iwan Lapasere. Penelitian itu juga dibantu oleh contributor yakni Nurlaela Lamasitudju (SKP-HAM Sulteng) dan Jefriyanto (SKP-HAM Sulteng) serta didukung oleh pembaca kritis seperti Tahmidi Lasahido (Sosiolog), Wilman Lumangino (Sejarahwan), Kamala Chandrakirana (KKPK), Dodi Yuniar (AJAR).
Laporan dalam bentuk ringkasan eksekutif itu juga mengulas tentang bagaimana Peristiwa 1965/1966 secara spesifik di Palu. Peristiwa itu menurut laporan itu diawali dengan terjadinya Gerakan 30 September 1965 (G30S) di Jakarta yang berimbas nyaris merata di seluruh Indonesia tak terkecuali Kota Palu.
Gelombang protes dan demonstrasi yang menuntut pembubaran dan “pembersihan” Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta elemen-elemennya terjadi juga di Kota Palu. Protes dan demonstrasi ini berlangsung dari Oktober 1965 sampai Februari 1966, yang disusul dengan penangkapan, penahanan, dan pemenjaraan terhadap para anggota partai, anggota-anggota ormas yang berafiliasi dengan PKI, serta mereka yang dianggap sebagai simpatisannya.
Ada empat gelombang penangkapan dan penahanan yang terjadi di Kota Palu dan sekitarnya, yaitu penangkapan dan penahanan gelombang pertama terjadi di akhir 1965. Sasaran penangkapan dan penahanan gelombang pertama ini adalah para pimpinan PKI dan pimpinan organisasi-organisasi pendukungnya.
Gelombang kedua terjadi tahun 1966 dan 1967. Penangkapan dan penahanan gelombang kedua ini masih menyasar anggota PKI dan anggota organisasi pendukungnya. Gelombang penangkapan dan penahanan ketiga terjadi tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1969 sampai tahun 1970. Kali ini, yang menjadi sasaran adalah anggota militer dari kesatuan Brawijaya yang tergabung dalam Batalyon 711 Raksatama, Palu, dengan tuduhan mereka adalah bagian dari PKI. Selain alasan itu, tidak terkuak alasan yang jelas atas penangkapan dan penahanan terhadap para anggota militer tersebut. Sebagian dari mereka justru ada yang baru pulang dari tugas operasi pembebasan Irian Barat.
Gelombang penangkapan dan penahanan keempat terjadi tahun 1975, yang didasari oleh isu “Gerakan PKI Gaya Baru” yang berkembang di Sulawesi Tengah. Penangkapan dan penahanan terhadap mereka yang dituduh “PKI Gaya Baru” ini tidak lagi menyasar para anggota PKI atau aktivis dari ormas-ormas pendukungnya. Mereka yang ditangkap dan ditahan adalah putra-putra daerah yang sebagian besar adalah aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia). Mereka yang ditangkap kemudian dipenjarakan dari ormas-ormas pendukungnya. Mereka yang ditangkap dan ditahan adalah putra-putra daerah yang sebagian besar adalah aktivis PNI (Partai Nasional Indonesia). Mereka yang ditangkap kemudian dipenjarakan di Palu dan Manado.
Rencananya, hasil penelitian itu akan diseminarkan besok (selasa, 19/5/2015) di Auditorium Kantor Walikota Palu, pukul 09.30 Wita. (afd/*)
Sumber: Beritapalu.com
Sumber: SKP-HAM RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Siap ke DPR
04.40
Anti Orba, IPT65, Kliping, Kliping #65, Materi, Press-Release, Sejarah, Sejarah #Gerwani, Statement, Tragedi
No comments
Selasa, 26 Mei 2015 | 04:35 WIB
TEMPO.CO , Jakarta:Rancangan
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masuk dalam Program
Legislasi Nasional 2015. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih mengatakan
timnya sudah menyusun naskah akademik untuk menguatkan konsep RUU
tersebut.
"Kami ingin nanti tidak ada hal-hal yang bertentangan ketika sudah jadi Undang-Undang," kata Enny di kantornya, Jakarta Timur, Senin, 25 Mei 2015. Dia pun rutin menggelar diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak agar nantinya tidak ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terjadi pada UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU Nomor 27 tahun 2004.
Enny berusaha RUU Komisi Kebenaran bisa segera masuk ke Prolegnas DPR secepatnya. "Mendorong paling tidak di masa sidang ini. RUU sudah ada, naskah akademik sudah ada," kata dia.
Menurut Enny, RUU ini sudah memasukkan rekomendasi MK ketika membatalkan undang-undang sejenis pada 2006 lalu. Rekomendasi tersebut yakni mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal. MK juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan Komisi Kebenaran merupakan transitional justice. Artinya, konsep keadilan yang diadaptasi pada masyarakat yang sedang bertransformasi diri setelah melampaui rezim di mana pelanggaran HAM banyak terjadi. Sehingga, bentuknya bukanlah peradilan khusus. "Dilakukan melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi," ujarnya.
Harkristuti yang ikut menyusun naskah akademik RUU ini mengatakan tujuan utama Komisi Kebenaran untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu pada titik waktu tertentu. Komisi Kebenaran juga bisa menyusun rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta pencegahan terjadinya kembali. "Untuk menghindari adanya perpecahan, dendam, permusuhan yang berkelanjutan di masa depan dengan berorientasi pada rasa keadilan masyarakat," ujar Harkristuti.
Dia menyadari dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM merumuskan pengecualian bagi kasus-kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Nomor 26 tahun 2000 harus melalui Pengadilan HAM Adhoc. Meski demikian, kata Harkristuti, Komisi Kebenaran tetap bisa menanganinya.
Ketua Komisi Nasional HAM Hafid Abbas mengatakan pihaknya sudah menyelidiki kasus pelanggaran HAM Berat. Kasus tersebut antara lain Peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus Kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, kasus Semanggi 1 dan 2. Menurut dia, kasus-kasus tersebut harus dibawa ke Pengadilan HAM adhoc. "Untuk kasus 1965 tidak apa-apa dibawa ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Hafid. Dia pun berharap Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut.
LINDA TRIANITA
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/078669393/ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi-siap-ke-dpr
TEMPO/Jerry Omona
"Kami ingin nanti tidak ada hal-hal yang bertentangan ketika sudah jadi Undang-Undang," kata Enny di kantornya, Jakarta Timur, Senin, 25 Mei 2015. Dia pun rutin menggelar diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak agar nantinya tidak ada yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang terjadi pada UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau UU Nomor 27 tahun 2004.
Enny berusaha RUU Komisi Kebenaran bisa segera masuk ke Prolegnas DPR secepatnya. "Mendorong paling tidak di masa sidang ini. RUU sudah ada, naskah akademik sudah ada," kata dia.
Menurut Enny, RUU ini sudah memasukkan rekomendasi MK ketika membatalkan undang-undang sejenis pada 2006 lalu. Rekomendasi tersebut yakni mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal. MK juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Ahli hukum pidana Harkristuti Harkrisnowo mengatakan Komisi Kebenaran merupakan transitional justice. Artinya, konsep keadilan yang diadaptasi pada masyarakat yang sedang bertransformasi diri setelah melampaui rezim di mana pelanggaran HAM banyak terjadi. Sehingga, bentuknya bukanlah peradilan khusus. "Dilakukan melalui pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi," ujarnya.
Harkristuti yang ikut menyusun naskah akademik RUU ini mengatakan tujuan utama Komisi Kebenaran untuk melakukan investigasi dan menyusun laporan mengenai pelanggaran HAM masa lalu pada titik waktu tertentu. Komisi Kebenaran juga bisa menyusun rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu serta pencegahan terjadinya kembali. "Untuk menghindari adanya perpecahan, dendam, permusuhan yang berkelanjutan di masa depan dengan berorientasi pada rasa keadilan masyarakat," ujar Harkristuti.
Dia menyadari dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM merumuskan pengecualian bagi kasus-kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Nomor 26 tahun 2000 harus melalui Pengadilan HAM Adhoc. Meski demikian, kata Harkristuti, Komisi Kebenaran tetap bisa menanganinya.
Ketua Komisi Nasional HAM Hafid Abbas mengatakan pihaknya sudah menyelidiki kasus pelanggaran HAM Berat. Kasus tersebut antara lain Peristiwa 1965, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Lampung 1989, kasus orang hilang 1997-1998, kasus Trisakti 12 Mei 1998, kasus Kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998, kasus Semanggi 1 dan 2. Menurut dia, kasus-kasus tersebut harus dibawa ke Pengadilan HAM adhoc. "Untuk kasus 1965 tidak apa-apa dibawa ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," kata Hafid. Dia pun berharap Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM tersebut.
LINDA TRIANITA
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/078669393/ruu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi-siap-ke-dpr
Kamis, 21 Mei 2015
Dibentuk Komite Rekonsiliasi Kasus HAM Berat Masa Lalu
Kamis, 21 Mei 2015 | 21:00 WIB
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/21/21000041/Dibentuk.Komite.Rekonsiliasi.Kasus.HAM.Berat.Masa.Lalu?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
JAKARTA, KOMPAS.com -
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam)
Tedjo Edhy dan Jaksa Agung HM Prasetyo menggelar rapat bersama sejumlah
petinggi lembaga hukum guna membahas penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat masa lalu.
Seusai pertemuan, Jaksa Agung RI, HM Prasetyo di Jakarta, Kamis (21/5/2015), menyatakan salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan kasus HAM berat itu dapat dilakukan melalui rekonsiliasi.
"Banyak perkara-perkara yang kita tangani yang sudah lama sekali peristiwanya sehingga sulit untuk kita cari bukti-buktinya, saksi, dan pelakunya. Makanya kita tadi melalui pendekatan non yudisial melalui rekonsiliasi. Makanya tadi kita bentuk Komite Rekonsiliasi yang melibatkan semua unsur. Ada Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Kemenkumham semuanya terlibat khususnya keluarga korban. Ini nanti bertanggung jawab langsung kepada Presiden," katanya.
Dalam acara itu dihadiri pula oleh Menkopolhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Ketua Dewan Pembina Komnas HAM Jimly Asshiddiqie, Dirjen HAM Kemenkum HAM Mualimin Abdi, dan mantan Oditur Jenderal (Orjen) TNI Brigjen Theresia Abraham.
Nantinya, kata dia, jika rekonsiliasi dilakukan maka dibentuk komite. "Insya Allah segera diselesaikan supaya semua berakhir," katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.
"Secara non yudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana di Jakarta.
Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Dikatakan, kendala penanganan ke-7 kasus itu, kejadiaannya sudah berlangsung lama hampir 50 tahun, hingga sulit mencari bukti-bukti dan saksi termasuk tersangkanya.
Karena itu, kata dia, Kejagung sudah mengambil langkah mengundang Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk mencari solusi agar mekanisme penyelesaiannya bisa diterima semua pihak.
"Langkah lainnya memilah-milah kasus yang non yuridis," katanya.
Pihaknya mengklaim sudah melakukan pembahasan awal yang selanjutnya untuk membahas penyelesaian teknis.
"Nanti bersama Komnas HAM akan ada sekretariat bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut," katanya.
Peristiwa Talangsari Berdarah terjadi pada 7 Februari 1989. Pada saat itu, terjadi penyerbuan yang melibatkan aparat dan warga Talangsari.
Di mana sasarannya adalah Kelompok Warsidi. Dalam penyerbuan ini ada 27 orang yang tewas dari kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Hingga kini penyelesaian kasus ini masih belum tuntas.
Seusai pertemuan, Jaksa Agung RI, HM Prasetyo di Jakarta, Kamis (21/5/2015), menyatakan salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan kasus HAM berat itu dapat dilakukan melalui rekonsiliasi.
"Banyak perkara-perkara yang kita tangani yang sudah lama sekali peristiwanya sehingga sulit untuk kita cari bukti-buktinya, saksi, dan pelakunya. Makanya kita tadi melalui pendekatan non yudisial melalui rekonsiliasi. Makanya tadi kita bentuk Komite Rekonsiliasi yang melibatkan semua unsur. Ada Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, TNI, Kemenkumham semuanya terlibat khususnya keluarga korban. Ini nanti bertanggung jawab langsung kepada Presiden," katanya.
Dalam acara itu dihadiri pula oleh Menkopolhukam Tedjo Edhy, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung HM Prasetyo, Ketua Dewan Pembina Komnas HAM Jimly Asshiddiqie, Dirjen HAM Kemenkum HAM Mualimin Abdi, dan mantan Oditur Jenderal (Orjen) TNI Brigjen Theresia Abraham.
Nantinya, kata dia, jika rekonsiliasi dilakukan maka dibentuk komite. "Insya Allah segera diselesaikan supaya semua berakhir," katanya.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.
"Secara non yudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony Tribagus Spontana di Jakarta.
Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Dikatakan, kendala penanganan ke-7 kasus itu, kejadiaannya sudah berlangsung lama hampir 50 tahun, hingga sulit mencari bukti-bukti dan saksi termasuk tersangkanya.
Karena itu, kata dia, Kejagung sudah mengambil langkah mengundang Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk mencari solusi agar mekanisme penyelesaiannya bisa diterima semua pihak.
"Langkah lainnya memilah-milah kasus yang non yuridis," katanya.
Pihaknya mengklaim sudah melakukan pembahasan awal yang selanjutnya untuk membahas penyelesaian teknis.
"Nanti bersama Komnas HAM akan ada sekretariat bersama untuk menyelesaikan kasus tersebut," katanya.
Peristiwa Talangsari Berdarah terjadi pada 7 Februari 1989. Pada saat itu, terjadi penyerbuan yang melibatkan aparat dan warga Talangsari.
Di mana sasarannya adalah Kelompok Warsidi. Dalam penyerbuan ini ada 27 orang yang tewas dari kelompok Warsidi, termasuk Warsidi sendiri. Hingga kini penyelesaian kasus ini masih belum tuntas.
Editor | : Tri Wahono |
Sumber | : Antara |
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/21/21000041/Dibentuk.Komite.Rekonsiliasi.Kasus.HAM.Berat.Masa.Lalu?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Pemerintah Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Diselesaikan dengan Rekonsiliasi
Kamis, 21 Mei 2015 | 17:09 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah membuka kemungkinan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tergolong berat melalui pendekatan rekonsiliasi. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum atau yudisial.
"Agar ada akhirnya kita tawarkan penyelesaian dengan pendekatan non-yudisial, yakni rekonsiliasi. Tentunya dengan semangat yang sama, tekad yang sama, demi kelangsungan bangsa. Kita akan lakukan, dengan apa pun caranya," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/5/2015).
Kejaksaan Agung menggelar rapat bersama terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Rapat tersebut diikuti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis, serta Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Dewan Kehormatan Komnas HAM.
Tedjo Edhy menyampaikan bahwa Pemerintah ingin mengakhiri kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini menjadi ganjalan. Pelanggaran HAM berat tidak bisa terus dibiarkan karena dapat menjadi beban bangsa. Apalagi, kasus pelanggaran HAM berat tidak memiliki masa kadaluarsa.
"Jadi kalau tidak diselesaikan, bisa mewariskan kepada anak, cucu," ucap Tedjo.
Di samping itu, peristiwa yang mendasari kasus pelanggaran HAM berat ini sudah lama terjadi. Dengan demikian, bukti-bukti yang diperlukan untuk mengusut kasus ini melalui jalur hukum sulit diperoleh.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat hari ini, Pemerintah sepakat membentuk tim gabungan. Tim juga akan berfungsi sebagai forum konsultasi antara Komnas HAM, Kepolisian, Menko Polhukam, TNI, dan Kejaksaan Agung. Selain itu, akan dibentuk sebuah komite yang merupakan unit dari tim gabungan tersebut. Komite ini nantinya akan melibatkan korban atau perwakilan korban pelanggaran HAM.
"Perwakilan korban, pendamping, akan masuk di dalamnya. Jadi komite ini akan lebih operasional. Mungkin nanti memiliki kantor tersendiri yang mengkomunikasikan korban pelanggaran HAM dengan keluarga korban," ucap Nur Kholis.
Nantinya, tim gabungan dan komite ini akan berada langsung di bahwa Presiden. Untuk selanjutnya, Menkopolhukam akan melaporkan hasil rapat ini kepada Presiden. "Dan kita akan segera tindaklanjuti jika beberapa hal yang kami sampaikan presidan nyatakan setuju," ucap Nur Kholis.
Ia juga menyampaikan bahwa Pemerintah menargetkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berakhir.
Jimly menambahkan, Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa diselesaikan di atas meja. Diperlukan partisipasi masyarakat dan keterlibatan pihak korban dalam upaya penyelesaian kasus ini.
Sebelumnya disepakati ada enam kasus pelanggaran HAM berat yang akan diselesaikan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yakni kasus Talangsari, Wamena-Wasior, penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius, G30SPKI, dan kerusuhan Mei 1998.
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/21/17092411/Pemerintah.Tawarkan.Kasus.Pelanggaran.HAM.Diselesaikan.dengan.Rekonsiliasi?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Konferensi pers mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/5/2015) | Icha Rastika
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah membuka kemungkinan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tergolong berat melalui pendekatan rekonsiliasi. Dengan demikian, penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum atau yudisial.
"Agar ada akhirnya kita tawarkan penyelesaian dengan pendekatan non-yudisial, yakni rekonsiliasi. Tentunya dengan semangat yang sama, tekad yang sama, demi kelangsungan bangsa. Kita akan lakukan, dengan apa pun caranya," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (21/5/2015).
Kejaksaan Agung menggelar rapat bersama terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Rapat tersebut diikuti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno, Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, Komisioner Komnas HAM Nur Kholis, serta Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua Dewan Kehormatan Komnas HAM.
Tedjo Edhy menyampaikan bahwa Pemerintah ingin mengakhiri kasus pelanggaran HAM berat yang selama ini menjadi ganjalan. Pelanggaran HAM berat tidak bisa terus dibiarkan karena dapat menjadi beban bangsa. Apalagi, kasus pelanggaran HAM berat tidak memiliki masa kadaluarsa.
"Jadi kalau tidak diselesaikan, bisa mewariskan kepada anak, cucu," ucap Tedjo.
Di samping itu, peristiwa yang mendasari kasus pelanggaran HAM berat ini sudah lama terjadi. Dengan demikian, bukti-bukti yang diperlukan untuk mengusut kasus ini melalui jalur hukum sulit diperoleh.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat hari ini, Pemerintah sepakat membentuk tim gabungan. Tim juga akan berfungsi sebagai forum konsultasi antara Komnas HAM, Kepolisian, Menko Polhukam, TNI, dan Kejaksaan Agung. Selain itu, akan dibentuk sebuah komite yang merupakan unit dari tim gabungan tersebut. Komite ini nantinya akan melibatkan korban atau perwakilan korban pelanggaran HAM.
"Perwakilan korban, pendamping, akan masuk di dalamnya. Jadi komite ini akan lebih operasional. Mungkin nanti memiliki kantor tersendiri yang mengkomunikasikan korban pelanggaran HAM dengan keluarga korban," ucap Nur Kholis.
Nantinya, tim gabungan dan komite ini akan berada langsung di bahwa Presiden. Untuk selanjutnya, Menkopolhukam akan melaporkan hasil rapat ini kepada Presiden. "Dan kita akan segera tindaklanjuti jika beberapa hal yang kami sampaikan presidan nyatakan setuju," ucap Nur Kholis.
Ia juga menyampaikan bahwa Pemerintah menargetkan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berakhir.
Jimly menambahkan, Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa kasus pelanggaran HAM berat tidak bisa diselesaikan di atas meja. Diperlukan partisipasi masyarakat dan keterlibatan pihak korban dalam upaya penyelesaian kasus ini.
Sebelumnya disepakati ada enam kasus pelanggaran HAM berat yang akan diselesaikan Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yakni kasus Talangsari, Wamena-Wasior, penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius, G30SPKI, dan kerusuhan Mei 1998.
Penulis | : Icha Rastika |
Editor | : Bayu Galih |
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/21/17092411/Pemerintah.Tawarkan.Kasus.Pelanggaran.HAM.Diselesaikan.dengan.Rekonsiliasi?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Rabu, 20 Mei 2015
Polemik penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
16.29
Genosida 65, Genosida Politik, hoax ala orba, Impunity, Kejahatan HAM, Kliping, Kliping #65, Komnas HAM, Militerism
No comments
Heyder Affan - 20 Mei 2015
Tentara Indonesia menangkap orang-orang yang disangka sebagai pendukung
PKI pada tahun 1966. Pembantaian massal 1965 merupakan salah-satu pelanggaran
HAM berat. AP
Kejaksaan Agung
dan Komnas HAM mendukung usulan penerbitan keputusan presiden tentang payung
hukum rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu
yang selama ini terbengkalai.
Tetapi usulan ini kurang disambut antusias oleh pegiat
HAM yang meminta agar pelaku pelanggaran HAM diadili terlebih dahulu sebelum
rekonsiliasi digelar.
Juru bicara Kejaksaan Agung, Toni Spontana, mengatakan
pihaknya dan kementerian terkait akan membahas usulan rekonsiliasi dalam
pertemuan lanjutan dengan kementerian terkait yang dijadwalkan digelar pekan
ini.
"Tentu ini kita sambut baik... Mengapa tidak, kalau bisa diwujudkan melalui kepres," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Toni Spontana kepada BBC Indonesia.
Ketua Umum MPR Zulkifli Hasan saat bertemu Presiden Joko
Widodo di Istana Negara, Senin (18/05), mengusulkan agar menerbitkan kepres
tersebut.
Jadi kita berharap memang supaya ada kepastian hukum
terhadap tujuh berkas (pelanggaran HAM berat masa lalu) yang sudah ada di
Kejaksaan Agung.Siti Noor Laila
"Kalau menunggu Undang-undang (Kebenaran dan rekonsiliasi) nanti lama lagi," kata Zulkifli Hasan.
'Nyolong sandal
saja diadili...'
Sementara pegiat HAM dari LSM Kontras, Haris Azhar,
mengatakan tidak terlalu setuju dengan usulan kepres karena isinya lebih
mengedepankan rekonsiliasi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.
"Justru harus diuji lewat pengadilan, lalu proses hukum berjalan, lalu ada sejumlah hal yang kurang itu bisa dilengkapi dengan komisi kebenaran," kata Haris Azhar kepada BBC.
"Harus didahulukan (jalur) pengadilan. Kenapa? Ada kejahatan yang begitu kejamnya. Ada orang yang nyolong sandal saja dihukum, kok orang membantai 200 orang nggak dihukum," kata Haris.
Pemerintah Indonesia sejak
awal menghendaki pendekatan rekonsiliasi ketimbang upaya peradilan
dalam menyelesaikan masalah HAM masa lalu.
Pemerintah Indonesia cenderung mengedepankan penyelesaian rekonsiliasi,
sementara sebagian pegiat HAM mendukung peradilan. GETTY
Mereka menganggap penyelesaian melalui jalur hukum
dianggap 'sulit digelar' karena berbagai alasan, diantaranya kesulitan
menemukan bukti-bukti atau saksi-saksi, terutama untuk kasus-kasus lama.
Maka muncullah konsep rekonsiliasi, rehabilitasi, dan
kompensasi, yang dianggap sebagai jalan paling bijaksana untuk menyelesaikan
masalah-masalah kekerasan masa lalu.
DPR belum bahas
RUU KKR
Setelah UU KKR yang lama dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2006 lalu, pemerintah telah menyiapkan Rancangan
Undang-Undang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang baru.
Dirancang dan dibahas sejak lima tahun lalu, tetapi RUU
ini belum juga dibahas di DPR.
Inilah yang mendasari munculnya gagasan agar Presiden
menerbitkan kepres ketimbang menunggu pembahasan RUU yang dikhawatirkan
berjalan lama.
Komisi
nasional Hak asasi manusia -yang juga mendukung usulan ini- mengatakan
sejak awal telah menggagas ide penerbitan Kepres tentang rekonsiliasi.
Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, mengatakan usulan
kemudian dibahas dalam pertemuan dengan Kementerian polkam, Kapolri, Panglima
TNI serta Jaksa Agung, April lalu.
Kerusuhan Mei 1998, yang diperkirakan telah menewaskan sekitar 1.300
orang, merupakan salah-satu pelanggaran HAM masa lalu. AP
"Jadi kita berharap memang supaya ada kepastian hukum terhadap tujuh berkas (pelanggaran HAM berat masa lalu) yang sudah ada di Kejaksaan Agung," kata Siti Noor Laila dalam wawancara dengan BBC Indonesia.
Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan tujuh kasus
pelanggaran HAM masa lalu dan menyerahkan berkasnya kepada Kejaksaan Agung,
tapi tidak pernah berujung ke peradilan karena dianggap kurang bukti.
Diantaranya kasus
pembantaian massal 1965, penembakan misterius, kasus Talangsari (Lampung),
serta kerusuhan
Mei 1998 dan penculikan
aktivis.
Walaupun RUU KKR tidak mengatur tentang pengadilan,
peluang digelarnya proses hukum ini dianggap masih terbuka dengan adanya
Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Selasa, 05 Mei 2015
Kampanye transnasional melawan hukuman mati di Indonesia dimulai dengan tahanan politik
5 Mei 2015 11.13 am
Penulis: Vannessa Hearman*
https://translate.google.com/translate?sl=en&tl=id&js=y&prev=_t&hl=id&ie=UTF-8&u=https%3A%2F%2Ftheconversation.com%2Ftransnational-campaign-against-death-penalty-in-indonesia-began-with-political-prisoners-40962&edit-text=
Penulis: Vannessa Hearman*
Pada 1980-an, oposisi terhadap hukuman mati dikenakan pada tahanan politik di Indonesia yang bersatu dengan warga negara dan warga negara di seluruh dunia. Dari BOONROONG / www.shutterstock.com
Perhatian dunia terfokus pada eksekusi baru-baru ini di Indonesia. Namun tahun ini juga menandai ulang tahun ke 30 eksekusi tiga tahanan politik Indonesia.
Pada tahun 1985, rezim Suharto mengeksekusi Joko Untung, Gatot Lestario dan Rustomo. Dengan sedikit peringatan kepada keluarga mereka, mereka dibawa pada tengah malam ke sebuah ladang di Pamekasan di pulau Madura, di lepas pantai utara Jawa Timur, dan ditembak.
Orang-orang tersebut telah dipenjara sejak tahun 1968 dan 1969. Kejahatan mereka adalah mencoba membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) di bagian selatan Jawa Timur.
Oposisi hukuman mati selama era Suharto terutama merupakan bagian dari kampanye melawan rezim otoriter di Indonesia. Kampanye ini menyatukan organisasi Indonesia dan internasional dan melibatkan warga biasa di negara-negara seperti Australia, Inggris, Kanada dan Belanda.
Kisah Gatot Lestario
Lestario adalah seorang guru SMA dan penyelenggara PKI di Jawa Timur sampai tahun 1965. PKI adalah partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu.
Pada bulan September 1965, sebuah kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi perwira tinggi. Ini dicat sebagai upaya kudeta terhadap Presiden Sukarno. Pimpinan Angkatan Darat, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Suharto, menyalahkannya pada PKI.
Setengah juta orang kiri terbunuh dalam pogrom 1965-66 . Banyak yang dipenjara, kebanyakan tanpa diadili, untuk jangka waktu yang bervariasi. Sejumlah kecil kaum kiri dikategorikan sebagai "yang paling terlibat" dalam Gerakan 30 September, termasuk pemimpin komunis, dieksekusi. Soeharto menjadi presiden pada tahun 1968 dan memimpin Indonesia selama 30 tahun ke depan.
Lestario dan beberapa lusin kader PKI yang selamat berhasil bertahan dalam persembunyian. Pada tahun 1967, mereka mundur untuk membangun sebuah basis di Blitar Selatan untuk melawan rezim Suharto.
Militer menghancurkan pangkalan tersebut pada bulan September 1968 dan ribuan orang terbunuh, ditangkap dan dipindahkan. Militan yang masih hidup dipenjara, beberapa di Jakarta dan sisanya, termasuk Lestario, di Jawa Timur. Dia diadili dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1976.
Kampanye internasional untuk Lestario
Sementara di death row, Lestario, yang mahir berbahasa Belanda dan Inggris disamping bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, mulai menulis surat ke teman penanya yang terlibat dalam Quaker dan Amnesty International. Lestario meyakinkan teman penanya untuk menangani kasusnya di negara masing-masing dan di Indonesia.
Salah satu pendiri Amnesty International, Eric Baker adalah seorang Quaker dan dia mendesak Quaker untuk mendukung kampanye anti-penyiksaan Amnesty yang diluncurkan pada tahun 1973. The Quakers membentuk Kampanye Melawan Penyiksaan dan Tawanan Skema Persahabatan sebagai hasilnya. Skema ini mendorong Kongregasi Quaker untuk menulis surat kepada tahanan politik di seluruh dunia.
Pada tahun 1983, Doreen Brown, yang tinggal di London, mengirim kartu Natal kepada Lestario yang dia jawab. Melalui surat-suratnya, Lestario dapat memberikan informasi kepada Amnesty International dan Tapol , sebuah organisasi hak asasi manusia Indonesia yang juga berbasis di London. Tapol didirikan oleh mantan tahanan politik Indonesia Carmel Budiardjo pada tahun 1973.
Lestario menggambarkan kondisi penjara dan situasi 22 tahanan politik di Pamekasan. Meski berada di balik jeruji besi, Lestario bekerja dengan jaringan transnasional ini untuk memperbaiki kondisi tahanan politik dan untuk mengkampanyekan pembebasan mereka.
Browns menulis dan mengedarkan dua petisi yang ditandatangani oleh ratusan orang, ditujukan kepada pemerintah Indonesia untuk membebaskan Lestario dan istrinya Pudjiaswati. Pengampunan Lestario menarik Presiden Soeharto ditolak pada tahun 1984.
Pada tahun yang sama, setelah moratorium singkat eksekusi, tahanan kiri mulai dieksekusi lagi, dimulai dengan Mohammad Munir. Munir dulunya adalah pemimpin serikat buruh dengan Federasi Serikat Buruh Dunia dan anggota Politbiro PKI.
Lestario mengungkapkan keprihatinannya pada teman penanya tentang perkembangan yang mengkhawatirkan ini. Dia berharap agar Amnesty dapat menekan menteri luar negeri, Mochtar Kusumaatmadja, dalam kunjungannya yang ke tahun 1985 ke London untuk membatalkan hukuman mati di Indonesia.
Meski optimis, Lestario ditembak pada Juli 1985. Ibunya sempat menghabiskan saat-saat terakhir bersamanya. Tapi istrinya, dirinya sendiri di penjara di Jawa Timur, dan anak-anaknya tidak sadar akan eksekusi sampai beberapa hari kemudian.
Di Westminster, Inggris, Browns mengadakan sebuah pertemuan peringatan pada tanggal 2 Oktober 1985 untuk orang-orang yang dieksekusi. Di akhir pertemuan, orang diminta membawa pulang bunga untuk dikeringkan dan dikeringkan untuk mengingat orang-orang itu.
Satu tahun kemudian, mereka menerbitkan sebuah buku berisi ekstrak dari surat-surat Lestario, sebuah penghormatan kepada teman mereka, yang berjudul Tahun Lalu Gatot Lestario . Tulisan tangan kemudian difotokopi, diikat dengan tangan dan dijahit, pasangan itu membuat 220 buku dan dari hasil penjualan mereka mengumpulkan dana untuk tahanan politik di Indonesia dan keluarga mereka.
Kampanye penghapusan
Undang-undang subversi, yang mendasari eksekusi Lestario, dicabut pada tahun 1998 ketika rezim Suharto berakhir. Tapi hukuman mati masih merupakan singkatan dari kejahatan lainnya.
Kampanye melawan hukuman mati hari ini telah lebih sulit dipelihara dan kurang terlihat, karena di masa lalu hal itu terjalin erat dengan perjuangan demokrasi di Indonesia.
Namun, kampanye transnasional melawan hukuman mati dapat dibangun hari ini dengan mengikuti jejak kampanye sebelumnya yang dikembangkan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional.
______
Vannessa Hearman, Dosen Studi Indonesia, Universitas Sydney. Vannessa Hearman telah menerima dana dari Australian Academy of Humanities dan Asian Studies Association of Australia (ASAA). Dia adalah anggota dewan regional Asia Tenggara untuk ASAA.https://translate.google.com/translate?sl=en&tl=id&js=y&prev=_t&hl=id&ie=UTF-8&u=https%3A%2F%2Ftheconversation.com%2Ftransnational-campaign-against-death-penalty-in-indonesia-began-with-political-prisoners-40962&edit-text=
Di Kubur Manakah Kautemukan Tubuhku
5 May, 2015 | Kang Putu
Sebegitu ingin tahukah engkau apa yang kupikirkan saat ini?
Saat anak-istriku telah terlelap dalam tidur, saat aku merasa waktu begitu
berharga sehingga eman-eman untuk sekadar merebahkan diri di samping-menyamping
mereka? Padahal, tubuh dan pikiran sudah teramat letih, teramat sayah, tetapi
pada saat yang sama muncul keinginan bertahan saja sebentar: sebelum sepertiga
malam menghilang.
Angin mati dan suara jengkerik tenggelam dalam dingin dan
kabut dini hari. Pada saat-saat seperti ini aku acap terjerat masa lalu, masa
yang kelam, masa penuh kenyerian. Masa ketika kecengengan tak beroleh tempat,
masa ketika penderitaan tak layak dikenang dan dikisahkan ulang. Karena, bahkan
untuk mengaku sebagai korban pun butuh keberanian dan kemampuan menanggung
penistaan.
“Hei! Siapa mengetuk-ngetuk batok kepalaku?”
Suara itu
bersipongang, serupa raungan yang memantul-mantul membantun di dinding
tengkorak.
“Apa yang dia alami, dialami juga banyak perempuan lain. Mereka
dicincang berulang-ulang. Tubuh mereka dipentang macam kulit sapi, lalu
dilindas tubuh-tubuh yang terus-menerus meneriakkan tuduhan.”
Begitulah suara
itu mendremimilkan kisah yang dipungut entah dari tebing ingatan siapa.
Aku tak tertarik mendengar, tetapi harus mendengar, terpaksa
mendengar. Dan, itu menyakitkan. Kau tahu itu.
Ketika mereka tak lagi bisa melawan, sedang pikiran merasa diri sendiri begitu kotor, tak ada pilihan lain kecuali manda saja membiarkan diri digelandang ke mana pun, lalu berharap suatu saat bisa dikubur di lubang yang sama yang kata kawan-kawan telah ditempati tubuh para suami mereka. Lubang-lubang yang digali secara tergesa-gesa dan sembarangan. Di sanalah, di lubang-lubang itu, tubuh mereka dikuburkan. Tanpa doa, tanpa upacara.
Sekarang, ketika merasa menemu kuburan mereka, apa pula yang
kaurasakan? Apa pula yang kauharapkan?
Kaupikir gampang saja bagi kami melupakan sepenggal masa yang menjungkirbalikkan kehidupan, lalu dengan riang gembira memberikan kesaksian bahwa kami, ya kami, bergenerasi-generasi menjadi korban tanpa pernah tahu apa sesungguhnya kesalahan kami? Kaupikir mudah saja untuk mengaku bahwa benar dialah itu, dia yang dikubur di liang tanpa nisan itu, adalah bapak kami, ibu kami, saudara kami, tanpa dihinggapi ketakutan?
Tahukah kamu, bahkan sekarang pun aku selalu merasa
sekonyong-konyong nyawaku bisa meruap begitu saja, entah di tangan siapa.
Setiap hari, di mana pun, aku merasa dikuntit seseorang tak dikenal yang selalu
mencatat apa saja yang kuucapkan, selalu merekam apa saja yang kulakukan.
Oh, kau tak pernah tahu itu, tak pernah menyadari: telah
berpuluh-puluh tahun aku mencari tubuhku. Dan, kini, ketika kaubilang telah
menemu liang berisi belasan mayat itu, mengembanglah harapanku. Siapa tahu
itulah kuburanku. Namun, jangan paksa aku mengakui itulah tubuhku. Jangan paksa
aku.
Itulah nukilan dari kumpulan cerpen “Penjagal Itu Telah
Mati” karya Gunawan Budi Susanto. Cerpen-cerpen dalam buku berkisah tentang
berbagai perkara pasca-1965: antara lain kubur yang lenyap dan dilenyapkan
dalam sejarah kelam bangsa kita. Buku ini diberi pengantar oleh Soesilo Toer,
penyintas, adik kandung Pramoedya Ananta Toer, serta bergambar sampul lukisan
“30 September” karya Dadang Christanto. Buku yang diterbitkan Pataba Press
Blora ini diancangkan terbit Juli 2015.
Bersediakah Anda membacanya, kelak?
Jumat, 01 Mei 2015
Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti
Budi Setiyono | 1 Mei 2015, 18:41
Melihat kurangnya pemahaman teori perjuangan buruh, SK Trimurti menulis buku tentang buruh.
SK Trimurti berpidato pada peringatan Hari Ibu di alun-alun Yogyakarta, 22 Desember 1947
PADA 11 Mei 1975, dia berceramah tentang sejarah buruh dalam acara yang dihelat Yayasan Idayu bekerja sama dengan Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta dan Museum Kebangkitan Nasional.
“Saya berpikir, bahwa ceramah-ceramah yang diadakan di gedung ini, semuanya akan diarahkan kepada memperlengkap penulisan sejarah,” tulis Trimurti dalam pengantar ceramahnya. Kedua karya ini mengisi kelangkaan informasi dalam penulisan sejarah buruh di Indonesia.
Tentang Perjuangan Buruh
A.B.C. Perdjuangan Buruh, diterbitkan oleh Pusat Pimpinan PBI, Yogyakarta, 1948.
MENGAPA buruh berjuang? Untuk memperbaiki nasib agar dapat hidup layak sebagai manusia. Apa saja? Trimurti menyebut hak demokrasi, meliputi berserikat dan berdagang, menyatakan pikiran, berdemonstrasi dan mogok. Setelah itu barulah kaum buruh memperjuangkan jaminan upah minimum, jam kerja, hak istirahat dan hari libur, keselamatan kerja, jaminan sosial, UU perjanjian kerja, serta perwakilan buruh yang mengawasi penerapan semua UU untuk melindungi buruh.
Tapi itu saja belum cukup; baru tujuan jangka pendek (“reformis”). Selama kapitalisme masih ada, buruh akan diperbudak. Kaum buruh harus punya tujuan jangka panjang (“prinsipil”), yakni hilangnya masyarakat kapitalis dan terbentuknya masyarakat sosialis yang menghendaki hapusnya perbedaan kelas dalam masyarakat.
Trimurti menjawab kritik kalangan agama bahwa masyarakat sosialis kafir, memungkiri Tuhan. Menurutnya, tiap agama, tiap kitab suci, baik Injil maupun Alquran, memerintahkan manusia agar mencintai sesama manusia, tak menindas satu golongan dengan golongan lain.
“Orang merdeka memeluk agama atau kepercayaannya masing-masing. Tapi itu tidak patut menjadi alasan bagi kaum agama untuk menjauhi sosialisme.”
Untuk mencapai tujuan itu, kaum buruh bukan hanya menjadi anggota serikat buruh tapi juga partai. Serikat buruh memperjuangkan nasib buruh sehari-hari, sementara partai memperjuangkan tujuan yang prinsipil dan radikal.
Negara, bagi Trimurti, adalah pentung dari kelas yang menang untuk mementung kelas yang kalah, kelas proletar. Wujud pentung itu adalah polisi, UU, pegawai, anggota parlemen, anggota kabinet, suratkabar, pendidikan, dan lain-lain, yang sebagian besar jadi kaki tangan dan alat kapitalisme.
“Kaum buruh harus merebut kekuasaan negara, sebagai pentung, untuk alat perjuangannya.”
Bagaimana caranya? Trimurti menyebut jalan parlementer dan aksi massa.
Trimurti menutup buku ini dengan uraian mengenai kemerdekaan Indonesia sebagai jembatan emas bagi perjuangan buruh. Kemerdekaan Indonesia belumlah 100%. Karenanya, selain memperjuangkan perbaikan nasib, kaum buruh harus mengisi dan memperkuat pemerintahan, bekerja sama dengan segala golongan dan aliran.
Tentang Sejarah Buruh
Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan Pergerakan Kemerdekaan Nasional, Yayasan Idayu-Jakarta, 1975.
PENGGERAK perjuangan buruh di Indonesia berbeda dari Eropa. Di Eropa, yang negaranegaranya sudah merdeka, kaum pekerja terenggut nasibnya karena perkembangan industri dalam sistem kapitalis. Mereka tak punya alat produksi. Mereka dinamakan golongan proletar. Perjuangan kelas antara golongan proletar dan kapitalis tampak jelas di Eropa.
Di Indonesia, yang masih agraris, kaum pekerja memiliki alat produksi seperti cangkul dan ani-ani. Mereka menjadi miskin karena penjajahan. Itulah sebabnya daya penggerak perjuangan buruh di Indonesia adalah perjuangan rakyat miskin untuk memperjuangkan nasib dengan satu penghalang: penjajahan. “Dalam sejarahnya, perjuangan buruh selalu berdampingan dengan perjuangan kemerdekaan nasional.”
Trimurti pun membahas perjuangan kaum buruh, yang dipengaruhi situasi sosial-politik, dalam beberapa periode: sebelum 1908, 1908-1918, dan 1918-1945.
Politik Etis bukan hanya menciptakan kaum terdidik yang mendirikan organisasi politik tapi juga mendorong kemunculan serikat buruh. Kondisi ekonomi yang sulit meningkatkan pergerakan buruh, yang memunculkan gagasan untuk mendirikan induk organisasi. Namun, semuanya harus bubar di masa Jepang.
Usai proklamasi, kaum pemuda ambil bagian. Muncullah Barisan Buruh Indonesia, yang kemudian disusul dengan organisasi buruh lainnya. Perbedaan pendapat di antara pemimpinpemimpin politik memecah perjuangan buruh. Begitu juga perbedaan ideologi politik dan sikap mengenai perundingan dengan Belanda, atau pengaruh dan perseteruan partai politik selama 1950-an. Perpecahan menjadi warna gerakan buruh hingga pemerintahan Sukarno berakhir. Gerakan 30 September 1965 mengubah semuanya.
“Sesudah G30S dapat ditumpas, organisasi-organisasi buruh yang nonkomunis tetap berdiri dan berkembang. Sedang yang prokomunis semuanya dibubarkan.”
Sumber: Historia.Id
Langganan:
Postingan (Atom)