Dua bulan setelah kup militer yang akhirnya menggulingkan Sukarno, CEO Freeport Langbourne Williams menelepon Forbes Wilson, geolog Freeport. Dia mendapat kabar baik dari dua eksekutif Texaco bahwa negosiasi Ertsberg akan segera dimulai.
Williams yakin, negoisasinya bakal mulus lantaran salah satu eksekutif Texaco, Julius Tahija, punya koneksi kuat dengan Soeharto, yang punya kans kuat untuk naik ke puncak kekuasaan. Julius Tahija adalah mantan tentara yang dekat Sukarno namun berubah menjadi penentang.
Sejatinya, pada April 1965 Freeport sudah mendapat lampu hijau untuk menambang di Ertsberg. Namun negosiasi tak kunjung selesai lantaran pemerintahan Sukarno menutup negerinya dari investasi asing. Ketika perubahan politik sudah menunjukkan akhir dari kekuasaan Sukarno, terlebih mendapat pinjaman senilai 60 juta dolar dari lembaga-lembaga dana Amerika, kekuasaan, langkah Freeport kian mantap.
Pada April 1967, tiga bulan sesudah pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967, Freeport Sulphur Incorporated menandatangani sebuah kontrak karya untuk mengeksplorasi dan menambah cadangan emas dan tembaga di Irian Jaya. Penandatangan itu, “membuat Freeport Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Penandatangan itu terbilang unik dan berani. Selain penandatangannya dilakukan ketua presidium kabinet Ampera Jenderal Soeharto, bukan oleh presiden, wilayah konsesinya (Irian Barat), masih dalam sengketa.
Menurut persyaratan kontrak itu, Freeport memperoleh masa bebas pajak selama tiga tahun serta konsesi pajak sebesar 35 untuk tujuh tahun berikutnya dan pembebasan segala macam pajak atau royalti selain lima persen pajak penjualan. “Namun segera setelah kontrak ‘generasi pertama’ ini ditandatangani, pemerintah menyadari bahwa kontrak itu perlu direvisi agar memberikan keuntungan ekonomi bagi Indonesia,” ujar Mohammad Sadli, yang ketika itu menjabat menteri pertambangan, dalam buku Pelaku Berkisahdengan editor Thee Kian Wie. Sadli kelak menjadi anggota tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto.
“Karena itu kontrak-kontrak ‘generasi kedua’ dibuat lebih restriktif dan kurang menguntungkan investor asing, termasuk untuk perusahaan Kanad, Inco, yang menambang nikel di Soroako, Sulawesi Selatan.”
UU PMA, produk hukum yang baru diciptakan di masa transisi kepemimpinan nasional, menjadi salah satu langkah pemerintahan Soeharto untuk menarik modal asing demi memulihkan perekonomian nasional.
Ekonomi Bukan Panglima
Investasi asing bukan barang baru di Indonesia. Pada masa kolonial, melalui Undang-Undang Agraria 1870, pemerintah membuka pintu bagi masuknya modal asing di sektor perkebunan. Sejumlah pengusaha Eropa pun berdatangan. Pembukaan Terusan Suez pada 1869, yang memangkas waktu perjalanan Hindia Belanda-Eropa, membuat jumlah investor asing meningkat. Begitu juga ketika permintaan karet dunia melonjak. Sektor yang bisa dimasuki investor asing kemudian diperluas, termasuk ke pertambangan dan perbankan. Nilai investasi asing di Hindia Belanda pada 1930 mencapai 4 milyar gulden.
Kegiatan investasi berhenti ketika pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai memikirkan pembangunan ekonomi yang porak-poranda akibat perang. Semangat kemerdekaan mewarnai pemikiran dan kebijakan perekonomian nasional, termasuk soal modal asing.
“Seperti kebanyakan kaum nasionalis Indonesia lainnya, para pembuat kebijakan ekonomi di masa awal kemerdekaan amat terpikat oleh cita-cita kaum sosialis. Mereka menolak kapitalisme, karena kapitalisme diasosiasikan dengan kekuasaan kolonial,” tulis Thee Kian Wie dalam pengantar buku Pelaku Berkisah. “Dalam kenyataan, banyak kaum nasionalis itu menafsirkan ‘sosialisme’ sebagai ‘Indonesianisasi’ atau ‘pribumisasi’.”
Rencana Urgensi Ekonomi, yang disusun Menteri Perdagangan dan Industri Soemitro Djojohadikusumo pada 1951, dimaksudkan sebagai upaya mendorong industri sebagai penggerak perekonomian –karenanya juga disebut Rencana Urgensi Industri. Kendati Kabinet Natsir berusia pendek, Rencana Urgensi Ekonomi itu digunakan tiga kabinet selanjutnya. Kabinet Wilopo membuatnya lebih rinci. Disebutkan, sasaran pembangunan industri harus dapat melepaskan ketergantungan terhadap luar negeri. Perusahaan asing bisa menanamkan modal di luar industri kunci, dengan syarat bekerjasama dengan perusahaan swasta nasional.
“Walaupun selama berlangsungnya rencana tersebut dapat dibangun beberapa pabrik, pelaksanaannya bersifat sporadis,” tulis Thee Kian Wie. “Ketika menilai kemajuan program industri jangka panjang, Sumitro menekankan buruknya organisasi, tidak kompetennya manajemen, kurang praktisnya administrasi pemerintah dan peraturan keuangan, dan langkanya ahli teknik sebagai penyebab tiadanya kemajuan.”
Rencana Urgensi Ekonomi kemudian dihapus pada 1956 dan diganti dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama Indonesia. Rencana baru ini disetujui Parlemen dua tahun kemudian sehingga sebagian besar tak relevan lagi. Di sisi lain, pada tahun yang sama, Kabinet Karya di bawah PM Djuanda mengeluarkan UU No. 78/1958 tentang Penanaman Modal Asing. UU ini, yang digodok sejak 1953 dan mengalami beberapa kali revisi, sedikit demi sedikit menarik investor asing. Namun kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda membuat UU itu jadi tak berarti. Ditambah situasi politik dan keamanan yang tak stabil, investor asing ogah masuk ke Indonesia.
Munculnya Perpu No. 15/1960, yang menggantikan UU No. 78/1958, tak punya arti. Terlebih, sekali lagi, pemerintah melakukan nasionalisasi modal dari Malaysia dan Inggris sebagai dampak konfrontasi dengan Malaysia. Pada 1965, giliran perusahaan-perusahaan Amerika.
Halangan juga datang dari Partai Komunis Indonesia (PKI), yang mengecam kebijakan pemerintah mengundang modal asing sebagai manifestasi dan masuknya kembali tangan-tangan nekolim. Pada 26 Mei 1963, misalnya, sebagai bagian dari program pembangunan yang bernama Deklarasi Ekonomi (Dekon), pemerintah mengumumkan program stabilisasi ekonomi dengan berupaya melakukan efìsiensi dan menarik modal asing. Muncullah sejumlah “peraturan-peraturan 26 Mei”. PKI menentang dan menyebutnya sebagai “Kapitulasi 26 Mei”. Seiring perkembangan politik luar negeri memanas, peraturan-peraturan itu dicabut pada April 1964.
Putar Haluan Kebijakan
Perubahan politik pasca-G30S 1965 mengubah arah ekonomi Indonesia. Menghadapi kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah ekonomi yang serius, Soeharto berpaling pada sekelompok ekonom muda dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Soeharto mengenal mereka ketika mengikuti kursus di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung di mana mereka kerap jadi pengajar.
Pada Januari 1966, Sejumlah ekonom mendiskusikan pemecahan masalah ekonomi dan keuangan di Universitas Indonesia. Pada Mei, diskusi serupa kembali digelar. Saran-saran yang muncul dari seminar-seminar itu jadi kebijakan ekonomi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan dan mempengaruhi rumusan-rumusan ketetapan MPRS tahun 1966 yang menjadi tonggak Orde Baru.
Komitmen Orde Baru pada pemecahan masalan ekonomi itu diperkuat ketika Angkatan Darat menghelat Seminar AD II di Bandung pada 25 Agustus 1966. Widjojo dkk, ditempatkan di Subkomite Masalah Ekonomi, bertugas menyusun naskah mengenai jalan keluar untuk menstabilkan dan merehabilitasi perekonomian. Rekomendasi para ekonom itu diterima tanpa diskusi berkepanjangan.
“Seminar ini memberi pimpinan Angkatan Darat –yang merupakan unsur penting Orde Baru– ‘buku masak’ berisi ‘resep-resep’ untuk menangani masalah-masalah ekonomi Indonesia yang serius,” ujar Mohammad Sadli.
Tak lama sesudah seminar itu, 12 September 1966, mereka diangkat sebagai Staf Pribadi Ketua Presidium Kabinet. Ketika Soeharto resmi menjabat presiden, mereka menjadi Tim Ahli Ekonomi Presiden, dengan penambahan Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Perhubungan Frans Seda, dan Gubernur Bank Indonesia Radius Prawiro.
“Tugas dari Tim ini ialah mengikuti perkembangan keadaan ekonomi, membahas masalah-masalah ekonomi dan mengajukan pertimbangan-pertimbangan masalah ekonomi kepada Presiden, baik diminta maupun tidak diminta,” ujar Subroto dalam “Begawan Ekonomi”, Kesan Para Sahabat tentang Widjojo Nitisastro.
Merekalah yang merancang kebijakan ekonomi Orde Baru. David Ransom, wartawan Amerika, menyebut mereka sebagai “Mafia Barkeley”, merujuk pada almamater mereka. Dalam tulisan “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia”, dimuat majalah Ramparts, Ransom menyebut keterlibatan Amerika dalam kebijakan ekonomi Orde Baru. Ketika Widjojo kebingungan dalam menyusun rencana stabilisasi ekonomi, David Cole, seorang ekonom dari Harvard, membantu Widjojo. Begitu pula ketika Sadli hendak membuat UU Penanaman Modal Asing; dia mendapat bimbingan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.
“Pada permulaan September 1967, ahli-ahli ekonomi itu berhasil menyelesaikan rancangannya. Dan para jenderal diyakinkan akan manfaat rancangan tersebut,” tulis Ransom.
Dengan kebijakan pintu terbuka, investasi asing menjadi prioritas utama untuk mendapatkan dana, selain utang luar negeri. Di bawah arahan para teknokrat, sebutan lain untuk penasehat ekonomi Soeharto, upaya liberalisasi ekonomi diwujudkan. Orde Baru mengeluarkan UU No. 1/1967, setelah melalui perdebatan sengit di parlemen, untuk menarik investor asing dan menjamin kemanan investasinya di Indonesia. Pemerintah lalu membentuk Tim Teknis Penanaman Modal Asing dengan ketua Mohammad Sadli.
Mereka mendapat tugas mengumpulkan informasi mengenai para investor asing potensial dan rencana investasi mereka. Informasi ini diserahkan kepada kabinet, dan kabinet memutuskan apakah menyetujui investasi yang direncanakan itu atau tidak. “Tim teknis ini juga ditugaskan mendorong investasi asing,” ujar Sadli. “Pada akhir 1960-an saya sering melakukan perjalanan ke luar negeri untuk tujuan promosi investasi.”
UU No. 1/1967 berisi berbagai insentif dan jaminan kepada para calon investor asing. Di dalamnya termasuk masa bebas pajak dan jaminan tidak adanya nasionalisasi, kecuali dianggap perlu bagi kepentingan nasional dan dengan kompensasi penuh sesuai hukum internasional. Kebijakan pintu terbuka bagi modal asing ini menarik investor baru, terutama dari sektor pertambangan dan manufaktur. Freeport jadi yang pertama masuk. Disusul kemudian perusahaan tambang dan kayu dari sejumlah negara. Kekayaan alam dan tenaga kerja murah menjadi mantra pemikat.
Sejak pemberlakuannya, UU itu mendapat protes dan kritik keras. Di sektor pertambangan, kontrak karya dianggap merugikan negara karena adanya sistem konsesi, bagi hasil yang tak imbang, dan keringanan pajak untuk para investor. Belum lagi dampak sosial bagi masyarakat di sekitar lahan konsesi.
Di bidang kehutanan, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) merusak lingkungan dan tatanan sosial masyarakat setempat. Secara umum, para teknokrat dituding membuat ekonomi Indonesia bergantung pada bantuan dan modal asing. Akibatnya, kesenjangan ekonomi melebar serta berkembang konglomerat, monopoli pemangsa, dan korupsi. Thee Kian Wie menyebut kritik itu tak adil karena para pengkritik tak melihat gawatnya ekonomi Indonesia pada akhir 1960-an dan Indonesia memiliki sedikit sumberdaya untuk bangkit dengan kekuatan sendiri.
Kritik terus mengiringi penerapan UU No.1/1967, kendati sedikitnya mengalami dua kali revisi, namun pemerintah Orde Baru tetap bergeming.