NOVEMBER 2, 2007 · 7:44 PM
Bali bulan November tahun 1965 adalah masa masa awal pembantaian terbesar abad 20. Bahkan tidak ditemukan proporsi yang lebih tajam dari pembantaian ini sepanjang sejarah bangsa Indonesia atau bahkan Asia Tenggara. Proporsi yang meliputi besarnya jumlah korban dalam kecilnya wilayah pulau Bali dan dalam tempo pembantaian yang sangat singkat.
Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah korban pembataian itu, khususnya di Bali yang memang secara proporsi paling besar. Perkiraan jumlah yang paling rendah adalah 40.000 dan tertinggi adalah 100.000. Soe Hok Gie memberikan angka 80.000 sebagai perkiraan yang paling konservatif. Pembantaian yang begitu besar itu terjadi hanya dalam kurun waktu minggu saja.
Pada pembataian etnis Tionghoa tahun 1740 oleh Belanda di Batavia hanya mencapai angka 10.000. Jumlah yang setara untuk korban pembataian adalah di Kamboja oleh tentara Khmer Merah pimpinan Pol Pot tetapi memakan waktu yang jauh lebih panjang dan menarik perhatian dunia.
Apa yang terjadi di Bali memang agak berbeda dengan di Jawa. Setelah G30S, di Jawa telah terjadi “pembekuan” terhadap segala hal yang berbau PKI sedangkan di Bali segala macam kegiatan PKI masih bisa berlangsung. Ini yang membuat lawan politik PKI geram dan mengorganisir “pembekuan” itu secara swadaya.
Kalau di Jawa perburuan terhadap simpatisan PKI dilakukan oleh tentara maka di Bali “tugas” tersebut lebih banyak dilakukan oleh warga sipil. Para warga sipil terutama dari partai lawan politik PKI yang secara sukarela menjadi algojo dikenal dengan nama Tameng. Para Tameng ini bertugas mencari informasi, mendata, mendaftar, memburu, menangkap dan membunuh para simpatisan PKI.
Pada ketentaraan tugas tugas tersebut biasanya dilakukan oleh kesatuan yang terpisah. Ketika daftar orang yang akan diburu telah disampaikan oleh kesatuan intelijen maka kesatuan buru sergap melakukan tugasnya dengan berkoordinasi dengan atasan mereka yang kemudian hasilnya diberikan kepada kesatuan eksekusi. Walaupun tidak selalu demikian tapi ada otoritas yang jelas.
Pada kelompok Tameng semua tugas dilakukan kebanyakan bukan oleh kesatuan terpisah. Mulai dari proses pendataan hingga pembataiannya banyak dilakukan sendiri. Satu satunya yang berhak melakukan validasi untuk orang yang terdaftar atau tidak adalah komandan Tameng. Jika komandan bilang bahwa seseorang layak masuk daftar maka anak buah akan melaksanakannya tanpa ragu ragu.
Sebelum pembataian terjadi memang masyarakat Bali pada waktu itu telah didera konflik yang berat meliputi konflik ekonomi, sosial dan politik. Konflik itu sesungguhnya memiliki akar sejarah yang sangat dalam yang meliputi persoalan aparatur pemerintahan negara, feodalisme kasta dan ego Puri. Konflik ideologi partai justru tidak terlalu menonjol.
Puri Puri di Bali memiliki rivalitas satu sama lain yang menyebabkan jika satu Puri menjadi simpatisan ideologi politik tertentu maka Puri rivalnya akan serta merta memihak ideologi politik yang berseberangan dengan rivalnya tanpa merasa perlu menelaah kecocokan visi politik.
Latar belakang konflik ini mewarnai pembataian. Konflik konflik dimasa lalu berperan penting menjadi faktor penentu apakah seseorang layak masuk daftar yang akan dibantai atau tidak. Prosesnyapun tidak memakan waktu lama. Bahkan ada yang secara adhoc alias dadakan, misalnya kelompok Tameng bertemu seseorang dijalan lalu ditangkap, dikonfirmasikan sebentar ke komandan Tameng, jika komandan Tameng setuju maka terjadilah pembataian.
Hampir tidak ada sama sekali verifikasi tentang apakah seseorang itu punya afiliasi dengan partai komunis atau tidak. Tidak ada jaminan aman dari pembantaian walaupun untuk seorang pejabat pemerintahan setingkat Gubernur sekalipun. AA Bagus Sutedja adalah gubernur Bali pada saat itu yang sangat setia dan dekat dengan Bung Karno.
Lawan lawan politik PKI senantiasa menaruh curiga pada orang orang yang menyatakan kesetiaan kepada Bung Karno walaupun tidak otomatis orang yang militan kepada Bung Karno adalah PKI. Sebagian dari mereka yang dibantai memang PKI tapi sebagian lagi tidak dapat divalidasi. Banyak dari mereka yang hanya jadi korban konspirasi.
Kalau Gubernur saja bisa menjadi korban konspirasi politik maka tidak ada lagi tempat yang aman bagi warga biasa. Tak terbayangkan suasana yang sangat menegangkan kala itu. Orang berlarian larian kesana kemari ditengah jalan. Pintu pintu rumah ditutup. Toko toko dan pasar tutup. Banyak desa yang sepi karena ditinggal penduduknya bersembunyi di hutan karena takut didatangi Tameng.
Sering kali terjadi salah tangkap dan salah bunuh hanya karena kemiripan wajah atau kemiripan nama. Tapi tidak jarang juga terjadi penangkapan atas dasar sentimen pribadi antara komandan Tameng dengan para musuhnya dimasa lalu.
Kelompok Tameng berpakaian hitam hitam bersenjatakan kelewang (samurai) dan beberapa bedil. Mereka datang untuk “menjemput” tidak perduli waktu pagi, siang atau malam. Pintu rumah didobrak, tangkapan diseret masuk kedalam truk yang sudah penuh dengan orang orang yang berwajah pucat pasi, disebuah ladang mereka dipenggal kemudian mayatnya didorong kedalam lubang kuburan masal.
Pernah terjadi buruan tak ditemukan lalu anggota keluarga yang lain dibawa sebagai gantinya. Bahkan ada komandan Tameng yang memanfaatkan mencari jodoh dengan cara memaafkan seorang calon korban asal bersedia menyerahkan adik perempuannya yang cantik sebagai istri komandan Tameng. Para Tameng sangat berkuasa kala itu. Ini disebabkan karena mereka mendapat legitimasi dari pemuka agama baik Hindu maupun Islam bahwa apa yang mereka lakukan adalah bukan dosa.
Adalah mudah memberi legitimasi bagi para pemuka agama itu karena ideologi komunis menafikan keberadaan Tuhan, paling tidak itulah yang dipahami oleh masyarakat Bali dikala itu. Disamping legitimasi pemuka agama diperparah juga oleh ketakutan atas militansi PKI dimasa sebelum G30S. Sebelum G30S terjadi, PKI sangat militan dengan berbagai show of force yang membuat lawan politiknya bergidik.
Berbagai lagu diciptakan untuk mengejek dan membangkitkan semangat. Parade, pawai dan provokasi yang berbau pembantaian disebar ke masyarakat. Mereka bersumpah jika PKI menang maka lawan lawan politik mereka akan dibantai habis habisan sampai ke anak cucu.
Propaganda PKI bukan gertak sambal karena pada pemberontakan PKI di Madiun pembantaian lawan politik oleh PKI benar benar dilakukan dengan keji. Jadi kengerian yang memiliki landasan trauma jika PKI menang maka habislah kita semua.
Semua aksi aksi itu menambah ketegangan politik yang memang sudah ada sejak lama. Kengerian yang begitu besar terhadap propaganda PKI ditambah dengan konflik konflik sebelumnya membuat pembantaian ini menjadi sangat radikal dibanding dengan pembataian di Jawa atau ditempat lain.
Bagi kita yang lahir belakangan dan tidak mengalami kejadian tersebut bisa dengan mudah membuat pertanyaan: “Walaupun komunis adalah ideologi yang terlarang di Indonesia tapi layakkah mereka dibantai?”. Sulit buat mereka yang menjadi saksi sejarah kejadian itu untuk menjawab secara gamblang.
Saya tidak ingin jadi orang yang pongah mengorek suatu peristiwa yang sangat delicate untuk diceritakan. Saya hanya bisa mendengar kesaksian para orang tua tentang kejadian itu dan berusaha menghayati suasana hati mereka mengarungi sejarah.
Belum lagi bagi para keluarga yang salah satu anggotanya menjadi korban pembataian. Bertahun tahun lamanya mereka hidup dalam diskriminasi dan tidak pernah menceritakan atau membahas tentang anggota keluarganya itu kecuali kepada sesamanya. Janda janda dan anak yatim bertebaran dimana mana. Banyak desa yang lengang karena sebagian penduduknya telah dibantai.
Cerita cerita tentang peristiwa itu banyak disembunyikan dan tak ingin diceritakan. Jangankan dari sisi keluarga yang menjadi korban, dari sisi pihak yang tidak menjadi korbanpun atau hanya sekedar menjadi saksi pembataianpun sulit didapat. Mereka enggan untuk cerita sesuatu yang sangat mengguncang jiwa.
Mungkin karena itulah kejadian ini hampir dilupakan dan tidak mendapat perhatian khusus dari para peneliti akademis tanah air. Penulis asing seperti Geoffrey Robinson lebih memiliki hasrat untuk menulis ketimbangan penulis lokal. Saya beruntung masih bisa mendengar cerita dari berbagai sumber pelaku sejarah melalui cerita langsung mereka maupun dari tulisan yang mereka tulis.
***
Saya ingin menceritakan sebuah kisah pada kala itu yang menurut Adrian Vickers seorang penulis asing yang banyak menulis tentang Bali, sebagai sebuah kisah kepahlawanan.
Suatu pagi di RSUP Sanglah Denpasar segerombolan orang berpakain hitam hitam bersenjatakan kelewang dan bedil masuk ke halaman Rumah Sakit ingin bertemu dengan direktur RS. Mereka adalah para Tameng. Pegawai RS sempat dibuat gempar karena cara mereka masuk yang sangat demonstratif.
Oleh direktur RSUP Sanglah yang kala itu dijabat oleh Dr AAM Djelantik mereka dipersilahkan masuk ke kantornya. Komandan Tameng meminta kepada Dr Djelantik untuk menyerahkan 6 orang pasien yang tercatat dalam daftar yang mereka buat. Keenam orang pasien tersebut menurut komandan Tameng adalah simpatisan PKI.
Dr Djelantik sempat terkejut oleh akurasi nama nama dalam daftar yang mereka sodorkan. Mereka mendesak untuk segera diserahkan keenam pasien tersebut. Para perawat dan dokter yang lain berpikiran habislah sudah riwayat ke enam orang pasien ini. Siapa yang berani melawan Tameng. Apalagi bagi hanya seorang direktur Rumah Sakit bertubuh kecil bernama Dr Djelantik itu.
Apakah prinsip kedokteran yang harus bersedia melayani dan mengayomi pasien masih akan tetap ditegakan Dr Djelantik sementara taruhannya adalah lehernya sendiri. Pedang samurai berkelebat dihadapan Dr Djelantik yang sedang ditunggu jawabannya.
Sebagian petugas kesehatan mungkin merasa cari aman lebih baik keenam orang pasien itu diserahkan saja ketimbang melihat para Tameng itu marah dan menggila di Rumah Sakit. Dr Djelantik sebagai direktur RSUP Sanglah tidak merasa perlu berkonsultasi untuk menjawab pertanyaan.
Jawaban yang Dr Djelantik berikan adalah:
“Maaf, tapi selama para pasien itu masih dalam perawatan di Rumah Sakit ini, maka mereka adalah tanggung jawab saya. Saya tidak bisa menyerahkan mereka selama mereka masih dirawat.Mereka sudah menyerahkan nasib mereka ketangan saya sejak mereka masuk Rumash Sakit. Kalau mereka sudah selesai dirawat dan berada diluar lingkungan Rumah Sakit maka mereka bukan tanggung jawab saya lagi.”
Jawaban itu disampaikan dengan suara mantap walaupun lutut bergemetar. Mendengar jawaban direktur Rumah Sakit yang tegas itu para Tameng saling pandang sesaat. Mereka kemudian pamit tapi menyisakan pertanyaan besar: apa yang bakal mereka lakukan.
Terlepas dari itu berita telah tersebar keseantero ruang perawatan Rumah Sakit. Ke enam orang pasien yang termasuk kedalam daftar menjadi stress. Dr Djelantik memberi instruksi supaya keenam orang pasien tersebut diperpanjang masa perawatannya sebisa mungkin. Jangan keluarkan mereka walaupun mereka sudah sembuh hingga keadaan politik membaik.
Tapi ketakutan tak terbendung, sebagian dari mereka melarikan diri bersama keluarganya untuk bersembunyi. Ketakutan tidak hanya menghinggapi keenam orang pasien itu tapi juga pasien lain dan petugas kesehatan tak terkecuali Dr Djelantik sebagai direktur RS yang telah menghalangi penangkapan.
Malam hari dikediaman Dr Djelantik pintu rumah digedor oleh beberapa orang berpakaian hitam hitam. Ibu Astri istri Dr Djelantik membuka pintu dan menanyakan keperluan orang tersebut. Mereka mengatakan akan membawa Dr Djelantik karena ada komandan Tameng yang sedang sakit. Apakah benar demikian atau ini hanya teknik untuk “menjemput”.
Keadaanpun menjadi panik, Dr Djelantik segera menelepon Bupati saat itu yang memiliki hubungan dekat dengan beberapa komandan Tameng. Setelah mendapat kepastian dari Bupati bahwa memang benar ada komandan Tameng yang sedang sakit maka Dr Djelantik merasa lega lalu segera berangkat bersama para Tameng ke tempat komandan Tameng yang sedang sakit itu. Rupanya komandan Tameng sedang menggigil demam karena malaria dan tak bisa bertugas, jangankan menebas kepala orang, bangkit dari tempat tidur saja tidak bisa.
Sementara itu pembantaian dimana-mana tetap berlangsung. Siang hari jalanan sepi dalam perjalanan ke Rumah Sakit Dr Djelantik dari dalam mobil land roveryang ia naiki, terlihat dikejauhan beberapa Tameng sedang bertugas menggerebek sebuah rumah. Seiring dengan mendekatkanya mobil Dr Djelantik penggerebekan itu berhenti, seorang Tameng melihat ke arah mobil lalu memberi salam karena mengenali Dr Djelantik. Setelah mobil Dr Djelantik berlalu penggerebekan itu dilanjutkan.
Hati Dr Djelantik berkecamuk. Apa yang mesti ia lakukan? Berhenti dan menggagalkan usaha penggerebekan itu? Ah itu sama saja bunuh diri karena ini bukan dalam lingkungan Rumah Sakit. Perasaannya yang galau mengganggu pikirannya dan hanya bisa berharap agar pembataian ini segera berakhir.
Malam hari kemudian segerombolan mobil Tameng kembali menghampiri Dr Djelantik dikediamannya. Kali ini tidak ada yang sakit. Mereka hanya ingin minta ijin untuk membakar rumah tetangga Dr Djelantik milik seorang saudagar Tionghoa yang telah melarikan diri seminggu sebelumnya karena takut dicap PKI. Etnis Tionghoa memang punya alasan untuk takut karena partai komunis berafiliasi erat dengan negara Republik Rakyat China.
Pembakaran rumahpun dilakukan tapi sebelumnya Dr Djelantik meminta para Tameng untuk memeriksa apakah rumah tersebut sudah benar benar dalam keadaan kosong untuk menghindari kecelakaan terpanggangnya orang yang tak bersalah.
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh Dr Djelantik, beliau hanya seorang dokter. Seorang dokter yang harus melayani pasien entah mereka itu datang dari pihak yang dibantai atau dari pihak yang membantai. Sungguhpun demikian tidaklah mudah menjadi dokter yang berpegang teguh pada prinsip kedokteran ditengah tengah gejolak politik tahun itu.
Semoga cerita diatas bisa memberi sedikit gambaran tentang suasana yang terjadi pada masa itu beserta dengan segala dilema berprinsip dan bersikap. Saya tidak ingin menyimpulkan apa apa. Terlalu sok tahu kalau saya berani menyimpulkan tentang suatu kejadian yang sangat rumit dan penuh emosi. Saya bersukur tidak perlu mengalami atau menjadi saksi sebuah sejarah kelam bangsa ini.
Sumber: Den Demang
0 komentar:
Posting Komentar