Langganan:
Posting Komentar (Atom)
WeBlog Dokumentatif Terkait Genosida 1965-66 Indonesia
Budiawan*
Sejarawan Ong Hok Ham (alm.) pernah melontarkan skeptisismenya terhadap upaya-upaya alternatif menemukan dalang Gerakan 30 September 1965 (G30S). Kesangsiannya ini merupakan respons atas silang pendapat mengenai dalang di balik penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat (AD) pada 30 September 1965. Silang pendapat itu muncul tidak lama setelah Suharto jatuh pada Mei 1998. Tentu bukan maksud Ong untuk membela versi resmi rezim Orba yang secara gampangan menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang G30S – sebuah tuduhan yang dipercayai sebagai kebenaran selama rezim Orba berkuasa, nyaris tanpa gugatan.
Kesangsian Ong mencerminkan posisinya sebagai seorang sejarawan profesional, yang berpegang pada prinsip bahwa sejarah tidak mungkin ditulis tanpa bukti-bukti yang memadai. Menyangkut G30S, bukti-bukti yang tersedia sangat jauh dari mencukupi, karena banyak pelaku yang terlibat dalam gerakan itu, yang notabene bisa menjadi saksi kunci, telah dibunuh oleh Angkatan Darat tidak lama setelah peristiwa itu terjadi. Dengan demikian G30S penuh kabut misteri, “mungkin sama misteriusnya dengan kasus pembunuhan Presiden John F. Kennedy”, kata Ong. Sedemikian misteriusnya G30S itu, sehingga “sampai dua ratus tahun pun tidak akan terpecahkan”, tambah Ong.
John Roosa, dosen sejarah di University of British Columbia, Kanada, mungkin tidak pernah mendengar skeptisisme dan pesimisme Ong. Tetapi, buku yang merupakan hasil penelitian selama hampir lima tahun ini seperti hendak menjawab skeptisisme dan pesimisme semacam itu. Bukan dengan menyodorkan sebuah jawaban pasti atas pertanyaan siapa dalang G30S, tetapi dengan menunjukkan bahwa pertanyaan itu memang tidak akan pernah terjawab karena asumsinya keliru secara faktual.
Pertanyaan siapa dalang G30S mengasumsikan bahwa G30S merupakan sebuah gerakan yang terorganisasi secara rapi, dengan struktur hierarkhi wewenang dan pembagian tugas yang jelas, serta ada pucuk pimpinan tunggal. Menurut Roosa, asumsi ini keliru karena G30S kenyataannya jauh dari gambaran seperti itu. Sebagai sebuah operasi militer rahasia yang melibatkan beberapa pimpinan teras PKI, G30S merupakan sebuah gerakan yang kompleks, ruwet, dan tak jelas struktur organisasinya maupun koordinasi pelaksanaannya. Tak ada garis komando yang jelas siapa memerintahkan siapa untuk tugas apa, karena setiap orang yang terlibat di dalamnya tidak pernah saling bertemu dan berhubungan secara langsung.
Sjam Kamaruzaman, yang oleh sejumlah pengamat dicurigai sebagai agen ganda, adalah ketua Biro Chusus PKI yang menjadi perantara antara ketua CC-PKI D.N. Aidit dan sekelompok “perwira progresif” (Letkol Untung Sjamsuri cs.) yang tergabung dalam G30S. Tetapi, tidak jelas apakah Aidit sebagai pengendali G30S, ataukah sekedar diseret kedalamnya karena adanya kesamaan kepentingan dengan para “perwira progresif” itu, yaitu memereteli kekuasaan sekelompok perwira kanan (A.H. Nasution cs.) – yang menurut rumor yang ada bergabung ke dalam “Dewan Jenderal” yang diyakini hendak mengambil-alih kekuasaan Sukarno – melalui tangan Sukarno. Ide menculik Nasution cs. dan menghadapkan mereka kepada Sukarno, dengan demikian, diyakini sebagai cara yang efisien dan terhormat untuk melumpuhkan pengaruh para perwira kanan dalam perpolitikan nasional.
Tetapi, sebagaimana diketahui, skenario itu gagal total karena buruknya koordinasi di lapangan dan rendahnya kompetensi para prajurit pelaksana operasi itu. Hal ini menyebabkan Sukarno tidak mendukung, tetapi juga tidak mengecam G30S. Yang jelas, hanya dua hari setelah kejadian itu Sukarno memerintahkan Untung cs. untuk membubarkan G30S. Untung pun mematuhinya. Tetapi Aidit, yang sudah lari menyembunyikan diri di Jawa Tengah, ingin gerakan itu diteruskan sambil berharap ada dukungan Sukarno. Anehnya, ia sama sekali tidak menggunakan organ-organ PKI untuk melanjutkan gerakan. Ia hanya pasif menunggu dukungan Sukarno, tidak tahu bahwa Sukarno telah memerintahkan pembubaran G30S. (Kejadian selanjutnya adalah serangan balik Suharto, yang sudah mengetahui sebelumnya tentang akan adanya aksi G30S itu berkat pemberitahuan Latief. Serangan balik ini hanya awal dari pengejaran, pembantaian, dan penahanan massal terhadap siapa saja yang dianggap punya kaitan dengan PKI atau ormas-ormasnya. Meskipun demikian, tidak masuk akal dan juga tidak ada bukti yang memadai untuk mengatakan Suharto dalang G30S).
Tampak bahwa alih-alih berusaha menemukan dalang, Roosa berupaya mencari tahu “apa yang paling mungkin terjadi dengan G30S”. Meskipun tidak berakhir dengan kepastian, karena penulisan sejarah yang penuh kepastian justeru mengundang kecurigaan, buku ini sekurang-kurangnya telah menyibak sebagian misteri di seputar peristiwa 30 September 1965.
***
Meskipun buku ini ditulis dengan tujuan untuk merekonstruksi masa lalu (re-enactment of the past), struktur gagasan buku ini berbeda dari buku-buku sejarah pada umumnya. Alih-alih ditulis dengan alur linier kronologis (awal – klimaks – akhir), buku ini disusun berdasarkan potongan-potongan data, tak lain untuk mendapatkan gambaran fakta yang selengkap mungkin. Dengan “gambaran fakta yang selengkap mungkin” justeru terlihat keganjilan-keganjilan hubungan antar-fakta, sehingga tujuan memahami “apa yang paling mungkin terjadi” pun relatif bisa tercapai.
Metode ini mirip dengan cara kerja seorang detektif, yang berangkat dari ketidaktahuan, bergulat dengan serpihan-serpihan data, mengutak-atik ada/tidaknya hubungan antar-fakta, dan berakhir dengan dugaan-dugaan kuat, kalau kepastian mustahil didapat.
Potongan data yang menjadi titik tolak penyelidikan Roosa adalah dokumen Supardjo, yang kemudian ia kembangkan dengan mempelajari potongan-potongan data lain, yakni hasil wawancaranya dengan seorang mantan kader tinggi PKI yang bernama samaran Hasan (yang tahu banyak tentang Biro Chusus di dalam tubuh PKI), dokumen-dokumen internal PKI dan beberapa memoar mantan tapol yang baru diterbitkan, serta dokumen-dokumen rahasia pemerintah AS yang sudah dideklasifikasikan. Masing-masing sumber dianalisis dalam bab yang terpisah, yakni dari bab tiga sampai dengan bab enam.
(Sedangkan bab pertama memaparkan semua keganjilan G30S, yang menjadi alasan mengapa banyak sejarawan melihatnya sebagai teka-teki; sementara bab kedua mengikhtisarkan berbagai cara keganjilan-keganjilan itu telah ditafsirkan dan disusun menjadi sebuah narasi kejadian yang padu, di mana rezim Suharto dengan kasar mendesakkan sebuah narasi gampangan yang menetapkan PKI sebagai dalang keji yang mengontrol semua aspek G30S). Selanjutnya dalam bab terakhir, yakni bab ketujuh, Roosa berupaya membangun suatu narasi yang berjalan secara kronologis dan bermaksud untuk memecahkan banyak keganjilan yang telah ia uraikan dalam bab pertama.
Cara kerja Roosa itu berbeda dari kebanyakan pengkaji G30S lainnya, yang dengan sepotong data langsung membangun kesimpulan sehingga penyelidikan selanjutnya tak lebih dari upaya pembuktian kesimpulan itu. Karena beragam peneliti menggenggam beragam potongan data, maka hasilnya adalah munculnya beragam versi, misalnya seperti: (a) Sukarno dalang G30S (Fic, 2004); (b) Suharto dalang G30S (Wertheim, 1970); (c) G30S sebagai konflik internal Angkatan Darat (Anderson and McVey, 1971); (d) CIA dalang G30S (Scott, 1985); (e) MI-6 dalang G30S (Poulgrain, 2000); dan (f) PKI dalang G30S (buku putih Orde Baru).
Selain tak akan pernah memuaskan secara akademis, munculnya beragam versi itu hanya menimbulkan silang pendapat yang tak akan berkesudahan, yang berakibat pada pengabaian dan pelupaan atas tragedi kemanusiaan yang lebih besar, yakni pembantaian dan pemenjaraan massal terhadap ratusan ribu bahkan mungkin jutaan anggota dan simpatisan PKI, atau yang sekedar di-PKI-kan, yang terjadi sejak tiga minggu setelah 30 September 1965 hingga pertengahan 1966. Dengan kata lain, alih-alih menambah seru silang pendapat tentang dalang G30S, buku ini justeru ingin mengakhirinya, dengan mengajukan argumentasi utama sebagaimana tertuang dalam judulnya, yaitu menempatkan G30S sebagai “dalih pembunuhan massal”, yang bersamanya Suharto dengan dukungan para perwira kanan AD melakukan kudeta terhadap Sukarno. G30S dan kudeta Suharto, dengan demikian, adalah dua peristiwa yang terpisah, yang terjadi secara berurutan, tetapi bukan dalam hubungan sebab-akibat.
Dengan argumentasi itu Roosa sekaligus ingin mengatakan bahwa G30S mempunyai makna yang maha penting, karena Suharto dan para perwira kanan AD yang telah lama menunggu-nunggu kesempatan untuk menghancurkan PKI sebagai jalan mengambil-alih kekuasaan Sukarno menganggapnya demikian. Indikator utamanya adalah begitu cepat dan massifnya propaganda penghancuran PKI mulai dikobarkan, hanya tiga hari setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan tujuh perwira AD terjadi. Dari mana AD tahu dalam tempo sesingkat itu bahwa kejadian dini hari 1 Oktober 1965 didalangi oleh PKI?
Pertanyaan itu tidak relevan, karena bukti bukan dicari, tapi dikarang-karang. Salah satu “bukti yang dikarang-karang” yang kemudian mendorong histeria massa anti-PKI adalah “dongeng Lubang Buaya”, yang kemudian diabadikan dalam “Monumen Pancasila Sakti”, dan disebarluakan melalui berbagai cara, termasuk film garapan Arifin C. Noor yang berjudul “Pengkhianatan G30S/PKI”. Sedemikian intensifnya penyebarluasan dan pewarisan “dongeng Lubang Buaya” ini sehingga terbentuklah sebuah memori nasional yang sama sekali tidak mengacu pada apa yang sesungguhnya terjadi.
Apakah dengan demikian Roosa ingin membersihkan nama PKI? Apakah ia bermaksud membela PKI?
***
John Roosa adalah seorang sejarawan profesional, yang selain bekerja dengan etika akademis, juga menulis sejarah dengan spirit human concern. Seperti ditulisnya dalam Kata Pengantar buku ini: Saya dapat memahami seandainya seseorang mengambil sikap antagonistik terhadap PKI sebelum 1965: PKI adalah partai yang berniat mendirikan negara satu partai, yang dipimpin oleh orang-orang yang berbicara dan menulis secara dogmatis dan berdasarkan rumus-rumus baku, yang menggalang pengikut-pengikutnya untuk mengintimidasi organisasi-organisasi pesaingnya. Tapi saya tidak dapat mengerti bagaimana orang dapat membenarkan cara partai tersebut ditindas: kebohongan-kebohongan propaganda negara untuk memicu kekerasan, penangkapan massal tanpa dakwaan, interogasi dengan penyiksaan, penahanan berkepanjangan tanpa pengadilan, penghilangan paksa dan pembunuhan kilat (hal. xviii).
Tampak bahwa sikap Roosa adalah tidak membela aksi-aksi PKI sebelum 1965, tetapi sama sekali juga tidak membenarkan kekerasan massal yang diarahkan kepada PKI setelah G30S. Ini persis sama dengan sikap Pipit Rochijat, yang melihat langsung pembantaian terhadap para anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) – ormas PKI di kalangan kaum tani – di Jawa Timur, yang kemudian menuturkannya dengan penuh simpati di hadapan para eksil politik Indonesia di Eropa pada awal 1970-an, tetapi menuai kekecewaan ketika para eksil itu menanggapinya dengan pertanyaan: “kamu ini PKI atau bukan?”.
Sama seperti Rochijat, Roosa melalui bukunya ini ingin menghancurkan cara berpikir dikotomistik, bahwa kalau tidak anti-PKI pasti pro-PKI, dan sebaliknya. Selama cara berpikir seperti ini terus dipegang, niscaya kita akan terus gagal melihat peristiwa 1965-1966 sebagai bencana kemanusiaan. Cara pandang kita akan terus didikte oleh prasangka ideologis abstrak dan kalkulasi politik sempit. Roosa menambahkan: Sudah saatnya pula untuk berhenti berpikir mengikuti stereotip-stereotip basi. Sepanjang kekuasaan Suharto PKI digambarkan sebagai momok jahat sehingga tidak mungkin memahami bagaimana partai itu pernah menjadi demikian populer, dengan jutaan anggota dan simpatisan. Bagaimana mungkin sebegitu banyak orang Indonesia dihujat sebagai iblis? Buku ini ditulis berdasarkan anggapan bahwa anggota-anggota PKI sebenarnya manusia, bukan setan, dan memiliki karakter moral yang tidak lebih baik atau lebih buruk dari orang-orang lain di Indonesia (hal. xix).
Pesan etis tersebut persis sama dengan pendapat seorang sarjana literary theories Rusia, Tzvetan Todorov, yang menyatakan bahwa begitu kita menghujat masa lalu, maka kita tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu itu. (Hal yang sebaliknya saya kira juga berlaku: begitu kita terus-menerus mengglorifikasi masa lalu, kita juga tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu itu).
Begitu dekatnya hubungan antara sejarah dan etika, sehingga sejarah masih berhak mengklaim sebagai bagian dari humaniora, bukan instrumen pembenar kekuasaan suatu kelompok atau sikap politik suatu golongan.
Budiawan, dosen Program Magister Kajian Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,Yogyakarta.
http://www.sejarahsosial.org/2008/04/08/menyingkap-misteri-membangun-empati-g30s-sebagai-dalih-pembantaian-massal-1965-66/
0 komentar:
Posting Komentar