Renne R.A Kawilarang | Senin, 6 Oktober 2008 | 09:14 WIB
Benny Setiono. | Photo : VIVAnews/Renne Kawilarang
Sampai saat ini Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) DKI Jakarta, Benny Setiono, mengaku tak habis pikir bagaimana bisa Tragedi G30S yang konon didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) berlanjut pada pembekuan hubungan diplomatik Indonesia dengan Cina (RRC) dan diikuti penyerangan serta praktik diskriminasi atas etnis Tionghoa seperti dirinya. “Yang sangat mengherankan adalah orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat saya belajar juga menjadi sasaran kemarahan,” kata Setiono yang terpaksa drop out dari bangku kuliah setelah kampusnya, Universitas Res Publica (kini menjadi Tri Sakti), dibakar massa 15 Oktober 1965.
Di rumahnya yang asri di kompleks Kemang Pratama Bekasi, Setiono mengungkapkan kepada VIVAnews tidak saja analisisnya mengenai penyebab pembekuan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina selama 23 tahun, namun juga pengalamannya menyaksikan kemarahan massa anti komunis kepada fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina dan etnis Tionghoa di Indonesia setelah manuver politik yang gagal dilakukan PKI dalam Insiden 30 September 1965. Terlampir pula beberapa kutipan dari buku karya Setiono berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” yang menghantar pria kelahiran Desa Ceracas, Kuningan, Jawa Barat, 31 Oktober 1943 tersebut meraih penghargaan Wertheim Award 2008 di Belanda.
Bisakah Anda mengenang kembali peristiwa kerusuhan anti-China yang berujung pada pembekuan hubungan diplomatik RI-RRC, yang ditandai dengan penyerbuan Universitas Res Publica dan Kedubes RRC?Ketika itu saya baru lulus tingkat tiga fakultas ekonomi di Universitas Res Republica (kini Tri Sakti). Suasana di sekitar Kedutaan Besar RRT dan fasilitas-fasilitan milik kedutaan pasca kudeta gagal PKI sangat mencekam. Huru-hara di sana-sini dan marak terjadi penyerangan dan demonstrasi anti komunis Cina pasca manuver politik yang gagal dilancarkan PKI. Beberapa kali berlangsung demonstrasi di Kedutaan Cina. [Namun] yang sangat mengherankan adalah orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat saya belajar juga menjadi sasaran kemarahan. Dalam buku yang saya tulis, terungkap bagaimana pelampiasan kemarahan massa anti-komunis kepada pemerintah Cina melalui gedung Kedutaan dan Konsulatnya di Indonesia.
Dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik,” Setiono mengupas secara mendalam kemarahan massa dan kelompok-kelompok mahasiswa anti komunis yang didukung Angkatan Darat atas fasilitas pemerintah Cina di Indonesia. Demonstrasi atas pemerintah RRC pasca Tragedi G30S kali pertama berlangsung pada 10 November 1965 di Makasar dengan sasaran Konsulat Cina. Kerusuhan selanjutnya berlanjut atas sejumlah fasilitas milik pemerintah Cina di beberapa kota, termasuk Jakarta dan Medan. Puncak serangan terjadi pada hari Minggu 1 Oktober 1967. Pada hari yang bertepatan dengan Hari Nasional RRC, ribuan demonstran dari berbagai kesatuan Laskar Ampera, ARK, KAMI, KAPPI dan KAPI menggunakan sebuah truk untuk mendobrak pintu gerbang Kedutaan Besar RRT dan menyerbu ke dalamnya. Mereka menjarah barang-barang yang terdapat di dalam kedutaan dan membakar mobil-mobil dan perabotan serta alat-alat kantor. Terjadi perkelahian antara para demonstran dan staf kedutaan. Beberapa orang staf kedutaan menderita luka-luka karena terjangan peluru dan terpaksa menginapp di rumah sakit militer. Demikian juga beberapa orang demonstran menderita luka-luka, malahan salah seorang kemudian meninggal dunia. Bendera RRC kemudian diturunkan dan diganti dengan bendera merah putih. Gedung kedutaan kemudian diserahkan kepada pihak militer yang segera menutup gerbangnya.
Setelah penyerangan itu, pemerintah memutuskan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC (9 Oktober 1967). Akhir bulan Oktober seluruh diplomat Cina dan Indonesia dipulangkan dan kembali ke negara masing-masing. Kepentingan kedutaan dan pemerintah RRC saat itu diwakili oleh Rumania. Satu persatu fasilitas pemerintah Cina diambil alih penguasa . Sampai sekarang tidak ada kompensasinya, malahan fasilitas-fasilitas yang diambil alih tersebut berubah fungsi menjadi ruko, apartemen dan lain-lain. Seharusnya fasilitas-fasilitas tersebut dikembalikan.
Apa yang membuat massa anti komunis begitu marah dengan Cina sampai menyerang Kedutaan dan fasilitas-fasilitas Pemerintah Cina di Indonesia?Saat itu kan [sebelum Tragedi G30S] pemerintah Indonesia dia era Bung Karno sangat erat dengan pemerintah Cina. Partai Komunis Indonesia yang punya massa besar pun saat itu berkiblat kepada komunis Cina. Nah ketika PKI habis diberantas setelah gagal menjalankan operasi, Bung Karno menjadi sasaran berikut dan berhasil dilucuti kekuasaannya pada 11 Maret 1966. Selanjutnya sasaran berikut ada Cina yang dianggap mendukung kampanye PKI untuk mengganyang sejumlah perwira Angkatan Darat yang menjadi komponen kekuatan anti komunis. Kecurigaan itu dikipasi oleh negara-negara Barat yang menyatakan bahwa musuh utama itu kan dari Utara (Cina). Apalagi di pertengahan dekade 1960-an Cina mengalami radikalisasi politik saat pemimpinya, Mao Zedong, menerapkan “Revolusi Budaya.” Pemerintah Cina melalui Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia pasca G30S.
Melalui “Tionghoa dalam Pusaran Politik,” Setiono menjelaskan dampak Revolusi Budaya yang mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Cina, yang sangat sensitif tidak saja kepada negara-negara Barat yang menjadi musuhnya melainkan juga kepada kondisi domestik negara-negara sekutunya, termasuk Indonesia. Di masa Revolusi Budaya (1966-1969), seluruh tatanan dan nilai yang dianggap feodal dan borjuis di Cina dihancurkan. Jadi tidak mengherankan kalau hal ini juga tercermin dalam politik luar negeri Cina yang radikal. Sikap radikal tersebut ditunjukkan oleh Duta Besar Cina untuk Indonesia saat itu, Yao Chung Ming. Pemerintah RRC melalui siaran Radio Peking dan kantor berita Hsinhua [Xinhua] gencar melalukan agitasi menyerang pihak reaksioner Angkatan Darat Indonesia yang dituduh sebagai antek imperialis Amerika Serikat.
Anda menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat Anda kuliah juga menjadi sasaran kemarahan massa anti komunis. Mengapa bisa demikian? Terus terang saya tidak habis pikir, apa hubungannya kami dengan G30S? Mungkin saja karena banyak mahasiswa Tionghoa pada saat itu aktif di organisasi yang beraliran kiri, Tiongkok, seperti CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Nah setelah kejadian G30S akhirnya sekolah kita (Universitas Res Publica) diserbu oleh massa yang mengaku anti komunis. Kami tidak mau diserang begitu saja, maka saya waktu itu ikut jaga kampus bersama teman-teman. Namun datanglah tentara. Ditembaki, mana mungkin kami bisa melawan. Kampus kami mulai diserang sekitar tanggal 7 Oktober 1965 sebelum akhirnya dibakar tanggal 15 Oktober 1965. Begitu mereka masuk gedung kampus dibakar dan dijarah, nangislah kita.
Setelah itu kami tercerai berai. Sejak saat itu saya tidak mungkin lagi kembali kuliah karena turut dikejar-kejar [aparat]. Di saat yang bersamaan orang-orang Tionghoa yang aktif di Baperki ditangkap. Padahal nggak ada urusannya, tahu apa sih mereka mengenai G30S? Tokoh-tokoh asing pun ada yang ditangkapi seperti pimpinan Chung Hua Chung Hui atau Chung Hua Chiao Toan Chung Hui (Chiao Chung). Masalahnya, di saat yang sama Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia. Situasi pun kian memanas. Pada April 1966 semua sekolah Tionghoa yang dianggap sekolah asing ditutup, jadi waktu itu banyak yang putus sekolah.
Dalam bukunya, Setiono mengungkapkan bahwa pasca Tragedi G30S, intensitas kerusuhan anti Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Ditambah tindakan represif penguasa militer, hal tersebut akhirnya menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan dan menjadi salah satu sebab mengapa etnis Tionghoa selama 32 tahun enggan terlibat lagi dalam ranah politik dan memusatkan perhatian dan kegiatan di bidang bisnis.
Setelah sekitar 23 tahun memutuskan hubungan diplomatik dengan Cina, Suharto menormalisasi hubungan Jakarta-Beijing tahun 1990. Apa yang mendasari perubahan kebijakan pemerintah tersebut? Apakah lebih karena tekanan luar atau berkat desakan dari komunitas Tionghoa di Indonesia? Ketegangan RI-Cina muncul karena dilatarbelakangi Perang Dingin. Lagipula ketika itu Cina kan diguncang gerakan radikalisme melalui Revolusi Budaya. Perang Dingin akhirnya selesai. Namun apakah dengan demikian hubungan Indonesia dan Cina kembali berlanjut karena desakan orang-orang Tionghoa, saya rasa tidak demikian. Pengalaman saya waktu berkantor di Glodok mengungkapkan bahwa ketika mulai ada tanda-tanda dibukanya kembali hubungan Indonesia dengan Cina, para pedagang di Glodok saat itu tidak antusias. Mereka menilai kalau hubungan dibuka kembali, justru membuat mereka susah. Mungkin karena Indonesia melihat desakan internasional saat Cina mulai berubah sejak pemerintahan Deng Xiaoping. AS sendiri kan mulai berubah dengan menjalin hubungan dengan Cina. Jadi bukan karena desakan orang Tionghoa di Indonesia namun karena perkembangan internasional.
Hubungan RI-China kini dikabarkan kian erat. Apakah ini bisa menjadi jaminan bagi berakhirnya era diskriminasi atas keturunan Tionghoa di Indonesia?Menurut saya, orang Tionghoa harus hati-hati, karena hubungan ini sangat peka dan berbahaya. Orang Tionghoa bisa selalu jadi korban, karena kalau ada apa-apa kita sebagai korban nggak pernah diurus. Apalagi sekitar 95 persen orang Tionghoa di sini sudah berstatus warga negara Indonesia, sehingga pemerintah Cina – seperti pada kasus Mei 1998 – tidak ambil pusing karena itu dianggap urusan dalam negeri Indonesia.
Namun banyak organisasi Tionghoa menyatakan diri berorientasi ke Cina. Tidak heran karena mereka ini kan semasa kecil dididik di Tiongkok, berbahasa Indonesia susah dan sejarah negeri ini tidak tahu dan terpaksa menjadi WNI. Sekarang ekonomi Cina kan luar biasa maju dan telah menjadi madu yang menarik banyak pihak.
Pemerintah Cina kan punya semboyan “dimana bumi berpijak, di situ langit dijunjung,” sekarang orang Tionghoa bukan yurisdiksi mereka. Tapi tetap saja ibarat kepala dibiarkan, buntut justru dipegang. Apalagi banyak organisasi Tionghoa selalu berhubungan dengan Tiongkok. Saya kritik keras itu karena membahayakan. Nanti disebut loyalitas kita ke negara ini nggak ada, padahal mereka punya banyak kepentingan bisnis dengan Beijing.
Situasi di Cina sekarang mirip dengan kondisi Indonesia di zaman Soeharto. Distribusi kekayaan berpusat ke segelintir orang dengan perkiraan akan menetes ke bawah, nyatanya kan tidak begitu. Lalu mereka menerapkan sistim partai tunggal dan konglomerasi serta mengundang banyak modal asing. Sebaliknya buruh dan rakyat kecil menjadi korban kesewenang-wenangan. Kapitalisme yang dibangun di Cina kan masih dalam tahap awal yang sarat dengan eksploitasi. Menjadi kaya sudah menjadi prioritas sehingga segala cara ditempuh.
Lalu bagaimana seharusnya warga keturunan Tionghoa mengembangkan potensi masing-masing tanpa terpengaruh pada baik-buruknya hubungan Indonesia dengan Cina?Kesimpulan saya, kita orang Tionghoa di sini bila tidak ingin ada lagi kerusuhan maka kita harus masuk ke mainstream. Jangan lagi mengacu kepada Cina Daratan atau Taiwan atau jangan ikut-ikut sikap pejabat atau tentara. Orang Tionghoa harus masuk ke akar rumput dimana dia hidup tanpa harus menanggalkan ke-Tionghoaan-nya. Indonesia kan bangsa yang pluralis. Jadi tidak usah lagi takut dengan mengganti nama atau menyangkal kebudayaan leluhur.
Di rumahnya yang asri di kompleks Kemang Pratama Bekasi, Setiono mengungkapkan kepada VIVAnews tidak saja analisisnya mengenai penyebab pembekuan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina selama 23 tahun, namun juga pengalamannya menyaksikan kemarahan massa anti komunis kepada fasilitas-fasilitas milik pemerintah Cina dan etnis Tionghoa di Indonesia setelah manuver politik yang gagal dilakukan PKI dalam Insiden 30 September 1965. Terlampir pula beberapa kutipan dari buku karya Setiono berjudul “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” yang menghantar pria kelahiran Desa Ceracas, Kuningan, Jawa Barat, 31 Oktober 1943 tersebut meraih penghargaan Wertheim Award 2008 di Belanda.
Bisakah Anda mengenang kembali peristiwa kerusuhan anti-China yang berujung pada pembekuan hubungan diplomatik RI-RRC, yang ditandai dengan penyerbuan Universitas Res Publica dan Kedubes RRC?Ketika itu saya baru lulus tingkat tiga fakultas ekonomi di Universitas Res Republica (kini Tri Sakti). Suasana di sekitar Kedutaan Besar RRT dan fasilitas-fasilitan milik kedutaan pasca kudeta gagal PKI sangat mencekam. Huru-hara di sana-sini dan marak terjadi penyerangan dan demonstrasi anti komunis Cina pasca manuver politik yang gagal dilancarkan PKI. Beberapa kali berlangsung demonstrasi di Kedutaan Cina. [Namun] yang sangat mengherankan adalah orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat saya belajar juga menjadi sasaran kemarahan. Dalam buku yang saya tulis, terungkap bagaimana pelampiasan kemarahan massa anti-komunis kepada pemerintah Cina melalui gedung Kedutaan dan Konsulatnya di Indonesia.
Dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik,” Setiono mengupas secara mendalam kemarahan massa dan kelompok-kelompok mahasiswa anti komunis yang didukung Angkatan Darat atas fasilitas pemerintah Cina di Indonesia. Demonstrasi atas pemerintah RRC pasca Tragedi G30S kali pertama berlangsung pada 10 November 1965 di Makasar dengan sasaran Konsulat Cina. Kerusuhan selanjutnya berlanjut atas sejumlah fasilitas milik pemerintah Cina di beberapa kota, termasuk Jakarta dan Medan. Puncak serangan terjadi pada hari Minggu 1 Oktober 1967. Pada hari yang bertepatan dengan Hari Nasional RRC, ribuan demonstran dari berbagai kesatuan Laskar Ampera, ARK, KAMI, KAPPI dan KAPI menggunakan sebuah truk untuk mendobrak pintu gerbang Kedutaan Besar RRT dan menyerbu ke dalamnya. Mereka menjarah barang-barang yang terdapat di dalam kedutaan dan membakar mobil-mobil dan perabotan serta alat-alat kantor. Terjadi perkelahian antara para demonstran dan staf kedutaan. Beberapa orang staf kedutaan menderita luka-luka karena terjangan peluru dan terpaksa menginapp di rumah sakit militer. Demikian juga beberapa orang demonstran menderita luka-luka, malahan salah seorang kemudian meninggal dunia. Bendera RRC kemudian diturunkan dan diganti dengan bendera merah putih. Gedung kedutaan kemudian diserahkan kepada pihak militer yang segera menutup gerbangnya.
Setelah penyerangan itu, pemerintah memutuskan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRC (9 Oktober 1967). Akhir bulan Oktober seluruh diplomat Cina dan Indonesia dipulangkan dan kembali ke negara masing-masing. Kepentingan kedutaan dan pemerintah RRC saat itu diwakili oleh Rumania. Satu persatu fasilitas pemerintah Cina diambil alih penguasa . Sampai sekarang tidak ada kompensasinya, malahan fasilitas-fasilitas yang diambil alih tersebut berubah fungsi menjadi ruko, apartemen dan lain-lain. Seharusnya fasilitas-fasilitas tersebut dikembalikan.
Apa yang membuat massa anti komunis begitu marah dengan Cina sampai menyerang Kedutaan dan fasilitas-fasilitas Pemerintah Cina di Indonesia?Saat itu kan [sebelum Tragedi G30S] pemerintah Indonesia dia era Bung Karno sangat erat dengan pemerintah Cina. Partai Komunis Indonesia yang punya massa besar pun saat itu berkiblat kepada komunis Cina. Nah ketika PKI habis diberantas setelah gagal menjalankan operasi, Bung Karno menjadi sasaran berikut dan berhasil dilucuti kekuasaannya pada 11 Maret 1966. Selanjutnya sasaran berikut ada Cina yang dianggap mendukung kampanye PKI untuk mengganyang sejumlah perwira Angkatan Darat yang menjadi komponen kekuatan anti komunis. Kecurigaan itu dikipasi oleh negara-negara Barat yang menyatakan bahwa musuh utama itu kan dari Utara (Cina). Apalagi di pertengahan dekade 1960-an Cina mengalami radikalisasi politik saat pemimpinya, Mao Zedong, menerapkan “Revolusi Budaya.” Pemerintah Cina melalui Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia pasca G30S.
Melalui “Tionghoa dalam Pusaran Politik,” Setiono menjelaskan dampak Revolusi Budaya yang mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Cina, yang sangat sensitif tidak saja kepada negara-negara Barat yang menjadi musuhnya melainkan juga kepada kondisi domestik negara-negara sekutunya, termasuk Indonesia. Di masa Revolusi Budaya (1966-1969), seluruh tatanan dan nilai yang dianggap feodal dan borjuis di Cina dihancurkan. Jadi tidak mengherankan kalau hal ini juga tercermin dalam politik luar negeri Cina yang radikal. Sikap radikal tersebut ditunjukkan oleh Duta Besar Cina untuk Indonesia saat itu, Yao Chung Ming. Pemerintah RRC melalui siaran Radio Peking dan kantor berita Hsinhua [Xinhua] gencar melalukan agitasi menyerang pihak reaksioner Angkatan Darat Indonesia yang dituduh sebagai antek imperialis Amerika Serikat.
Anda menyebutkan bahwa orang-orang Tionghoa dan sekolah-sekolahnya termasuk tempat Anda kuliah juga menjadi sasaran kemarahan massa anti komunis. Mengapa bisa demikian? Terus terang saya tidak habis pikir, apa hubungannya kami dengan G30S? Mungkin saja karena banyak mahasiswa Tionghoa pada saat itu aktif di organisasi yang beraliran kiri, Tiongkok, seperti CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Nah setelah kejadian G30S akhirnya sekolah kita (Universitas Res Publica) diserbu oleh massa yang mengaku anti komunis. Kami tidak mau diserang begitu saja, maka saya waktu itu ikut jaga kampus bersama teman-teman. Namun datanglah tentara. Ditembaki, mana mungkin kami bisa melawan. Kampus kami mulai diserang sekitar tanggal 7 Oktober 1965 sebelum akhirnya dibakar tanggal 15 Oktober 1965. Begitu mereka masuk gedung kampus dibakar dan dijarah, nangislah kita.
Setelah itu kami tercerai berai. Sejak saat itu saya tidak mungkin lagi kembali kuliah karena turut dikejar-kejar [aparat]. Di saat yang bersamaan orang-orang Tionghoa yang aktif di Baperki ditangkap. Padahal nggak ada urusannya, tahu apa sih mereka mengenai G30S? Tokoh-tokoh asing pun ada yang ditangkapi seperti pimpinan Chung Hua Chung Hui atau Chung Hua Chiao Toan Chung Hui (Chiao Chung). Masalahnya, di saat yang sama Radio Peking terus menyiarkan protes atas insiden-insiden yang terjadi di Indonesia. Situasi pun kian memanas. Pada April 1966 semua sekolah Tionghoa yang dianggap sekolah asing ditutup, jadi waktu itu banyak yang putus sekolah.
Dalam bukunya, Setiono mengungkapkan bahwa pasca Tragedi G30S, intensitas kerusuhan anti Tionghoa makin menjadi-jadi. Penjarahan, perusakan, dan pembakaran rumah-rumah, toko-toko, sekolah-sekolah dan mobil-mobil milik etnis Tionghoa terjadi di mana-mana. Ditambah tindakan represif penguasa militer, hal tersebut akhirnya menimbulkan kekuatiran dan trauma berkepanjangan dan menjadi salah satu sebab mengapa etnis Tionghoa selama 32 tahun enggan terlibat lagi dalam ranah politik dan memusatkan perhatian dan kegiatan di bidang bisnis.
Setelah sekitar 23 tahun memutuskan hubungan diplomatik dengan Cina, Suharto menormalisasi hubungan Jakarta-Beijing tahun 1990. Apa yang mendasari perubahan kebijakan pemerintah tersebut? Apakah lebih karena tekanan luar atau berkat desakan dari komunitas Tionghoa di Indonesia? Ketegangan RI-Cina muncul karena dilatarbelakangi Perang Dingin. Lagipula ketika itu Cina kan diguncang gerakan radikalisme melalui Revolusi Budaya. Perang Dingin akhirnya selesai. Namun apakah dengan demikian hubungan Indonesia dan Cina kembali berlanjut karena desakan orang-orang Tionghoa, saya rasa tidak demikian. Pengalaman saya waktu berkantor di Glodok mengungkapkan bahwa ketika mulai ada tanda-tanda dibukanya kembali hubungan Indonesia dengan Cina, para pedagang di Glodok saat itu tidak antusias. Mereka menilai kalau hubungan dibuka kembali, justru membuat mereka susah. Mungkin karena Indonesia melihat desakan internasional saat Cina mulai berubah sejak pemerintahan Deng Xiaoping. AS sendiri kan mulai berubah dengan menjalin hubungan dengan Cina. Jadi bukan karena desakan orang Tionghoa di Indonesia namun karena perkembangan internasional.
Hubungan RI-China kini dikabarkan kian erat. Apakah ini bisa menjadi jaminan bagi berakhirnya era diskriminasi atas keturunan Tionghoa di Indonesia?Menurut saya, orang Tionghoa harus hati-hati, karena hubungan ini sangat peka dan berbahaya. Orang Tionghoa bisa selalu jadi korban, karena kalau ada apa-apa kita sebagai korban nggak pernah diurus. Apalagi sekitar 95 persen orang Tionghoa di sini sudah berstatus warga negara Indonesia, sehingga pemerintah Cina – seperti pada kasus Mei 1998 – tidak ambil pusing karena itu dianggap urusan dalam negeri Indonesia.
Namun banyak organisasi Tionghoa menyatakan diri berorientasi ke Cina. Tidak heran karena mereka ini kan semasa kecil dididik di Tiongkok, berbahasa Indonesia susah dan sejarah negeri ini tidak tahu dan terpaksa menjadi WNI. Sekarang ekonomi Cina kan luar biasa maju dan telah menjadi madu yang menarik banyak pihak.
Pemerintah Cina kan punya semboyan “dimana bumi berpijak, di situ langit dijunjung,” sekarang orang Tionghoa bukan yurisdiksi mereka. Tapi tetap saja ibarat kepala dibiarkan, buntut justru dipegang. Apalagi banyak organisasi Tionghoa selalu berhubungan dengan Tiongkok. Saya kritik keras itu karena membahayakan. Nanti disebut loyalitas kita ke negara ini nggak ada, padahal mereka punya banyak kepentingan bisnis dengan Beijing.
Situasi di Cina sekarang mirip dengan kondisi Indonesia di zaman Soeharto. Distribusi kekayaan berpusat ke segelintir orang dengan perkiraan akan menetes ke bawah, nyatanya kan tidak begitu. Lalu mereka menerapkan sistim partai tunggal dan konglomerasi serta mengundang banyak modal asing. Sebaliknya buruh dan rakyat kecil menjadi korban kesewenang-wenangan. Kapitalisme yang dibangun di Cina kan masih dalam tahap awal yang sarat dengan eksploitasi. Menjadi kaya sudah menjadi prioritas sehingga segala cara ditempuh.
Lalu bagaimana seharusnya warga keturunan Tionghoa mengembangkan potensi masing-masing tanpa terpengaruh pada baik-buruknya hubungan Indonesia dengan Cina?Kesimpulan saya, kita orang Tionghoa di sini bila tidak ingin ada lagi kerusuhan maka kita harus masuk ke mainstream. Jangan lagi mengacu kepada Cina Daratan atau Taiwan atau jangan ikut-ikut sikap pejabat atau tentara. Orang Tionghoa harus masuk ke akar rumput dimana dia hidup tanpa harus menanggalkan ke-Tionghoaan-nya. Indonesia kan bangsa yang pluralis. Jadi tidak usah lagi takut dengan mengganti nama atau menyangkal kebudayaan leluhur.
Sumber: Viva.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar