Oleh Ahmad Yunus*
Ilustrasi: Putri pertama DN Aidit, Ibarruri, Mahadir Basti, Ilham (putra DN Aidit) dan anaknya saat di terminal bandara. (Dari kanan ke kiri). [Sumber: PosBelitung]
JOGJAKARTA rasanya lebih dingin dari biasanya. Sisa-sisa bangunan hancur
akibat gempa masih terlihat jelas. Iba sesekali menjepret beberapa obyek, tak
terkecuali anak-anak yang sedang bernyanyi riang. Dia juga akhirnya ikut
bernyanyi.
Relawan-relawan muda Samin (Sekretariat Anak Merdeka Indonesia) hilir-mudik
di sekitar Iba. Beberapa di antara mereka merokok dan minum kopi sekadar
melepas lelah. Malam terus larut meninggalkan senja sore.
Iba juga melepas lelah. Di ruang kamar depan, dia terdiam dalam keheningan.
Kini, dia memaksa kembali tangannya untuk menulis di komputer jinjingnya. Terus
menulis kisah lawatannya di Indonesia. Pun tentang kenangannya.
Kami baru saja dari Semarang, salah satu kota tempat sebagian kenangan
selalu mengusik Iba. Masih segar dalam ingatan, Iba diantar adiknya, Ilham,
saat memasuki stasiun kereta api Bandung. Cahaya lampu cukup terang untuk
menerangi gelap malam. Iba menggendong tas. Dua tas koper jinjing berisi penuh
bukunya di tangan kanan-kirinya.
Di atas gerbong, Iba mengobrol santai dengan Ilham. Saat kereta hendak
berangkat, Ilham mencium kening Iba. Petugas kereta api meniup peluit tanda
keberangkatan. Ilham turun dan melambaikan tangan. Iba membalasnya.
“Hati-hati. Titip Iba, ya” teriak Ilham pada saya.
Iba merebahkan badannya pada kursi gerbong. Udara dingin dari air
conditioner di dalam gerbong merayap cepat. Iba menaikkan selimut, menarik
kursi agak ke belakang dan memasang bantal tipis pada kepalanya. Kereta api
melaju pelan.
“Saya belum makan,” kata Iba.
“Saya bawa makanan kecil. Roti dua buah dan keripik jagung,” saya
menimpali.
Iba mengambil roti pisang keju. Saya makan keripik jagung. Iba bercerita
pengalaman naik kereta api di Perancis. Kereta api di sana berjalan sangat
cepat. Dari kota Paris hingga ke Perancis bagian utara hanya membutuhkan
beberapa jam saja. Kereta api melesat cepat hingga 400 kilometer tiap jam. Tapi
ia juga suka kereta api saat ini. Nyaman dan bersih. Ia duduk dekat dengan kaca
jendela. Berusaha melihat pemandangan keluar, namun gelap.
***
Ilustrasi: Sumaun Utomo dan Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI [Sumber: Komunitas Pegiat Sejarah Semarang]
MALAM menuju pagi. Iba tertidur pulas. Kereta api terus melaju hingga
berhenti di Stasiun Tawang, Semarang. Udara terasa hangat.
Pagi sekitar pukul 05.15, taksi yang membawa kami berhenti di rumah
kediaman Sumaun Utomo. Orang ini berusia kepala delapan.
Seekor anjing kecil berbulu gelap, menyalaki kami. Rumah asri banyak
tanaman kecil. Ruangan bersih. Utomo mencium Iba.
Di ruang dapur, kami duduk di meja makan. Sarapan pagi yang enak. Nasi
harum. Ada gudeg. Sayur kulit. Goreng ayam dan sambal. Rumah ini hanya
ditinggal berdua. Sumaun Utomo hangat dan gagah. Berbadan tinggi. Rambutnya
sudah putih penuh uban. Di usianya yang sudah senja, ia masih menyibukkan diri
bekerja sebagai ketua umum Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde
Baru. Biasa disingkat LPR-KROB.
Iba sambil melahap gudeg terus mendengarkan kisah penuturan Utomo. Dari
Peristiwa 65, Pulau Buru hingga melanjutkan kisah hidupnya. Sumaun Utomo aktif
di CC PKI sebagai sekertaris lembaga sejarah. Tugasnya membuat buku dan
penerbitan soal PKI dan komunisme. Utomo alumni sekolah militer Jepang di
Surabaya tahun 1942. Dia mendapatkan pendidikan calon perwira penangkis udara.
“Saya sudah memahami sejarah Uni Soviet, Manifesto Komunis dari buku-buku
loak berbahasa Belanda,” kata Utomo pelan.
Utomo kenal Aidit, tokoh utama PKI di Indonesia. Mereka pertama kali
bertemu di Jogjakarta. Saat itu, Aidit membantu penerbitan redaksi Bintang
Merah, salah satu koran yang diterbitkan oleh PKI. Pertemuan itu tak jauh-jauh
amat membicarakan soal politik. Utomo kemudian larut ke dalam gerakan bawah
tanah partai.
Utomo senang dengan sejarah kotanya. Puluhan tahun silam, kota itu basis
gerakal radikal melawan kolonialisme. Di sini, pertama kali organisasi sosialis
berdiri dengan nama Perhimpunan Sosial-Demokrat Hindia, di bawah pimpinan Henk
Sneevliet dan Ir. Adolf Baars. Mereka kemudian mendirikan Sociaal Democratische
Partij (SDP), perintis Partai Komunis.
Pada tahun 1911, berdiri SI (Sarekat Islam) dan berkembang dengan pesat. SI
kemudian jadi organisasi terbesar. Saat SI besar, PKI pun besar di bawah Semaun
dan Darsono. Sikap politiknya keras. PKI pula yang mendesain gerakan perlawanan
buruh besar di maskapai kereta api milik Belanda secara besar-besaran. PKI
semakin tangguh di bawah Tan Malaka, seorang ideolog.
“Gerakan Komunis di Semarang cepat, karena di sini pusat eksploitasi
jajahan dan himpitan eksploitasi,” kata Utomo memaparkan.
Kota Semarang menjadi kota penting bagi Belanda dengan pusat industri gula.
Kekuasaan wilayah timur masih dipegang oleh Mangkunegara dari Kerajaan Solo.
Sedangkan di bagian selatan dikuasai oleh pengusaha berketurunan Tiongkok, Ong
Tiong Ham.
Belanda memperhatikan arsitektur Kota Semarang. Mulai irigasi hingga ke
pelabuhan. Namun semenjak pendudukan Jepang hingga ke tangan Indonesia,
Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah tak terurus. Air laut meresap
keluar dari badan jalan kota tua. Di musim hujan, banjir sering terjadi.
“Kereta api, pelabuhan, pabrik gula macet dan mati. Jepang hanya mengurusi
kepentingan perangnya saja. Pemerintah Indonesia juga sama tidak mengurusi
lagi,” kata Utomo.
Iba menyimak semuanya dengan tekun.
***
IBA adalah sapaan akrab buat Ibarurri. Dia lahir di Jakarta, 23 November
1949. Iba anak sulung dari pasangan Dipa Nusantara Aidit dan Soetanti. Jadilah nama
lengkapnya Ibarurri Putri Alam Aidit. Orang mengenal dia “Ibarurri Aidit”.
Ibarurri bukan nama biasa. Ini nama besar bagi sejarah Spanyol dekade tahun
1938. Ia adalah puteri seorang buruh tambang yang menjadi pemimpin gerakan
buruh Spanyol. Ibarurri tercatat juga sebagai pemimpin Gerakan Komunis
Internasional dan pendiri Tentara Proletariat Spanyol. Sedangkan nama
belakangnya, Putri Alam merupakan nama samaran Aidit ketika bergerilya melawan
Belanda.
Aidit suka memberikan nama putra putrinya dengan nama besar. Anak kedua,
seorang perempuan, juga diberikan nama besar. Ilya berasal dari nama besar
penulis Uni Soviet Ilya Erenburg. Bukunya menjadi bacaan wajib bagi kalangan
intelektual revolusioner kalangan komunis. Sekelas dengan karya-karya
Ostrovski, Gorki atau Boris Polewoi.
Usia 9 tahun, Ibarurri bersama ibunya, Soetanti berangkat ke Moskow.
Soetanti hendak memperdalam ilmu kedokterannya. Pada 7 Oktober, 1958 mereka
mendarat di Bandara Udara Sheremecevo. Udara dingin merayap cepat. Tak banyak
warga Indonesia yang berada di Uni Sovyet. Kecuali yang hendak belajar di
beberapa kampus terkenal di sana, seperti di Moskovski Gosudarstwennii
Universitet.
Hubungan Indonesia dan Uni Sovyet begitu mesra. Uni Soviet, juga Ukraina,
adalah dua negara pertama yang mendukung secara resmi keberadaan Republik
Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ibarurri setelah tinggal selama satu bulan kemudian masuk ke “internat”
atau asrama. Ini adalah asrama bagi kalangan elit anak-anak diplomat komunis
dan pegawai kedutaan Sovyet di luar negeri. Di sini, Iba kemudian bertemu
dengan anak-anak kader dari negara sosialis atau komunis, mulai daratan Eropa
Barat hingga Vietnam Utara.
Di asrama ini, Iba kemudian terbiasa menyanyikan lagu-lagu perjuangan untuk
membela kaum Revolusi Oktober. Melahap bacaan soal gagahnya gerilya Soviet yang
bertempur melawan Hitler. Buku-buku sastra klasik dunia hingga buku favoritnya
“Spartakus”. Iba juga mengikuti perayaan Hari Buruh Internasional, 1 Mei atau
hari Revolusi Oktober yang jatuh pada 7 November. Sesekali Iba menghadiri
pertemuan antara Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis Indonesia yang
dipimpin oleh ayahnya sendiri.
Di mata Aidit, sosok Stalin adalah pemimpin besar yang berjasa memenangkan
Perang Dunia II melawan Hitler. Ketika Stalin meninggal pada Desember 1953,
Aidit bersama Nyoto menghadiri pemakaman tersebut di Moskow. Mereka berdiri
sebagai pengawal kehormatan.
***
MUSIM PANAS, 22 MEI 1965. Iba dan Ilya bersama rombongan delegasi PKUS tiba
di Kemayoran, Jakarta. Rombongan delegasi ini hendak mengikuti perayaan ulang
tahun PKI ke-45. Di Senayan, terdapat lukisan Soekarno dalam ukuran besar.
Melebihi ukuran lukisan Marx, Engels, Lenin ataupun Stalin. Lukisan tersebut
dikerjakan oleh seniman yang tergabung ke dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan
Rakyat), organisasi mantel PKI.
Iba, yang baru saja berusia 16 tahun, larut dalam acara persiapan tersebut.
Dia bersama Pemuda rakyat membantu apa saja yang bisa dikerjakan. Mulai masak
air untuk buat kopi dan teh hingga mencuci gelas-gelas yang dipakai saat rapat
malam hari. Bermain voli, ikut latihan drama hingga melihat pertandingan
bersajak.
Ia semakin jatuh cinta pada tanah airnya sendiri ketika mulai berjalan
bersama Oom Murad Aidit dan kakeknya ke Bali. Di sana ia melihat gunung, budaya
dan alamnya. Kesan itu membekas lekat dalam jatidiri Ibarurri. Kelak dikemudian
hari, Ibarurri masih merasa tetap masih menjadi anak Indonesia.
Ibarurri bersama Pemuda Rakyat berjalan pawai merayakan 17 Agustus 1945
seusai mendengarkan pidato Soekarno di depan Istana Merdeka.
Barisan berangkat dan menuju kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya 81. Di
sana, Aidit selaku ketua pemimpin CC PKI akan memberikan pidatonya dalam rangka
peringatan 17 Agustusan.
Iba terhenyak seusai mendengar pidato ayahnya itu. Aidit mengatakan bahwa
partainya akan dipukul dan ada ancaman teror putih ketiga. Teror putih adalah
istilah Aidit untuk menerangkan adanya isyarat serangan untuk menekuk PKI.
Teror putih pertama terjadi saat pemberontakan tahun 1926. Kemudian teror putih
kedua untuk peristiwa Madiun.
Ancaman itu jauh lebih kejam dan besar dibandingkan dengan ancaman teror
putih pertama dan kedua. Namun, Aidit yakin bahwa partainya akan bangkit dan
pulih dari luka-luka serangan itu. Ancaman dari siapa? Mengapa? Teror apa? Tak
jelas betul. Namun, setelah menyampaikan pidato itu, Ibarurri mendapat kesan
bahwa Aidit semakin melemah. Tak banyak bicara. Sering memandanginya tanpa
bicara. Di ujung hari, Iba akhirnya sadar, bahwa teror putih ketiga itu adalah
peristiwa 30 September 1965.
“Apa kesan kalian selama liburan tiga bulan di Indonesia?” tanya Aidit.
“Aksi!” jawab Ilya.
“Turba!” kata Iba.
“Sekarang sudah waktunya untuk kembali sekolah. Kalian sudah dewasa. Kalian
mau kembali ke Moskow untuk belajar boleh, kalian putuskan sendiri, maka kapan
kembalinya. Kalian mau membolos beberapa minggu sambil menunggu ibu pulang dari
Korea, juga boleh. Kalian sendiri yang memutuskan. Tetapi sekali kalian
putuskan, kalian jalankan betul-betul,” kata Aidit.
“Kalian jangan jadi remo–revisionisme modern kata lain mengkhianati
Marxisme. Kalau papa mendengar kalian jadi remo, langsung papa tarik pulang,”
kata Aidit lagi.
Iba memeluk erat adiknya. Ilya terus menangis. Air matanya mengalir deras.
Hati terasa berat. Iba meneteskan air mata. Pesawat terbang mulai meninggalkan
lapangan Kemayoran, Jakarta, menuju Uni Soviet. Pertemuan terakhir.
***
SEPTEMBER akhir 1965 adalah tahun kelam. Setidaknya dari hasil penelitian
Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan
Bali 1965-1966. Diperkirakan tercatat hingga dua juta manusia yang mati.
Komunisme bagi Soeharto adalah musuh terbesar. Penyiksaan fisik dan mental
berlangsung hingga puluhan tahun. Mereka yang terlibat ataupun yang dituduh
ikut PKI ditangkap, dicari dan dibunuh.
Pembantaian ini berlangsung di Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Bali dan
Sumatera Utara. Soekarno tak mampu menghentikan aksi pembantaian itu. Kartu
Tanda Penduduk atau KTP aktivis kiri atau pendukung Seokarno diberi label “ET”
untuk “eks tahanan politik” oleh Soeharto.
Orde Baru berhasil melakukan rekayasa sejarah mengenai PKI dari semua lini.
Surat kabar dilarang terbit selama satu pekan setelah tanggal 1 Oktober 1965.
Satu-satunya harian yang terbit adalah harian militer Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha. Buku-buku sejarah, lahirnya Hari Kesaktian Pancasila, pembangunan
museum, monumen hingga pembuatan film yang berisi jasa Soeharto terhadap negara
seperti dalam Pengkhianatan G30S/PKI dan Serangan Fajar.
Di Uni Soviet, Iba berusaha memasang mata dan telinga. Dalam dingin dia
bergerak kesana-kemari. Udara menusuk tulang hingga 35 derajat celcius di bawah
angka nol. Daun-daun menguning mulai rontok berjatuhan. Di sudut ruang asrama
dekat pintu masuk, Iba berjalan menuju sudut boks telepon. Agak tergesa-gesa
dia menelepon temannya yang berada di Moskow. Dia ingin mempertegas berita
terakhir Indonesia, yang baru saja Iba dengar dari sebuah radio. Suara yang
masih samar-samar.
Berita itu semakin hari semakin menyakitkan. Tak ada kabar baik dari
Indonesia. Setiap hari, berita tersiar soal pembunuhan dan penangkapan.
Orang-orang PKI mati. Rumah iba di Jakarta habis dilumat api.
Iba tak tahu kondisi keluarganya di Indonesia. Ketiga adiknya masih kecil.
Ayah dan ibunya. Iba duduk termenung cukup lama. Diam dalam keheningan dan
kesenyapan. Udara bertambah dingin dan semakin menggigil.
“Mengapa ini semua terjadi?” pikiran Iba tak tenang. Tak ada yang
menjawab.Kepala terasa panas. Di luar kaca jendela masih bertahan menahan
serangan angin musim es yang bertiup kencang.
Berita tentang penangkapan dan terbunuhnya Aidit sudah beredar luas.
“Central Comitte Partai Komunis Uni Soviet mempertegas bahwa kematian itu
memang terjadi. Ketua Central Comitte Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara
Aidit tertangkap dan ditembak mati oleh tentara Indonesia di Solo. Aku
terhenyak. Ilya, adikku diam tak percaya.”
Kabar berita itu terus mengalir deras.
“Satu persatu kawanku tak sedikit yang tertangkap aparat militer Indonesia.
Eyangku, oomku dan ibuku akhirnya tertangkap”.
Soetanti, ibunda Iba, memang ditangkap dan dipenjarakan. Dia diisolasi tak
boleh berkomunikasi dengan tahanan lainnya di Bukit Duri, Jakarta. Selama 11
tahun, Soetanti meringkuk dalam penjara. Dia mengalami penyiksaan hebat hingga
mengalami kebisuan selama tiga bulan. Soetanti termasuk tahanan golongan A.
Artinya dianggap paling terlibat dalam aksi gerakan 30 September tersebut. Soetanti
tak pernah menjalani proses pengadilan.
Iba merasa Soviet tak bisa lagi memberi harapan untuk tinggal. Hubungan
antara Partai Komunis Uni Soviet dan PKI semakin memburuk. Pelajar dari
kader-kader PKI, termasuk delegasi perwakilan, dibuat tak nyaman. Kegiatan
diawasi oleh mata-mata KGB.
Iba memilih meninggalkan Rusia dan pergi menuju Tiongkok. Naik kereta
melewati Danau Baikal, danau terdalam di dunia, dan menuju perbatasan Mongolia.
***
DIA tiba di Bandara Beijing, Tiongkok, pada 17 Februari 1970. Tiongkok
kondisinya jauh lebih buruk ketimbang Uni Soviet. Banyak warganya berpakaian
penuh dengan tambalan. Pipinya merah karena dingin. Daun-daun kering dijadikan
untuk bahan bakar memasak.
Iba menemui Mao, dan menyempatkan diri untuk melihat kampung Mao Zedong di
Gunung Cingkang. Di sana, Mao Zedong membangun Tentara Merah dan merupakan
basis pertama. Lambat laun, Iba mulai mengenal pemikiran Mao Zedong. Banyak
warga Tiongkok melihat Mao sebagai “dewa”.
Satu bulan berlalu. Iba mengunjungi Kota Shanghai. Di sana, dia ingin
menyaksikan langsung proses operasi tusuk jarum untuk mengambil tumor otak.
Dengan santai, pasien yang menjalani proses operasi tersebut masih
sempat-sempatnya berdialog. Bahkan ketika pasien menjalani pemotongan kulit
kepala dan proses gergaji tengkorak sekalipun!
Hari-hari di Tiongkok terus berlalu. Iba bersama Ilya memulai hidupnya di
Desa Merah. Desa yang penuh dengan kalangan dari intelektual, wartawan,
penerjemah, mahasiswa dari Korea, Jerman Timur dan kader-kader partai komunis.
Istilahnya kerennya, “turun bawah analisa kelas” di desa.
Di sini Iba ikut bantu kerja di ladang menanam sayuran. Bangun pada pukul
04.00 pagi hari memakai topi caping, cangkul dan handuk kecil hingga menjelang
siang hari. Makan kodok goreng dan sop ular. Sore hari hingga malam, asyik
diskusi politik. Hasilnya? Iba kena penyakit lever.
Pemikiran Mao Zedong mewabah. Sekolah kader berjamuran untuk memenangkan
Revolusi Tiongkok. Mao Zedong menggalang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar
untuk melawan restorasi kapitalisme. Iba tak pernah melepas pandangan dari
setiap sudut rumah di sana yang memiliki sederet buku pemikiran Mao Zedong.
Suatu siang, dia kembali melihat Mao. Hari itu, 1 Mei 1970. Ini Hari Buruh
Internasional. Mao berperawakan tinggi. Kulitnya putih. Tampak tenang. Tak jauh
dari sisi lelaki itu, terlihat Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique.
Perdana Menteri Kamboja Pennut juga terlihat. Lin Biao, orang kedua Partai
Komunis Tiongkok hadir. Termasuk pemimpin Partai Komunis Birma, Thaksin B Tan Tein.
Gemuruh ratusan ribu orang memadati lapangan Tian An Men.
Tribun dalam pandangan Iba jauh lebih besar dan lebih tinggi daripada
Tribun Mausoleum Lenin di Moskow. Kembang api meledak memecah kebisuan di
langit dan memancarkan warna warni cahaya. Udara cerah sekali.
“Melawan revisionisme adalah baik, harus terus berjuang melawan
revisionisme,” kata Mao, tenang.
“Oh, putri Aidit. Aidit c’est mon ami.”
“Mao Zedong berbicara pendek kepadaku,” kata Iba.
Mao menuju tribun, mengangkat tangan, menyapa lautan manusia. Ratusan ribu
orang lagi-lagi bergemuruh menyapa kembali kehadirannya.
“Hidup Ketua Mao! Panjang usia Ketua Mao!”. Berulang-ulang.
Iba punya kenangan lain pada Mao. Dia pernah menulis sebuah sajak tentang
kematian Aidit.
Belangsungkawa Buat
Kawan Aidit
Pejuang Komunisme
Internasional
Tegap menghadap jendela dingin di ranting jarang
Tersenyum mendahului mekarnya berbagai kembang
Sayang wajah girang tak berwaktu panjang
Malahan gugur menjelang musim semi datang
Yang akan gugur, gugurlah pasti
Gerangan haruskah itu mengesalkan hati?
Pada waktunya bunga mekar dan gugur sendiri
Wanginya tersimpan menanti tahun depan lagi
***
TIONGKOK akhirnya Iba tinggalkan. Dia bergerak ke Birma pada tahun 1973.
Bersama rombongan kecil, Iba berangkat dari Beijing ke Khunming dengan
pesawat udara. Saat tiba di Birma, dia melepaskan pakaian Tentara Pembebasan
Rakyat Tiongkok dan menggantinya dengan seragam Tentara Rakyat Birma. Anak-anak
kecil di sana sudah biasa menenteng senapan AK 47. Perempuan juga turut
berperang. Beberapa di antaranya jadi komandan tempur.
Kehadiran Iba di Birma hendak mempraktekan ilmu kedokteran timurnya. Iba
memilih Birma karena sedang konflik. Masyarakatnya terbelakang akibat
peperangan. Bersama Tentara Rakyat Birma, Iba kemudian membangun rumah sakit
ala kadarnya di daerah basis. Rumah bilik dengan dinding tembok terbuat dari
campuran jerami dan tanah.
Di rumah sakit ini, Iba merawat tentara-tentara yang tertembak. Seorang
pasien dari Tentara Shan sudah mengalami luka parah pada bagian paha. Peluru
menembus tulang paha hingga remuk. Pada bagian bekas luka itu sudah
mengeluarkan nanah dan bau yang keras. Akhirnya, pemuda itu mati. Akibat perang
kondisi kesehatan masyarakat juga memburuk. Birma terserang penyakit Lepra, TBC
dan Hepatitis.
Tentara Rakyat Birma juga punya kebiasaan aneh. Mereka suka menembak dan
melepaskan peluru, tombak, panah ke arah bulan pada saat gerhana. Mereka
percaya jika tengah terjadi gerhana bulan seekor raksasa akan memakan bulan
itu.
Iba menemukan kondisi yang jauh berbeda dengan keadaan sebelumnya di
Tiongkok atau di Moskow. Iba masuk hutan ke hutan dari satu gunung ke gunung
lainnya. Jalan kaki menembus ratusan kilometer. Masalah makanan menjadi kendala
paling serius. Warga menerima jatah beras sangat terbatas. Dan beralih untuk
mengganjal perut dengan singkong.
“Saya betul-betul kurus. Muka pucat,” kata Iba.
Ia punya pengalaman yang mirip dengan kisah Sumanto pemakan jenazah
manusia. Saat bekerja di rumah sakit, ada saja orang yang meminta ari-ari bayi
yang baru lahir. Ari-ari bayi lelaki dengan berat 3 kilogram. Ari-ari bayi itu
hendak dimakan.
“Pernah nyoba,?” tanya saya
“Amit-amit. Geli!”
Dia meninggalkan Birma. Masuk ke Macao dan bekerja sebagai buruh di pabrik.
Bersama suaminya, Budi Suhdarsono, kemudian masuk ke Jerman. Kemudian memilih
Perancis sebagai tempat singgah terakhirnya.
Iba jadi warga negara Perancis dengan status sebagai refugie politique.
Pelarian politik. Dia memiliki hak bekerja. Sama dengan hak warga Perancis pada
umumnya, kecuali hak untuk memilih dan dipilih.
Iba merasa ibu angkatnya, Prancis, telah memberikan perlindungan penuh
terhadap hak asasi manusianya. Indonesia hingga detik ini, tak memberinya
proses rehabilitasi, pemberian hak politik dan hak sipil kepada korban
kemanusiaan tragedi 1965. Apalagi, membuka dengan jujur kebenaran Peristiwa 65
itu sendiri.
***
AWAL AGUSTUS 2006. Udara pagi terasa segar. Di sudut ruang depan,
menggantung sebuah lukisan bergambar Aidit. Dekat pintu masuk ruang keluarga,
foto berukuran besar Aidit berdiri dan berbincang hangat dengan Seokarno. Ada
foto ayah Aidit di sana, Abdullah Aidit. Suara burung merpati terdengar
nyaring.
Ilham Aidit sedang berbincang. Suaranya khas. Berat dengan bariton kuat. Di
sudut meja kecil, Iba sedang mengecek email pada sebuah komputer. Mereka
tersenyum dan tertawa mengomentari isi email yang masuk. Rambut berantakan.
Iba berbadan gemuk. Rambut pendek. Ia memakai kaus berwarna kuning. Kaca
mata kecilnya menggantung hendak meloncat dari ujung batang hidungnya.
Secangkir teh manis hangat mencairkan suasana.
“Ini ada email berseri. Cerita pengakuan tentang anak Aidit yang lain.
Aidit tidak mati ditembak, tapi berhasil melarikan diri ke Afrika. Jadi
ramai di milis. Saya dapat telepon dari Belanda dan Korea. Minta tes DNA
segala. Bang Said, marah. Tai kucing!, ” kata Iba, tersenyum.
Jarum jam menunjukkan angka 10.00 pagi. Aroma goreng telur dan nasi goreng
menyela perkenalan kami. Satu mangkuk besar berisi baso dan tahu kuah menemani
teman makan sarapan pagi. Iba hangat. Banyak canda. Tertawa lepas.
Minggu kedua Agustus 2006, saya bertemu Iba lagi di ruang diskusi Komunitas
Utan Kayu. Ruangan penuh dengan kalangan orang berumur senja. Mereka ini adalah
eks tahanan politik 1965 yang sempat mencicipi Pulau Buru. Di kerumunan,
terlihat Joesoef Ishak dan Oey Hay Djoen. Kedua ini orang tokoh dari Lekra dan
kini mengurusi penerbitan buku Hasta Mitra. Ishak dikenal luas editor buku-buku
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia.
“Ini catatan kecil saya saja. Berantakan. Setahun terakhir ini, Bung
Joesoef memaksa saya untuk menuliskannya menjadi sebuah buku. Apa yang saya
ingat, ya saya tulis saja. Semacam dialog,” kata Iba, suatu ketika pada saya.
Iba mengikuti saran Ishak. Di sebuah ruang kerja di 8 Rue Normandie Niemen
94310 Orly Kota Paris, Perancis, Iba menuliskan selapis demi selapis
ingatannya. Tentang kehangatan. Kepedihan. Politik. Pengasingan. Komunisme
hingga Budhisme.
Hari itu, siang sekira pukul 14.00, bukunya akan didiskusikan. Iba tampak
tenang dalam balutan kain batik lengan panjang. Sesekali dia terlihat sibuk
melayani wawancara dari para wartawan. Ilham Aidit ikut menemani.
“Memoar seperti itu diperlukan untuk merawat kenangan yang penting soal
sejarah dan nasib orang-orang yang terlibat dalam itu. Saya senang dia gembira
pada hidup dan selalu aktif. Terpanggil untuk berbuat dan baik pada sesama.
Apalagi sekarang dia sebagai Budhist. Ia punya sense of humor yang kuat,” kata
Goenawan Mohamad pada saya. Goenawan, budayawan Indonesia, pendiri majalah
Tempo. Pada buku Iba, Goenawan menulis kata pengantar.
Senja mulai merayap. Wajah Iba tampak kelelahan. Sesekali dia terlihat
mengobrol dengan Goenawan Mohammad atau Oey Hay Djoen, di sebuah sudut meja
makan Kedai Tempo.
“Saya lapar. Belum sempat makan,” kata Iba kepada saya.
Iba kemudian mengganti batiknya dengan kaos putih. Ilham Aidit menyalakan
mobil sedan Mercedes Benz berwarna biru tua. Beberapa tas berisi buku, juga
masuk ke dalam bagasi belakang.
Mobil sedan biru tua itu melaju meninggalkan Komunitas Utan Kayu, Jakarta
Timur. Wajah Ilham Aidit masih terlihat segar dan tampak riang. Rupanya, istri
tercintanya, baru saja melahirkan di Bandung. Saya duduk di depan mendampingi
Ilham Aidit mengemudikan sedan. Iba duduk di belakang dan sesekali melentangkan
badannya.
Ahmad Yunus, belajar jurnalisme di Pantau. Tahun 2005-2006 pernah bekerja untuk situs
berita detik.com wilayah Bandung. Kini sedang mempelajari persoalan
hukum di Universitas Padjajaran Bandung. Tertarik dengan isu persoalan politik,
agama, lingkungan, musik dan gaya hidup. Sebelumnya, pada edisi Juli, di
Majalah Playboy menulis soal persampahan di Kota Bandung.