Oleh : Yoseph Tugio Taher | 10-Feb-2009, 23:06:26 WIB
|
KabarIndonesia - Adalah sangat tidak bisa dipercaya, bahwa di alam reformasi, keterbukaan dan kondisi di mana banyak orang mengusung issue menjunjung tinggi norma-norma HAM serta demokrasi, aparat kepolisian justru membubarkan rapat YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966) sebuah organisasi berbentuk yayasan yang berbadan hukum, terdaftar di Departemen Hukum dan HAM, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. C-125 HT.01.02 TH 2007 Tanggal 19 Januari 2007, dan telah diumumkan dalam Berita Negara/ Lembaran Negara RI tanggal 5 Juni 2007 No.45.
Keheranan dan sekaligus protes atas tindakan aparat kepolisian yang membubarkan rapat YPKP 65 yang hanya dihadiri oleh 5 orang pengurus itu, serta intimidasi-intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian, diceritakan oleh Bedjo Untung, Ketua YPKP Pusat, sbb:
"Pada hari Minggu 25 Januari 2009 jam 12.30 aparat intel berjumlah 3 orang berpakaian preman dan seorang polisi berseragam mendatangi kantor YPKP 65 pusat di Jl. MH. Thamrin gang Mulia No.21, RT.01/RW.02 Kampung Warung Mangga, Desa Panunggangan, Kecamatan Pinang, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Kedatangan mereka adalah untuk membubarkan rapat pengurus YPKP 65 yang terdiri dari hanya 5 orang.
Hebat sekali, seperti layaknya polisi PID di jaman kolonial Belanda,
atau Kenpeitai di jaman pendudukan Jepang. Dengan pongahnya, salah seorang intel itu mengatakan bahwa rapat harus ada izin, dan sekarang rapat harus bubar. Sejak kapan ada aturan seperti itu? Padahal, yang ada adalah cukup pemberitahuan. Itu pun kalau melibatkan massa yang lebih dari 50 orang, rapat umum besar di lapangan terbuka. Ini di dalam ruangan tertutup. Sungguh sangat tidak masuk akal, dan sungguh sangat berlebihan.
Dengan perlakuan yang aneh ini, saya mengatakan, "Benar, Bapak-bapak polisi mengatakan demikian? Tolong tuliskan nama Bapak-bapak polisi. Saya tidak terima perlakuan ini. Saya akan jelaskan kepada Kapolres. Anda-anda tidaklah paham aturan perundang-undangan."
Bukan itu saja, semalam sebelumnya, rumah saya yang juga sebagai kantor YPKP 65 telah dimonitor oleh intel polisi sampai tengah malam. Ini menurut laporan ketua RT setempat yang cukup bersimpati kepada saya.
Lima hari sebelumnya, yaitu pada hari Selasa, 20 Januari 2009,
saya mulai sadar, bahwa diri saya diawasi pertama-tama sejak saya ikut aksi di Bundaran Hotel Indonesia terkait keikutsertaan saya dalam aksi solidaritas untuk Palestina dan aksi penutupan penjara Guantanamo. Kejadiannya sekitar pagi hari, ada dua orang yang mengaku dari aparat kepolisian datang mengendarai sepeda motor masuk ke dalam rumah saya, mereka memperkenalkan diri dari Kepolisian Sektor (Polsek) Cipondoh.
Setelah mereka selesai memperkenalkan diri, kemudian saya mempersilahkan untuk duduk, karena saya tidak pernah mengenal mereka sebelumnya, kemudian saya bertanya ada apa dan apa maksud kehadirannya? Mereka tidak menjawab panjang lebar, pada intinya mereka hanya menanyakan apa benar ini rumah Pak Bedjo, kemudian menanyakan ada berapa banyak jumlah massa yang akan dibawa untuk aksi Guantanamo besok
di kedubes AS.
Atas pertanyaan tersebut, selanjutnya saya jawab, sebenarnya aksinya dilaksanakan hari ini, tetapi karena ada kendala tehnis aksi ditunda besok. Dan tidak ada massa yang akan saya kerahkan, dari Tangerang hanya saya sendiri. Korban 65 orangnya sudah tua-tua, tidak mungkin mau ikut aksi. Mendengar jawaban saya tersebut, selanjutnya salah satu di antara
mereka mengutarakan alasan, bahwa sebagai aparat kepolisian ingin turut mengamankan jalannya pengerahan massa.
Tidak lama berselang, datang lagi dua orang intel berpakaian preman mengendarai sepeda motor dan memperkenalkan diri dari polsek Cipondoh, salah satunya bernama Rahmat. Namun kedatangan yang kedua ini tidak berlangsung lama.
Keesokan harinya, Rabu 21 Januari 2009, saya sudah dalam perjalanan ke Jakarta naik bus, di tengah perjalanan, tiba-tiba HP saya berbunyi, setelah saya angkat, orang tersebut menjawab dan mengaku namanya Rahmat (salah satu intel yang menemui saya sehari sebelumnya). Dia kembali menanyakan jumlah massa kepada saya, namun karena saya tidak membawa
massa, kemudian saya jawab, "Silahkan kalau mau ikut aksi ke Jakarta." Tidak lama kemudian dia menutup telponnya.
Kejadian yang saya alami ini, ternyata juga dialami oleh kawan saya, Bung Heru Suprapto, seorang muda yang berpikiran kritis terhadap Pemilu.
Dengan kejadian ini, tentu saja mengacaukan sistim komunikasi di antara kita, kita harus lebih waspada dan berhati-hati. Kejadian ini membuat istriku takut, tidak bisa tidur dan tidak bernafsu makan. Dengan demikian yang nyata-nyata membuat keresahan adalah pihak aparat keamanan.
YPKP 65 mencatat berulangkali mendapatkan teror dan intimidasi baik dari aparat keamanan maupun massa yang menamakan dirinya ormas Islam.
Pada tahun 2000, ketika menerima kunjungan kehormatan mantan Ibu Negara Perancis Madame Francois Mitterand di kantor YPKP 65 yang terletak di jalan Pajajaran, Karawaci, Tangerang, selang beberapa hari kemudian, kantor dibakar oleh ormas Front Anti Komunis.
Masih di tahun 2000, rencana upacara pemakaman kembali kerangka jenasah hasil temuan penggalian kuburan massal yang akan dimakamkan di Temanggung, tiba-tiba diserang dan digagalkan oleh Forum Islamiyah Ukhuwiyah. Seorang relawan yang juga sebagai sesepuh YPKP 65 Temanggung, Bapak Wirawan diteror, rumahnya dirusak dan barang-barang berharga
miliknya dirampok. Bapak Wirawan sampai-sampai harus mengungsi dan minta perlindungan Gus Dur.
Rapat-rapat yang dilakukan oleh jaringan YPKP 65 daerah di awal
pembentukan jaringan kerja pada tahun 1999 sampai 2002 juga tidak luput dari teror dan intimidasi. Misalnya di Batang, Pekalongan Jawa Tengah.
Pertemuan YPKP 65 di Karang Sembung, Kuningan, Jawa Barat.
Ketika Ketua YPKP 65 pusat hadir di diskusi yang diselenggarakan
kawan-kawan korban 1965 Kabupaten Tasikmalaya, aparat Koramil setempat juga gusar, mempertanyakan maksud kehadirannya.
Teror dan intimidasi juga tertuang dalam media spanduk-spanduk besar yang terpampang di seantero kota-kota di kabupaten dan kecamatan yang bertuliskan Awas Bahaya Laten Komunis, Awas Munculnya PKI Gaya Baru.
Berkenaan dengan kejadian pembubaran rapat YPKP 65 di kantor pusat Tangerang oleh oknum-oknum aparat kepolisian pada hari Minggu 25 Januari 2009, dengan ini secara tegas kita protes keras dan tidak menerima tindakan sewenang-wenang itu. Bahwa kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat, kebebasan mengemukakan pendapat adalah dijamin oleh Undang-undang Dasar RI tahun 1945 pasal 28. Bahkan tidak hanya itu, negara kita juga telah meratifikasi berbagai dokumen HAM internasional, diantaranya Konvenan Hak Sipil dan Politik yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, bahwa negara wajib melindungi warga negaranya, tidak boleh menangkap, menyiksa apalagi membubarkan rapat secara sewenang-wenang itu.
Selanjutnya Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) telah mengajukan surat kepada yang berwenang, Mendesak Pengusutan dan Tindakan Tegas Atas Pembubaran Pertemuan Pengurus YPKP 65 oleh sekelompok Orang Yang Mengaku Anggota Kepolisian Sektor (Polsek) Cipondoh Tangerang.
Surat yang ditandatangani oleh Chrisbiantoro dikirimkan kepada Yang Terhormat, Jenderal Pol. Bambang Hendarso Danuri, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI), dengan tembusan: kepada Komnas HAM-RI, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi III DPR-RI, Menteri Hukum dan HAM, Kapolda Banten dan Kapolres Tangerang.
Kita lihat nanti bagaimana hasilnya, apakah hukum, keadilan dan perlindungan warga negara benar-benar dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat, atau cuma tertulis di atas kertas dan disimpan dalam laci, sementara sebagian oknum aparat kepolisian menteror masyarakat dan masih bermental dan bertindak seperti jaman Orde Baru/Soeharto?
|
0 komentar:
Posting Komentar