Red Drive Proposal, diyakini merupakan usulan
pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia pimpinan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, untuk menumpas habis Partai Komunis dan seluruh
elemen kelompok sayap kiri di Indonesia. Inikah awal mula campur tangan
Amerika Serikat di Indonesia? Kesaksian mantan Gubernur Militer Sumarsono
sudah selayaknya digali lebih lanjut oleh para sejarawan Indonesia.
|
Banyak literatur sejarah di zaman Pemerintahan Soeharto
mengatakan bahwa awal keterlibatan Amerika Serikat (AS) bermula ketika pecah
konflik di dalam negeri, yakni PRRI (di Sumatera Barat) dan Permesta (di
Sulawesi Utara) dekade 50-an.
Namun, jika ditelusur ke belakang lagi, justru mulanya
AS berkepentingan langsung untuk turut campur tangan dalam menentukan masalah
dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun setelah Indonesia merdeka pada
1945.
Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa
Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk
turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub
kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah
daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia
Tenggara.
Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan
geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan
Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang
merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok
Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy)
merasa kecams jika Indonesia pun menjadi sulit dikontrol dan akhirnya masuk
dalam orbit negara-negara komunis seperti Uni Soviet.
Sebuah ulasan yang sangat bagus dan detil ada di buku
“Indonesia Merdeka Karena Amerika”, yang ditulis oleh sejarawan Belanda
Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg (2008), dimana mereka mengamati
kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia sejak 1920 hingga 1949.
Intinya, dalam buku ini, digambarkan bahwa Konferensi
Meja Bundar (KMB) akhir 1949 di mana Indonesia mendapat pengakuan secara
internasional, adalah berkat peran besar AS.
Namun, akan lebih tepat jika melihat KMB tersebut
secara sebab-akibat. Karena, KMB lahir dari akibat perang pengaruh kekuatan
adidaya di masa itu (AS versus Soviet) yang menyeret ke alam Nusantara.
Pemicu yang digunakan adalah konflik berdarah di Solo dan Madiun pada 1948.
Masyarakat Indonesia yang dipelopori para pemuda dari
berbagai golongan, pada intinya tidak ingin menghirup udara kemerdekaan hasil
dari pemberian pihak kolonial.
Itu sebabnya, saat Jepang menjajah Indonesia dan
kemudian negara Matahari Terbit ini dijatuhkan bom atom oleh AS awal Agustus,
para pemuda menghendaki segera mungkin Indonesia merdeka. Sayangnya,
Soekarno-Hatta saat itu sedang diundang ke Dalat (Vietnam) oleh petinggi
militer Jepang yang menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia “pada saatnya”
akan diberikan.
Berbekal dari janji politik tersebut,
Soekarno-Hatta saat tiba kembali ke Jakarta dan dipaksa oleh para pemuda
untuk segera memproklamirkan Indonesia karena Jepang sudah takluk, belum
yakin seratus persen.
Meletuslah Peristiwa 16 Agustus 1945, di mana
Soekarno-Hatta diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Meski di momentum itu Soekarno-Hatta belum bersedia juga, namun makna dari
penculikan tersebut berdampak sehari sesudahnya. Jam 10 pagi tanggal 17
Agustus, Indonesia pun resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Tiga tahun kemudian, setelah melewati masa sulit awal
pemerintahan dengan jatuh-bangunnya kabinet karena kekuatan kolonial Belanda
terus ingin menguasai Indonesia, di tubuh pemerintahan pun mulai terjadi
perpecahan.
Kubu Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai Perdana
Menteri dan didukung oleh gerakan Sosialis-Komunis tak menghendaki adanya
kompromi dengan Belanda. Sementara Soekarno-Hatta di kubu lain lebih memilih
cara praktis, yakni bersedia berunding.
Akibatnya, Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat
sebagai Perdana Menteri dan menjadi ketua perundingan Renville akhir 1947
merasa terjepit.
Sebagian partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang semula
menentang kebijakan yang ditempuh Amir saat menandatangani Perjanjian
Renville, tapi Amir setelah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri – lalu
digantikan oleh Mohammad Hatta – malah kedua partai tersebut justru mendukung
pemerintahan yang baru dalam melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa
Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia dan Australia).
Yang menjadi menarik adalah, mengapa sikap Pemerintahan
Hatta dan pendukungnya lalu melunak untuk melakukan negosiasi dengan Belanda
melalui jasa KTN? Di sinilah sikap AS yang mulai tampak untuk campur tangan
secara langsung dalam konflik internal di Indonesia. Masalah ini kian memanas
dengan iklim perang pengaruh AS versus Soviet di berbagai wilayah dunia
umumnya dan Asia Tenggara khususnya. Dan, peristiwa penting sepanjang 1948,
terutama di dua kota besar Jawa (Solo dan Madiun), tak bisa dilepaskan dari
perang pengaruh kekuatan raksasa dunia di masa itu.
Kesaksian Sumarsono, Mantan Gubernur Militer Madiun “Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin” (2008).
Tak berlebihan, analisa seperti itu. Banyak pengamat
asal Barat pun sepakat tentang hal tersebut. Tragisnya, banyak temuan
baru yang mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan
elit pemerintah di dalam negeri pada waktu itu.
Misalnya saja, kesaksian Soemarsono, 88 tahun, mantan Gubernur Militer Madiun dari unsur Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) ketika pecah perang saudara tahun 1948.
Dalam kisahnya, Sumarsono mengemukakan adanya
konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau
“Red Drive Proposals.” Intinya, pada 21 Juli 1948 di Sarangan (daerah
perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah),
diadakan konferensi rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS
untuk Komisi Tiga Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari
Indonesia adalah Bung Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.
Maksud dari pertemuan tersebut adalah upaya
menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika itu, Muso, kader PKI yang lama
hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah Air dan mulai menarik simpati
masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap PKI pun saat itu meluas,
seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis, Barisan
Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi di Solo (Gubernur
Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).
Semenjak posisi Perdana Menteri beralih dari Amir
Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program sapu bersih pun berjalan. Hatta,
yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat – khususnya Amerika Serikat –
untuk berunding, telah memberikan banyak kelonggaran agar posisi Indonesia
lebih cepat diakui secara internasional. Itu sebabnya, dalam “Pertemuan
Sarangan”, khabarnya, program “sapu bersih” untuk “kelompok kiri” yang
ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta disepakati.
Meski sampai saat ini bukti otentik tentang isi dari
“Pertemuan Sarangan” belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan
adanya campurtangan AS ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu
nyata.
Seperti dikupas dalam buku Indonesia Merdeka Karena
Amerika?, dikemukakan bahwa Cochran diberikan wewenang penuh untuk memainkan
peran AS yang sesungguhnya dalam membendung pengaruh komunisme internasional.
Cochran, juga dibantu oleh Atase Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia,
yang merupakan agen ruguler CIA pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun
memiliki akses langsung ke Wakil Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang
sangat berkuasa.
Alhasil, setelah adanya kesepakatan antara AS dan
Indonesia, keluarlah keputusan untuk merampingkan tentara, yang disebut
dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi).
Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan
dari “Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap
persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di
Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel
Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak
mati tanpa diketahui pelakunya.
Sejak itulah, kota Solo mulai mencekam. Aksi saling culik dan bunuh pun merebak.
Mulanya Madiun tidak terpancing. Lambat laun, pasukan
dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo, pun mulai memasuki Madiun dan
pecahlah perang saudara.
Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan
ultimatum tegas: pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak
yang kalah. Dan yang paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas
Menteri Penerangan I dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10
pengikutnya, dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui
proses peradilan.
Berdasarkan kesaksian Sumarsono yang cukup penting
tersebut, sudah selayaknya para sejarawan mulai menggali lebih lanjut Red
Drive Proposal yang diajukan pemerintahan Amerika Serikat kepada pemerintahan
Perdana Menteri Hatta. Sebab jika kesaksian Sumarsono memang benar adanya,
maka tak pelak lagi Red Drive Proposal bisa disebut sebagai tonggak-tonggak
yang mengawali adanya campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri
Indonesia.
Alhasil, campur tangan Amerika dalam membantu para
pemberontak PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, serta
keterlibatan Amerika dalam membantu fron anti komunis dalam membasmi PKI berikut para petinggi partai pada 1965, justru merupakan kelanjutan logis
dari fondasi yang telah ditanam melalui Red Drive Proposal.
|
0 komentar:
Posting Komentar