Kompas.com - 22/07/2011, 01:56 WIB
Jakarta, Kompas - Kementerian Pertahanan dan TNI diharapkan menerima ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.
Keengganan yang ada selama ini tidak beralasan dan merugikan seluruh bangsa dan negara.
Hal ini disampaikan Koalisi Masyarkat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional, Kamis (21/7).
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan, pada 2008, Indonesia nyaris meratifikasi Statuta Roma tersebut. Namun, ada resistensi dari Kementerian Pertahanan dan TNI.
Alasannya, Mahkamah Pidana Internasional akan membuka berbagai pelanggaran HAM yang telah dilakukan dan pelakunya dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional.
Kedua, mahkamah ini akan menggantikan pengadilan nasional.
”Ini alasan yang tidak mendasar dan imajiner,” katanya.Hal sama disampaikan Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Marzuki Darusman bahwa dari Dirjen HAM, Kementerian Hukum dan HAM diperoleh masukan tidak ada masalah mendasar lagi bagi Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma.
Namun, berdasarkan pengalaman pada 2008, Kementerian Pertahanan yang menjadi saluran aspirasi TNI resisten terhadap statuta ini.
”Statuta ini tidak berlaku retroaktif sehingga hanya tindakan-tindakan pelanggaran setelah penandatanganan oleh pemerintah yang kena,” kata Marzuki.Menurut Ifdhal, ratifikasi ini akan berdampak pada penguatan dan perbaikan mekanisme pengadilan HAM yang saat ini kolaps.
Ratifikasi ini akan jadi dasar amandemen UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang selama ini tidak efektif.
Manajer Penelitian Imparsial Bhatara Ibnu Reza mengatakan, ratifikasi ini akan mengubah cara kerja TNI.
Kalau ada pelanggaran HAM, yang kena tidak hanya prajurit rendah, tetapi hingga pembuat kebijakan. (EDN)
Sumber: Kompas.Com
0 komentar:
Posting Komentar