Anton Muhajir | 10 Agustus 2012
Sejarah
1965 masih meninggalkan jejak begitu kuat.
Peristiwanya
bahkan menjadi bagian tak terlupakan bagi sebagian orang. Untuk merekonstruksi
hal tersebut, Bentara Budaya Bali kembali menghadirkan Pustaka Bentara yang
bertajuk Kisah 65 dari Gitanyali. Diskusi akan diadakan pada Sabtu (11/8) pukul
19.00 wita di Jl. IB Mantra No 88 A Ketewel, Gianyar.
Dalam
acara tersebut, kita akan diajak kembali mengenang peristiwa yang terjadi
sekitar 47 tahun lalu dalam sebentuk ulasan novel.
Novel
karya Gitanyali ini berkisah tentang memori dan perjalanan sang tokoh dalam
melakukan rekonsiliasi atau berdamai dengan masa lalu. Novel ini adalah
kelanjutan dari buku sebelumnya bertajuk Blues Merbabu (2011) yang mencoba
merekam kehidupan anak dari seorang eks-PKI. Latar belakang 65 menyebar dari
pengalaman di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Jakarta, hingga Bangkok,
Hongkong, Glasgow, serta berbagai tempat lainnya yang menyimpan endapan kisah
dan sejarah tersendiri.
Menurut
Gitanyali, baik 65 maupun Blues Merbabu, adalah eksperimennya
untuk menunjukkan sisi politis kebudayaan pop. Baginya, dunia pop sangatlah
politis, terlebih di era kini.
Pustaka
Bentara kali ini akan mengulas noveL 65 berikut latar sejarahnya dengan menghadirkan
sang penulis, Bre Redana. Wartawan Kompas tersebut selama ini menggunakan nama
pena Gitanyali. Selain itu, dihadirkan pula antropolog Degung Santikarma,
pemerhati sosial budaya dan politik yang dikenal kritis dan aktif bergiat di
LSM. Kali ini dia akan menghubungkaitkan peristiwa 1965/1966 dengan novel karya
Gitanyali ini.
Selain
diskusi, akan ditampilkan pula film dokumenter berjudul Tumbuh dalam Badai,
sutradara IGP Wiranegara dengan latar peristiwa Tragedi 1965 dan pembacaan
nukilan novel oleh Jais Dargawijaya diiringi komposisi musik dari Natya Nindya
Gitaya.
Bre
Redana bekerja di Harian Kompas sejak tahun 1982 dan telah menulis sejumlah
buku di antaranya: Urban Sensation! (1993, kumpulan cerpen, diterbitkan ulang
2008); Dongeng untuk Seorang Wanita (1999, kumpulan cerpen); Sarabande (2002,
kumpulan cerpen); Rex (2008, kumpulan cerpen); dan Potret Manusia Sebagai Si
Anak Kebudayaan Massa (2002, kumpulan artikel dan esai).
Staf
Bentara Budaya Bali Juwitta K. Lasut menuturkan mengenang kembali peristi 1965
mungkin bukan sebuah hal mudah. Namun, bagi orang yang mampu mengolah sebuah
bentuk visual sejarah ke dalam karyanya tentu patut pula diapresiasi.
“Terlepas dari kesanggupan karya tersebut menggambarkan peristiwa faktual bagi pembacanya,” kata Juwitta. [b]
Teks
dikirim Bentara Budaya Bali. Foto dari Daily Sylvia.
Sumber: BaleBengong
0 komentar:
Posting Komentar