Hendaru Tri Hanggoro | 13 Mar 2013, 00:00
Orde Baru ditegakkan dengan hukum, propaganda, dan teror.
SELAMA 32 tahun
berkuasa, Orde Baru ditopang kuat oleh hukum, propaganda, dan
teror. Ketiganya tak bisa dipisahkan. Hukum bertegak karena teror dan propaganda digunakan untuk mendukung
teror. Salah satu titik pijaknya pembunuhan massal setelah Gerakan 30 September 1965.
“Setelah peristiwa G30S ada propaganda besar agar orang membunuh. Kategori besarnya komunis, tapi korbannya kemudian tak hanya itu,” kata sejarawan Hilmar Farid, dalam diskusi buku Teror Orde Baru karya Julia Southwood dan Patrick Flanagan, hasil kerja bareng Penerbit Komunitas Bambu, Freedom Institute, dan Majalah Historia, di Jakarta, 10 Maret 2013.
Pembunuhan-pembunuhan itu
dilegalkan melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang
berdiri pada 10 Oktober 1965.
“Rezim Soeharto menggunakan instrumen politik dan represif untuk memastikan pemerintahannya berjalan. Instrumen politiknya itu teror, sedangkan instrumen represifnya adalah Kopkamtib,” kata Usman Hamid, koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sementara itu, menurut Alissa
Wahid, peneliti The Wahid Institute, Soeharto menggunakan kekuatan Islam untuk
memberangus gerakan kiri.
“Islam digunakan untuk diadu dengan PKI,” kata Alissa.
Situasi pun kian centang-perenang.
Soeharto memanfaatkan pertikaian itu untuk naik ke tampuk pimpinan.
“Pak Harto menggambarkan bahwa keberuntungan adalah kekhilafan bertemu dengan kesempatan,” lanjut Alissa.
Supersemar (Surat
Perintah 11 Maret 1966) dianggap pintu masuknya. Sejak itu,
hak masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dikebiri.
Selepas
memberangus gerakan kiri, Soeharto menyasar gerakan Islam karena dianggap
bahaya laten. Taktiknya seperti yang digunakan untuk memberangus gerakan kiri:
propaganda dan teror.
“Maka lahirlah peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari Lampung,” kata Usman Hamid. Pembunuhan-pembunuhan ini sudah diprediksi Julia Southwood.
Julia mengungkapkan rezim Orde
Baru menumpuk utang dan membiarkan korupsi pada dekade kedua masa kekuasaannya. Ini
membuat sulit rezim. Untuk mempertahankan kuasanya, perekonomian digenjot.
Salah satu caranya dengan menciptakan stabilisasi.
Stabilisasi
muncul karena adanya keamanan dan ketertiban. Untuk itu, tiap kritik dan
perlawanan terhadap rezim berkuasa harus dibungkam. Oposisi dicitrakan sebagai
separatisme dan komunisme. “Petani yang meminta keadilan dianggap komunis.
Daerah yang menuntut otonomi dicap separatis. Karena itu, pembunuhan massal
meluas, di Aceh dan Papua,” kata Usman. Semua teror ini ditopang hukum: atas
nama pemulihan keamanan dan ketertiban.
Buku Julia ini
terbit pada 1982, saat teror merajalela. Karuan saja rezim Orde Baru
melarangnya. “Ini salah satu buku terbaik mengenai Orde Baru yang membuktikan
rezim ini turut menjajah pikiran kita,” kata Hilmar. Bagi Usman, buku ini
merawat catatan kelam sejarah teror Orde Baru, yang masih terwariskan hingga
saat ini.
Alissa berpendapat serupa,
“Cara-cara represif Orde Baru masih berpengaruh hingga sekarang, terutama bagi
petani. Mereka tak bisa menentukan nasib sendiri karena sekian lama ditekan
pemerintah.”
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar