Monday, 8 April 2013 | Oleh Mustawalad*
SUATU hari
di bulan Oktober 1965. Siang itu Ibrahim Kadir berdiri di depan para siswa
Sekolah Dasar Arul Gele, Angkop, Aceh Tengah. Dia mengajar mata pelajaran seni
musik. Dia mengajak murid-muridnya menyanyikan lagu Indonesia Raya.
“Indonesia… tanah airku … Tanah tumpah darahku…”
Kadir guru yang sederhana. Di usia 20-an, ia sudah
mengabdi sebagai guru. Tiap hari ia berangkat mengajar dengan bersandal jepit.
Tahun itu, ekonomi Indonesia payah. Kondisi ini menjalar hingga ke
daerah-daerah. Gaji dan kehidupan guru amat memperihatinkan. Sejumlah guru
bahkan tidak menerima gaji. Berat bagi Kadir untuk sekedar membeli sepasang
sepatu.
Selain sebagai guru, Kadir
dikenal sebagai penyair oleh masyarakat Gayo di Aceh Tengah. Dia lahir di desa
Kemili, Takengon, tahun 1942. Karena kemampuan ini, dia sering diundang untuk
membaca syair di acara-acara tertentu. Kadir juga pernah diundang membaca syair
dalam acara yang diadakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh Tengah.
Namun, dia lebih tertarik menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di kelas Kadir siang itu, lagu Indonesia Raya masih
terdengar.
“Hiduplah… Indonesia Raya…”
Tak lama setelah bait terakhir
ini, dari luar kelas seseorang mengetuk pintu. Semua murid diam. Mereka melihat
lelaki di depan pintu kelas.
“Pak, keluar dulu!” perintah
seorang lelaki di pintu.
“Anak-anak diliburkan saja.
Bapak tak perlu ke rumah lagi!” sambung lelaki itu.
“Ke mana saya mau dibawa?”
balas Kadir.
“Bapak harus ikut kami. Bapak
tak perlu pamit karena kita harus pergi segera,” sahut lelaki itu. Di belakang
pria ini ada 14 lelaki lain. Mereka adalah anggota-anggota Wajib Militer
Darurat di bawah pimpinan seorang tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim)
Aceh Tengah. Namanya Kapten Abdul Latief.
Kadir dibawa ke kantor polisi yang berada di Desa Angkop.
Malam hari, dia dibawa ke kantor Kodim Aceh Tengah di ibukota Takengon. Di
dalam sebuah ruangan, Kadir melihat banyak orang yang telah lebih dulu berada
di situ. Kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa.
Dalam ruangan ini Kadir tidak lama. Dia segera
dijebloskan ke sel tahanan di sebuah penjara di Takengon. Penjara ini terletak
di dekat Bioskop Gentala. Sudah ada beberapa orang yang berada dalam sel itu.
Kadir dimasukkan ke sel bernomor 25.
“Hari pertama saya masuk sel, saya bertemu dengan tiga
orang yang telah duluan berada dalam sel tersebut mereka adalah guru Rama, guru
Muhammad Daud Nosari dan satu orang lagi yang saya tidak ingat namanya,” kenang
Kadir.
Kadir kenal baik ketiga guru itu. Rama adalah guru
Sekolah Dasar Negeri 1 Takengon. Ada singkatan Thd setiap Rama menuliskan nama,
Thd. Rama. Tapi Kadir tak pernah tahu apa kepanjangan Thd. Sedangkan Muhammad
Nosari adalah guru penilik untuk Sekolah Dasar di Aceh Tengah. Kadir sering
berjumpa dengan mereka dalam rapat-rapat guru.
“Mereka adalah atasan saya. Saya mendengar mereka adalah
pimpinan PKI di Aceh Tengah,” ungkap kadir.
Di dalam sel, Kadir menyatakan rasa bingungnya kepada
Rama dan Nosari.
“Saya tidak tahu mengapa saya dimasukkan ke dalam sel
ini,” ujar Kadir kepada keduanya.
“Kami juga tidak tahu mengapa bisa masuk ke sel,” jawab
Rama yang diiyakan Nosari.
Di luar ruang sel, warga yang ditahan dalam penjara itu
terus bertambah. Suatu kali, Kadir sempat melihat dari sela-sela bilah papan
yang renggang ada yang terjadi di sel sebelahnya, sel nomor 24. Sel ini
ternyata berisi perempuan-perempuan. Kadir sempat mendengar tangisan bayi yang
berasal dari sel tersebut.
PERLAWANAN terhadap kebijakan pemerintahan di Jakarta
marak terjadi di sejumlah daerah beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan,
17 Agustus 1945. Sebut saja aksi pasukan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta) di Padang dan Manado.
Lalu ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DII/TII) di
Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) bergerak meredam
perlawanan mereka. Salah satu strateginya adalah memberlakukan Wajib Militer.
Di Aceh Tengah, pasukan dari Komando Daerah Militer (Kodam) Diponegoro
membentuk pasukan milisi yang diberi nama Wajib Militer Darurat atau yang juga
dikenal dengan Wamilda atau WMD. Ini berlangsung antara tahun 1953 sampai 1962.
Keberadaan WMD ini disebutkan dalam Undang Undang Nomor
66 Tahun 1958. Pasal 1 menyebutkan, “Militer-wajib ialah pewajib-militer yang
terpilih dan dimasukkan dalam Angkatan Perang untuk melakukan dinas wajib-
militer.”
Lalu pasal 36 undang-undang ini menjelaskan, “Dalam
keadaan darurat atau keadaan perang dapat diadakan panggilan darurat terhadap
semua militer-wajib untuk melakukan dinas wajib-militer dimulai dengan golongan
penerimaan yang paling muda dan selanjutnya berturut-turut sesuai dengan urutan
usia golongan penerimaan.”
Kemudian, Wajib Militer Darurat ini kembali dipertegas
dengan penerbitan Peraturan Pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 1960 tentang
Penyaluran Wajib Militer Darurat ke dalam Wajib Militer. Pada pasal 1 ayat 1 peraturan
ini disebutkan, “Yang dimaksud dengan Militer Wajib Darurat dalam peraturan ini
ialah mereka yang telah dipanggil dan diangkat sebagai Militer Wajib Darurat
oleh yang berwajib berdasarkan Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat
menurut ketentuan Undang-undang Keadaan Bahaya tahun 1957.”
Anggota milisi ini terdiri dari berbagai unsur
masyarakat, termasuk dari partai seperti anggota PNI dan Pemuda Rakyat atau
populer disebut PR yang memiliki kaitan secara politik dengan PKI. Tujuan
pembentukan milisi ini untuk menumpas aksi pasukan DII/TII yang berada di Aceh
Tengah.
Di Aceh, pasukan DI/TII dipimpin Teungku Mohammad Daud
Bereu’euh. Dia adalah seorang ulama dan pernah memimpin Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA). Pada 21 September 1953, Bereu’euh menyatakan Aceh menjadi bagian
Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Sekar Maridjan Kartosuwiryo di Jawa
Barat. Di Aceh Tengah, pasukan DI/TII dipimpin Tengku Ilyas Leubeu.
Perlawanan Bereu’euh dihadapi presiden Soekarno dengan
diplomasi. Beureu’euh setuju menyerah setelah Soekarno menjanjikan Aceh sebagai
daerah istimewa. Pada Desember 1962, pasukan DI/TII turun gunung.
Setelah itu pecah peristiwa 1965. Kali ini PKI mendapat
serangan balik dari bekas pasukan DI/TII. Sebagian menjadi algojo dalam
pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis.
DI lapangan Musara Alun Takengon, Aceh Tengah, seorang
tentara bernama Ishak Juarsa memimpin rapat terbuka. Lelaki ini asal Banda
Aceh. Di situ Juarsa memberi pidato di hadapan massa yang terdiri anggota
polisi, tentara, WMD, dan sejumlah warga. Bulan Oktober 1965 itu, dari Jakarta
hingga Aceh, kebencian terhadap PKI memuncak.
“Kikis habis PKI sampai ke akar-akarnya! ” kata Juarsa
dengan nada tinggi.
“Kalau dalam sebuah desa ada yang tidak melaporkan, maka
desa itu akan dihancurkan!”
Pertemuan itu dilaksanakan pada hari kesepuluh Ibrahim
Kadir mendekam di dalam sel tahanan. Dia mendengar kabar tentang pertemuan
akbar itu dari orang-orang yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam tahanan.
Keesokan hari setelah pertemuan itu, orang-orang yang
dituduh pemimpin atau anggota PKI dipanggil keluar dari sel. Pada malam hari
penjaga tahanan memanggil satu per satu nama para tahanan.
“Guru Rama! Guru Daud…!”
Tapi, nama Kadir belum
disebut-sebut.
“Kami mau dibawa kemana?” Kadir mendengar beberapa orang
yang namanya dipanggil bertanya kepada penjaga.
“Kalian akan dipindahkan ke Banda Aceh!” bentak penjaga.
Mereka diangkut dengan truk.
Orang-orang dalam tahanan tidak pernah tahu apa yang
terjadi di luar penjara sampai datang beberapa orang baru sebagai tahanan.
“Apa Guru Rama, Guru Daud, dan teman-temannya kemarin
ditahan di sini?” tanya tahanan yang baru datang.
“Iya. Betul!” sahut Kadir.
“Mereka semuanya telah menjadi
mayat di Gorelen,” balas si penghuni baru. Gorelen adalah nama daerah di
pinggir jalan antara Takengon dan Bireuen.
Mendengar cerita itu semua tahanan terkejut. Kadir dan
tahanan yang belum dipanggil, akhirnya sadar. Kalimat “ke Banda Aceh” adalah
sandi untuk membawa para korban ke tempat eksekusi. Kadir dan tahanan lain
mulai ketakutan. Tubuh Kadir menggigil. Dia takut di-Banda Aceh-kan.
Petugas akhirnya memanggil Kadir. Tapi petugas tidak
mengajak Kadir pergi “ke Banda Aceh”. Dia juga tidak menjalani proses
interogasi. Seperti juga yang lain, Kadir sama sekali tidak menjalani proses
hukum lazimnya seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan. Kadir malah
menjadi saksi mata dalam proses eksekusi itu sendiri.
MALAM itu sinar bulan menerangi dataran tinggi Gayo. Hawa
dingin menusuk tulang. Di penjara Takengon, penjaga memanggil satu per satu
nama dalam daftar tahanan. Mereka yang dipanggil dibawa ke ruangan tersendiri.
Penjaga memerintahkan Kadir mengikat para tahanan. Tiap kepala tahanan ditutup
karung goni, lalu diangkut ke atas truk Dodge.
Kadir ikut bersama mereka. Truk berangkat “ke Banda
Aceh”. Sebuah lokasi eksekusi yang sebelumnya hanya didengar Kadir.
Setelah sampai di lokasi, satu demi satu tahanan diturunkan
dari truk. Tak jauh dari tempat truk berhenti, Kadir melihat beberapa orang
yang berlagak layaknya penjagal. Calon korban dibawa ke dekat tebing kemudian
ditembak atau dipancung, lalu dilempar ke jurang. Meski hanya diterangi sinar
bulan, Kadir bisa melihat jelas kibasan pedang dan bunyi letusan senjata.
“Seperti sudah menjadi tugas rutin, tiap malam saya
mengikat orang-orang yang akan dibunuh dan ikut bersama mereka dalam truk,”
ujar Kadir, lirih.
Lebih dari sepuluh kali ia menyaksikan para tahanan yang
akan dibantai dari jarak antara lima hingga 15 meter. Kadir dibawa ke tiga
lokasi pembantaian yang berbeda: Bur Lintang, Totor Ilang dan Totor Besi.
Bur Lintang adalah nama sebuah
tempat yang jaraknya sekitar 21 kilometer dari arah Takengon menuju Blang
Kejeren, Aceh Tenggara. Ini kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan
dalam. Kini sebagian kawasan itu menjadi tempat pembuangan akhir sampah.
Sedangkan Totor Ilang merupakan sebuah jembatan yang
terletak antara desa Simpang Balek dan Blang Mancung, sekitar 11 ke arah utara
kota Takengon. Begitu pula Totor Besi. Ini jembatan yang terletak di desa
Simpang Teritit jalan yang menghubungkan Takengon dan Bireuen.
Malam-malam selanjutnya kian mencekam. Deru mesin truk
yang memasuki halaman penjara, menjadi teror yang mengerikan bagi para tahanan.
Para tahanan, juga Kadir, sudah paham, kedatangan truk itu untuk menjemput
salah satu atau beberapa orang dari mereka untuk berangkat “ke Banda Aceh”.
Beberapa malam sebelum Kadir dilepas, ia masih
menjalankan perintah mengikat para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Saat
itu giliran seorang perempuan yang membawa anak. Seorang anggota WMD meminta
sang ibu agar memberikan bayinya. Sang ibu menolak.
Dor!
Bayi mungil itu tewas saat masih dalam pelukan sang ibu. Peluru
menembus hingga ke dada sang ibu. Keduanya terjerembab ke tanah. Mayat keduanya
kemudian dilempar ke jurang. Kadir tidak berdaya. Kedua telapak tangannya
segera menutup wajahnya. Namun, semua tragedi itu terekam dalam ingatannya.
Peristiwa-peristiwa pembantaian itu dia catat dan
dicurahkannya dalam syair. Salah satunya, syair yang berjudul Ratapan.
Bintang bulan
cengang menjerit
Memandang tubuh yang terpaku
Ibarat patung tak berkutik
Risau rindu tak berulang
GELOMBANG anti PKI atau komunis menjalar hingga ke
desa-desa di Takengon. Suasana kota kecil di dataran tinggi Gayo ini jadi sunyi
dan mencekam. Lampu-lampu teplok menerangi rumah-rumah warga. Kesunyian pecah
ketika deru truk membelah jalan utama. Deru mesinnya seperti membawa beban yang
sangat berat.
Muhammad Iwan Gayo masih duduk di bangku kelas dua
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Takengon saat itu. Jarak sekolah dan rumahnya
hanya 300 meter. Pada malam-malam itu, dia kerap duduk bersama sang ibu, Hajah
Bona, di dalam rumah. Rumah mereka tak jauh dari jalan raya.
“Mereka membawa PKI untuk dibunuh,” bisik sang ibu ketika
suara truk menjauh. Meski tidak ada orang lain di dalam rumah, sang ibu tetap
berbisik-bisik seakan tak ingin ada seekor semut pun mendengar percakapan ibu
dan anak itu.
Suatu kali, Iwan Gayo menjadi saksi pembunuhan seorang
warga. Namanya Islah. Dia penjaga Masjid Raya Quba, kecamatan Bebesen. Islah
adalah anak tiri Tengku Abdul Jalil, seorang ulama yang berpengaruh di tanah
Gayo. Tapi Islah dituduh sebagai anggota PKI.
Menurut keterangan Teungku Muhammad Isa Umar, guru di
Pendidikan Guru Atas Takengon, Islah bukan penjaga mesjid melainkan tinggal
dekat masjid. Anggota polisi Aceh Tengah, kata dia, saat itu menangkap Islah.
Dia dituduh telah membakar Masjid Quba Bebesen. Pembakaran
terjadi dua bulan sebelum peristiwa Gerakan 30 September, tepatnya pada malam
hari 21 Juli 1965. Masjid itu memang terbakar, tapi warga menyangsikan Islah
sebagai pelakunya. Tapi polisi menuding Islah biang keladinya. Umar kini
menjadi ketua Pembangunan Masjid Raya Quba Bebesen.
“Kedua tangannya diikat ke belakang. Kedua jempolnya
diikat dengan rambut perempuan,” kata Iwan, melanjutkan ceritanya.
Semula dia tidak tahu akan ada rencana eksekusi terhadap
Islah. Dia baru tahu ketika sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah menuju
rumah. Dia mendengar pengumuman dari tentara. Isinya ajakan kepada warga agar
datang beramai-ramai ke Masjid Quba sore itu. Karena akan ada rencana eksekusi
terhadap orang yang dituduh sebagai anggota PKI.
“Itu diumumkan secara terbuka,” ujar Iwan.
Namun eksekusi tidak jadi dilakukan di sore hari itu.
Tentara membunuh Islah pada malam harinya. Mereka mengeksekusi Islah di antara
Jalan Kebet ke arah Tan Saril, dekat kota Takengon. Keesokan paginya, bersama
sejumlah penduduk desa, Iwan melihat sosok mayat Islah.
Lehernya nyaris putus. Kepala Islah tertutup kain sarung.
Ususnya terburai dimakan anjing. Saat itu banyak anjing-anjing liar yang
kelaparan di kawasan itu.
Beberapa hari setelah eksekusi Islah, warga desa tempat
Iwan tinggal kembali heboh. Saat itu warga menemukan sesosok mayat lagi. Iwan
Gayo ikut melihat mayat itu. Jenazah itu dikenali sebagai penjual ikan asin
yang berdagang di Pasar Takengon. Lelaki itu berasal dari desa Nosar, di
pinggiran Danau Laut Tawar. Dia dieksekusi di antara jalan desa Asir Asir dan
desa Uning Kirip. Kedua desa ini terletak di tepi sungai yang berhulu di Danau
Laut Tawar.
Mayat ketiga adalah lelaki berpeci hitam. Kedua tangannya
diikat ke belakang. Iwan mengenali mayat itu. Sebelum menjadi mayat, lelaki itu
bersama-sama dengan Iwan dalam perjalanan dari Takengon menuju kecamatan
Bintang. Mereka berada dalam satu kapal kayu bersama sejumlah lelaki lainnya.
Saat itu, kapal kayu menjadi alat transportasi utama di Danau Laut Tawar.
“Saya ke Bintang dengan kakek. Di dalam kapal, di sebelah
kiri juru mudi, duduk seorang laki-laki. Saya mendengar samar-samar dari
penumpang di kapal tersebut bahwa dia itu PKI. Kedua tangannya diikat ke
belakang,” kisah Iwan Gayo.
Lelaki itu terlihat pucat. Sang kakek menyuruh Iwan agar
memberi rokok kepada lelaki itu. Dia kemudian mengambil tembakau dan daun nipah
dari tempat rokok milik kakeknya. Setelah dilinting, Iwan segera menyorongkan
rokok ke mulut lelaki yang tampak ketakutan itu. Lalu membakarnya.
“Pada saat turun, lelaki itu masih berjalan searah dengan
kami dan ketika sampai di desa Cik, kecamatan Bintang kami berpisah. Besoknya
saya mendengar lelaki tersebut sudah dibunuh di desa Pulo,” kata Iwan, dengan
suara bergetar.
Inen Sur, perempuan asal kecamatan Bintang yang bekerja
sebagai guru sekolah dasar, menyaksikan pembunuhan lelaki yang diberi rokok
oleh Iwan Gayo. Menurut Inen Sur, pria itu berasal dari Blang Kejeren. Dia
ditangkap di desa Weh Ni Pongas, kecamatan Bukit.
“Sebelum dibunuh, lelaki ini mengatakan, ‘Saya bukan PKI!
Saya orang miskin! Ada orang yang menyuruh saya tandatangan surat dengan janji
kalau saya menandatangani surat itu saya akan dapat tanah,” kata Inen Sur
menirukan teriakan lelaki malang itu sebelum meregang nyawa.
AKSI pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI
dimulai setelah rapat yang dihadiri oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip)
dengan Komandan Kodim Aceh Tengah, Mayor Sabur (belakangan Sabur dibunuh karena
terbukti sebagai anggota PKI). Pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala
Kejaksaan Aceh Tengah yang bernama T. Abdullah.
Kegiatan ini digelar di Lapangan Simpang Tiga Redelong.
Muhammad Saleh hadir mewakili satuan Hansip. Dia warga
desa Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Bener Meriah. Dia orang Jawa. Istrinya
dua, dua-duanya asli Gayo. Saleh tinggal di Pondok Gajah sejak masih belia.
Kedua orangtuanya meninggal dan dimakamkan di desa ini.
Saleh pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat atau
SR yang ada di Takengon. Saat itu, kebanyakan gurunya ikut dalam organisasi
Muhammadiyah. Saleh belakangan juga menjadi pendukung dan pengikut setia
organisasi keagamaan ini.
Ketika remaja, Saleh menjadi anggota Tentara Angkatan
Darat. Pangkat terakhirnya, Prajurit Satu. Dia menjalani dinas ketentaraan
sejak 1959. Berkat kedisiplinannya, tiga tahun kemudian Saleh terpilih dalam
unit pasukan yang dinamai Combat. Anggota unit ini merupakan serdadu pilihan
yang berasal dari beberapa kompi yang ada di Aceh. Anggota pasukan ini dianggap
paling siap dan memiliki kemampuan untuk diterjunkan dalam perang di Irian
Barat. Pada tahun 1962, pemerintahan Soekarno tengah gencar melakukan Operasi
Mandala untuk merebut Irian Barat dari cengkraman Belanda.
Saleh dan anggota Combat lain di Aceh dilatih di
Pegunungan Seulawah, Aceh Besar. Setelah melakukan latihan dan dianggap siap
diberangkatkan ke medan tempur, Letnan Manan sebagai kepala pelatih
memerintahkan anggota pasukan ini untuk meminta restu orangtua sebagai salah
satu syarat sebelum ikut dalam Operasi Mandala. Mereka diberi cuti pulang
kampung. Saleh pulang ke Pondok Gajah.
Malang, kedua orangtua Saleh tak merestui niatnya ikut
bertempur di pulau di ujung timur Indonesia itu. Setelah melaporkan kabar dari
kampung, pemimpinnya memberi dua pilihan: tetap menjadi tentara meski tak dikirim
ke Irian Barat atau berhenti sebagai prajurit. Saleh memilih yang terakhir.
Latihan yang dia jalani di Seulawah sia-sia jika dia tak ikut berangkat. Tahun
itu juga, Saleh memutuskan melepas semua atribut ketentaraan.
Saleh kembali ke Pondok Gajah. Dia memperoleh satu
hektare kebun teh dari pemerintah sebagai imbalan. Namun pengalaman
kemiliterannya masih terus dia gunakan. Di kecamatan Bandar, Saleh bergabung
dalam Hansip. Pangkatnya, wakil komandan peleton. Sedangkan posisi komandan
peleton dipegang Ajudan Thaleb. Dia mantan anggota pasukan DII/TII yang
kemudian menjadi anggota TNI. Sedangkan di desa Pondok Gajah, Saleh adalah
Komandan Hansip. Markasnya di Simpang Tiga Redelong, ibukota kabupatan Bener
Meriah sekarang ini.
“Dalam rapat diputuskan untuk melakukan penyelamatan
terhadap anggota PKI. Penyelamatan di sini maksudnya pembunuhan terhadap
anggota PKI,” Saleh mengungkapkan.
Pertemuan pagi itu memutuskan daerah-daerah yang menjadi
prioritas untuk pembersihan. Seperti desa Pondok Gajah, Pondok Baru, Sidodadi,
Blang Jorong, Bakaran Batu, dan Blang Pulo. Di desa-desa ini mayoritas
penduduknya adalah orang Jawa. Pada malam pertama desa yang akan dibersihkan
dari PKI adalah desa Pondok Gajah. Hari kedua desa Pondok Baru. Ketiga desa
Sidodadi dan Bakaran Batu. Berikutnya desa Blang Jorong. Desa Blang Pulo
terakhir.
Namun korban pertama dari rangkaian pembantaian ini
adalah keuchik atau kepala desa Jongok Simpang Tiga bernama Lonos. Desa itu
hanya beberapa meter dari tempat pertemuan. Saleh ikut dalam kelompok ini.
Selain keuchik, dua warga lainnya, Aman Kar dan Aman
Samsiar juga dibunuh. Mereka dibunuh sekitar pukul 10 pagi, setelah rapat
bubar.
Kelompok Saleh mendapat tugas membersihkan orang-orang
PKI di Pondok Gajah. Siang sebelum pembantaian, Saleh mendatangi orang-orang
yang telah ada dalam daftar. Saleh berpesan pada mereka untuk datang malam
hari, setelah salat isya, ke desa Kota Makmur. Ini tetangga desa Pondok Gajah.
Kepada orang-orang yang didatangi, Saleh berpesan agar mereka ikut melakukan operasi
ke desa Samar Kilang.
Malamnya, beberapa orang yang dipanggil Saleh berkumpul
di tempat yang telah ditentukan. Mereka dipanggil satu-satu. Saat itu, Saleh
menghitung, ada sekitar 10 orang. Mereka adalah warga desa Pondok Gajah. Salah
satunya adalah Mispan, ketua PR di Pondok Gajah. Setelah dipanggil, tangan
mereka segera diikat ke belakang. Masing-masing diikat saling berhubugan satu
sama lain, seperti ikatan berantai.
Orang-orang yang dituduh terlibat PKI ini dibawa ke
sebuah lokasi yang bernama B5, salah satu lokasi perkebunan teh yang
ditinggalkan Belanda. Di masa penjajahan Belanda, desa Pondok Gajah, Pondok
Baru dan Sidodadi dan desa disekitarnya merupakan areal perkebunan teh. Lokasi
B5 berada sekitar empat kilometer ke arah timur dari desa Pondok Gajah.
Tepatnya di persimpangan jalan antara desa Teleden dan
desa Tanjung Beringin. Di sini terdapat jurang. Di tempat inilah orang-orang
yang dibawa Saleh dibantai. Kini kawasan itu telah menjadi areal perkebunan
kopi.
Operasi tahap pertama selesai sekitar pukul satu dini
hari. Setelah kembali dari tempat itu, Saleh dan beberapa orang lainnya,
dibantu dengan petugas Hansip berangkat ke desa Pondok Gajah. Mereka menangkap
sepuluh orang lagi yang dituduh sebagai anggota PKI.
Saat itu diperkirakan ada sekitar 20 orang yang terlibat
anggota PKI di desa Pondok Gajah, mereka merupakan anggota PR atau Barisan Tani
Indonesia (BTI)
Mereka berhasil menangkap 10 orang lagi, di antaranya
Wakidi, Nasir, Sarimin, Perono, dan Paimin. Mereka dibantai di sebuah tempat
bernama Kubangan Gajah, dekat desa Pondok Gajah. Kubangan ini berbentuk seperti
kolam dangkal tapi melebar. Lokasi pembantaian ini sampai sekarang tetap
dibiarkan seperti itu dan tidak ditanami apapun. Tempat ini berada di dekat
pintu masuk ke Balai Penelitian Kopi Gayo di desa Pondok Gajah.
Pada tahun 1980-an, Saleh mengungkapkan, kerangka mayat
orang-orang yang dibantai di bekas kubangan Gajah, Pondok Gajah, sudah
dipindahkan ke pekuburan umum desa di perbatasan desa Pondok Gajah dan Pondok
Baru. Kuburan ini dipisahkan dengan kuburan masyarakat yang lain. Tanpa ada
tanda khusus dan dibiarkan ditumbuhi semak.
SAYA menemui Saleh di rumah bantuan yang dia tempati
dengan istri keduanya. Rumah bantuan ini dibangun di atas tanah bekas rumahnya
yang dibakar pada awal-awal konflik di Aceh, sekitar tahun 2000. Tembok dan
lantai semen bekas rumahnya yang terbakar masih tersisa. Rumah ini tersambung
dengan gudang kopi. Halamannya luas, digunakan sebagai tempat menjemur kopi.
Saleh adalah salah seorang tauke kopi yang cukup dikenal petani kopi di Aceh
Tengah dan Bener Meriah.
Sebelum usahanya terbengkalai akibat konflik, dia bisa
mengirim bertruk-truk kopi ke Medan. Kini usianya sudah hampir 70 tahun. Dia
hanya sesekali pergi ke kebun kopi di belakang rumahnya.
“PKI pada saat itu, sama dengan pada masa jayanya Partai
Golongan Karya (Golkar), mereka ada di mana-mana. Dari tingkat atas sampai
tingkat bawah,” kenang Saleh.
“Saat itu di (desa) Pondok Gajah ini, tinggal keluarga
saya yang tidak masuk menjadi anggota PKI.”
“Apa alasan Bapak tidak jadi anggota PKI?” tanya saya
“Saya tidak masuk jadi anggota PKI karena pengaruh
guru-guru saya sewaktu saya sekolah di Takengon. Rata-rata guru saya adalah
Muhammadiyah. Dan dari bacaan saya sewaktu sekolah, saya masih ingat tentang
pemberontakan PKI Muso di Madiun tahun 1948. Dan saya tidak masuk menjadi
anggota PKI.”
Namun karena begitu kuatnya pengaruh PKI di desa, hampir
seluruh warga jadi anggota PKI. Kecuali keluarga Saleh. Akibatnya, dia dan
keluarganya dikucilkan dan tidak dibolehkan ikut kegiatan-kegiatan di desa.
Pernah suatu kali Saleh nekat tetap mencoba ikut gotong-royong membuka jalan
desa di Pondok Gajah. Dari rumah dia membawa cangkul dan berangkat naik sepeda.
Di kanan-kiri jalan, Saleh melihat umbul-umbul merah bendera berlambang
palu-arit. Tapi begitu tiba di lokasi, dia ditolak oleh anggota PKI. Saleh
disuruh pulang.
“Mereka menyuruh saya untuk makan yang enak-enak.
Biasanya kalau ada yang menyuruh kita makan yang enak-enak dan orang itu
bermusuhan dengan kita, mereka mempunyai tujuan tertentu. Boleh jadi mereka
akan membunuh. Ini seperti pesan, kamu mau mati dan selagi sempat, makanlah
yang enak-enak,” terang Saleh.
Tidak hanya itu. Timan pernah diusir saat mendatangi
calon istrinya di desa Sidodadi. Timan adalah abang kandung Saleh. Saat itu
Saleh ikut mengantar Timan untuk melaksanakan akad nikah. Jarak dari Pondok
Gajah ke Sidodadi sekitar empat kilometer. Desa itu salah satu basis PKI di
Aceh Tengah. Tapi rombongan keluarga Saleh ditolak. Alasannya, keluarga Saleh bukan
anggota PKI.
“Dengan segala upaya kami tetap berusaha. Tetapi tetap
tidak diterima.”
Pernikahan tetap harus
dilangsungkan. Saleh menghubungi Imam Mukim Kute Teras yang membawahi desa
Sidodadi. Imam Mukim itu adalah ketua Muhammadiyah tingkat kecamatan. Setelah
itu, dengan bantuan Imam Mukim, akad nikah Timan bisa dilangsungkan.
Permasalahan masih belum selesai. Ketika akan
melaksanakan hajatan di rumah mempelai keluarga Saleh, sebagian besar warga
desa Pondok Gajah tak mau membantu mereka. Hajatan baru bisa dilakukan setelah
Saleh meminta bantuan teman-temannya dari satuan Hansip di kecamatan.
“PKI pada saat itu seperti Golkar pada masa jayanya.
Semua tingkatan ada orang PKI. Di sekolah, unsur pemuda, petani dan dalam
struktur pemerintahan, militer maupun Sipil,” ungkap Saleh.
Saat Golkar berjaya di bawah rezim Orde Baru, Saleh tidak
pernah mendukung partai itu. Istri Saleh bekerja sebagai guru. Pada masa itu,
korps guru menjadi mesin politik yang jadi lumbung suara bagi Golkar.
Suami-istri itu wajib memilih partai itu. Tapi Saleh
selalu berkelit.
Menjelang Pemilihan Umum, Saleh terkadang harus sembunyi
di gua-gua atau di kawasan Dedesen, di tepi Danau Laut Tawar. Dia cemas karena
kerap mendapat ancaman dari aparat.
Dedesen adalah tempat penangkapan ikan depik, ikan yang
banyak terdapat Danau Laut Tawar. Tempat ini banyak terdapat di tepi danau,
biasanya dibangun di antara pertemuan air dari pegunungan dan air danau.
Bentuknya persegi, dan dikelilingi papan. Luasnya antara empat hingga lima
meter persegi. Bagian atasnya ditutupi dedaunan, bagian dasarnya adalah dasar
danau. Tempat itu menjadi tempat ikan depik bertelur.
AWAL Februari 2008, saya mengunjungi rumah Iwan Gayo di desa
Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Lelaki ini pernah bekerja sebagai wartawan.
Dia juga pernah mendapat penghargaan Adinegoro, hadiah tertinggi dalam jurnalis
yang diberikan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1981.
Namanya melambung lewat sejumlah bukunya yang saya kenal
saat duduk di bangku SMP Negeri Janarata Kecamatan Bandar. Iwan Gayo menulis
Buku Pintar Seri Senior dan Buku Pintar Seri Junior. Buku-buku itu lumayan
tebal. Isinya macam ensiklopedia. Sekarang dia menjadi kepala Hubungan
Masyarakat Komite Percepatan Pembentukan Provinisi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA)
yang berjuang untuk pembentukan Provinsi baru yang terpisah dari Provinsi Aceh.
Iwan menceritakan kepada saya tentang kondisi pada
masa-sama kelam di Aceh Tengah. Tahun 1965 menjadi masa yang suram bagi
penduduk di Aceh Tengah. Terutama guru-guru. Pendidikan bagi anak-anak sekolah
jadi terabaikan. Iwan menyebut sejumlah gurunya yang hilang.
“Ibu Hamidah, Ibu Sambani, Pak Guru Rama, Pak Daud, dan
Ibu Nurlaeli yang suaminya sopir truk,” ujar Iwan, mengenang.
Pak Guru Daud dan Pak Guru Rama sempat ditahan bersama
Ibrahim Kadir dalam penjara di Takengon. Iwan Gayo belakangan tahu bahwa Guru
Thd. Rama adalah Ketua PKI Aceh Tengah.
“Saya pernah melihat Pak Guru Daud di penjara Takengon,”
katanya.
Dinding penjara itu terbuat
dari kayu yang sudah lapuk. Lubang-lubang besar di sana-sini. Di antara
lubang-lubang itu Iwan Gayo mengintip kegiatan yang dilakukan para tahanan
dalam penjara.
“Kebiasaan tahanan pada siang hari adalah berjemur di
balik jendela yang berjeruji. Ada dua atau tiga orang yang berjemur secara
bergantian,” kata Iwan.
Suatu kali, dia dilarang Pak Guru Daud mengintip-intip
dari celah-celah dinding papan
“Sana kamu, anak kecil!” Iwan menirukan ucapan Pak Guru
Daud.
“Beberapa hari lagi kita akan menang!” kata Pak Guru
Daud, lagi.
Iwan tak mengerti apa maksud
Pak Guru Daud dengan kata-kata “kita akan menang”. Belakangan, dia hanya
menebak-nebak, bahwa itu mungkin berhubungan dengan angkatan kelima PKI, yaitu
petani dan nelayan yang dipersenjatai. Namun, Iwan merasa amat sedih. Dia jadi
tidak bisa belajar. Apalagi ketika mengingat guru perempuan bernama Nurlaeli.
Dia amat terpukul.
“Ibu Guru Nurlaeli saat itu baru melahirkan. Dia
ditangkap, dibawa ke penjara dengan bayinya. Kemudian hilang, sampai sekarang
tidak tahu kuburnya. Mungkin sudah dibunuh,” kata Iwan kepada saya.
Saya coba menghubungkan kesaksian Iwan ini dengan apa
yang diungkapkan Ibrahim Kadir. Di antara malam-malam di mana Kadir ditahan
dalam penjara, dia menyaksikan seorang perempuan dan bayinya yang tewas
ditembak anggota WMD di bibir jurang. Barangkali, perempuan malang yang
dimaksud Kadir adalah Ibu Guru Nurlaeli bersama bayinya yang dikenal Iwan.
IBRAHIM Kadir seakan kehilangan harapan ketika
menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang yang sebelumnya ditahan di penjara
itu. Saat itu, ketika dia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya, Kadir menemukan
ide dan berharap untuk segera dibunuh.
Ketika itu dengan kondisi badan yang masih lelah karena
baru pulang dari mengantar para tahanan yang dieksekusi, dia menuju jendela sel
tahanan. Sambil memandang ke luar dan memegang jeruji besi jendela penjara dia
memulai aksinya, menyanyikan syair yang diciptakannya dengan keras-keras.
“Saya berharap, yang paling terganggu adalah sipir
penjara, dan mereka semua marah dan langsung menembak saya di tempat. Sehingga
kalau saya mati, ibu, istri, anak serta keluarga saya yang lain akan tahu di
mana mayat saya. Teman-teman satu sel yang belum dibunuh yang mendengar syair
tersebut, semuanya menangis,” kenang Kadir.
Syair itu dilantunkan dalam bahasa Gayo. Terdiri dari 23
Bait dan 92 baris. Dia memberi judul syair tersebut Sebuku, kurang lebih
berarti ratapan.
Tanpa dia sadari, saat itu ada seorang serdadu yang
merekam ratapannya. Keesokan harinya dari Gedung Panggung Hiburan Rakyat
Gentala yang berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kadir ditahan, dari pengeras
suara yang digunakan, para tahanan mendengar sayup-sayup syair yang dibawakan
Kadir pada malam sebelumnnya. Pada saat syair tersebut diperdengarkan, di
tempat tersebut sedang berlangsung pertemuan tokoh-tokoh partai, tokoh-tokoh
tersebut berasal dari PNI, Masyumi, PSII dan partai lainnya. Kecuali dari PKI.
“Bukankah itu syair yang kamu nyanyikan tadi malam?”
tanya teman satu selnya waktu itu. Dan Kadir mengiyakan.
Belakangan syair itu malah menyelamatkan Kadir dari
eksekusi. Dalam pertemuan tokoh-tokoh partai tersebut, ada yang tertarik dengan
syair itu. Dan menanyakan siapa yang melantunkannya. Setelah ditelusuri, si
penanya mendapat jawaban: Ibrahim Kadir. Beberapa tokoh PNI dalam pertemuan
tersebut kontan marah. Mereka mengatakan bahwa Kadir bukan anggota PKI,
melainkan anggota PNI.
“Saya tidak ada hubungannya dengan PKI dan memang benar
saya anggota PNI,” kisah Kadir kepada saya.
Selang beberapa hari dari kejadian tersebut, Kadir
dipanggil ke kantor Kodim Aceh Tengah. Dia dimasukkan ke sebuah ruangan. Di
situ ada meja panjang yang ditutupi taplak meja hijau. Di belakangnya, di atas
kursi duduk bersisian Kepala Kejaksaan Takengon, Bupati Aceh Tengah Aman Sani,
Komandan Kodim, dan dua orang hakim. Mereka mengatakan, “Maaf, guru tidak
bersalah.”
“Saya marah sekali,” ujar Kadir.
“Hampir saja saya tumbuk mereka. Saya tanya mengapa
mereka tidak menanyakan itu pada awal-awal penangkapan saya. Mereka hanya minta
maaf, dan mereka mengatakan mendapat informasi yang salah, kemudian saya
dibebaskan,” tambahnya
Tahun 2000, syair-syair Sebuku yang menyelamatkan Kadir
menjadi ide cerita film Puisi Tak Terkuburkan. Film itu digarap sutradara Garin
Nugroho. Di situ, Kadir berperan sebagai pemeran utama. Tahun 2001, Kadir
meraih penghargaan sebagai pemeran pria terbaik dalam Festival Film Internasional
Singapore. Lewat film itu, masa kelam di dataran Gayo pelan-pelan diketahui
orang banyak.
ULF Sundhaussen menulis tragedi kemanusiaan di Indonesia
ini dalam bukunya yang berjudul The Road to Power: Indonesian Military
Politics, 1945-1967. Di situ dia mengatakan, “Salah satu daerah yang paling
awal melakukan pembantaian terhadap anggota PKI adalah Aceh.”
Korban yang ditimbulkan oleh operasi ini sangat besar.
Guru-guru dan orang pandai yang seharusnya bisa memajukan pendidikan untuk
anak-anak Gayo dibantai dan jumlah korban diperkirakan mencapai 2500. orang.
Sementara jumlah penduduk Aceh Tengah pada saat itu hanya 25.000 orang.
Banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya
dapat dari informasi yang tidak jelas. Informasi ini lebih banyak berdasarkan
fitnah. Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban. Seperti
urusan batas tanah, warisan dan urusan pribadi lainnya.
Tak ada verifikasi, dengan hanya mendapatkan informasi
dari seseorang, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya
dibantai. Banyak kasus seperti ini ditemukan, tak ada tempat untuk pembelaan
bagi para korban. Untuk menggambarkan banyaknya korban akibat fitnahan seperti
ini muncul istilah “tilok wan opoh kerong”. Artinya kurang lebih “menunjuk dari
balik kain sarung”. Suatu tindakan yang menggambarkan seseorang yang melakukan
fitnah untuk berbagai tujuan yang menyebabkan dibunuhnya orang yang dimaksud.
Yang banyak menjadi korban pada masa itu, selain
masyarakat sipil dan kepala, adalah guru. Tidak jelas mengapa banyak guru yang
menjadi korban. Entah karena pemimpin PKI di Aceh Tengah, Thd. Rama, adalah
guru sehingga menyebabkan guru banyak dilibatkan, atau entah karena sebab lain.
Ataukah memang para guru ini tergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) non-Vaksentral yang berafiliasi kepada PKI.
Menurut Daud Beuramat, guru sekolah dasar pada tahun 1965
dan kini telah pensiun, saat itu banyak guru di Aceh Tengah yang tidak mengenal
PGRI non-Vaksentral. Tapi mengetahui PGRI hanya berdasarkan nama pemimpinnya,
seperti PGRI Subandrio dan PGRI M.E. Subiadinata.
“PGRI Non-Vaksentral dipimpin oleh Subandrio. Non
Vaksentral artinya tidak tergabung dalam suatu wadah atau federasi,” kata Daud
kepada saya.
Sedangkan Saleh menceritakan, ketika akan dibantai banyak
sekali korban yang mengaku tak tahu apa itu PKI. Korban, kata dia, umumnya
menganggap PKI adalah Persatuan Ketoprak Isaq. Isaq adalah nama suatu tempat di
kabupaten Aceh Tengah yang letaknya di jalan menuju Aceh Tenggara. Atau karena
hanya menandatangani sesuatu yang isinya tidak diketahui oleh korban, karena
korban kebanyakan buta huruf.
“Jadi korban dibodoh-bodohi dan ditipu,” kata dia.
Untuk menggambarkan masyarakat yang ditipu, dituduh
terlibat PKI, lalu dibantai, orang Gayo selalu mengingatkan temannya dengan
mengatakan, “Enti sembarang teken, kahe kona geleh!” Artinya jangan sembarang
tanda tangan, nanti kena potong!
Ada lagi satu istilah yang berasal akibat maraknya
pembantaian yang terjadi pada saat itu. Jika seseorang melihat sekelompok orang
naik di atas truk terbuka, maka kata-kata yang muncul dari orang yang melihat
adalah “Oya male i geleh!” sambil menggerakan tangan di leher seperti isyarat
mau memotong. Kalimat itu artinya, hayo kamu mau dibunuh!
Kata-kata itu masih sering diucapkan sampai sekarang jika
melihat orang berada di atas truk, walaupun hanya bermaksud untuk gurauan.
Trauma itu ternyata belum hilang.
Orang-orang tua yang mengalami masa tahun 1965 sering
mengatakan, situasi saat itu lebih kejam ketimbang konflik tahun 2000. Tidak
ada bunyi letusan senjata, tetapi mayat ada di mana-mana.
“Situasi pada saat itu lebih mengerikan dari konflik yang
terjadi akibat pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” ujar Saleh.
Siklus kekerasan berulang, pada penerapan Daerah Operasi
Militer di Aceh pada tahun 1989-1998. Beberapa anak-anak korban pembantaian
tahun 1965 menjadi Tenaga Pembantu Operasi (TPO) TNI di Aceh Tengah. Saat
konflik senjata makin meningkat di tahun 2000 sampai 2004, TNI kembali
membentuk milisi-milisi pendukung operasi militer di Aceh Tengah dan Bener
Meriah.
Anggota-anggota milisi ini banyak berasal dari desa
Pondok Gajah, Pondok Kresek, Pondok Sayur, Sidodadi dan Blang Pulo. Desa-desa
yang disebutkan tersebut dulunya merupakan daerah yang paling banyak
penduduknya dibantai karena dituduh terlibat PKI. Dan anggota-anggota GAM
sebagai lawan TNI/Polri di Aceh Tengah dan Bener Meriah banyak yang mempunyai
hubungan dengan mantan anggota DI/TII. Hubungan itu seperti hubungan
kekerabatan langsung dari orang tua atau kakek yang menjadi anggota DII/TII.
Saleh melihat sendiri unsur balas dendam oleh anggota
DI/TII yang menjadi algojo dan bergabung dalam kelompoknya ketika melakukan
pembersihan terhadap anggota PKI. Lelaki itu bernama Aman Budi. Saat hendak
mengeksekusi, sambil mengayunkan pedang ke leher korban, ia mengatakan, “Mampus
kau! Dulu ketika kami di hutan, kami sangat menderita karena perbuatan kamu.”
Pembersihan terhadap anggota PKI di Aceh Tengah, menurut
Saleh, berlangsung dalam waktu enam sampai 10 hari. Setelah itu aparat TNI melarang
segala penangkapan dan pembunuhan
“Jika tidak ada perintah bahwa operasi harus
diberhentikan, bakal habis keluarga yang dituduh sebagai anggota PKI,” ungkap
Saleh.
Sementara keluarga korban yang dituduh PKI, selain
menderita trauma juga merasa malu karena mendapat hukuman sosial dikucilkan dan
dianggap orang anti Tuhan. Tidak percaya pada Tuhan merupakan dosa yang sangat
besar bagi orang Gayo yang beragama Islam. Selain itu, keluarga-keluarga ini
tidak bisa menjadi pegawai negeri dan meminta bantuan kredit ke bank.
Namun Iwan Gayo menyaksikan hal yang sebaliknya. Mereka
yang dibunuh umumnya justru orang-orang yang saleh.
“Siapa bilang mereka tidak sembahyang? Semua guru dan
orang-orang yang saya kenal dan dibunuh karena dituduh punya hubungan dengan
PKI adalah orang yang taat beragama, mereka sembahyang,” tukasnya.
Meski begitu, pada masa
merebaknya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia, orang Gayo lebih
memilih untuk dikatakan PKI dari pada dikatakan GAM. Sebab, saat itu mengaku
PKI tidak berakibat hilangnnya nyawa. Tapi jika dituduh GAM bisa-bisa nyawa
melayang.
Konflik yang berakibat hilangnya kemerdekaan individu,
rasa aman, nyawa dan harta, telah menumbuhkan suatu keinginan yamg kuat dari
penduduk Gayo untuk hidup damai. Tapi mereka juga ingin pelaku kejahatan
kemanusiaan itu dihukum. Kata-kata bijak Gayo mengatakan,
”Agih si belem, genap si nge munge.” Artinya Sudah cukup,
jangan terulang lagi!
–
*) Mustawalad adalah
kontributor Pantau Aceh Feature Service. Dia menjabat Kepala Bidang Internal
Kontras (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh.
(Tulisan
ini pernah terbit di Majalah Pantau)
Sumber: LintasGayo