17/04/2013 -
Hersri Setiawan
Seperti namanya telah menyatakan, Pulau Buru merupakan
tempat pemanfaatan (tefaat) tapol. Atau lebih jelas jika dinyatakan secara
terbalik: tempat tapol dimanfaatkan. Apabila ketika masih di penjara, tapol
hanya dikurung di dalam sel, maka di tempat pemanfaatan ini mereka justru
“dilepas”. “Dibiarkan” mereka itu hidup di tengah-tengah keganasan alam, untuk
dibebani dengan seribu satu “harus” dan diawasi oleh intaian berpasang-pasang
mata sangkur dan laras senjata. Kendati demikian Buru sebagai tempat
pemanfaatan lebih memberikan kemungkinan bagi tangan-tangan penciptaan tapol
untuk berkiprah.
Tapol di Indonesia Orde Baru kira-kira bisa
diperbandingkan dengan budak-budak peradaban dunia sepanjang sejarah bangsa
mana saja. Dari tangan budak-budak ini berdirilah monumen-monumen seperti
Borobudur (Jawa), Tembok Besar (Tiongkok), piramida (Mesir), dan lain
sebagainya. Monumen-monumen perkosaan kemanusiaan, tetapi bukannya tanpa
nilai-nilai keindahan dan kebesaran yang menjadi abadi dalam sejarah.
“Engkau menciptakan malam, dan aku membikin pelita /
Engkau menciptakan tanah liat, dan aku membikin tembikar / Engkau menciptakan
gurun pasir, gunung gemunung, dan hutan belukar / Dan aku membuka sawah,
ladang, dan kebun buah-buahan / Akulah yang mengubah batu menjadi cermin / Dan
akulah juga yang mengubah racun jadi penawar.”
Hersri Setiawan berdiri di depan papan nama di Pulau Buru
yang menunjukkan kamp dimana ia melakukan kerja paksa. foto: Willy van Rooyen,
1998. koleksi: IISH
Apa yang dikatakan Iqbal [1873-1938] benar belaka. Daya
kreasi dan inovasi manusia sungguh luar biasa apabila kesempatan untuk itu
dimungkinkan. Di penjara Salemba, dengan bahan segala macam sampah dan batu sebagai
alat, tapol bisa membikin berbagai-bagai macam barang. Kaleng susu cap bendera
menjadi kompor minyak atau kompor lilin, kantong plastik menjadi tas dan bahan
pengganti kertas atau lebih tepat “lontar”, sendok alpaka menjadi jarum
akupungtur, tulang dan batok kelapa menjadi pipa rokok, pecahan kaca menjadi
pisau cukur, sisa-sisa gombalan menjadi hasil kerajinan sulaman warna-warni
yang indah, dan lain-lainnya lagi. Semua itu tanpa alat, kecuali tangan, dan
barang-barang yang dapat ditemukan di sekeliling!
Seperti sudah dikemukakan, di Buru kesempatan berkreasi
menjadi lebih luas. Oleh sebab itu sudah di dalam bulan-bulan pertama, di
setiap unit orang bisa mendengar suara suling, petikan kecapi, gesekan biola
atau petikan gitar; mendapati barang-barang anyaman dari bambu, pandan, atau
rotan; ukiran kayu dengan berbagai gaya pola desain.
“Tai pun kalau sudah dicat oleh tangan tapol, tonwal akan berebut memilikinya!” Itu kata kata Kapten Ahmad Nur, Dan Unit XIV Bantalareja, yang aku dengar dan aku tulis secara harfiah belaka. (Ketika itu aku Koordinator Unit XIV). Tetapi yang lebih mencolok dari semuanya itu, ialah terbukanya berpuluh-puluh hektar sawah dan ladang unit, di samping berpuluh-puluh hektar lagi kebun-kebun barak di tengah hutan, yang tetap tersembunyi dari tilikan dan intaian mata penguasa.
Semua nilai itu dihasilkan tapol. Pada satu pihak, di
celah-celah intaian mata penguasa yang tajam dan ganas; dan pada pihak lain, di
sela-sela kesempatan yang terlalu sempit, yaitu pada saat istirahat kerja siang
hari, yang hanya sekitar tiga puluh sampai enam puluh menit lamanya. Kelak,
jika tefaat telah berumur sekitar lima tahun, dan cara pemanfaatan tenaga tapol
sudah menjadi lebih canggih, kelonggaran-kelonggaran tertentu dirasa perlu
diberikan bagi tapol. Pada wartu itulah tapol semakin berkiprah. Lalu
terciptalah berbagai “penemuan” dan pembaharuan atas perkakas dan cara kerja,
seperti misalnya: penggilingan padi, pemipil atau perkakas penanggal biji-biji
jagung dari tongkolnya, “blower” (peniup untuk menampi sekam), gerobak
angkutan, pipa leding dari bambu, dan lain-lainnya lagi. Pada satu pihak demi
kelangsungan hidup, efisiensi memang menjadi tuntutan wajar; namun pada lain
pihak, efisiensi itu sekaligus juga membawa konsekuensi pelipat gandaan intensitas
penindasan. Dan bagi tapol ini tidak lain hanya ibarat menggali lubang kubur
diri sendiri. Karena itu tidak setiap tapol bersikap positif terhadap setiap
usaha penemuan dan pembaharuan tersebut.
Seni dan Hiburan
Sebagai Aspek Pemanfaatan
Semua unit di Tefaat Buru, kecuali unit isolasi Jiku
Kecil yang sesudah dipindah (1974) dikenal sebagai “Unit Ancol” [karena
dibangun di daerah pasang laut], mempunyai gedung kesenian masing-masing.
Memang dinamai “gedung”, walaupun bagi saya lebih mendekatkan ingatan pada
bangunan “Bale Sigalagala” (balai bambu; gala(h) = bambu), tempat keluarga
Pandawa dan Kurawa bermain dadu, awal malapetaka ketika Pandawa harus dibuang
selama tiga belas tahun!
Gedung Kesenian lama Unit IV Savanajaya, sebelum “gedung”
yang baru didirikan tahun 1974, memang dijuluki oleh tapol setempat sebagai
“Kandang Sapi”, entah karena kemiripan bentuknya dengan kandang sapi, atau
karena letaknya yang tak jauh dari Barak Kandang Sapi.Bagaimanapun juga
“gedung” kesenian di unit-unit itu dilengkapi dengan panggung, bangku-bangku
tempat duduk untuk lebih dari 500 penonton, dua perangkat gamelan Jawa slendro
dan pelog, dan layar-layar dekor untuk pementasan “drama modern” dan “drama
tradisional”, yang terbikin dari bahan semacam sisal bekas-bekas kantung pupuk.
Semuanya dibangun dan dibikin oleh tapol, rata-rata sudah dalam tahun
pertama atau kedua umur unit yang bersangkutan. Juga berbagai macam instrument
gamelan itu. Semuanya dibikin oleh tapol, dari besi bekas bom yang banyak
terdapat di Namlea – tentu dari sisa-sisa Perang Dunia II yang lalu.
Wayang kulit semula hanya ada di Unit IV Savanajaya,
kemudian dipindahkan ke Markas Komando (Mako) Tefaat, mengikuti di mana Ki
Dalang Tristuti Rachmadi Suryoputro BA berada. Dalang yang berasal dari
Purwadadi Jawa Tengah, dan Sekretaris Lekra Cabang Purwadadi ini, pernah diberi
gelar dan hadiah dalang terbaik Indonesia oleh Festival Pedalangan se Indonesia
1964.Berbeda dengan gamelan yang terdapat di semua unit, instrumen musik
“lengkap” untuk sebuah band hanya terdapat di Mako. Konon hadiah dari
Departemen Sosial Jakarta untuk Tefaat Buru, yang terjadi pada akhir masa
jabatan Kol. AS. Rangkuti selaku Dan Tefaat Buru. Beberapa instrumen musik yang
terdapat di unit-unit merupakan bikinan dan milik perseorangan tapol di
barak-barak, cukup untuk membentuk sebuah orkes kroncong atau irama Melayu dan
irama Padang Pasir (sekarang dikenal sebagai dangdut).
Pada akhir masa ,jabatan Komandan Tefaat Buru (Dan Tebu)
Kolonel AS. Rangkuti (1973), komando tefaat membentuk sebuah kelompok musik
yang dinamai “Band Markas Komando” (Bandko), di bawah pimpinan Basuki Effendy
dan Subronto Kusumo Atmodjo. Pada awal masa jabatan komandan berikut (Kol.
Samsi MS), pengelompokan tapol atas dasar “profesi” itu diperluas dan
dimantapkan. Yaitu dengan ditempatkannya kelompok-kelompok tersebut di dalam
barak-barak yang dibangun di komplek bangunan Mako. Dengan demikian tapol-
tapol “profesi” ini, sejak itu, di bawah pemanfaatan dan pengawasan Mako, dan
tidak lagi unit asal masing-masing yang bersangkutan. Kelompok-kelompok “profesi”
itu ialah: “kelompok insinyur”, yaitu sebutan untuk kelompok tapol
yang bertugas sebagai staf tata usaha Mako, di mana terdapat beberapa insinyur
bangunan dan pertanian; “kelompok kru”, yaitu crew atau “awak kapal”
sampan bermotor milik Mako; kelompok karawitan dan pedalangan Jawa; kelompok
pelukis, di mana terdapat antara lain pelukis-pelukis Permadi Lyosta (dari
sanggar “Pelukis Rakyat” Yogyakarta, yang didirikan oleh Hendra Gunawan dkk),
Sumardjo (dari sanggar “Seniman Indonesia Muda”, yang didirikan oleh Affandi
dan S. Sudjojono), Gultom (dari sanggar “Bumi Tarung”, yang didirikan oleh
Amrus Natalsya); kelompok tukang dan pengrajin — terutama kerajinan ukiran
kayu.
Pada sekitar waktu itu jugalah Pramudya Ananta Toer
dipisahkan dari kawan-kawannya di unit, dan diperlakukan serta ditempatkan di
ruang tersendiri. Mula-mula di gedung kesenian Unit I Wanapura, dan selanjutnya
di komplek Mako sesudah markas ini pindah dari Namlea ke tepi Sungai Wai Apo,
di areal antara Unit I Wanapura dengan Unit II Wanareja. Tugas pokok yang
dibebankan penguasa pada Pramudya ialah menulis dan menulis saja.
Kolonel Samsi MS yang cerdik itu juga mengubah “budaya
militer” menjadi “budaya budak”. Perubahan yang dalam praktik seakan-akan
memberi angin kepada tapol, tapi dalam hakikat sesungguhnya justru lebih busuk.
Misalnya dalam hal apel. Dia berkata kurang lebih: Prinsip apel ialah
menghitung kekuatan tenaga kerja manusia, dalam hal ini tapol. Karena itu
tidak harus dengan baris-berbaris dan berhitung secara militer. Cukup dengan
apel kentongan atau “apel sapi” (sic!). Ini menghemat waktu. Supaya mereka
segera bisa ke tempat kerja masing-masing, dan memulai pekerjaan yang sudah
digariskan. Karena, justru untuk inilah tapol dibawa ke Buru. Untuk
dimanfaatkan. Kecuali itu, masih kata Kolonel Samsi MS, apel sapi juga untuk
menghindari kesalahan dalam baris-berbaris atau berhitung dan akibat-akibatnya,
yaitu pemukulan dan penyiksaan oleh petugas terhadap tapol. Padahal wajar saja
jika tapol tidak pandai berbaris, karena mereka memang bukan tentara. Lalu
kalau mereka disiksa, jatuh sakit, masuk rumah sakit, dan tidak bisa bekerja
siapa yang rugi? Proyek Tefaat! Dan siapa yang harus bertanggung jawab ke
Pusat? Bukan Tonwal (Peleton Kawal), bukan Dan Unit, tetapi saya!
Oleh karena itu para Dan Unit dan Tonwal memberi
kepanjangan huruf-huruf “MS” di belakang nama Dan Tebu ini sebagai “Menang
Sendiri”. Samsi yang mau Menang Sendiri. Tetapi toh sedikit lebih baik
ketimbang pendahulunya: Rangkuti, yang kependekan dari “Barang Barang
Diangkuti”. Kepanjangan singkatan-singkatan ini tentu saja hanya ditiupkan dari
mulut ke mulut oleh tapol.
Pramoedya Ananta-Toer di kamp Pulau Buru. (foto: istimewa)
Tarik Tambang
Dengan Seni Dan Hiburan
Pada saat-saat tertentu rombongan karawitan dan
pedalangan dan bandko tersebut mendapat perintah untuk menghibur para petugas
Mako, dan setiap dua atau tiga bulan sekali berkeliling ke unit-unit untuk
memberi hiburan bagi tapol dan petugas di sana. Tema pergelaran ditentukan
sebelumnya, dan “balungan” lakon harus diajukan jauh-jauh hari ke Staf
I/Intelijen Mako. Ketentuan yang sama berlaku juga bagi teks-teks lagu yang
akan dinyanyikan. Karena itu maka dalam pandangan sementara tapol kegiatan seni
atau hiburan seperti ini merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Lebih dari itu
bahkan ada yang menilainya sebagai perbuatan khianat. Sia sia, oleh karena
paling jauh hanya nilai hiburan yang bisa dicapai. Khianat, oleh karena hiburan
bagi tahanan, seperti istilah itu sendiri sudah menjelaskan, hanya berarti
sikap menipu diri sendiri. Dan itu tidak lain selain sikap hipokrisi terhadap
realitas belaka. Kegiatan hiburan di dalam kamp, demikian mereka menyimpulkan,
hanyalah kegiatan pengabdian kepada musuh.
Memperhatikan penalaran demikian itu, aku ingat sebuah
novel “Exodus” (Leon M. Uris, 1958), yang kubaca ulang ketika aku di tahanan
“Ikan Paus” di Cilandak, Jakarta. Di dalam novel itu dikisahkan tentang
bagaimana orang-orang Yahudi di kamp-kamp tahanan mereka mengisi “waktu
kosong”. Misalnya, bermain teater sebagai payung latihan kemiliteran, latihan
menyanyi bersama sebagai payung pendidikan ideologi, dan berbagai-bagai cara
kerja konspiratif lainnya. Tetapi, bantahku sendiri, novel mempunyai
realitasnya sendiri. Suatu realitas yang terkadang jauh dari realitas kongkret,
justru karena alasan kebebasan kreasi itu.
Tapol mempunyai istilah-istilah khusus untuk berbagai
kegiatan hiburan atau seni itu. Beberapa di antaranya ialah: “korve gurung” atau
“korve kerongkongan” untuk menyanyi; “korve besi” untuk penabuh gamelan; “korve
kawat” untuk bermain musik, karena sebagian besar instrumen berupa instrumen
petik dan gesek yang bersenar kawat; “korve mata” untuk tapol penonton;
“korve keplok” untuk bertepuk tangan, karena setiap nomor acara berakhir, tapol
penonton wajib bertepuk tangan. Siapa yang mewajibkan itu? Siapa lagi kalau
bukan komandan! Kecuali itu ada lagi yang di sementara unit dikenal sebagai
(maaf beribu maaf!) “korve lendir” (maksudnya sperma), ini untuk tapol “tandak”
yang mendapat tugas Komandan untuk menemani tidur di wisma, entah bersama
dirinya sendiri atau jika ada tamu dari “pusat”.
Bahwa semua sebutan itu didahului dengan kata korve, yang
sebagai jargon penjara memperoleh arti lebih tegas, yaitu kerja wajib di luar
jam kerja (barang tentu tanpa upah), adalah petunjuk bahwa tapol sadar akan
adanya ketidak-bebasan itu. Namun, apa pun hasil akhir yang akan dicapai,
apakah bernilai seni ataukah bernilai hiburan, bagi para seniman dan pemain
yang bersangkutan khususnya, kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan itu sama
sekali bukannya tidak bermanfaat. Sebab dengan jalan demikian mereka bisa
mempertahankan, bahkan tidak mustahil mengembangkan kemampuan teknis
masing-masing. Kecuali itu hendaknya diingat, bahwa betapapun bengisnya sesuatu
sistem kekuasaan menindas kebebasan berkreasi, namun tidak akan pernah ia mampu
menumpas seniman dan karya mereka sama sekali. Sebab, hanyalah cara dan bentuk
kreasi bisa ditindas. Tetapi isi dan proses kreasi tidak.
Seni tidak hanya lahir di bawah terang kandil-kandil
istana dan gereja. Juga dalam gelapnya penindasan seni bisa lahir. Dan seni
yang lahir dalam kegelapan itu akan tetap seni juga, sebagaimana intan yang
keluar dari mulut anjing sekali pun, tidak akan berubah menjadi beling.
Tidakkah dari haribaan Dewi Amaterasu Omikami, yang di Indonesia mengejawantah
sebagai militerisme Jepang, telah lahir malinkundang-malinkundang bernama
Chairil Anwar, Cornel Simandjuntak pelopor musik Indonesia baru, Dr.Huyung
pelopor pembaharu seni pentas dan film? Tidakkah periode “remuk rusak” (sebutan
sarkasme rakyat untuk “romusha”) telah menggugah kembali ingatan orang kepada
wayang beber yang telah lama tertimbun sejarah, dan yang pada gilirannya
mengilhami penciptaan wayang suluh, wayang revolusi, wayang pancasila, wayang
wahyu, dan semacamnya?
Seni dan
Pertandakan — Penjara Dunia Abnormal?
Selain kalangan tapol yang bersikap menentang kegiatan
seni dan hiburan atas dasar ideologi dan politik seperti tersebut di atas, ada
lagi kalangan tapol lain lagi, yang mencari-cari dalihnya pada alasan moral
(dalam hubungan ini kadang perlu dipertegas lagi: “moral komunis”!).
Adanya kegiatan panggung, kata mereka, berarti membuka
lahan subur untuk lahirnya tandak-tandak. Dan perihal pertandakan ini, bagi
pandangan tapol komunis-sok-moralis yang menilai diri sendiri (yang komunis)
sebagai “supermens” itu, mendapat cap moral yang terburuk dari segala yang
buruk: moral feodal, moral burjuis, moral kriminil! Selanjutnya mereka juga mengatakan
(yang untuk sebagian memang benar), bahwa pertandakan akan mengakibatkan banyak
terjadinya perkelahian antartapol, bacok-bacokan, pencurian, dan seribu satu
akibat-akibat buruk lainnya. Namun dari semuanya itu, masih menurut kata
mereka, akibatnya yang terakhir dan terpenting ialah, bahwa “kontradiksi pokok”
tapol vs. penguasa akan bermutasi kepada kontradiksi non-pokok antartapol.
Tapol-tapol komunis-sok-moralis itu memang pandai merakit
rumusan teoretis. Tapi lupa (ya, mudah-mudahan hanya “lupa”, dan bukan karena
tidak mau tahu) pada kenyataan.
Misalnya: (1) bahwa salah satu unit yang berpenghuni 450
tapol (yaitu Unit V Wanakarta), dengan frekuensi hiburan tidak lebih dari
unit-unit lainnya, toh mempunyai tandak tak kurang dari 70 pasang; (2) bahwa
ada Komandan di sebuah unit (Unit XVII Argabhakti) yang membentuk barisan
“dara-dara” Sabang Merauke Bhineka Tunggal Ika; (3) bahwa ada Komandan atau
Wadan (Wakil Komandan) di sementara unit, yang “memelihara” tapol tandak di
wisma mereka; (4) bahwa ada pula Komandan Unit yang, berkongsi dengan perempuan
penduduk setempat, yang dikenal bernama Ibu Fatimah (Unit III Wanayasa dan Unit
IV Savanajaya), membuka usaha pelacuran di kawasan unit mereka; dan bahwa (5),
inilah yang lebih penting lagi, tandak tidak tiba-tiba lahir sesudah di Buru,
tetapi sudah ada sejak tapol masih hidup dikurung di dalam sel siang dan malam
di kamp-kamp di Jawa.
Pendek kata, hendaklah diketahui, bahwa umur pertandakan
tidak semuda umur bangunan penjara. Di jaman Ratu Sima (abad ke-4M) di Jepara,
Pulau Jawa konon belum punya rumah penjara. Tapi, dalam Kitab Perjanjian Lama,
kisah Sodom-Gomorah sudah mendapat tempat untuk ditulis, selagi Kitab Kejadian
masih sampai pada ayatnya yang ke-19.
Pertandakan bukanlah sisi atau gejala moral feodal, atau
burjuis, atau kriminil, atau ketiga-tiganya menjadi satu sekali pun! Tidak. Ini
adalah aspek cinta dalam situasi dan kondisi khusus, yang bisa tumbuh pada
manusia sembarang — dari mana pun “asal klas”-nya. Gejala pertandakan di
penjara dan di kamp pengasingan mana saja, bukan terdorong oleh nafsu syahwat,
sebagai bentuk primordial hasrat melangsungkan jenis. Tapi terutama lebih
disebabkan oleh tuntutan naluri dasar yang Iain, baik sebagai Manusia (“biological
animal“) yaitu hasrat untuk mencinta dan dicinta, maupun sebagai Orang (“political
animal“) yaitu kerinduan akan kebebasan. Bebas untuk membisikkan keluh-kesah
serta impian diri antara sesamanya.
Sesama tapol di Buru memberikan cap kepada kawan-kawan
mereka yang terlibat kehidupan pertandakan itu sebagai menderita “sakit mata”.
Perhatikan kata “sakit” itu. Oleh karena “sakit mata” mereka, maka mereka lalu
tidak lagi bisa membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan akibatnya
jadilah mereka tandak. Bahwa cap yang lazim berlaku bersifat negatif, itulah
pertanda tentang betapa dominan pandangan golongan moralis tersebut di atas.
Dominasi ini pada gilirannya mendapat legitimasi ideologis dan politis, dengan
melalui campur tangan sistem kekuasaan yang mengeksploitasi situasi
ketergantungan atau kehampaan jiwa sejumlah tapol yang bersangkutan. Sementara
itu pengaruh budaya militer tidak hanya terbatas pada tapol di unit-unit.
Tetapi bahkan juga meluas di kalangan bocah-bocah lepas balita, anak-anak
penduduk setempat di sekitar unit.
Mereka ini tidak lagi bermain latih menumbak sasaran
berupa buah jeruk yang digantung atau digelindingkan, tapi bermain
perang-perangan dengan bedil-bedilan kayu atau bambu. Tokoh komandan dan
tentara menjadi tonggak acuan bagi dunia angan-angan mereka tentang hari depan.
(Lebih lanjut lihat sumbangsih saya dalam “Perjalanan Anak Bangsa“; LP3ES 1982:
296-300).
Goyahnya Dimensi
Simbol
Di Buru sensor militer terhadap hasil daya cipta tapol,
baik di atas panggung hiburan maupun di tengah tempat kerja berlaku sangat
keras. Dengan sekedar bertujuan untuk memperlihatkan kekuasaan, dan atas dasar
itu menjatuhkan hukuman bagi tapol yang bersangkutan, terkadang sesuatu alasan
terasa benar- benar diada-ada saja. Di bawah ini beberapa contoh.
Basuki Effendy seorang aktor dan sutradara film. Salah
satu film karyanya, “Si Pincang”, mendapat penghargaan internasional pada
festival film di Praha awal 1960-an. Suatu hari ia dipermak, istilah tapol
untuk “disiksa” sampai muka dan tubuh berubah bentuk. Apa jalarannya? Oleh
karena ia menyanyikan lagu “Come Back To Sorento”.
Bahwa lagu yang mengandung kata “come back” ini telah
dipilih untuk dinyanyikan olehnya, itulah “hint” yang hendak dilempar si
penyanyi untuk mengkambek-kan PKI! “Apa itu kambek-kambekan, hah!?” Hardik Dan
Unit XIV Bantalareja Lettu Sukirno, sambil memukuli Basuki seperti petinju
menghadapi karung pasir.
Lie Bok Hoo dikipas, yaitu ditampari tak kunjung henti,
sehingga gerak tangan si penampar seperti gerakan kipas. Ia dituduh menyerukan
isyarat melarikan diri melalui lagu irama Melayu (sekarang “dangdut”) “Larilah,
Hai Kudaku!” yang dinyanyikannya.
Sudarno As., Unit IV Savanajaya, guru Taman Siswa dan
pemimpin Lekra Cabang Cilacap, penggubah beberapa tari kreasi baru (al. “Tari
Kupu-Kupu” dan “Menjala Ikan”) “digulung” oleh Tonwal.
Ini istilah lain lagi untuk “disiksa” sampai
tergulung-gulung. Ia dituduh mengadu domba Divisi Siliwangi dengan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Fakta yang dipakai sebagai alasan tuduhan, yaitu gunungan
wayang kulit yang dibikinnya. Seperti diketahui, di dalam gunungan selalu
terdapat rupa-rupa bentuk tatahan. Salah satu di antaranya tatahan yang
melukiskan seekor harimau dan seekor banteng saling berhadap-hadapan.
Sawal disiksa sampai retak tulang iganya, dan
berbulan-bulan menghuni rumah sakit, karena taman bunga yang (atas perintah
Komandan Peleton) dibikinnya di depan wisma. Tanpa ia sendiri menyadari, ternyata
guludan tanah untuk lahan tanaman bunga-bunga itu terdiri dari tujuh jalur
guludan. Wadanton dan Mantri Tani alias Gusgastan (Gugus Tugas Pertanian)
menafsirkannya sebagai tujuh gundukan kuburan Tuparev (Tujuh Pahlawan
Revolusi).
Masih banyak contoh-contoh lain semacam itu. Misalnya
larangan penggunaan simbol-simbol yang berkonotasi dengan faham kiri, dan
terlebih-lebih dengan faham komunisme. Misalnya kata-kata bung, rakyat, kawan,
arit, palu, panji, marhaen, gambar kepala banteng, bilangan tiga atau tri
(ingat istilah “Tripanji Program PKI”), warna merah, lagu Blanja Wurung, Genjer
Genjer, dan banyak lagi. Tetapi lebih dari semuanya itu, bahkan kata “sakit”
atau “dingin” dilarang untuk menyatakan konsep tentang rasa sakit dan rasa
dingin itu. Peristiwa berikut ini banyak terjadi pada hampir semua unit sekitar
tahun-tahun 1971-1973. Tapol dengan keluhan sakit perut, tentu saja
dengan maksud berobat, pergi ke “rumah sakit” unit.
Barangkali memang sudah tertulis dalam skenario mereka,
di rumah sakit, banyak kali terjadi tapol pasien tidak diterima oleh mantri
kesehatan, tetapi oleh Wadan Unit atau atau Mantri Tani. Menerima si pasien
duduk di kursi di depan mejanya, mengambil kartu berobat dari kotak
penyimpannya, Pejabat Kuasa Mantri Kesehatan itu lalu memerintahkan si
penderita sakit perut agar berdiri. Menduga akan segera diberi pel atau apa,
tanpa ragu si penderita berdiri. Tiba tiba bukan obat yang diterimanya, tapi
dihujaninya perut Tapol itu dengan tinju sang Mantri bertubi-tubi, sambil
setiap kali dibarenginya dengan guntur mantra-mantra nya:
“Mana sakit? Sini? Atau sini? Masih sakit?” Dan
seterusnya dan seterusnya. Obat murah lagi cespleng itu baru berhenti diberikan
(betapa dermawannya, bukan?) jika si Tapol sendiri sudah mengaku sembuh dan
menjawab:
“Aduh sudah Pak! Sudah sudah sudah, Pak!” Teriaknya
megap-megap. “Sudah sudah, apa? Masih sakit atau sudah sembuh?”
Jawab si Tapol pasien: “Sudah, Pak. Sudah sembuh …!”
Dan dengan jawaban yang terdengar itu, maka penguasa unit
lalu memerintahkan si Tapol agar segera berlari, meninggalkan rumah sakit dan
menuju ke tempat kerja. Mereka, dengan perintahnya itu tidak perlu lagi takut
dituding oleh Palang Merah atau Amnesti Internasional, sebagai tidak
berperikemanusiaan atau tidak pancasilais.
Tapol lain lagi pergi ke rumah sakit dengan keluhan
dingin karena demam malaria. Obat murah yang diberikan Pak Mantri sebangsa buah
simalakama, namun jauh lebih mujarab dari buah bernama sama yang dikenal di
dalam dongeng Melayu. Simalakama dongeng Melayu jika dimakan ayah mati, jika
tidak dimakan ibu yang mati. Tapi buah simalakama proyek kemanusiaan Buru
(bukan dongeng!), dimakan atau tidak dimakan dia toh pasti mati. Buah itu
berupa perintah: Berlari memutari lapangan apel yang kira-kira satu setengah
kali luas lapangan sepak bola. Si Tapol, ketimbang digebuk karena dituduh
melawan perintah, memilih patuh. Lari dan terus lari, sampai akhirnya roboh dan
pingsan. Atau, merasa tidak akan kuat berlari, si Tapol berhenti sebelum
sepuluh langkah, dan kapitulasi. Menghadap Mantri Kesehatan yang menunggu di
pinggir lapangan, didampingi satu dua Tonwal, bersikap sempurna, dan melapor:
“Lapor! Tidak dingin lagi Pak!” Serunya dengan suara gemetar, dan badan seperti melayang layang setengah mimpi.
Mantri Kesehatan, si penemu brilyan resep anti-malaria
ini, ternyata juga seorang yang pandai bermain kata. Sahutnya:
“Dasar Abunawas! PKI! Pembohong! Pemalas!” Dan seribu satu kata sumpah serapah lainnya. Lalu, sambil mengancamkan tongkat pemukulnya, teriak:
“Kerja! Kerbau pun harus kerja jika mau makan!” Orang yang terkena terapi begini antara lain tapol Unit III, Drs Dilar Darmawan.
Suasana Kamp Pulau Buru (foto: Istimewa)
Abunawas
Di dalam dongeng Seribu Satu Malam ala Jawa, dia tokoh
yang tak terpisahkan dari nama Sultan Harun Alrasyid. Tokoh lambang wong cilik
yang arif dan panjang akal. Tiba -tiba di sini, di Tefaat Buru, oleh para
petinggi negara yang mengaku diri sebagai paling pancasilais dan paling kuasa
serta paling tahu segala itu, Abunawas tidak lain adalah nama bagi pembohong dan
pemalas. Tapi, bahwa ia diidentikkan dengan tapol yang bercap komunis,
barangkali mereka itu tidak terlalu salah.
Di tengah kehidupan tapol di Buru lambang-lambang terasa
menjadi aus. Nilai-nilai berkembang sedemikian intens, dan konsep-konsep dari
dunia bebas menjadi tertinggal perkembangan. Karena itu seribu-satu konsinyes
dan larangan yang ditetapkan oleh penguasa militer di unit-unit menjadi terasa
berlebihan belaka. Kata “kawan”, misalnya. Kata ini telah kehilangan semangat
politik dan nafas ideologinya, sehingga karenanya sudah menjadi terlalu lemah
untuk mewadahi ide “comrade in arms”.
Bahkan lebih dari itu malah! Kita kembalikan pada
konsepnya di “jaman sastra Melayu” pun, yaitu sebagai sinonim kata “kelompok”
atau “[se]kutu”, kata “kawan” ini sudah tidak lagi pas benar. “Kawan” tinggal
sepatah kata lain untuk “teman”. Walaupun begitu penggunaannya di Buru toh
tetap dilarang.
Pada tahun 1960-an awal, aku bersama seorang penyair
Indonesia, namanya Sri Wisnu Kuntjahjo, melawat ke RRT (Republik Rakyat
Tiongkok). Di salah satu tempat kami disambut gadis-gadis remaja pionir berpita
merah. Lalu, setiba kami kembali di hotel, dari jari-jari Kuntjahjo lahirlah
sebuah sajak pendek tapi pekat, berjudul “Gadis Berpita Merah”. Sajak yang
segar melodius, sekaligus merupakan lukisan angan-angan penyair tentang “remaja
sosialisme” RRT saat itu. Warna merah telah memukau dan menggetari keharuan
penyair Kuntjahjo.
Di Buru suatu hari aku melayat teman yang mati tertimpa
kayu. Kepalanya pecah, otaknya muncrat. Warna dan bau darah dan otak itu, pada
pemandangan dan penciuman siapa saja, toh tidak mungkin berubah. Tapi,
nyatanya, pesan yang aku tangkap jelas terasa sudah berubah. Sebab, kesan
seketika yang terbentuk padaku bukanlah rasa haru atau rasa semacamnya. Tapi hanya
berupa kembalinya ingatan lama tentang sebuah cerita wayang. Yaitu cerita
matinya dua raksasa Mahesa Sura (raksasa berkepala lembu) dan Jatha Sura
(raksasa berkepala babi hutan), di Gua Kiskenda. Satu adegan kejadian dari
episode Subali merebut Dewi Tara dalam kisah Ramayana.
“Apa aku sudah tidak waras?” Tanyaku pada kawan yang berdiri di sisiku. Siapa waktu itu, Tedja Bayu atau Sundoro?
“Kenapa?” Tanyanya balik.
“Kenapa aku tidak terharu?”
“Apa itu haru?” Kembali ia bertanya.
“Seandainya kamu pelukis naturalislah katakan, apa darah masih tetap berwarna merah?”
Tidak kudengar jawaban. Tapi barangkali ia pun sibuk
mencari kata pengganti untuk merahnya darah dan amisnya otak yang pecah?
Di depan wisma atau pos penjagaan serdadu pengawal,
tapol biasa melihat kejadian sesama kawannya disiksa. Ya, melihat saja. Tanpa
hendak dan tanpa bisa berbuat apa-apa. Dan jika kejadian penyiksaan terlihat
tidak sebanyak seperti sedia kala, apa lagi kalau sama sekali tidak terlihat,
dari balik pintu barak tapol-tapol akan berkomentar:
“Kok tumben sepi hari ini, ya?”
Dengan pertanyaan yang demikian itu, tidakkah suatu
pertanda, bahwa bagi tapol makna “siksa” atau “siksaan” sudah menjadi menciut?
Atau malah terlalu lebar, sehingga tak keruan lagi hingga mana batasnya! Ya,
bahkan pepatah lama pun sudah mengajarkan, “hilang bisa karena biasa”.
Maka selama “siksa” masih dalam batas-batas ketahanan
tapol, menjadilah yang siksa bukan lagi siksa, melainkan justru menjadi semacam
“kontrapunkt” di dalam kehidupan musik mereka sehari-hari.
Walhasil sebuah pertanyaan: Apakah semuanya bukan
merupakan pertanda, bahwa bagi tapol dituntut adanya suatu “umwertung” terhadap
hubungan antara konsep-konsep dan lambang-lambang? Mungkinkah seandainya
riwayat Tefaat Buru tidak “segera” berakhir, akan lahir abstraksionisme dalam
sastra dari tengah tengah mereka itu?
***
sumber: Hersri Setiawan
0 komentar:
Posting Komentar