17 Juli 2002
Setelah tujuh tahun, Dadang Christanto kembali berpameran di Jakarta. Tetap menghadirkan teror psikologis. Diprotes warga sekitar Bentara Budaya Jakarta.
TIGA belas patung setinggi 170-180 sentimeter berjajar di halaman Bentara Budaya, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Barat. Patung sosok manusia itu dibungkus kain hitam dan dililit tali merah dari kepala hingga kaki. Tiap-tiap patung memondong tubuh tanpa kepala. Instalasi karya Dadang Christanto, berjudul They Give Evidence, ini hanya muncul pada pembukaan pameran, 4 Juli lalu. Esoknya, karya itu sudah "raib".
Semula, They Give, satu dari karya dalam pameran bertajuk "Kengerian Tak Terucapkan" itu, direncanakan hadir hingga 14 Juli. Sayang, karya itu terpaksa dimasukkan ke gudang, karena diprotes penduduk sekitar lokasi pameran.
Setelah tujuh tahun, Dadang Christanto kembali berpameran di Jakarta. Tetap menghadirkan teror psikologis. Diprotes warga sekitar Bentara Budaya Jakarta.
TIGA belas patung setinggi 170-180 sentimeter berjajar di halaman Bentara Budaya, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Barat. Patung sosok manusia itu dibungkus kain hitam dan dililit tali merah dari kepala hingga kaki. Tiap-tiap patung memondong tubuh tanpa kepala. Instalasi karya Dadang Christanto, berjudul They Give Evidence, ini hanya muncul pada pembukaan pameran, 4 Juli lalu. Esoknya, karya itu sudah "raib".
Semula, They Give, satu dari karya dalam pameran bertajuk "Kengerian Tak Terucapkan" itu, direncanakan hadir hingga 14 Juli. Sayang, karya itu terpaksa dimasukkan ke gudang, karena diprotes penduduk sekitar lokasi pameran.
"Dengan berat hati dan sangat terpaksa, patung-patung itu kami turunkan," kata Ipong Purnama Sidhi, pengurus Bentara Budaya Jakarta.Protes warga sudah diajukan sehari sebelum pameran dibuka. Mereka keberatan, karena ketiga belas patung pria-wanita itu bugil habis. Anak-anak yang menyaksikan karya seni itu, eh... memain-mainkan alat vital patung. Rupanya, pemandangan itu membuat orangtua mereka tak berkenan. Protes juga dilontarkan kepada harian Kompas.
Dadang mengalah. Ia membungkus tubuh patungnya dengan kain hitam. Bagian kepala ditutupi plastik tebal, juga berwarna hitam, lalu dililit tali warna merah. Efek karya itu justru jauh lebih dramatis. Kesan seram makin mencengkeram. Tapi, warga sekitar gedung Kompas-Gramedia belum puas. Mereka tetap menuntut patung itu disingkirkan.
Setelah beradu kata antara wakil warga, pimpinan Kompas, dan pengurus Bentara Budaya, akhirnya patung-patung itu terpaksa digudangkan.
"Ini sebuah tamparan bagi dunia seni rupa kita," kata Ipong.
Sebuah karya seni,
ternyata, harus tunduk pada sensor publik. Dadang sendiri, meski sangat
terpaksa, hanya bisa pasrah.
Pengunjung yang datang ke Bentara Budaya, setelah hari pembukaan, hanya menemukan secarik kertas yang ditempel pada pelataran bekas patung-patung itu berdiri. Di kertas itu tertulis: "Di sini sempat dipamerkan karya Dadang Christanto berjudul They Give Evidence." Toh, pengunjung masih bisa menikmati karya-karya Dadang yang lain.
Di ruang pameran dipajang dua instalasi, Red Rain (2000) dan Cannibalism: The Memory of Jakarta-Solo 13. 14, 15 Mei 1998 (1998), serta lima lembar drawing. Temanya senapas, yaitu tentang korban kekerasan. "Lebih dari dua juta orang mati dibantai setiap tahun," kata Dadang kepada Gatra, di sela acara pembukaan pamerannya.
Cerita tentang pembantaian manusia membekas kuat di hati Dadang. Dia sendiri bisa dikatakan sebagai korban.
Pengunjung yang datang ke Bentara Budaya, setelah hari pembukaan, hanya menemukan secarik kertas yang ditempel pada pelataran bekas patung-patung itu berdiri. Di kertas itu tertulis: "Di sini sempat dipamerkan karya Dadang Christanto berjudul They Give Evidence." Toh, pengunjung masih bisa menikmati karya-karya Dadang yang lain.
Di ruang pameran dipajang dua instalasi, Red Rain (2000) dan Cannibalism: The Memory of Jakarta-Solo 13. 14, 15 Mei 1998 (1998), serta lima lembar drawing. Temanya senapas, yaitu tentang korban kekerasan. "Lebih dari dua juta orang mati dibantai setiap tahun," kata Dadang kepada Gatra, di sela acara pembukaan pamerannya.
Cerita tentang pembantaian manusia membekas kuat di hati Dadang. Dia sendiri bisa dikatakan sebagai korban.
"Ayah saya diangkut dengan truk pagi-pagi buta, sementara saya tidak mengerti apa-apa," kata Dadang. "Sejak saat itu, saya tak pernah lagi bertemu ayah." Peristiwa 1965 itu terus membekas dalam benak Dadang, hingga saat ini.Lewat karyanya, seakan Dadang ingin bercerita tentang sejarah pahit masa lalunya. Ia ingin membuat orang-orang yang melihat karyanya merasakan keterlibatan emosi. They Give Evidence bukan sekadar dongeng mengerikan tentang pembantaian manusia. Ia menjadi hantu yang mengikuti perjalanan hidupnya.
Hujan Merah (Red Rain) menegaskan betapa Dadang telah berusaha keluar dari kotak kenangannya. Karya ini terdiri dari gambar-gambar kepala dengan ekspresi wajah penuh derita dan kengerian di atas kertas berukuran 15 x 10 cm, sebanyak 1965 lembar. Kepala-kepala itu dipajang di tengah-tengah ruang pameran, bak rinai hujan.
Noda-noda merah yang tersapu di masing-masing gambar kepala melambangkan darah dan luka. Sementara noda-noda hitam yang juga berlumuran dalam setiap gambar melambangkan kekelaman. Gambar-gambar tersebut dipasang di atas langit-langit ruang pameran, dan dari setiap kepala tertancap benang wol merah menjuntai jatuh ke lantai, bak tetesan darah.
Tragedi manusia korban kekerasan juga dilukiskan pada lembar-lembar yang hanya disebut drawing (tanpa judul lain) di atas medium rice paper. Susunannya seperti hantu melayang. Ratusan gambar kepala dari ukuran titik hingga ukuran selebar telapak tangan dijejalkan. Kadang jejalan kepala tersebut membentuk lingkaran, kadang membentuk juntaian memanjang.
"Ini bukan hanya tentang tragedi 1965, melainkan juga para korban pembantaian hingga hari ini," kata Dadang.Gambaran lebih mengenaskan tampak pada Cannibalism: The Memory of Jakarta-Solo 13, 14, 15 Mei 1998. Horor traumatik yang menyakitkan ini memang bercerita tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998, tatkala terjadi pembantaian warga keturunan Cina. Dadang mengusik ingatan pengunjung dengan bentuk "tusuk sate". Sayatan-sayatan bagian tubuh manusia disusun berjejer seperti sate.
Panggangan sate berbentuk kotak persegi panjang, berukuran panjang 2 meter dan lebar 60 cm, setinggi 70 cm dari susunan batu bata. Reimajinasi Dadang seakan berdesakan untuk keluar dari bingkai traumatis. Kata-kata tak mampu lagi menggambarkan apa yang sedang bergolak di batin. Sementara kenangan sudah menyesak untuk dipaparkan.
"Karya-karya saya adalah medium saya untuk bercerita," katanya.Hanya saja, ada sedikit celah kecil yang mungkin luput dari perhatian Dadang. Cannibalism,yang memvisualkan bagian-bagian tubuh manusia yang disate, digarap kurang detail. Panggangan sate terkesan dingin, karena arang di bawah panggangan tanpa bara.
"Kecenderungan perupa instalasi kita selalu sudah puas dengan ide," komentar Eddy Soetriyono, seorang kritikus seni rupa.Kecenderungan ini membuat karya-karya instalasi kadang ditampilkan "tidak selesai". Menurut Eddy, meski hanya masalah kecil, hal itu merupakan bagian penting dari sebuah karya seni, sehingga tidak bisa diabaikan. Cannibalism akan lebih lengkap jika diberi arang menyala, meski hanya buatan.
"Apalagi diberi asap dan unsur bau, seperti memanggang sate betulan," katanya.Seperti pada umumnya karya perupa kontemporer, setiap karya Dadang memakai gaya repetitif (pengulangan). They Give Evidence, Hujan Merah, Cannibalism, dan Drawing adalah karya repetitif. Karyanya ini mengingatkan pada 1001 Manusia Tanah, yang menampilkan 1.001 patung di pantai Marina, Taman Impian Jaya Ancol, pada 1995.
I Made Suarjana dan Asmayani Kusrini
----box kecil--
Dari Seni Lukis Murni
SETELAH menggelar 1.001 Manusia Tanah di Ancol, 1995, Dadang Christanto menghilang dari jagat seni rupa Indonesia. Dalam tujuh tahun belakangan ini, ia tidak pernah berpameran di Indonesia. Akhirnya, Bentara Budaya Jakarta berhasil mengajaknya pulang kampung dan menggelar karyanya. "Barangkali akan memberi perenungan lebih jernih tentang situasi di Tanah Air," kata Ipong Purnama Sidhi.
Dadang merupakan satu dari sedikit perupa Indonesia yang lebih banyak berkiprah di mancanegara. Selain Dadang, ada Heri Dono dan Eddie Hara, perupa instalasi yang juga lebih banyak berkiprah di dunia internasional. Kebetulan ketiganya kawan seangkatan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Dadang masuk ISI Yogya pada 1975, dan lulus 1986. Ayah dari Gunung, 7,5 tahun, dan Embun, 3,5 tahun, ini juga pernah akrab dengan dunia teater. Ia sempat bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra, 1975 hingga 1978. Awalnya ia menggeluti seni lukis murni. Karena tidak puas, ia beralih ke seni instalasi.
Sebagai perupa instalasi, suami dari Yuliana Kusumastuti ini memulai debutnya pada Contemporary Indonesian Artist di University of South Australia Art Museum, Adelaide, dan Victorian College Of The Art Melbourne, Australia, 1991. Sejak 1999 Dadang memutuskan menetap di Australia. Kini ia mengajar mata kuliah seni kontemporer Asia Tenggara di School of Art and Design, University of Northern Territory ,Darwin, Australia.
Sumber: Arsip Gatra
0 komentar:
Posting Komentar