Juli 10, 2003 3:00AM EDT
(Jakarta) Dalam dua laporan yang disiarkan hari ini, Amnesti Internasional dan Human Rights Watch meminta pembebasan seluruh tahanan politik yang ada di Indonesia dan pencabutan undang-undang yang digunakan untuk mendakwa dan memenjarakan para aktivis yang ikut serta dalam aksi mengeluarkan pendapat politik secara damai.
Serangkaian amnesti yang menindaklanjuti turunnya Presiden Soeharto yang pada bulan Mei 1998 terpaksa dilengserkan mengacu pada pembebasan seluruh tahanan politik dan janji-janji pemegang kekuasaan di Indonesia untuk mengakhiri tuduhan-tuduhan yang punya motivasi politik. Akan tetapi, sejak itu malah, setidaknya, ada 46 tahanan politik yang telah dijebloskan ke penjara-39 di antaranya dipenjarakan semenjak Megawati Soekarnoputri menjadi presiden pada bulan Juli 2001.
"Aksi-aksi yang mengarah kepada kebebasan politik yang lebih besar dan penghargaan terhadap kebebasan expressi dikacaukan dengan dakwaan dan pemenjaraan para aktivis politik , aktivis pekerja, aktivis independen dan aktivis lainnya yang melakukan aksi mereka secara damai," ungkap Brad Adams, direktur divisi Human Rights Watch Asia. "Kurang dari setahun sebelum Indonesia melaksanakan pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya, memenjarakan individu-individu yang mengkritik pemerintah merupakan suatu perkembangan yang mengkhawatirkan bagi proses pemilihan tersebut."
Dua organisasi HAM mengungkapkan keprihatinan khusus mengenai meningkatnya penggunaan pasal dalam KUHP yang menghukum "[orang] yang melakukan penghinaan terhada Presiden atau Wakil Presiden" dengan hukuman enam tahun penjara. Sejak akhir tahun 2002, setidaknya 14 aktivis politik telah dijebloskan ke penjara dan tiga lainnya sedang menghadapi dakwaaan menurut ketetapan-ketetapan tersebut. Pada sebagian besar kasus, para aktivis ditangkap menyusul partisipasi mereka dalam aksi-aksi damai.
"Undang-undang represif yang dipakai rezim penguasa mantan Presiden Soeharto semestinya tidak lagi punya tempat di negara yang mengklaim dirinya sedang mempersiapkan jalan bagi tegaknya demokrasi sepenuhnya," kata Ingrid Massage, direktur sementara Program Asia Pasifik Amnesti Internasional.
Ignatius Mahendra, Ketua LMND (Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi, National Democratic Student's League) cabang Yogyakarta, dan Yoyok Eko Widodo, anggota SPI (Serikat Pengamen Jalanan, the Street Buskers Union), adalah dua di antara mereka yang terakhir dipenjarakan dengan dakwaan melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden. Masing-masing dihukum tiga tahun penjara pada bulan April setelah dinyatakan bersalah membakar foto Presiden Megawati Sukarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz selama berlangsungnya aksi damai pada bulan Januari tahun ini. Pada tanggal 1 Juli, hukuman penjara lima tahun dijatuhkan kepada Muhammad Nazar, pimpinan aktivis politik di propinsi Aceh, Sumatra. Nazar didakwa "telah menyebarkan kebencian terhadap pemerintah" karena partisipasinya dalam pertemuan-pertemuan damai pro kemerdekaan awal tahun ini.
Sejumlah undang-undang represif lainnya juga dipakai untuk mendakwa para tahanan politik tersebut. Para aktivis kemerdekaan damai di propinsi Aceh dan Papua dituduh "menyebarkan kebencian terhadap pemerintah" atau melakukan pemberontakan. Empat aktivis serikat dagang yang ditangkap di Kalimantan Timur bulan Januari 2002 karena peran mereka dalam protes damai terhadap kenaikan upah sekarang ini sedang menjalani hukuman penjara selama enam bulan sesudah dinyatakan bersalah karena menghasut masyarakat untuk melakukan tindak kejahatan.
Baik Amnesti Internasional maupun Human Rights Watch sudah beberapa tahun melakukan kampanye bagi amandemen KUHP Indonesia yang sesuai dengan hukum internasional dalam rangka melindungi kebebasan dasar dalam berpendapat dan berkumpul.
"Pencabutan undang-undang tersebut sudah lama dinantikan," ujar Ingrid Massage dari Amnesti Internasional. "Setiap ketetapan hukum yang menganggap para aktivis politik damai telah melakukan tindak kejahatan harus segera dicabut secepat mungkin. Sementara itu, pemerintahan Megawati harus membuat kesepakatan umum untuk mengakhiri setiap dakwaan semacam itu, yang mempertanyakan komitmen pemerintah kepada masyarakat yang pluralistik berdasar pada penghargaan atas HAM."
Dua organisasi HAM juga menghimbau negara donor, meliputi Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat dan Australia, menuntut reformasi hukum untuk mengakhiri praktek-praktek kemunduran ini yang menciptakan generasi baru tahanan politik di Indonesia.
Masalah persidangan yang tidak adil yang menyebabkan para tahanan politik tersebut divonis bersalah harus juga mendapat perhatian. Pada banyak kasus, penahanan dilakukan tanpa surat penangkapan dan para terdakwa tidak bisa memperoleh penasehat hukum, serta pada beberapa kasus, mendapat siksaan atau perlakuan buruk lainnya. .
Untuk teks lengkap mengenai laporan Amnesti Internasional, Indonesia: Undang-undang Lama - para tahanan politik baru (ASA 21/027/2003, 10 July 2003), lihat http.www.amnesty.org
Source: HumanRightsWatch
0 komentar:
Posting Komentar