Selasa, 30 September 2003
Peristiwa yang terjadi pada 1965-1966, merupakan peristiwa yang tidak
bisa dilupakan bangsa Indonesia. Bahkan mereka menyebut bahwa peristiwa
pada sebagai tragedi yang amat memilukan hati. Khususnya bagi keluarga,
maupun korban pasca Partai Komunis Indonesia yang gagal melakukan kudeta
berdarah.
Tim Redaksi
Peristiwa yang kemudian
dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September 1965 (G.30.S), telah
menyisakan sisi kelam perjalanan bangsa Indonesia. Ratusan ribu bahkan
mungkin jutaan anak manusia menjadi korban akibat pergolakan politik
masa itu.
Hampir setiap hari
sampai dengan tahun 1966, bapak, anak, mungkin isteri, hilang karena
dicap sebagai PKI. Mereka mungkin tidak tahu mengapa harus diseret,
dibunuh, diculik, ditangkap, atau bahkan dibunuh. Akibatnya, seiring
dengan perubahan masa dan rezim, mereka menuntut keadilan dari negara.
Keluarga korban korban
kekerasan politik 1965 mengharapkan, pemerintah mengembalikan hak
sipil, politik, dan hak perdata mereka yang sudah lama dirampas tanpa
proses hukum. Hilangnya hak perdata korban dan keluarganya selama
bertahun-tahun itu, telah mengakibatkan sebagian besar korban politik
itu hidup menderita.
Sebut
saja misalnya yang dialami Nani Nurani, wanita yang dituduh terlibat
hanya karena berprofesi sebagai penari di Istana Cipanas. Ia sempat
ditahan dan kesalahannya tidak pernah dibuktikan di pengadilan. Kartu
tanda penduduknya dicantumi kode eks tapol. Akibat stigma negatif itu ia
tidak menikah hingga sekarang. Untunglah, akhir Juli lalu PTUN
memenangkan gugatannya terhadap Camat Koja, Jakarta Utara.
Tanpa proses hukum
Sedangkan bagi para
korban yang keluarga meninggal, pendapatnya beragam. Ada kelompok yang
menginginkan proses hukum dengan mengungkap fakta, lantas para pelakunya
diadili. Masalah apakah nanti para pelaku dihukum atau dimaafkan adalah
urusan lain. Bagi kelompok ini, yang penting ada proses hukum.
Ada juga yang
beranggapan yang penting faktanya saja yang diungkapkan. Jadi jelas buat
para korban bahwa secara sosial dan politik terhadap yang terjadi
sesungguhnya. Karena memang banyak orang yang mendapat stigma, tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada 1965.
Pernah
dalam sebuah kesempatan, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
(YPKP) 1965-66, Sulami (alm), mengatakan ada sejumlah pegawai negeri
yang sedang ditugaskan ke tempat lain kemudian dituduh komunis karena atasannya di kantor dianggap terlibat komunis.
Tentu apa yang di
kemukakan Sulami ini butuh pengungkapan fakta lebih lanjut. Sama halnya
ketika ia juga berupaya mengungkapkan kebenaran fakta tentang adanya
beberapa kuburan massal tempat di mana beberapa orang yang dituduh PKI dieksekusi, tanpa adanya sebuah proses hukum.
Salah seorang aktivis yang pernah aktif membantu YPKP 1965, Ester Indahyani Jusuf kepada hukumonline mengutarakan,
ia pernah mengikuti proses pengalian kuburan massal korban peristiwa
1965 di Wonosobo dan Blitar Selatan. Namun, untuk yang di daerah Blitar,
Ester menjelaskan, saat itu timnya baru sampai batas melakukan
penyelidikan dan belum sampai dilakukan penggalian.
Di daerah Wonoso
tepatnya di Hutan Ndempes Desa Situkup, Kaliwiro Wonosobo, Jawa Tengah
pada 16-18 November 2000. Setelah melakukan pembongkaran dengan izin
dari Bupati Wonosobo, DPRD, Kodim, Kapolres, Camat Kaliwiro, dan Perum
Perhutani BKPH Ngadisono Kedu Selatan, ditemukan kerangka 24 orang dalam
posisi tumpang tindih yang diduga dibunuh antara tanggal 3 dan 6 Maret
1966.
Dari hasil penggalian
itu, misalnya, berhasil diidentifikasi kerangka yang dikenali sebagai
Dullah Asror. Bekas Camat Tempel, Sleman, itu bisa diidentifikasi Sri
Widayati, anaknya sang camat, melalui gigi platina yang masih utuh.
Ester menduga, kerangka
yang ditemukan di Wonosobo itu kemungkinan meninggal setelah sebelumnya
ditembak. "Kami menemukan selongsong peluru dalam lokasi pengalian,"
ucapnya. Sama dengan kuburan masal di Wonosobo, penemuan kuburan massal
di Blitar Selatan, lanjut Ester, diduga juga korban kekerasan peristiwa
66-65. Untuk menguatkan analisis sebab-sebab kematian korban, tim
menyertakan Dr. Handoko, ahli forensik yang juga mengajar di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Kuburan massal yang
ditemukan di Blitar, tepatnya di Dusun Kaliwaru dan Kedunganti di Desa
Lorejo, Kecamatan Bakung, Kabupaten Blitar, dikenal sebagai Goa Tikus.
Lubang sedalam 67 meter tersebut pada tanggal 18 Agustus 2002 lalu
ditemukan tengkorak manusia.
Pengungkapan berbagai
peristiwa kelabu pasca 1965-66, seperti penggalian kuburan massal di
Wonosobo dan Blitar. Merupakan bagian dari pengungkapan kebenaran apa
yang sesungguhnya terjadi saat itu. Menurut Ester, hal ini penting untuk
menyembuhkan luka lama, mengungkapkan apa yang sesungguhnya pernah
terjadi.
Penyelesaian masa suram
peristiwa lama, tidak bisa dilakukan secara melompat. Artinya,
pengungkapan dan penyelidikan atas peristiwa tersebut penting untuk
menentukan bagaimana posita yang sesungguhnya. Sehingga dengan adanya
posita dalam sebuah proses hukum, baru kemudian bisa ditentukan apa yang
harus dilakukan ke depan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8891/penggalian-korban-65-untuk-ungkapkan-fakta
0 komentar:
Posting Komentar