Selasa, 30 September 2003
Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada
Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang
pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu,
Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata
eks tapol.
Tim Redaksi
Ketika Hersri Setiawan meluncurkan buku berjudul "Aku Eks Tapol" pada Kamis (23/08) pekan lalu, salah seorang kawannya sesama tapol yang pernah mendekam di Pulau Buru mengajukan protes pada Hersri. Kawan itu, Gorma Hutajulu memprotes judul buku yang Hersri yang mencantumkan kata eks tapol.
Menurut Gorma, sampai
saat ini, ia masih merasa sebagai tahanan politik (tapol), bukan eks
tapol. Pasalnya, saat ini pun para eks tapol masih tidak memiliki hak
untuk dipilih, walaupun memiliki hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum.
Sampai
saat ini, diskriminasi terhadap eks tapol dan keluarganya memang belum
sepenuhnya berakhir. Selain tidak dapat dipilih dalam Pemilihan Umum,
para eks tapol juga tidak dapat memperoleh KTP seumur hidup yang
lazimnya diberikan pada warga negara berusia di atas 60 tahun. Bagi eks
tapol, mereka harus memperpanjang KTP setiap tiga tahun. Hal ini tertera dalam Kepmendagri N0 24 Tahun 1991.
Diskriminasi
yang tak kunjung berakhir inilah yang menjadi salah satu alasan para
korban 1965, antara lain eks tapol dan keluarganya, masih terus berjuang
sekuat tenaga untuk mendapatkan rehabilitasi.
Surat MA
Kalau
Presiden Megawati sempat meneliti surat-surat yang diterimanya dalam
beberapa bulan terakhir, ia akan menemukan paling tidak tiga buah surat dari tiga lembaga. Isi ketiga surat itu hampir serupa, yaitu meminta Presiden agar merehabilitasi para korban G.30.S.
Surat pertama tertanggal 12 Juni 2003 berasal dari Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Dalam surat bernomor KMA/403/VI/2003 itu, Bagir menyatakan bahwa MA banyak menerima surat
dari berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban
orde baru dan mengharapkan untuk memperoleh rehabilitasi.
"Dengan
dilandasi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum
yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang
sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka
Mahkamah Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan
saudara presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah
konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut,"
tulis Bagir dalam surat, yang salinanannya diperoleh hukumonline.
Surat ketua MA itu juga melampirkan 10 surat
permohonan rehabilitasi dari berbagai kelompok masyarakat korban Orde
Baru. Berdasarkan amandemen pertama pasal 14 ayat 1 UUD 1945, presiden
memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Patut dicatat bahwa sebelum mengirimkan surat ke Presiden, Bagir Manan pernah bertemu dengan para korban, pada 11 Maret 2003.
Surat
dari lembaga tertinggi di bidang pengadilan itu mendapat respon positif
dari para korban. Gustav Dupe, salah seorang korban, menilai surat MA itu sebagai 'angin baru bagi perjuangan untuk pemulihan atau rehabilitasi hak-hak sipil dan politik'.
Surat berikutnya berasal dari Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, tertanggal 25 Agustus 2003. Dalam surat
itu, Komnas mendorong Presiden Megawati untuk mempertimbangkan dan
mengambil langkah nyata untuk memenuhi tuntutan para korban G 30 S PKI
untuk memperoleh rehabilitasi.
Komnas
HAM juga mengajukan beberapa pertimbangan mengapa Komnas mendorong
pemberian rehabilitasi bagi korban G 30 S PKI. Antara lain, para korban
tidak pernah diputus bersalah oleh pengadilan dan sudah terlalu lama
menanggung beban penderitaan sebagai akibat perlakuan yang diskriminatif
oleh rezim orde baru. Selain itu, anak cucu mereka juga harus
menanggung beban dosa politik secara turun menurun, padahal mereka tidak
mengetahui sama sekali peristiwa tersebut.
Menurut
Komnas, perlakuan diskriminatif serta pembebanan dosa kolektif terhadap
keturunan mereka tersebut merupakan tindakan yang tidak adil dan
melanggar HAM. Untuk itu, pemerintah harus dengan segera memberikan
rehabilitasi dan kompensasi agar mereka dapat menikmati kehidupan mereka
dengan tenang dan damai sesuai pasal 3 Undang-Undang No 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
"Pemberian
rehabilitasi terhadap para korban G.30.S tersebut adalah untuk
memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan harkat
dan martabatnya sebagai warga negara Indonesia
yang sama kedudukannya di muka hukum dan pemerintahan, dan dalam rangka
terciptanya rekonsiliasi nasional bagi penyelesaian permasalahan HAM,"
tulis Abdul Hakim dalam surat tersebut.
Surat
lain berasal dari DPR-RI, tertanggal 25 Juli 2003, yang meneruskan
aspirasi Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban 1965 yang datang ke DPR, meminta DPR mendesak
presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk melakukan rehabilitasi
terhadap korban peristiwa 1965 beserta keluarganya dan memulihkan
hak-hak korban dan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga
negara yang telah dirampas tanpa melalui proses hukum.
Forum
Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965
merupakan gabungan dari 12 organisasi yang memberikan advokasi untuk
rehabilitasi terhadap korban tahun 1965.
Lahirnya surat
dari tiga lembaga di atas memang tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
para korban yang tergabung dalam beberapa perkumpulan. Misalnya,
Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi
Korban Rezim Orde Baru, Tim Advokasi/Rehabilitasi Polri, Forum
Komunikasi eks-Menteri Kabinet Dwikora, Korban Penyalahgunaan Surat
Perintah 11 Maret 1965, Tim Advokasi untuk Rehabilitasi eks-anggota
TNI/AL, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM, Lembaga Penelitian Korban
Peristiwa 1965, Yayasan Penelitian Korban pembunuhan 1965-1966, Tim Advokasi Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) dan lain-lain.
Nani Nurani
Namun,
selain upaya rehabilitasi oleh korban yang dilakukan melalui
perkumpulan-perkumpulan korban, ada pula upaya yang dilakukan oleh
masing-masing individu. Yang paling gres adalah putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Juli 2003 yang mengabulkan gugatan Nani
Nurani terhadap Camat Koja, Jakarta Utara.
Majelis hakim PTUN memenangkan Nani
selaku penggugat dan menyatakan tidak benar tindakan yang dilakukan
Camat Koja, Jakarta Utara, yang menolak membuatkan KTP seumur hidup bagi
Nani hanya karena tuduhan yang bersangkutan terlibat organisasi
terlarang.
Majelis
berargumen bahwa sesuai fakta yang terungkap di persidangan, hingga
kini belum ada satu pun putusan pengadilan yang menyatakan Nani terlibat
PKI atau organisasi terlarang lainnya. Hakim mengutip asas hukum:
seseorang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum pengadilan menyatakan
demikian.
Nani merupakan seorang eks tapol yang ditangkap dan mulai ditahan pada 21 Desember 1968. Ia baru dilepas tujuh tahun kemudian.
Ironisnya, Ny Nani tidak mengetahui sama sekali apa kesalahan yang
telah ia lakukan karena tuduhannya tidak pernah diperiksa atau
dibuktikan lewat pengadilan.
Ia
tersandung cap "kiri" karena pernah berprofesi sebagai penari klasik
Sunda dan penyanyi tradisional Cianjuran di Istana Cipanas. Saat itu, ia
juga tercatat sebagai pegawai Dinas Kebudayaan Dati II Cianjur.
Tuduhan
"kiri" menguat karena Ny Nani ikut menari pada hari ulang tahun PKI
pada Juni 1965 di sebuah gedung pertemuan di Cianjur. Padahal menurut
Nani, profesi sebagai penari Pemda mewajibkan dirinya harus ikut
berpartisipasi jika ada acara-acara resmi, apalagi yang dihadiri tamu
dari luar.
Selain
itu, para korban masa lalu itu pernah pula mengajukan gugatan terhadap
sejumlah instansi pemerintah, antara lain Menko Polkam, Panglima TNI,
Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan itu kandas di tengah jalan, majelis menolak gugatan penggugat.
Proses hukum
Witaryono
S. Reksoprodjo, Koordinator Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban 1965, berpendapat bahwa proses rehabilitasi tidak
hanya penting bagi korban melainkan juga merupakan proses awal untuk
rekonsiliasi. Rehabilitasi bertujuan untuk menyelesaikan berbagai
persoalan diskriminasi yang masih terjadi.
Menurutnya,
perlakuan diskriminasi timbul akibat masih banyaknya aturan, bahkan
undang-undang, yang sangat diskriminatif. "Dalam UU Pemilu yang baru,
korban 65 boleh memilih tapi tidak boleh dipilih. Jadi hanya menjadi
komoditas politik, orang boleh milih tapi tidak bisa dipilih. Kemudian ada aturan Mendagri yang tidak membolehkan korban 65 jadi pengacara. Itu masih berlaku dan belum dicabut," tukas Witaryono.
Belum
lagi perlakuan terhadap keluarga para korban, terutama di daerah. Anak
korban tidak boleh menjadi tentara atau Pegawai Negeri Sipil. Persoalan
diskriminasi ini, menurut Witaryono, bisa selesai jika dikeluarkan
rehabilitasi terhadap para korban.
Tuntutan terhadap rehabilitasi biasanya juga dibarengi dengan tuntutan agar peristiwa tahun 1965 dibuka secara gamblang. Esther
Indahyani Jusuf, aktivis yang pernah membantu Yayasan Penelitian Korban
1965 menyatakan proses rehabilitasi tidak dapat dilakukan tanpa
membongkar fakta yang terjadi pada peristiwa 1965 (Lihat Penggalian Korban '65 untuk Ungkapkan Fakta).
"Proses itu tidak bisa lompat, proses harus
tetap ada penyelidikan atas peristiwanya untuk menentukan bagaimana
positanya (kasus posisi-red). Sehingga dari positanya, melalui proses
hukum baru bisa ditentukan apa yang bisa direhabilitasi atau tidak,"
ujar Esther.
Rehabilitasi tanpa adanya proses hukum, menurut Esther merupakan proses yang lompat. "Mana bisa
melakukan rehabilitasi kalau kita sendiri tidak tahu apa yang harus
direhabilitasi. Misalkan seorang mau direhabilitasi karena pernah
dituduh melakukan pencurian, ternyata ia tidak melakukan pencurian, tapi
bagaimana kita bisa menyatakan ternyata ia tidak mencuri. Tapi ia dianiaya karena telah melakukan suatu pencurian," lanjutnya.
Tergantung Presiden
Sementara, sejarawan dari LIPI, Asvi Warman Adam menilai surat dari MA kepada Presiden Megawati merupakan suatu hal yang sangat signifikan untuk proses rehabilitasi. Dengan adanya surat MA
itu, kini terserah pada Presiden Megawati apakah mau memberikan
rehabilitasi atau tidak. Apalagi MPR telah memberikan mandat untuk
melakukan rehabilitasi terhadap Presiden Soekarno dan tokoh nasional
lainnya.
Bahwa
Presiden Megawati sampai saat ini belum juga menindaklanjuti surat dari
MA, Asvi menduga Mega mempertimbangkan bahwa pemberian rehabilitasi
pada korban 1965 akan mengecilkan hati kalangan Islam, misalnya. Atau kalangan militer yang masih menyimpan ketakutan mereka akan diadili karena melanggar HAM.
Asvi
menyatakan ada dua hal menyangkut rehabilitasi, yaitu rehabilitasi nama
baik dan rehabilitasi yang menyangkut kompensasi. Yang paling penting,
menurutnya, adalah rehabilitasi nama baik. Soal kompensasi, ganti rugi
dan semacamnya, itu bisa diperhitungkan kemudian, jika keuangan negara sudah mengijinkan.
Apa
yang dikatakan Hersri, mungkin bisa menjadi gambaran. Lelaki yang
menghabiskan waktu tujuh tahun di Pulau Buru ini mengatakan pemberian
ganti rugi miliaran pun baginya tidak berarti. "Buat saya, pembodohan
pada masyarakat Indonesia ini yang tidak bisa dimaafkan".
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8886/perjuangan-panjang-mencari-rehabilitasi-diri-
0 komentar:
Posting Komentar