Senin, 11 Desember 2006
Sudah beberapa kali MK membuat putusan yang sifatnya
ultra petita. Jadi, MK memberikan satu pelajaran untuk tidak konsisten dengan
hukum acara.
Rzk
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat sensasi. Dalam
kurun waktu satu minggu, Hakim Konstitusi membuat dua putusan yang akan
tercatat dalam sejarah. Putusan
pertama adalah mengabulkan permohonan uji materiil terhadap pasal-pasal
penghinaan presiden dalam KUHP sehingga pasal yang seringkali
digunakan untuk menjerat para demonstran akhirnya dicabut. Sementara, putusan
kedua adalah mengabulkan permohonan
uji materiil terhadap UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR).
Atas dua putusan MK tersebut, reaksi masyarakat pun
berbeda-beda. Untuk putusan pertama, pujian mengalir deras karena MK dianggap
telah menyelamatkan kehidupan berdemokrasi di negeri ini. Berbeda 180�, kritik
dan kekecewaan bermunculan menanggapi putusan MK yang kedua. Terlebih lagi, MK
tidak hanya membatalkan tiga pasal yang diujikan pemohon yakni Pasal 27,
Pasal 44, dan Pasal 1 angka (9), melainkan membatalkan UU KKR secara
keseluruhan.
Todung Mulya Lubis, advokat senior yang juga pemerhati
hukum, misalnya menyatakan prihatin terhadap putusan MK tersebut. Menurut
catatan Todung, ini adalah kedua kalinya MK membuat putusan yang bersifat ultra
petita (mengabulkan melebihi apa yang diminta, red.). Putusan ultra
petita pertama adalah ketika MK mengabulkan permohonan uji materiil
terhadap UU No. tentang Komisi Yudisial. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan
KY tidak dapat mengawasi Hakim Konstitusi, sesuatu hal yang sebenarnya tidak
diminta oleh pemohon.
MK memang sekarang mempunyai kebiasaan membuat putusan
yang sifatnya ultra petita. Jadi, MK memberikan satu pelajaran untuk
tidak konsisten dengan hukum acara, ujarnya. Sayangnya, lanjut Todung, tidak
ada yang bisa dilakukan terhadap tindakan MK tersebut karena putusan MK
bersifat final dan mengikat.
Todung menilai putusan MK yang bersifat ultra
petita dapat menjadi bumerang karena MK dapat dipertanyakan eksistensi dan
keabsahan putusannya. Agar hal ini tidak terjadi, Todung menyarankan MK lebih
hati-hati dalam membuat putusan. Salah satu caranya adalah dengan tidak membuat
putusan yang bersifat ultra petita.
Lebih lanjut, Todung berpandangan MK tidak memahami
tujuan mulia dibentuknya UU KKR yaitu truth telling (pengungkapan
kebenaran) dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM yang pernah
terjadi di masa lampau. Dengan adanya UU ini yang kemudian diikuti dengan
pembentukan KKR, kasus-kasus pelanggaran HAM diharapkan dapat terkuak dan
penderitaan korban dapat terobati.
Namun, tujuan mulia tersebut kandas -setidaknya untuk
sementara- berkat putusan MK. Pembatalan UU KKR, lanjut Todung, telah
menghilangkan pijakan dasar bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa
lalu. Pada akhirnya, mereka (korban pelanggaran HAM, red.) harus berani
menggugat. Tetapi persoalannya tidak hanya menggugat, persoalan kita adalah
menyelesaikan seluruh luka-luka lama yang prosesnya tidak akan selesai hanya
dengan proses yudisial, sambungnya.
Sementara itu, Adnan Buyung Nasution mengatakan MK tidak
dapat dipersalahkan karena mengeluarkan putusan yang menimbulkan pro dan kontra
seperti ini. Buyung memandang hal ini sebagai konsekuensi yuridis dari sistem
negara hukum yang menganut mekanisme check and balances. Tidak semua
keputusan politik pemerintah atau DPR selamanya benar apabila dikaji menurut
UUD dan nilai-nilai HAM. Kalau memang tidak benar, adalah forum yang sah dan
tepat apabila MK membatalkannya, jelasnya.
Namun, Buyung sepaham dengan Todung bahwa putusan MK
telah melebihi dari apa yang dituntut oleh pemohon. Buyung mengatakan MK selaku
lembaga peradilan tidak melakukan hal yang menurutnya tabu itu. Kalau terjadi
seperti itu, maka sebenarnya putusan itu cacat, tegasnya.
Menyambut positif
Sambutan positif justru datang dari delapan LSM yang
bergerak dibidang HAM. Melalui lembaran siaran pers yang diperoleh hukumonline, Kedelapan
LSM yang terdiri dari KontraS, Demos, SNB, YLBHI, IKOHI, PEC, LBH YAPHI, dan
Imparsial, berpendapat putusan MK yang membatalkan UU KKR merupakan bukti bahwa
pemerintah bersama-sama dengan DPR tidak memiliki kejelasan sikap dalam
penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ketidakjelasan tersebut tergambar jelas pada UU KKR yang
terbukti berdasarkan putusan MK bertentangan dengan konstitusi dan
prinsip-prinsip penegakkan HAM. Mereka menambahkan putusan MK harus ditafsirkan
sebagai keharusan bagi pemerintah dan DPR untuk segera menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Namun, mereka menolak apabila cara
penyelesaian yang ditempuh adalah penyelesaian politik berupa pemberian
rehabilitasi semata. Mereka juga menegaskan bahwa pemberian rehabilitasi tidak
berarti menghapuskan proses penuntutan secara hukum serta pengungkapan
kebenaran.
Salah satu Hakim Konstitusi Ahmad
Syarifuddin Natabaya yang ditemui hukumonline menolak ketika
dimintai komentarnya. Baca aja putusannya, disana disebutkan alasan-alasannya.
Saya tidak boleh (berkomentar, red.), kecuali kalau saya bukan hakim, tukasnya
di sela-sela acara Seminar Perkembangan HAM Dalam Perkembangan
Konstitusi Indonesia di Hotel Sahid Jakarta (8/12).
Sikap yang sama juga ditunjukkan Menteri Hukum dan HAM
Hamid Awaluddin ketika ditemui dalam acara yang sama. Hamid mengaku belum
membaca detil putusan MK tersebut sehingga menolak berkomentar. Pada dasarnya,
kita harus menghormati putusan mereka, ujarnya singkat.
0 komentar:
Posting Komentar