7
Tulisan ini adalah
karya Harsutejo, dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan
karenanya saya berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan
peristiwa G30S yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini.
Kalau boleh, saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian
perisiwa keji dengan efek horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) didirikan pada 1954,
sedang cikal bakalnya sudah berdiri pada 1950. Organisasi ini sangat aktif
sampai tragedi 1965, terutama di kalangan rakyat kecil dari perkotaan sampai
pedesaan. Para pemimpin Gerwani terdiri dari kaum intelektual cerdik pandai
maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka telah menghimpun kaum perempuan
untuk berjuang bersama kaum laki-laki merebut hak-hak sosial politiknya.
Di bidang pendidikan mereka telah mendirikan sekolah Taman
Kanak-kanak, utamanya untuk kalangan tak berpunya dengan bayaran kecil maupun
gratis di seluruh pelosok negeri. Gerakan ini juga giat mendirikan tempat
penitipan anak-anak bagi ibu pekerja dengan bayaran ringan maupun gratis.
Gerwani merupakan organisasi kaum perempuan paling luas menjangkau seluruh
pelosok Jawa khususnya. Mereka memberikan pendidikin kesadaran akan hak-hak
perempuan termasuk hak-hak politik dan kesadaran politik. Mereka aktif juga
dalam kesenian, kursus masak-memasak, pemeliharaan bayi dan anak, kesehatan
perempuan dan anak-anak. Pendeknya organisasi ini telah melakukan pemberdayaan
perempuan di seluruh kalangan, utamanya kaum buruh dan tani serta kaum
pinggiran, sesuai dengan cita-cita Ibu Kartini.
Gerwani ini pula yang menjadi
primadona sasaran fitnah keji rezim militer Orba dengan segala macam dongeng horornya.
(Lihat Lubang Buaya).
Pertama-tama propaganda hitam Orba pada 1965 dimulai
dengan menyerang Gerwani habis-habisan sebagai bagian dari serangan terhadap
PKI. Rusaknya nama dan porak porandanya organisasi perempuan ini berarti rusak
dan lumpuhnya separo organisasi kiri Indonesia. Setelah itu dilakukan serangan
fisik terhadap PKI dan seluruh organnya sebagai bagian penumpasan lebih lanjut
pada 1965/1966. Tidak aneh jika kekejaman terhadap tapol perempuan anggota
Gerwani maupun yang didakwa Gerwani dilakukan dengan amat kejamnya, sering
lebih mengerikan karena harkat perempuannya. Seperti disebutkan dalam studi Dr
Saskia Eleonora Wieringa, mungkin tak ada rekayasa lebih berhasil untuk
menanamkan kebencian masyarakat daripada pencitraan Gerwani sebagai gerakan
perempuan kiri yang dimanipulasi sebagai “pelacur bejat moral”. Kampanye ini
benar-benar efektif dengan memasuki dimensi moral religiositas manusia Jawa,
khususnya kaum adat dan agama.
Kaum perempuan tidak hanya mengalami penderitaan karena
diciduk, ditahan, dipenjarakan, dibuang, disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan
diperkosa bergiliran dan dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan
rumahtangganya, pendeknya mereka mengalami penderitaan luar biasa lahir dan
batin. Perkosaan telah menjadi kecenderungan umum para petugas keamanan ketika
berhadapan dengan tapol perempuan. Sering pelecehan seksual dan perkosaan
terhadap tapol perempuan menyebabkan kehamilan dan yang bersangkutan melahirkan
di tempat tahanan.
Penderitaan itu menjadi lebih lengkap lagi karena mereka
melihat kehancuran keluarga dan nasib anak-anaknya, terpisah-pisah di tempat
yang berbeda-beda dengan kondisi terpuruk yang berbeda-beda pula dengan
perlakuan buruk negara dan masyarakat yang diprovokasi. Tak jarang para ibu ini
telah kehilangan jejak anak-anaknya selama bertahun-tahun setelah dibebaskan
dari penjara, bahkan sebagian sampai saat ini. Tak jarang pula setelah orangtua
mereka dibebaskan, anak-anak yang berkumpul kembali dengan orangtuanya,
terutama dengan ibunya, anak-anak memusuhi dirinya karena merasa menjadi korban
perbuatan ibunya, suatu penilaian amat tidak adil. Itulah salah satu buah
indoktrinasi menyesatkan rezim Orba selama bertahun-tahun yang sangat merusak.
Suami seorang perempuan kembang desa di Purwodadi yang
anggota BTI ditangkap pada November 1965, kemudian dibuang ke Pulau Buru.
Setiap malam sang isteri kembang desa ini digilir diperkosa oleh pamong desa
setempat, tentara, pentolan ormas agama dan nasionalis. Bahkan suatu kali
datang seorang tokoh penjagal kaum komunis yang ketika malam datang menidurinya
dengan pakaian berlumuran darah dan kelewang yang besimbah darah pula. Ini
bukan dongeng horor model Lubang Buaya, tetapi sejarah horor, sejarah hitam
legam kaum militer Orba sebagai panutannya yang telah menciptakan kondisi dan
konsep kebuasan tersebut. (Baca buku John Roosa cs [ed], Tahun yang Tak Pernah
Berakhir, Elsam, Jakarta, 2004).
Sungguh nama baik Gerwani yang telah mengabdikan dirinya
untuk Ibu Pertiwi dan rakyat kecil umumnya itu, sebagai kelanjutan cita-cita
Ibu Kartini telah dinodai dan dirusak habis-habisan dengan fitnah jahat tiada
tara. Dengan upaya bersama semua pihak yang peduli, terlebih lagi kaum
sejarawan dan aktivis perempuan, hari depan negeri ini akan memberikan tempat
yang layak bagi Gerwani dalam sejarah bangsa.
Sumber: TeguhTimur
0 komentar:
Posting Komentar