Tulisan ini adalah karya Harsutejo,
dimuat atas izin yang diberikan si penulis kepada saya, dan karenanya saya
berterima kasih. Pemuatan tulisan ini untuk menyambut peringatan peristiwa G30S
yang telah mengubah secara fundamental jalan sejarah negeri ini. Kalau boleh,
saya ingin mendedikasikan pemuatan tulisan ini kepada semua korban di pihak manapun dan
keluarga korban peristiwa keji itu dan rangkaian perisiwa keji dengan efek
horor yang tak terperikan yang terjadi berikutnya.
Oleh: Harsutejo
Tokoh ini tipikal seorang militer
lapangan, sama sekali bukan tipe intelektual dengan otak cemerlang yang mampu
melakukan langkah manipulasi canggih penuh perhitungan. Ia anak bodoh tetapi
berani dan setia pada Sukarno. Hal ini amat berbeda dan berbalikan dengan
Jenderal Suharto beserta beberapa pembantunya seperti Ali Murtopo [dan Yoga
Sugomo] Begitu analisis Ben Anderson.. Sekalipun demikian ia salah satu lulusan
terbaik Akademi Militer.
Letkol Untung salah satu pelaku
G30S yang sebelumnya pernah menjadi anak buah Suharto di Jawa Tengah dalam
Divisi Diponegoro. Ia pun pernah menjadi anggota “Kelompok Pathuk” di Yogya
meskipun bukan dalam kelas yang sama dengan Suharto atau Syam. Mereka berpisah
pada tahun 1950, kemudian bertemu kembali pada tahun 1962 ketika bersama
bertugas merebut Irian Barat, ia berada di garis depan. Mendengar kisah
keberaniannya selama bertugas di medan Irian, ia dianugerahi Bintang
Penghargaan oleh Presiden, lalu ditarik menjadi Komandan Batalion I Resimen
Cakrabirawa, suatu kedudukan cukup strategis. Sebelumnya ia pernah menjabat
Komandan Yon 454 Diponegoro, pasukan yang memiliki kualitas yang kemudian
terlibat G30S.
Letkol Untung menikah pada umur
yang agak terlambat pada akhir 1964. Acara perkawinannya dilaksanakan di tempat
cukup jauh di daerah udik di desa terpencil Kebumen. Sekalipun demikian Mayjen
Suharto memerlukan hadir bersama isterinya ke tempat yang ketika itu tidak
begitu mudah dicapai. Ia merupakan satu-satunya perwira tinggi yang datang, ini
merupakan kehormatan besar bagi Untung dan menunjukkan hubungan keduanya cukup
akrab. Bahkan yang mempertemukan Untung dengan calon isterinya ialah Ibu Tien
Suharto. Soal kehadiran Suharto ini tidak pernah diungkapkan olehnya sendiri
yang memiliki ingatan tajam itu, tetapi toh terekam dalam sebuah berita koran
Pikiran Rakyat.
Letkol Untung pernah dikirim
belajar ke AS, tentunya CIA memiliki cukup catatan tentang dirinya sehingga ia
dapat direkomendasikan. Seperti tercantum dalam catatan laporan CIA tertanggal
1 Oktober 1965 dalam CIA 2001:300, memorandum untuk Presiden Johnson bahwa
Untung memiliki “military police background and was trained in the United
States”. Sementara orang menyebut catatan CIA ini tidak akurat karena Untung
tidak pernah belajar ke AS. Banyak pihak menyatakan ia seorang muslim yang
taat, sangat muak dengan korupsi dan tingkah laku kehidupan sejumlah perwira
tinggi.
Menurut David Johnson, Letkol
Untung bukanlah tergolong pada apa yang disebut “perwira progresif”, ia pun
bukan tergolong perwira yang tidak puas. Ia lebih tergolong sebagai seorang
militer profesional yang berhasil. Ia pun menunjukkan tanda-tanda memiliki
pandangan anti komunis. Selama beberapa bulan berkumpul di Penjara Cimahi,
Bandung, Subandrio mencatat bahwa Untung bukan orang yang menyukai masalah
politik, ia tipe tentara yang loyal kepada atasan. Ia risau dengan adanya isu
Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Presiden Sukarno. Kepribadiannya polos
dan jujur, hal ini antara lain dibuktikan dengan kenyataan, sampai detik
terakhir sebelum eksekusinya, ia masih percaya vonis mati terhadap dirinya
tidak mungkin dilaksanakan. “Percayalah Pak Ban, vonis buat saya itu hanya
sandiwara”, ujarnya kepada Subandrio. Ia percaya Suharto mendukung tindakannya
terhadap para jenderal dan akan memberikan bantuan seperti dijanjikannya.
Dalam persidangan Letkol Untung
terungkap ia baru mengenal Syam dan Bono ketika dipertemukan oleh Mayor Udara
Suyono kepada sejumlah perwira dalam pertemuan pertengahan Agustus 1965 sebelum
gerakan. Untung yang tidak pernah sepenuhnya percaya kepada Syam, mencoba
melakukan penyelidikan tentang hubungan rahasianya dengan ketua PKI. Hal ini
tidak berlanjut, dan menganggap lebih bijak untuk tidak menantang Syam
berhubung ia terdesak waktu bagi penyelesaian agendanya sendiri. Bagi Letkol
Untung agenda mereka adalah mengambil langkah-langkah untuk menggagalkan kudeta
Dewan Jenderal serta melindungi Presiden Sukarno. Kudeta itu diyakininya akan
terjadi pada 5 Oktober 1965.
Berdasarkan kesaksian Mayor AU
Suyono maka dapat disimpulkan adanya berbagai pertentangan di antara tokoh
gerakan dengan ketegangan yang kian meningkat serta bermacam perbedaan pendapat
selama berjalannya waktu yang mendekat. Letkol Untung menjadi cemas dan mungkin
mempertimbangan untuk menghentikan semuanya. Rencana gerakan semula adalah
tanggal 25 September, tetapi karena pasukan dari Jawa Timur belum tiba maka
gerakan ditunda sampai 30 September.
Dapat disimpulkan Untung bukanlah
seorang komunis bawah tanah. Jika ia seorang komunis semacam itu, ia mungkin
sekali akan mendapatkan akses lebih mudah untuk menghubungi langsung ketua PKI
DN Aidit untuk memastikan kedudukan Syam yang sebenarnya. Andaikata ia seorang
komunis demikian maka dalam kedudukan dan pangkat yang disandangnya ia bakal
memiliki serangkaian pendidikan dan pengalaman politik yang cukup memadai yang
akan dengan mudah membuang ilusi pribadi terhadap Jenderal Suharto, bahwa
Suharto telah berkhianat terhadapnya bagi keuntungan diri dan kelompoknya.
Dengan begitu ia akan menyadari kesalahan analisisnya terhadap Suharto. Ia
seorang prajurit yang setia kepada Bung Karno. Dokumen yang terkenal dengan
Cornell Paper menyebutkan sebelum peristiwa telah bertahun-tahun, Sukarno, para
jenderal [AD], pimpinan komunis dan golongan lain telah terjerat dalam manuver
politik yang rumit. Semua itu secara keseluruhan menyebabkan Letkol Untung
melakukan aksinya.
Letkol Untung dieksekusi mati
pada tahun 1969 di Cimahi. Demikianlah nasib seorang prajurit yang naif politik
itu tetap memendam ilusi pribadi besar sampai saat terakhir, yang pundaknya
telah menjadi panjatan sang manipulator. Adatah itu memang realitas kehidupan
di sepanjang sejarah. Pemeo menyatakan itulah politik dalam kenyataan
telanjangnya, menghalalkan segala cara. (Petikan dari Harsutejo, “Sejarah Gelap
G30S” / revisi).
Sumber: TeguhTimur
0 komentar:
Posting Komentar