29 September 2009 | 14.32
Wawancara Heru
Atmodjo, Mantan Perwira Intelejen Angkatan Udara, saksi peristwa 1 Oktober 1965
dengan reporter Bingkai Merah, 29 September 2009.
Peristiwa G 30 S merupakan lembaran kelam sejarah perjalanan bangsa ini. Peristiwa yang sebenarnya terjadi pada 1 Oktober dini hari itu masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Pembohongan publik yang dilakukan oleh negara memenuhi setiap sipnosis sejarah yang ada. Generasi muda diracuni oleh sejarah kepentingan rejim otoritarian Jenderal Suharto. Segala fakta diputarbalikan. Partai Komunis Indonesia dijadikan kambing hitam pelaku pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat. Cerita sejarah ini begitu berbeda dari temuan fakta-fakta sejarah beberapa akademisi.
Stigmatisasi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) membawa dampak besar setelahnya. Jutaan orang anggota dan simpatisan PKI dibunuh. Jutaan lainnya ditahan tanpa pengadilan. Stigmatisasi itu masih ada sampai sekarang. Komunisme dianggap sebagai paham sesat dan jahat tanpa diberi kesempatan rakyat untuk memelajarinya. Pemusnahan komunisme berarti pelanggengan kapitalisme yang akan membawa krisis di segala bidang masyarakat. Keadaan itu terjadi sampai saat ini.
Berikut ini wawancara dengan Heru Atmodjo (salah satu perwira Angkatan Udara yang saat itu berpangkat Letnal Kolonel). Nama Heru Atmodjo tercatat di dalam daftar lima orang Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo.
Wawancara ini bertujuan untuk mengingatkan kembali ke masyarakat luas atas satu peristiwa yang mengubah perjalanan negara bangsa sampai saat ini. Selain itu, untuk menyebarluaskan versi sejarah yang sangat berbeda dari versi sejarah penguasa. Di dalam versi ini terlihat jelas dalang peristiwa G 30 S dan genosida 1965. Semoga pengungkapan ini mengingatkan kepada masyarakat luas atas bahaya kapitalis yang melakukan segala cara untuk menguasai suatu negeri yang melimpah sumber dayanya, bernama Indonesia.
Pertanyaan (P): Apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 30 September 1965?
Jawaban (J): Sampai sekarang peristiwa ini hanya dilihat saat 30 September 1965 tapi tidak dilihat sebelum tanggal tersebut. Saya katakan musuh bangsa ini adalah CIA (central intelegent agent). Pada 30 September serta 1 Oktober adalah puncak krisis di negara ini. Sejak dulu musuh besar bangsa ini adalah imperialisme dan kolonialisme belanda (zaman kemerdekaan) dan CIA (saat ini dan pada masa mempertahankan kemerdekaan). Pada 23 maret 1965, CIA mengadakan rapat di markas CIA untuk membahas situasi politik dan sosial di kawasan asia terutama asia tenggara. Topik utamanya adalah ada dua front yang mau tidak mau harus dihadapi USA, yaitu Vietnam dan Indonesia. Di Vietnam jelas perjuangan dan perlawanan terus dilakukan sehingga Perancis tidak berhasil menginjakan kakinya di Vietnam setelah PD II. Seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa hasil perjanjian Versailles dan Piagam Perdamaian (Vatlantic Charter) adalah bentuk kelemahan dari life line imperialisme (rantai hidup imperialisme), sedangkan di Indonesia bung Karno sendiri pada Agustus 1964 menyatakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif tanpa intervensi dan mengecam keras tindakan imperialisme USA.
Kita tidak bicara 1 Oktober 1965, tapi sebelumnya Maret 1965. Rapat puncak CIA yang dihadiri empat tokoh utama CIA di Manila, Filipina, Averell Harriman (veteran PD II sebagai anggota OSS-Office of Strategy Study, intel militer), William Bundy, Elsworth Bunker (juru runding dalam perdamaian RI-Belanda pada kasus Irian Barat), dan Howard P. Jones (duta besar Amerika di Indonesia selama tujuh tahun). Pertemuan itu menentukan sikap politik terhadap Indonesia.
Mereka mendapat perintah langsung dari Presiden Amerika Serikat Johnson pada waktu itu sebagai Ketua National Security Council (NSC). Pertama mereka membicarakan apakah politik luar negeri Amerika masih bisa diteruskan seperti adanya sekarang dimana kita (baca: Amerika Serikat) menghadapi Vietnam yang eskalasinya semakin gawat? dan Indonesia, Bung Karno Agustus 1964 menyatakan politik luar negeri Indonesia sangat mengecam keras Imperialisme Amerika. Jawabanya tidak mungkin diteruskan seperti sampai saat ini karena bagaimana tanggung jawab kita dihadapan kongres, rakyat kalau kita tidak merubah arah politk luar negeri Amerika Serikat. Dengan demikian dorong Soekarno untuk mengubah arah politik luar negerinya. Dijawab oleh Dubes Amerika serikat saat itu, bahwa saya ditugaskan untuk itu. Misi saya mendekati Soekarno agar mau mengubah arah politik luar negerinya. Tidak ada satu orang di dunia pun yang mampu mengubah sikap keras Soekarno yang anti Imperialisme Amerika Serikat. Jika demikian keadaanya habisi saja Soekarno. Dijawab oleh Dubes Amerika saat itu, usaha pembunuhan terhadap Soekarno sudah dilakukan dan semuanya gagal. Begitu pun Angkatan Darat pernah melakukan usaha kudeta, 17 oktober 1952 namun usaha tersebut gagal. Karena di tubuh AD tahun 1965, ada 3 faksi didalamnya, pertama faksi loyalis Soekarno, faksi loyalis Nasution, dan faksi lainnya. Solusi terakhir adalah memanfaatkan situasi terakhir di Indonesia tahun 1965 diwarnai oleh tajamnya sikap politik AD dan PKI, intinya adalah itu.
(P): Apakah benar PKI terlibat dalam peristiwa G 30 S (terlibat secara organisasi dan individu) ?
(J): Rapat rapat puncak CIA di manila, Filipina diputuskan agar PKI dibuat ke lubang kejatuhannya sendiri. PKI yang berambisi terhadap kekuasaan serta konflik menajam dengan AD digunakan CIA untuk merancang konflik dengan Soekarno (peristiwa 1965). Kemudian Amerika Serikat memulai rancangannya dengan menyebarkan berbagai macam isu seperti isu Dewan Jendral. Menurut saya itu bentuk rekayasa karena setiap informasi intelejen harus dilihat siapa sumber dari informasi tersebut. Isu Dewan Jendral ini tidak berasal dari para jendral yang dituduhkan tersebut. Pak Yani (Jenderal Ahmad Yani) mengatakan tidak ada Dewan Jenderal yang berkonotasi politis. Memang ada yang disebut Dewan Pertimbangan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas membuat evaluasi di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pangkat jenderal. Alangkah bodohnya Pak Yani jika beliau yang membuat Dewan Jenderal tersebut karena beliau dulu pada masa perlawanan terhadap PRRI/PERMESTA adalah komandan yang tidak menyetujui pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Menguni, dll.
Lalu ada isu mengenai sakit kerasnya Bung Karno. Isu ini juga sampai ke dalam tubuh AD. Para jenderal yang kemudian menjadi korban peristiwa 65 menanggapi isu tersebut kemudian mengadakan rapat untuk membicarakannya. Menurut mereka kondisi kesehatan bung karno lambat laun akan menurun. Permasalahan yang akan timbul kemudian adalah bagaimana proses pergantian kekuasaan ini akan berlangsung jika bung karno telah wafat, jika damai hal ini tidak masalah namun jika terjadi chaos tentu akan merugikan bangsa ini. Kemudian mereka membentuk satu panitia yang bertugas mencegah chaos tersebut. Panitia ini dipimpin oleh Mayjen Suwato (Seskowad). Inilah yang kemudian menurut saya sebagai Dewan Jenderal menurut beberapa kalangan.
Perwira muda di tubuh AD pun mengadakan rapat. Mereka adalah Kolonel Latief, Letkol Untung, Kapten Wahyudi serta dua orang yang mengaku utusan Ketua CC PKI DN Aidit, yaitu Syam dan Pono. Di rapat tersebut membicarakan mengenai isu Dewan Jenderal dan isu sakitnya bung Karno. Kemudian isu yang santer didengar adalah tanggal 5 Oktober 1965 Dewan Jendral tersebut akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Kemudian perwira muda progresif ini melakukan inisiatif untuk menghadapkan jenderal-jenderal ke Bung karno sebelum tanggal 5 hidup atau mati.
(P): Apa benar keterlibatan Angkatan Udara secara Institusi dalam peristiwa 1965?
(J): Setelah isu-isu yang berkembang di masyarakat mengenai Dewan Jenderal beserta sakit parahnya bung Karno, tanggal 9 April 1965 tempat logistik angkatan bersenjata di jalan Iswahyudi disabotase dengan diledakan. Setelah kejadian itu KASAU Omar Dhani berpidato di hadapan perwira-perwira AU menyikapi hal tersebut. Omar Dhani berpendapat Angkatan Udara kekurangan personil untuk mengantisipasi kejadian itu terulang kembali. Perekrutan anggota baru membutuhkan waktu dan biaya yang lama dan tidak sedikit. Maka diputuskan untuk merekrut anggota baru melalui sukarelawan-sukarelawan Dwikora dan Trikora dulu. Mereka kemudian ditempatkan di Kebon Karet, Pondok Gede dan dilatih oleh Mayor udara Suyono (Kepala Staff teritorial udara di seluruh wilayah Indonesia). Nama tempat Kebon Karet diputarbalikan faktanya sebagai Lubang Buaya. Lubang Buaya sendiri letaknya cukup jauh dari Kebon Karet. Di sana merupakan tempat mess perwira-perwira muda AU seperti saya yang belum menikah. Memang diakui bahwa mereka yang tergabung di dalam pelatihan ini sebagian besar terdiri dari mereka yang beraliran Komunis seperti Pemuda Rakjat, Sobsi, Gerwani, dll. Namun bukan berarti golongan nasionalis dan agama tidak ada. Mereka diwakili oleh Perti, Pemuda Marhean, GMNI namun memang jumlah mereka tidak terlalu banyak. Berjalannya kepelatihan tersebut ternyata diwarnai dengan berbagai macam isu-isu tidak sedap yang memojokan AU secara institusi. Diputuskan pada 26 juli 1965 kepelatihan tersebut dibubarkan. Walaupun telah dibubarkan, sukarelawan-sukarelawan ini masih berlatih dan menetap di sekitar Pondok Karet karena memang sebagian besar sukarelawan ini berdomisili di sekitar Pondok Karet. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh para perwira-perwira muda progresif untuk membantunya menculik para jenderal-jenderal.
(P): Lalu bagaimana dengan isu the local friend army?
(J): Pada akhir Mei 1965, dokumen rahasia yang dikirim Dubes Inggris ke Kementerian Luar Negeri Inggris berisi armada laut Inggris akan menyerang Indonesia dengan bantuan tentara teman kita di Indonesia. Dokumen ini, menurut saya sebagai seorang intelejen, memang otentik (A1). Saya melihat adanya perbedaan mengenai cara penulisan. Di dokumen berbentuk telegram itu tertulis the local friend army dengan tulisan tangan. Menurut saya tulisan tangan “the local friend army” sangat tidak otentik.
P: Apa peran saudara di dalam peristiwa 65?
J: Saya sebagai pejabat Intel Angkatan Udara mendapatkan perintah dari KASAU Omar Dhani untuk mencari tahu mengenai peristiwa tersebut kepada Brigjen Supardjo. Apa yang sedang terjadi? Tujuan dari peristiwa tersebut? Seperti apa situasi terakhirnya? Namun, nama saya malah dikaitkan dengan Dewan Revolusi sehari setelah penculikan para jenderal di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo. Saya sendiri di hukum selama 15 tahun. Dua tahun di Ciamis bersama dengan anggota Politbiro CC PKI Sudisman. Tanpa satu hari pun saya mengurangi hukuman tersebut.
P: Bagaimana tanggapan bapak mengenai pembunuhan massal tanpa proses peradilan terhadap mereka yang dituduhkan terlibat dengan PKI dan peristiwa 1965?
J: Ribuan orang terbunuh pada masa itu. Oleh partai berkuasa di negara ini tidak menjadi persoalan. Saya pernah bertemu dengan anggota masyarakat Eropa. Mereka beranggapan tindakan militer Indonesia benar dan yang salah apanya! Coba mau ngomong apa kalau sudah begitu. Saya sendiri salah apa di hukum sampai 15 tahun. Saya menjalankan tanggung jawab dan perintah negara!! Sedangkan, tindakan militer membunuh ratusan juta rakyat Indonesia pada tahun 1965 dibenarkan oleh penguasa Indonesia sejak zaman Soeharto sampai sekarang. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM terbesar dalam negara ini dan dibiarkan.
P: Apa harapan bapak terhadap negara atas penyelesaian kasus pembunuhan massal (genosida) 1965?
J: Konsep pembunuhan massal sudah jelas. Jangan melihat peristiwa 1965 dari 30 September tapi harus dilihat backgroundnya CIA. Terjadinya pembantaian tidak mempunyai tempat dalam hal perikemanusian. Pelakunya harus dihukum sekarang atau besok. Terhadap hal ini tidak dituntut waktu. Di Jerman, kejahatan Nazi masih bisa diperadilkan. Tidak dibenarkan menghilangkan hak hidup seseorang. Manusia lahir untuk hidup, untuk bekerja, dan lain-lain. Penghilangan hak ini secara paksa dan tidak manusiawi adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Selama bukan korban yang mengurusi hal ini, tidak akan pernah tuntas kasus pelanggaran HAM itu. Contohnya kasus Aprteheid di Afrika Selatan. Semenjak korban (Nelson Mandela) menggugat, kasus tersebut dapat dituntaskan.
P: Pertanyaan berikut mungkin sedikit melenceng dari topik masalah 1965, namun berkaitan dengan membangun pergerakan di masyarakat dalam melawan ketidakadilan. Menurut bapak apa akar masalah disintergrasi bangsa yang saat ini kita alami?
J: Titik tolak bangsa ini adalah proklamasi 17 agustus 1945 dan UUD 1945, merupakan bentuk ekspresi atau pernyataan rakyat untuk bisa lepas dari penjajahan. Rakyat Indonesia tidak disadarkan oleh pemimpin negara ini bahwa musuh bersama negara ini adalah imperialisme dan kolonialisme. Jika kita tidak tahu siapa lawan kita maka kita akan terus menerus mengalami disintergrasi bangsa. Hal itu disebabkan adanya sistem yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 45. Jika pada prosesnya rakyat bisa disadarkan akan musuh bersama, maka rakyat yang sudah tersadarkan ini diberikan kebebasan front-front seluas-luasnya lalu mengambil kekuasaan atas nama rakyat.
P: Apa pendapat saudara mengenai gerakan kiri saat ini terutama dilihat dari krisis ekonomi yang saat ini kembali terjadi?
J: Di dunia dengan sistem seperti ada saat ini, krisis tidak bisa dihindari. Kenapa tidak bisa dihindari? Karena sistemnya berdasarkan pasar bebas. Ketika permintaan besar maka harga-harga menjadi menguntungkan bagi produsen. Ketika produsen berlomba menghasilkan barang, namun terjadi akumulasi ketidakmampuan dari konsumen untuk membeli barang maka terjadi krisis ekonomi, mulai dari PD I peristiwa malaise (1914) dan pada tahun 1939 krisis besar bagi mereka. Itu sebabnya orang yang memperhatikan makro ekonomi ingin keluar dari krisis yang menyengsarakan. Di belahan bumi lain masih banyak terjadi ketidakadilan dan itulah sebabnya timbul pemikiran Karl Marx berdasarkan kepada ekonomi kepentingan rakyat dan berlawanan dengan sistem pasar. Sebenarnya krisis yang terus dialami dunia ini adalah masalah krisis energi. PD I berkaitan dengan energi batu bara. Sedangkan pada PD II krisis energi minyak tanah. Dalam hidup ini hanya dua hal yang harus dimenangkan, individualistik atau kolektif, mana yang mau dimenangkan untuk masyarakat? Jika kalian berkuasa, mana yang mau dimenangkan? Kalian bisa melihat perjuangan tahun 45. Republik ini diperjuangkan kemerdekaannya bukan untuk para raja-raja tapi untuk rakyat indonesia. Di dalam tanah air kita yang kaya ini, ada produksinya dan ada distribusinya. Distribusi dan produksi akan selalu mengalami pertentangan jika masih menggunakan sistem kapitalisme, seperti departemen perdagangan, kamar dagang, dll. Seharusnya mereka tunduk terhadap produsennya bukan sebaliknya. Harus lebih mengutamakan pihak produsen bukan si pemilik modal. Di jaman Soeharto kaum tani yang paling menderita. Harga gabah ditekan sedangkan harga pupuk dan kebutuhan lainnya sangat mahal. Harga beras tidak boleh dinaikan dengan alasan untuk kepentingan bangsa namun yang ada justru kepentingan golongan. Kolektif, kebersamaan yang harus diperjuangkan, ekonomi kebersamaan, pendidikan kebersamaan, politik kebersamaan, dan bukan perorangan. Perorangan ada di dalam kolektif kebersamaan sedangkan kolektif kebersamaan tidak ada di dalam perorangan.
P: Berbicara mengenai gerakan sosial, apa perbedaan menurut saudara dari gerakan sosial saat ini dengan gerakan sosial kisaran tahun 50an - 60an?
J: Gerakan kiri saat yang lalu ditakuti tapi tidak bisa dihancurkan. Matikan saja dengan penghancuran dari dalam (contohnya kasus PRD). Banyak kemudian tokoh-tokoh kiri seperti Budiman Sujatmiko dan Dita Indah Sari malah bergabung dengan partai-partai politik yang jelas-jelas membiarkan ketidakadilan. Alangkah mirisnya ketika banyak aktivis yang kemudian malah lebih senang jalan-jalan ke cafe-cafe atau mal. Bagaimana itu? Lebih baik ketika menjadi aktivis yang langsung turun ke lapangan melihat kondisi riil dan langsung membantunya. Walau pun begitu tidak perlu pesimistis.
Peristiwa G 30 S merupakan lembaran kelam sejarah perjalanan bangsa ini. Peristiwa yang sebenarnya terjadi pada 1 Oktober dini hari itu masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Pembohongan publik yang dilakukan oleh negara memenuhi setiap sipnosis sejarah yang ada. Generasi muda diracuni oleh sejarah kepentingan rejim otoritarian Jenderal Suharto. Segala fakta diputarbalikan. Partai Komunis Indonesia dijadikan kambing hitam pelaku pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat. Cerita sejarah ini begitu berbeda dari temuan fakta-fakta sejarah beberapa akademisi.
Stigmatisasi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) membawa dampak besar setelahnya. Jutaan orang anggota dan simpatisan PKI dibunuh. Jutaan lainnya ditahan tanpa pengadilan. Stigmatisasi itu masih ada sampai sekarang. Komunisme dianggap sebagai paham sesat dan jahat tanpa diberi kesempatan rakyat untuk memelajarinya. Pemusnahan komunisme berarti pelanggengan kapitalisme yang akan membawa krisis di segala bidang masyarakat. Keadaan itu terjadi sampai saat ini.
Berikut ini wawancara dengan Heru Atmodjo (salah satu perwira Angkatan Udara yang saat itu berpangkat Letnal Kolonel). Nama Heru Atmodjo tercatat di dalam daftar lima orang Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo.
Wawancara ini bertujuan untuk mengingatkan kembali ke masyarakat luas atas satu peristiwa yang mengubah perjalanan negara bangsa sampai saat ini. Selain itu, untuk menyebarluaskan versi sejarah yang sangat berbeda dari versi sejarah penguasa. Di dalam versi ini terlihat jelas dalang peristiwa G 30 S dan genosida 1965. Semoga pengungkapan ini mengingatkan kepada masyarakat luas atas bahaya kapitalis yang melakukan segala cara untuk menguasai suatu negeri yang melimpah sumber dayanya, bernama Indonesia.
Pertanyaan (P): Apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 30 September 1965?
Jawaban (J): Sampai sekarang peristiwa ini hanya dilihat saat 30 September 1965 tapi tidak dilihat sebelum tanggal tersebut. Saya katakan musuh bangsa ini adalah CIA (central intelegent agent). Pada 30 September serta 1 Oktober adalah puncak krisis di negara ini. Sejak dulu musuh besar bangsa ini adalah imperialisme dan kolonialisme belanda (zaman kemerdekaan) dan CIA (saat ini dan pada masa mempertahankan kemerdekaan). Pada 23 maret 1965, CIA mengadakan rapat di markas CIA untuk membahas situasi politik dan sosial di kawasan asia terutama asia tenggara. Topik utamanya adalah ada dua front yang mau tidak mau harus dihadapi USA, yaitu Vietnam dan Indonesia. Di Vietnam jelas perjuangan dan perlawanan terus dilakukan sehingga Perancis tidak berhasil menginjakan kakinya di Vietnam setelah PD II. Seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa hasil perjanjian Versailles dan Piagam Perdamaian (Vatlantic Charter) adalah bentuk kelemahan dari life line imperialisme (rantai hidup imperialisme), sedangkan di Indonesia bung Karno sendiri pada Agustus 1964 menyatakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif tanpa intervensi dan mengecam keras tindakan imperialisme USA.
Kita tidak bicara 1 Oktober 1965, tapi sebelumnya Maret 1965. Rapat puncak CIA yang dihadiri empat tokoh utama CIA di Manila, Filipina, Averell Harriman (veteran PD II sebagai anggota OSS-Office of Strategy Study, intel militer), William Bundy, Elsworth Bunker (juru runding dalam perdamaian RI-Belanda pada kasus Irian Barat), dan Howard P. Jones (duta besar Amerika di Indonesia selama tujuh tahun). Pertemuan itu menentukan sikap politik terhadap Indonesia.
Mereka mendapat perintah langsung dari Presiden Amerika Serikat Johnson pada waktu itu sebagai Ketua National Security Council (NSC). Pertama mereka membicarakan apakah politik luar negeri Amerika masih bisa diteruskan seperti adanya sekarang dimana kita (baca: Amerika Serikat) menghadapi Vietnam yang eskalasinya semakin gawat? dan Indonesia, Bung Karno Agustus 1964 menyatakan politik luar negeri Indonesia sangat mengecam keras Imperialisme Amerika. Jawabanya tidak mungkin diteruskan seperti sampai saat ini karena bagaimana tanggung jawab kita dihadapan kongres, rakyat kalau kita tidak merubah arah politk luar negeri Amerika Serikat. Dengan demikian dorong Soekarno untuk mengubah arah politik luar negerinya. Dijawab oleh Dubes Amerika serikat saat itu, bahwa saya ditugaskan untuk itu. Misi saya mendekati Soekarno agar mau mengubah arah politik luar negerinya. Tidak ada satu orang di dunia pun yang mampu mengubah sikap keras Soekarno yang anti Imperialisme Amerika Serikat. Jika demikian keadaanya habisi saja Soekarno. Dijawab oleh Dubes Amerika saat itu, usaha pembunuhan terhadap Soekarno sudah dilakukan dan semuanya gagal. Begitu pun Angkatan Darat pernah melakukan usaha kudeta, 17 oktober 1952 namun usaha tersebut gagal. Karena di tubuh AD tahun 1965, ada 3 faksi didalamnya, pertama faksi loyalis Soekarno, faksi loyalis Nasution, dan faksi lainnya. Solusi terakhir adalah memanfaatkan situasi terakhir di Indonesia tahun 1965 diwarnai oleh tajamnya sikap politik AD dan PKI, intinya adalah itu.
(P): Apakah benar PKI terlibat dalam peristiwa G 30 S (terlibat secara organisasi dan individu) ?
(J): Rapat rapat puncak CIA di manila, Filipina diputuskan agar PKI dibuat ke lubang kejatuhannya sendiri. PKI yang berambisi terhadap kekuasaan serta konflik menajam dengan AD digunakan CIA untuk merancang konflik dengan Soekarno (peristiwa 1965). Kemudian Amerika Serikat memulai rancangannya dengan menyebarkan berbagai macam isu seperti isu Dewan Jendral. Menurut saya itu bentuk rekayasa karena setiap informasi intelejen harus dilihat siapa sumber dari informasi tersebut. Isu Dewan Jendral ini tidak berasal dari para jendral yang dituduhkan tersebut. Pak Yani (Jenderal Ahmad Yani) mengatakan tidak ada Dewan Jenderal yang berkonotasi politis. Memang ada yang disebut Dewan Pertimbangan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas membuat evaluasi di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pangkat jenderal. Alangkah bodohnya Pak Yani jika beliau yang membuat Dewan Jenderal tersebut karena beliau dulu pada masa perlawanan terhadap PRRI/PERMESTA adalah komandan yang tidak menyetujui pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Menguni, dll.
Lalu ada isu mengenai sakit kerasnya Bung Karno. Isu ini juga sampai ke dalam tubuh AD. Para jenderal yang kemudian menjadi korban peristiwa 65 menanggapi isu tersebut kemudian mengadakan rapat untuk membicarakannya. Menurut mereka kondisi kesehatan bung karno lambat laun akan menurun. Permasalahan yang akan timbul kemudian adalah bagaimana proses pergantian kekuasaan ini akan berlangsung jika bung karno telah wafat, jika damai hal ini tidak masalah namun jika terjadi chaos tentu akan merugikan bangsa ini. Kemudian mereka membentuk satu panitia yang bertugas mencegah chaos tersebut. Panitia ini dipimpin oleh Mayjen Suwato (Seskowad). Inilah yang kemudian menurut saya sebagai Dewan Jenderal menurut beberapa kalangan.
Perwira muda di tubuh AD pun mengadakan rapat. Mereka adalah Kolonel Latief, Letkol Untung, Kapten Wahyudi serta dua orang yang mengaku utusan Ketua CC PKI DN Aidit, yaitu Syam dan Pono. Di rapat tersebut membicarakan mengenai isu Dewan Jenderal dan isu sakitnya bung Karno. Kemudian isu yang santer didengar adalah tanggal 5 Oktober 1965 Dewan Jendral tersebut akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Kemudian perwira muda progresif ini melakukan inisiatif untuk menghadapkan jenderal-jenderal ke Bung karno sebelum tanggal 5 hidup atau mati.
(P): Apa benar keterlibatan Angkatan Udara secara Institusi dalam peristiwa 1965?
(J): Setelah isu-isu yang berkembang di masyarakat mengenai Dewan Jenderal beserta sakit parahnya bung Karno, tanggal 9 April 1965 tempat logistik angkatan bersenjata di jalan Iswahyudi disabotase dengan diledakan. Setelah kejadian itu KASAU Omar Dhani berpidato di hadapan perwira-perwira AU menyikapi hal tersebut. Omar Dhani berpendapat Angkatan Udara kekurangan personil untuk mengantisipasi kejadian itu terulang kembali. Perekrutan anggota baru membutuhkan waktu dan biaya yang lama dan tidak sedikit. Maka diputuskan untuk merekrut anggota baru melalui sukarelawan-sukarelawan Dwikora dan Trikora dulu. Mereka kemudian ditempatkan di Kebon Karet, Pondok Gede dan dilatih oleh Mayor udara Suyono (Kepala Staff teritorial udara di seluruh wilayah Indonesia). Nama tempat Kebon Karet diputarbalikan faktanya sebagai Lubang Buaya. Lubang Buaya sendiri letaknya cukup jauh dari Kebon Karet. Di sana merupakan tempat mess perwira-perwira muda AU seperti saya yang belum menikah. Memang diakui bahwa mereka yang tergabung di dalam pelatihan ini sebagian besar terdiri dari mereka yang beraliran Komunis seperti Pemuda Rakjat, Sobsi, Gerwani, dll. Namun bukan berarti golongan nasionalis dan agama tidak ada. Mereka diwakili oleh Perti, Pemuda Marhean, GMNI namun memang jumlah mereka tidak terlalu banyak. Berjalannya kepelatihan tersebut ternyata diwarnai dengan berbagai macam isu-isu tidak sedap yang memojokan AU secara institusi. Diputuskan pada 26 juli 1965 kepelatihan tersebut dibubarkan. Walaupun telah dibubarkan, sukarelawan-sukarelawan ini masih berlatih dan menetap di sekitar Pondok Karet karena memang sebagian besar sukarelawan ini berdomisili di sekitar Pondok Karet. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh para perwira-perwira muda progresif untuk membantunya menculik para jenderal-jenderal.
(P): Lalu bagaimana dengan isu the local friend army?
(J): Pada akhir Mei 1965, dokumen rahasia yang dikirim Dubes Inggris ke Kementerian Luar Negeri Inggris berisi armada laut Inggris akan menyerang Indonesia dengan bantuan tentara teman kita di Indonesia. Dokumen ini, menurut saya sebagai seorang intelejen, memang otentik (A1). Saya melihat adanya perbedaan mengenai cara penulisan. Di dokumen berbentuk telegram itu tertulis the local friend army dengan tulisan tangan. Menurut saya tulisan tangan “the local friend army” sangat tidak otentik.
P: Apa peran saudara di dalam peristiwa 65?
J: Saya sebagai pejabat Intel Angkatan Udara mendapatkan perintah dari KASAU Omar Dhani untuk mencari tahu mengenai peristiwa tersebut kepada Brigjen Supardjo. Apa yang sedang terjadi? Tujuan dari peristiwa tersebut? Seperti apa situasi terakhirnya? Namun, nama saya malah dikaitkan dengan Dewan Revolusi sehari setelah penculikan para jenderal di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo. Saya sendiri di hukum selama 15 tahun. Dua tahun di Ciamis bersama dengan anggota Politbiro CC PKI Sudisman. Tanpa satu hari pun saya mengurangi hukuman tersebut.
P: Bagaimana tanggapan bapak mengenai pembunuhan massal tanpa proses peradilan terhadap mereka yang dituduhkan terlibat dengan PKI dan peristiwa 1965?
J: Ribuan orang terbunuh pada masa itu. Oleh partai berkuasa di negara ini tidak menjadi persoalan. Saya pernah bertemu dengan anggota masyarakat Eropa. Mereka beranggapan tindakan militer Indonesia benar dan yang salah apanya! Coba mau ngomong apa kalau sudah begitu. Saya sendiri salah apa di hukum sampai 15 tahun. Saya menjalankan tanggung jawab dan perintah negara!! Sedangkan, tindakan militer membunuh ratusan juta rakyat Indonesia pada tahun 1965 dibenarkan oleh penguasa Indonesia sejak zaman Soeharto sampai sekarang. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM terbesar dalam negara ini dan dibiarkan.
P: Apa harapan bapak terhadap negara atas penyelesaian kasus pembunuhan massal (genosida) 1965?
J: Konsep pembunuhan massal sudah jelas. Jangan melihat peristiwa 1965 dari 30 September tapi harus dilihat backgroundnya CIA. Terjadinya pembantaian tidak mempunyai tempat dalam hal perikemanusian. Pelakunya harus dihukum sekarang atau besok. Terhadap hal ini tidak dituntut waktu. Di Jerman, kejahatan Nazi masih bisa diperadilkan. Tidak dibenarkan menghilangkan hak hidup seseorang. Manusia lahir untuk hidup, untuk bekerja, dan lain-lain. Penghilangan hak ini secara paksa dan tidak manusiawi adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Selama bukan korban yang mengurusi hal ini, tidak akan pernah tuntas kasus pelanggaran HAM itu. Contohnya kasus Aprteheid di Afrika Selatan. Semenjak korban (Nelson Mandela) menggugat, kasus tersebut dapat dituntaskan.
P: Pertanyaan berikut mungkin sedikit melenceng dari topik masalah 1965, namun berkaitan dengan membangun pergerakan di masyarakat dalam melawan ketidakadilan. Menurut bapak apa akar masalah disintergrasi bangsa yang saat ini kita alami?
J: Titik tolak bangsa ini adalah proklamasi 17 agustus 1945 dan UUD 1945, merupakan bentuk ekspresi atau pernyataan rakyat untuk bisa lepas dari penjajahan. Rakyat Indonesia tidak disadarkan oleh pemimpin negara ini bahwa musuh bersama negara ini adalah imperialisme dan kolonialisme. Jika kita tidak tahu siapa lawan kita maka kita akan terus menerus mengalami disintergrasi bangsa. Hal itu disebabkan adanya sistem yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 45. Jika pada prosesnya rakyat bisa disadarkan akan musuh bersama, maka rakyat yang sudah tersadarkan ini diberikan kebebasan front-front seluas-luasnya lalu mengambil kekuasaan atas nama rakyat.
P: Apa pendapat saudara mengenai gerakan kiri saat ini terutama dilihat dari krisis ekonomi yang saat ini kembali terjadi?
J: Di dunia dengan sistem seperti ada saat ini, krisis tidak bisa dihindari. Kenapa tidak bisa dihindari? Karena sistemnya berdasarkan pasar bebas. Ketika permintaan besar maka harga-harga menjadi menguntungkan bagi produsen. Ketika produsen berlomba menghasilkan barang, namun terjadi akumulasi ketidakmampuan dari konsumen untuk membeli barang maka terjadi krisis ekonomi, mulai dari PD I peristiwa malaise (1914) dan pada tahun 1939 krisis besar bagi mereka. Itu sebabnya orang yang memperhatikan makro ekonomi ingin keluar dari krisis yang menyengsarakan. Di belahan bumi lain masih banyak terjadi ketidakadilan dan itulah sebabnya timbul pemikiran Karl Marx berdasarkan kepada ekonomi kepentingan rakyat dan berlawanan dengan sistem pasar. Sebenarnya krisis yang terus dialami dunia ini adalah masalah krisis energi. PD I berkaitan dengan energi batu bara. Sedangkan pada PD II krisis energi minyak tanah. Dalam hidup ini hanya dua hal yang harus dimenangkan, individualistik atau kolektif, mana yang mau dimenangkan untuk masyarakat? Jika kalian berkuasa, mana yang mau dimenangkan? Kalian bisa melihat perjuangan tahun 45. Republik ini diperjuangkan kemerdekaannya bukan untuk para raja-raja tapi untuk rakyat indonesia. Di dalam tanah air kita yang kaya ini, ada produksinya dan ada distribusinya. Distribusi dan produksi akan selalu mengalami pertentangan jika masih menggunakan sistem kapitalisme, seperti departemen perdagangan, kamar dagang, dll. Seharusnya mereka tunduk terhadap produsennya bukan sebaliknya. Harus lebih mengutamakan pihak produsen bukan si pemilik modal. Di jaman Soeharto kaum tani yang paling menderita. Harga gabah ditekan sedangkan harga pupuk dan kebutuhan lainnya sangat mahal. Harga beras tidak boleh dinaikan dengan alasan untuk kepentingan bangsa namun yang ada justru kepentingan golongan. Kolektif, kebersamaan yang harus diperjuangkan, ekonomi kebersamaan, pendidikan kebersamaan, politik kebersamaan, dan bukan perorangan. Perorangan ada di dalam kolektif kebersamaan sedangkan kolektif kebersamaan tidak ada di dalam perorangan.
P: Berbicara mengenai gerakan sosial, apa perbedaan menurut saudara dari gerakan sosial saat ini dengan gerakan sosial kisaran tahun 50an - 60an?
J: Gerakan kiri saat yang lalu ditakuti tapi tidak bisa dihancurkan. Matikan saja dengan penghancuran dari dalam (contohnya kasus PRD). Banyak kemudian tokoh-tokoh kiri seperti Budiman Sujatmiko dan Dita Indah Sari malah bergabung dengan partai-partai politik yang jelas-jelas membiarkan ketidakadilan. Alangkah mirisnya ketika banyak aktivis yang kemudian malah lebih senang jalan-jalan ke cafe-cafe atau mal. Bagaimana itu? Lebih baik ketika menjadi aktivis yang langsung turun ke lapangan melihat kondisi riil dan langsung membantunya. Walau pun begitu tidak perlu pesimistis.
Pergerakan tidak ada yang berhenti walau
tidak ada yang maju karena hukum gerak adalah absolut. Namun, saya sedih
sebagai orang yang mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan bangsa ini melihat
situasi saat ini. Tokoh politik seperti Prabowo Subiyanto saat kampanye kemaren
memang benar visi misinya untuk petani, pedagang, dll
Namun, dalam praktek
apakah benar tindakannya. Politik itu kotor dan tidak ada yang bulat. Tidak ada
pergerakan sosial yang berhenti. Di dalam pergerakan sosial hanya soal waktu
saja yang menentukan cepat atau lambatnya pergerakan sosial. Saya akan sangat
sedih jika saat ini, tidak ada lagi pemikiran kritis yang dimiliki rakyat
terutama kaum muda sehingga tidak mengerti siapa dan apa yang harus dilawan
oleh bangsa ini. (PSG)
Sumber: Bingkai Merah Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar