Jawahir Thontowi SH.,PHD*.
11 September 2009
Wafatnya
Muhammad Soeharto, mantan Presiden RI terkuat Orde Baru, Minggu 13.10,
28 Januari bukanlah akhir kisah hukum Indonesia. Tetapi, lebih merupakan
mata rantai dinamika penegakan hukum dan politik Indonesia mendatang.
Misteri Sang Jenderal Besar tetap tak terkuak (unbreakable) dari sejak ia lahir hingga disemayamkan di Astana Giri Bangun.
Sejak sebelum Soeharto wafat, respon masyarakat telah terbaca bervariasi.
Pertama,
sebagian masyarakat, terutama keluarga korban kekerasan Gerakan 30
September 65 dan tragedi berdarah lainnya. Karena itu, seluruh harta
kekayaan negara hasil korupsi harus dikembalikan.
Kedua,
sebagian masyarakat seperti diserukan Amien Rais, adalah memaafkan
Soeharto jauh lebih bermartabat. Penegakan hukum telah kehilangan
kepercayaan masyarakat. Sepuluh tahun sejak reformasi, keempat Presiden
tidak melakukan proses hukum yang memadai.
Ketiga, sebagian masyarakat tidak peduli apakah mereka memaafkan atau perlu proses hukum lebih lanjut.
Keempat, sebagian masyarakat akan memaafkan jika proses hukum telah dilakukan.
Kelima, memaafkan dan proses hukum yang dapat dilakukan tetap harus dilakukan.Wujud penghormatan dan jasa baik Jendral Soeharto membangun Indonesia mengiringi kontroversial hingga kini.
Terkecuali kasus pidana, kematian tidak seluruhnya dapat menghapuskan
pertanggung jawaban hukum. Bukan saja karena urusan keperdataan masih
dimungkinkan di proses peradilan, bagi mazhab positivisme, adanya
gugatan baru dari Kejaksaan Agung suatu alternatif.
Tetapi,
jika toh nyali pemerintahan SBY tidak dapat melakukannya, keadilan
bukan saja di ruang pengadilan, tetapi keadilan juga berada dibanyak
ruangan(justice in many rooms). Silahkan saja, para pengacara
menolak proses hukum dengan argumentasi hukum subtantif semunya. Toh,
pemaafan dapat diberikan oleh seorang, tetap harus memperlihatkan
kesalahannya.
Peradilan
sejarah Soeharto telah mencatat kebaikan dan jasanya sebanyak
kesalahanya. Dua kesalahan besar akan diingat masyarakat dalam Mahkamah
Sejarah antara lain kejahatan HAM dan kejahatan Korupsi, sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Suara
masyarakat tampak jelas mendukung pilihan SBY, untuk melanjutkan proses
hukum tersebut. Jajak pendapat harian Kompas, pada 14 Januari 2007,
membuktikan bahwa responden yang setuju memaafkan (52%) Soeharto dengan
yang setuju (48%) proses hukum hampir berimbang. Senada dengan itu, Sri
Sultan Hamengku Buwono X, yang merupakan Gubernur DIY, dan Hidayat Nur
Wahid, Ketua MPR bersikukuh proses hukum kasus Soeharto dilanjutkan.
Demo-demo
digelar akar rumput di beberapa kota, khususnya di Jakarta, Yogyakarta,
dan Solo menentang pemaafan. Dapat dimaklumi jika mereka sulit
memaafkan. Ketika Soeharto berkuasa, kejahatan kemanusiaan HAM (Crime Against Humanity ) dan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) seperti telah berakibat kondisi kenegaraan menjadi terpuruk.
Kesalahan Dalam Kejahatan HAM
Kehendak
SBY mengadili Soeharto menjadi sangat relevan, tetutama ketika
masyarakat yang telah menjadi korban tidak mudah memaafakan Soeharto.
Ingatan masyarakat tersebut utamanya sebagai akibat kejahatan
kemanusiaan, sebagai musuh seluruh umat manusia (Hostis Humanis Generis).
Sejak tahun 1965 hinggga tahun 1996, sejarah nasional dan internasional
mencatat dengan rinci tragedi berdarah kekuasaan Soeharto di Indonesia.
Ratusan ribu manusia tidak bersalah telah mati menjadi korban.
Misalnya, Gerakan 30 September PKI, Komando Jihad 1977, Asas tunggal
Pancasila Tanjung Priok 1983, kasus sarangan Dilli di Timor, Timor,
pembunuhan misterius atas gali-gali di DIY 1983, Operasi Militer di Aceh
1988 merupakan pelanggaran HAM kejahatan kemanusiaan (Gross Violation of Human Rights).
Kejahatan
kemanusiaan, dapat berbentuk pembunuhan massal karena ras, suku dan
agama. Dalam perspektif hukum internasional, kejahatan HAM ketika
Soeharto berkuasa harus di bersi sanksi hukuman melalui suatu peradilan
yang kredibel. Konvensi Internasional tentang Pelanggaran atas kejahatan
Genocide, 9 Desember 1948 mewajibkan negara-negara pihak melaksanakannya. Pakar Hukum Internasional HAM seperti Geoffrey Robertson (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan:
2002) menegaskan bahwa tidak ada tempat bersembunyi bagi pelaku
kejahatan kemanusiaan. Sedapat mungkin, proses peradilan dapat
dilaksakan secara terbuka, umum, dan berkeadilan.
Korupsi Merupakan Kejahatan Luar Biasa
Pilihan mengadili Soeharto terkait dengan tindak pidana korupsi, sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
tidak dapat terelakan. Bersyukur tawaran damai untuk kasus perdata oleh
Kejagung, Hendarman ditolak keluarga Soeharto Padahal jika diterima
tujuan proses hukum adalah penanganan kasus korupsi sebagai kejahatan
luar biasa (Extra Ordinary Crime). Sehingga mana mujngkin
Soeharto dapat dimaafkan jika proses hukum kejahatn korupsinya, melalui
tuntutan keperdataan tidak dilakukan.
Tap
MPR No XI/1998, mengamanahkan terselenggaranya pemerintah yang baik dan
bersih dan perlunya Soeharto diadili. Keberadaan UU No 32/1999 tentang
Pidana korupsi, dan UU No. 30 tahun 2004 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi tetap harus diberlakukan kepada Soeharto. Agar
kesan Soeharto yang isunya kebal gangguan bagik, tetapi ia tidaklah
kebal hukum untuk mengembalikan uang negara.
Peluang pemerintah, khususnya Jaksa Agung untuk menindak lanjuti
tuntutan pengembalian uang satu yayasan Supersemar begitu besar
jumlahnya senilai U$D 420 juta, dan 185,92 milyar plus ganti rugi 10
trilyun (Jawa Pos, 16 Januari 2008).
Padahal
tidak sedikit jumlah yayasan milik Soeharto yang jumlah asetnya tentu
banyak. Hasil pengembalian harta kekayaan Soeharto untuk negara mestinya
dapat dipergunakan. Tidak saja untuk penanggulan kemiskinan, tetapi
juga dapat dipergunakan untuk memberikan kompensasi dan rehabilitasi
bagi keluarga korban kejahatan luar biasa.
Penyelesaian Berkeadilan
Ketika pemerintah SBY menawarkan penyelesaian hukum atas Soeharto,
tidak sebatas pelaksanaan pengadilan dan pemberian grasi, amnesti dan
abolisi, tetapi juga harus diikuti dengan kompensasi dan rehabilitasi.
Sehingga dengan cara kompensasi dan rehabilitasi, ancaman balasan dendam
keluarga korban akibat kekuasaan represif Soeharto dapat diminimalisir.
Hal ini menjadi sangat penting bagi SBY dalam politik pencitraan ke
depan. James Gaffney dalam The Search for Faith and Justice (Gene. G. James, 1986: 13) mensyaratkan tiga prinsip utama dalam menegakan hukum berkeadilan dalam suatu masyarakat.
Pertama, pemerintahan dan masyarakat yang adil dibangun bertumpu pada aturan hukum (a just society must be based on the rule of law).
Kedua,
keadilan mengharuskan terpenuhinya derajat kesetaraaan di depan hukum
bagi semua semua warga negara, peluang dan kesempatan yang sama (Equality before the law).
Ketiga,
keadilan menuntut terpenuhinya hak-hak sosial dan ekonomi, terutama
pemenuhan atas kebutuhan pokok makanan, perumahan, pendidikan dan
kesehatan Kerangka teoritis di atas secara implisit memberikan rujukan
pada pilihan peradilan perdata harus diprioritaskan.
Keempat,
terhadap pelanggaran HAM berat, Van Boven, merekomendasikan agar dalam
pelanggaran HAM berat sesungguhnya menjadi sangat relevan untuk m
mempertimbangkan kompensasi dan rehabilitasi yang dilakukan negara
terhadap korban kejahatan HAM. Hal ini selain dimaksudkan sebagai upaya
mencegah dendam dan menggiring orang-orang tak berdosa (innocence people) untuk dapat memaafkannya. Juga diharapkan ada pelajaran bagi aparat negara untuk tidak terjadi pengulangan.
***
___
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS), dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
https://jawahirthontowi.wordpress.com/2009/09/11/kejahatan-soeharto-tak-termaafkan/
0 komentar:
Posting Komentar