Sunday, May 9, 2010
Pledoi Mohammad Munir
Disebarluaskan oleh rdk.karawang@ brd.de, munindo@brd. de
___________________________
Disebarluaskan oleh rdk.karawang@
___________________________
MEMBELA KEMERDEKAAN, DEMOKRASI DAN KEADILAN
Pendahuluan
Sdr. Hakim Ketua,
Mahkamah Pengadilan Yth.,
Pada detik-detik seperti sekarang ini, berdiri didepan meja hijau, mengucapkan suatu pledoi, sungguh bukan keadaan biasa, sebaliknya keadaan luarbiasa. Siapakah orangnya yang tidak ber-detak2 jantungnya dan tidak merasa prihatin menghadapi sidang Pengadilan dalam keadaan seperti sekarang ini?
Demikian pula diri saya diliputi oleh perasaan prihatin yang teramat mendalam. Betapa tidak sdr2! Perkara semacam ini sudah memasuki tahun ke-8 sejak peristiwa Gerakan 30 September. Konon kabarnya selama ini baru kurang lebih 250 orang yang sudah diadili dari sebanyak 4 @ 5.000 orang yang termasuk golongan A yang direncanakan akan diadili pula. Entah berapa puluh tahun lagi pengadilan seperti ini akan berlangsung: Hanya dengan perubahan situasi politiksaja „pekerjaan rutine" seperti ini bisa dihentikan. Dan perubahan situasi politik itu bakal datang, laksana matahari yang akan terbit esok hari. Sungguh prihatin karena sidang2 pengadilan seperti ini berlangsung dalam situasi politik anti Komunis dimana PKI dan ormas2 revolusioner termasuk organisasi kaum buruh Indonesia, SOBSI, serta ajaran Marxisme-Leninisme dilarang ditanah air kita.
Bukan itu saja, tetapi situasi politik di Indonesia sekarang sudah tidak menghormati lagi hak-hak demokrasi dan hak-hak asasi manusia, serta UUD 1945 berada dalam keadaan bahaya. Riwayat pengadilan G 30 S merupakan sejarah peradilan yang terpanjang di Indonesia, mungkin juga diseluruh dunia, termasuk kasus perang dunia ke-II. Aneh pula, bahwa mereka yang tidak bisa diadili, karena dianggap „membahayakan negara," dimasukkan dalam golongan B dan kira2 10.000 orang dari mereka sudah dibuang kepulau Buru tanpa proses pengadilan. Ini merupakan vonnis tanpa vonnis dari suatu badan pengadilan. Epiloog dari peristiwa G 30 S, ratusan ribu komunis dan non komunis dijebloskan dalam kamp2 konsentrasi, tanpa mereka mengetahui masalahnya. Ratusan ribu orang Komunis dan non komunis telah menjadi korban pembunuhan massal, suatu record internasional yang patut „dikagumi." Dalam kamp2 konsentrasi ribuan tahanan politik mati kelaparan atau mati tak ketahuan rimbanya, tanpa ada pertanggunganjawab dari fihak yang berwajib. Mereka yang telah melakukan pembunuhan massal dan mereka yang telah menyebabkan mati dan terbunuhnya para tapol di kamp2 tahanan, tidak pernah diganggu gugat dan tidak pernah diajukan didepan sidang Pengadilan. Beginikah hukum yang sedang berlaku Dalam melakukan semua kegiatannya dalam waktu yang panjang kaum militeris berlindung dibawah SOB serta menggunakannya dalam menghadapidan memukul lawan2 politiknya.
Demikianlah, kita melihat proses lahir dan berkembangnya militerisme dan kekuasaan militer di Indonesia sebelum peristiwa„G 30 S," yaitu diawali dengan peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal, memuncak tapi masih bisa dipatahkan pada lahirnya Dewan2 partikelir 1956 yang berkembang menjadi pemberontakan separatis PRRI/Permesta; dan kemudian menyusun kekuatan kembali secara berhasil dengan menggunakan keadaan SOB selama perjuangan Trikora dan Dwikora.
Dengan demikian secara definitif lahirlah kekuatan kanan baru, yang pemunculannya bukan lagi dalam organisasi partai politik seperti selama ini-PSI dan Masyumi yang telah dibubarkan telah tumbuh di dalam tubuh Angkatan Darat sendiri, yaitu dalam diri Jenderal2 yang berhaluan kanan. Kekuatan ini semula kecil dan terlindung oleh pemunculan kekuatan tersebut dalam partai2 politik, tetapi dengan menggunakan SOB menjadi besar dan meluaskan jaring2nya, mengembangkan iri dibidang politik (pemerintahan) dan ekonomi, hingga bisa menguasai posisi2 penting dibidang ekonomi(PN2) dan pemerintahan (eksekutif).
Tidak perlu rasanya ditegaskan, bahwa dibanding dengan kaum kanan lama (Masyumi-PSI)
Menghadapi kenyataan2 konkrit dimana kaum militeris mengkonsolidasi kekuatannya, kaum komunis dalam menghadapinya tidak cukup waspada. PKI menganggap organisasinya makin besar dan kuat, pengaruhnya melebar diseluruh tanah air, sedangkan menurut analisanya kekuatan kanan makin terisolasi. Letak kesalahan analisa kaum komunis dalam menilai imbangan kekuatan karena hanya melihat dari segi2 luarnya saja. Karena kekuatan kanan tradisionil yang diwakili Masyumi-PSI telah dibubarkan dan memang terisolasi, maka dinilainya kekuatan kanan secara menyeluruh terisolasi. Padahal kekuatan kanan baru yang terdiri dari kaum militeris dengan derapnya yang tegap terus memperkuat dirinya.
Bagi mereka waktunya telah tiba untuk membuat suatu perhitungan terhadap Presiden Sukarno dan terhadap kaum komunis Indonesia. Akhirnya kaum militeris yang diwakili oleh Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno menyatukan dirinya dalam Dewan Jenderal yang tujuan politiknya merebut kekuasaan negara dari tangan Presiden.
II
J A W A B A N
Membuat jawaban terhadap tuduhan dari requisitoir bukan soal yang mudah. Ini tuduhan se-akan2 begitu meyakinkan bagi mereka yang tidak mau mengerti inti persoalan dari perkara ini. Sedangkan tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh Saudara Jaksa nampaknya masuk akal. Menurut kebiasaan selama ini bagi anggota CC atau Politbiro CCPKI yang kena perkara G 30 S dan diajukan didepan sidang pengadilan, hukumannya mati atau seumur hidup. Se-akan2 Pengadilan itu sudah mengantongi vonnis sebelum perkara itu diperiksa didepan sidang. Tidakkah memang demikian apa yang sudah biasa berjalan selama ini?
Lepas dari hukuman apa yang hendak dijatuhkan pada diri saya, saya merasa dipanggil oleh kewajiban untuk menjawab seperlunya masalah2 yang dituduhkan itu. Jawaban ini dan pleidooi saya sebagai keseluruhan merupakan pertanggunganjawab saya tidak hanya untuk mahkamah Pengadilan tetapi juga untuk dipersembahkan pada ibu pertiwi, pada Rakyat Indonesia dari mana saya dilahirkan dan dibesarkan.
Untuk hal tersebut rasanya tidak berkelebihan bila saya nyatakan pentingnya peranan pers sebagai missi pembawa berita untuk memuat pleidooi ini secara lengkap. Semoga pers Indonesia yang menjunjung tinggi tentang kemerdekaan pers, menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Untuk itu taklain saya ucapkan banyak terimakasih.
A. GERAKAN 30 SEPTEMBER
Izinkanlah sekarang saya menjawab dan membahas soal2 yang menyangkut dengan 'G 30 S.' Suatu persoalan yang menjadi pokok perkara dalam sidang2 Mahkamah Pengadilan dan kali ini jatuh pada giliran saya. Selama ber-tahun2 kata2 'G 30 S' oleh pemerintah Orde Baru didengungkan sebagai suatu momok jahat yang keji dan menakutkan. Keadaan seperti itu berlangsung sampai sekarang.
Rupa2-nya orang takut benar bila kena tuduhan komunis atau 'G 30 S.' Bila kebakaran banyak terjadi, katanya - sisa2 'G 30 S.' Walaupun mungkin kebakaran itu disebabkan karena kompor, kortsluiting, tuantanah yang menghendaki anahnya kembali atau Kotapraja yang membutuhkan tanah untuk pembangunan kota; Kecelakaan2 kereta-api, katanya sisa2 G 30 S. Ya, semuanya bisa karena „sisa2 G 30 S," musim kering yang panjang, produksi pertanian yang turun, harga beras yang naik, dsb.! Demikian juga menghadapi sidang MPR dalam bulan Maret ini telah di-issue-kan tentang sisa2 G 30 S yang hendak mengganggu keamanan kota Jakarta. Saya tidak tahu apakah masyarakat masih percaya pada obrolan seperti itu!
Tujuh tahun telah lewat sejak peristiwa G 30 S, tetapi tidak banyak orang yang mengerti atau tahu, apakah sebenarnya peristiwa G 30 S itu? Ataukah mungkin mereka mengerti dan tahu, tetapi tidak berani mengemukakan pendapatnya secara bebas karena dibayangi oleh rasa sangsi dan takut?!
Mengapa terjadi G 30 S? Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sudah terjadi, sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali untuk dibatalkan. Dalam hal terjadinya G 30 S, Presiden Sukarno dalam menyampaikan pertanggunganjawabn
a. Keblingernya pimpinan PKI,
b. Kelihayan subversi Nekolim,
Memang ada oknum2 yang tidak benar.
Menilik situasi politik tanah air pada masa itu, pertanggunganjawab Presiden pada MPRS adalah benar. Dari fihak kaum Imperialis dengan CIA-nya sudah lama terdapat usaha keras untuk menggulingkan Presiden Sukarno (baca buku Kuda Troya karangan David Ramson) dan menghancurkan PKI. Subversi Nekolim tersebut adalah sejalan dengan sikap politik dan usaha2 yang telah dilakukan oleh kaum reaksioner dalamnegeri. Kaum kanan telah mendapat tambahan kekuatan dari „oknum2 yang tidak benar," yaitu jenderal2 kanan Angkatan Darat yang tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Kemudian Jenderal2 kanan ini menyatukan dirinya dalam apa yang dihebohkan sebagai Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap pemerintah RI yang syah dibawah Presiden Sukarno. Dewan Jenderal bukan issue PKI, tetapi merupakan sesuatu yang memang ada dan logis menurut perkembangan situasi politik pada waktu itu.
Tentang adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta, telah dinyatakan DN Aidit dalam briefingnya pada tanggal 27 atau 28 Agustus 1965 didepan anggota2 Politbiro dan anggota2 CC PKI yang pada waktu itu sedang berada di Jakarta. Seandainya DN Aidit bisa dihadapkan sebagai saksi didepan sidang Pengadilan ini, tentu ia akan banyak mengungkap tentang proses terjadinya komplotan Dewan Jenderal.
Seandainya hukum di Indonesia bebas dan tidak memihak, tidakkah seharusnya Mahkamah Pengadilan mengusut pula Jenderal2 kanan Angkatan Darat sehingga masalahnya menjadi terbuka?
Rencana aksi yang hendak dilakukan oleh Dewan Jenderal terhadap Presiden Sukarno sebagai Kepala Pemerintah RI, telah menimbulkan reaksi perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat. Perwira2 muda itu selalu bertekad untuk melawan usaha kudeta Dewan Jenderal.
Demikian pula sikap politik PKI, bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju untuk menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal. Salahkah bila PKI sebagai partai politik mempunyai sikap politik yang demikian itu? Saya kira banyak orang akan menjawab: „Sikap politik itu tidak salah, sebaliknya benar sebab membela pemerintah yang syah." Situasi politik berjalan begitu cepatnya. Jarum perpecahan fihak imperialis selalu menimbulkan lebih meruncingnya suasana politik dalam negeri. Disinilah letak kelihayannya Nekolim yang tepat pada waktunya dapat menggunakan situasi politik untuk keuntungannya.
Dalam suasana politik yang sedang menekan perasaan dan fikiran, di kalangan perwira2 muda yang maju sangat menguatirkan keselamatan Presiden Sukarno. Mereka menjadi marah tak terkendalikan terhadap niat Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta disekitar tanggal 5 Oktober 1965. Luapan amarah yang tak terkendali ini akhirnya mencetus sebagai terkenal dengan nama 'Gerakan 30 September' dibawah Komando ex. Letkol Untung.
Apa hubungannya PKI dengan 'G 30 S'?
Banyak orang ber-tanya2, benarkah PKI merencanakan Gerakan 30 September? Pertanyaan ini dikemukakan, karena beberapa oknum pimpinan PKI termasuk DN Aidit Ketua CCPKI melibatkan diri didalamnya. Dan karenanya khalayak ramai menyangka, PKI berada dibelakang gerakan tersebut.
PKI sebagai Partai tidak mempunyai kesempatan yang diperlukan untuk menjelaskan pada masyarakat duduk perkara yang sebenarnya dalam hubungannya dengan Gerakan 30 September. Dilain fihak Orba dan segenap kekuatannya melakukan kampanye, bahwa sutradara mainnya G 30 S adalah PKI.
Benar, bahwa dalam rapat Politbiro pada bulan Juli 1965 dalam rangka memberikan informasi politik dalam dan luarnegeri, DN Aidit mengemukakan suatu keterangan tentang adanya komplotan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Selanjutnya DN Aidit menambahkan, bahwa kebenaran informasi tersebut akan dicek lebih lanjut.
Dalam briefingnya yang diberikan oleh DN Aidit pada tanggal 27 atau 28 Agustus 1965 pada anggota2 Politbiro dan anggota2 CCPKI yang berada di Jakarta dikemukakan sebagai berikut:
1. Situasi politik tanahair dalam keadaan gawat,
2. Sakitnya Preside Sukarno bertambah parah,
3. Dalam keadaan demikian Dewan Jenderal merencanakan kudeta terhadap terhadap Presiden Sukarno,
4. Terdapat perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pembela Presiden Sukarno yang hendak berlawan untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal.
Kemudian DN Aidit menyampaikan sikap politik Partai sbb.:
1. PKI menentang rencana kudeta Dewan Jenderal,
2. PKI akan membela pemerintahan Indonesia yang dikepalai oleh Presiden Sukarno,
3. Dalam perjuangan itu, PKI akan mendukung dan bekerjasama dengan perwira2 muda yang maju membela Presiden dan melawan kudeta Dewan Jenderal.
Bila ditelaah dengan teliti tidak pernah ada maksud atau suatu opset dari fihak PKI untuk menggulingkan pemerintahan Sukarno. Sebaliknya opsetnya adalah membela pemerintahan yang syah. Demikian pula tidak pernah PKI merencanakan suatu kudeta. Yang ada yalah PKI dalam menghadapi situasi gawat mempunyai sikap politik. Sikap politik bagi sesuatu Partai menghadapi situasi politik tertentu bukanlah soal luar-biasa, tetapi merupakan sikap yang wajar.
Dari penjelasan tersebut kiranya terang dari fihaknya PKI tidak pernah mempunyai maksud atau rencana untuk melakukan suatu kudeta. Kudeta bukan jalannya Rakyat kesinggasana kekuasaan Negara. Demikian pula kudeta samasekali bukan doktrin Komunis dan dalam pengalaman proletariat internasional sepanjang sejarahnya, tidak pernah dipakai suatu kudeta untuk merebut kekuasaan negara. Kudeta adalah metode perebutan kekuasaan yang biasa dipakai oleh Jenderal2 yang berpengaruh dalam Angkatan Perang.
Ada orang menanya, tapi kenyataannya bagaimana dengan PKI? Tidakkah soal mendahului kudeta Dewan Jenderal dan tentang pembentukan Dewan Revolusi sebelumnya sudah menjadi putusan Dewan Harian Politbiro? Tidakkah bila ditinjau dari segi organisasi putusan Dewan Harian Politbiro atau tindakan yang dilakukannya sudah syah sebagai putusan atau tindakan PKI sebagai organisasi. Untuk itu perlu diberi keterangan sebagai berikut:
Benar pernah saya mendengar dari DN Aidit, bahwa Kawan2 Dewan Harian menyetujui fikiran perwira2 muda yang maju untuk mendahului kudeta Dewan Jenderal dan pembentukan Dewan Revolusi. Tidakkah bila ditinjau dari segi sentralisme demokrasi apa yang diputuskan oleh Dewan Harian adalah syah secara konstitusionil?
Sebelumnya perlu dijelaskan tentang prinsip2 sentralisme demokrasi sesuai dengan Konstitusi PKI Bab. III fasal 23 sbb.:
a. Badan2 pimpinan Partai dari semua tingkat dipilih,
b. Badan2 pimpinan Partai bertanggung jawab kepada organisasi Partai yang memilihnya dengan memberi laporan pada waktu yang tertentu,
c. Putusan Partai harus dilaksanakan dengan tidak bersyarat. Setiap anggota Partai tunduk kepada putusan2 organisasi Partai dimana ia tergabung; jumlah tersedikit tunduk kepada jumlah terbanyak; organisasi Partai bawahan tunduk kepada organisasi Partai diatasnya dan segenap organisasi Partai tunduk kepada Kongres Nasional Partai dan CC.
d. Badan2 pimpinan Partai harus senantiasa memperhatikan pendapat organisasi bawahan dan massa anggota Partai, mempelajari pengalaman2nya dan memberikan bantuan dalam memecahkan Persoalannya tepat pada waktunya, e. Organisasi2 Partai bawahan harus secara periodik memberikan laporan mengenai pekerjaannya kepada organisasi atasannya, dan meminta instruksi tepat pada waktunya tentang soal2 yang memerlukan putusan organisasi yang lebih tinggi.
f. Semua organisasi Partai bekerja atas prinsip memadukan pimpinan kolektif dengan tanggung jawab perseorangan; semua soal yang penting diputuskan secara kolektif dan bersama dengan itu masing2 orang diberi kemungkinan untuk melakukan peranannya yang penuh dalam batas yang semestinya.
Pertama perlu diperhatikan sub c yang berbunyi: „...organisasi Partai bawahan tunduk kepada Kongres NasionalPartai dan CC." Jelas bahwa Partai secara menyeluruh tunduk kepadagaris politik organisasi dan ideologi yang telah ditetapkan oleh Kongres Nasional Partai. Semua Badan Pimpinan Partai dan CC sampai Resort harus taat pada putusan Kongres. Dalam hal ini jalan damai atau tidak damai ke Demokrasi Rakyat sebagai masa peralihan ke Sosialisme, Kongres Luarbiasa ke II PKI telah memutuskan „menempuh jalan damai dan demokratis." Coba kita sekarang kembali pada briefing tanggal 27 atau 28 Agustus 1965, dimana DN Aidit mengemukakan sikap politik Partai menghadapi situasi gawat. Apakah sikap partai tersebut bertentangan dengan putusan Kongres?! Sikap Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit tidak menyangkut dengan soal jalan damai atau tidak damai ke Demokrasi Rakyat. Sikap Partai itu inti soalnya, membela pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dari rencana kudeta Dewan Jenderal. Sikap politik itu benar dan tidak bertentangan dengan putusan2 badan pimpinan Partai diatasnya, sebab sikap Partai adalah mendukung dan membela pemerintahan Sukarno.
Apakah menurut Konstitusi PKI, Dewan Harian Politbiro secara otomatis sebagai pelaksana dari putusan badan pimpinan Partai diatasnya, atau menjadi pelaksana dari sikap politik Partai tsb. diatas?!
Benar, bahwa Dewan Harian Politbiro adalah secara otomatis merupakan pelaksana putusan2 atau sikap politik yang telah digariskan oleh badan pimpinan Partai diatasnya. Sebagai pelaksana Dewan Harian Politbiro tidak boleh melanggar putusan2 Partai. Juga Politbiro tak boleh melanggar putusan CC dan CC tidak boleh melanggar putusan Kongres.
Seandainya benar apa yang dikatakan oleh DN Aidit pada saya, bahwa Kawan2 Dewan Harian menyetujui mendahului untuk menggagalkan kudeta Dewan Jenderal dan menyetujui untuk membentuk Dewan Revolusi, apakah putusan itu tidak bertentangan dengan sikap politik Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit dalam briefingnya pada minggu ke IV bulan Agustus 1965?
Sebelumnya perlu dijelaskan apa yang dikemukakan oleh DN Aidit pada saya, bahwa „Dewan Revolusi merupakan organisasi tandingan Dewan Jenderal dan sekaligus berfungsi sebagai pendorong untuk mempercepat proses pembentukan Kabinet NASAKOM."
Soal interpretasi dari „mendahului" untuk menggagalkan Kudeta DewanJenderal, DN Aidit tidak menjelaskan hal tersebut kepada saya. Dalam pemikiran saya sendiri, Dewan Jenderal akan ditindak secara administratif oleh Presiden/Pangti ABRI dengan backing kekuatan perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pendukung Presiden Sukarno.
Demikian pula DN Aidit tidak pernah mengemukakan tentang rencana Gerakan 30 September. Kalau soal mendahului dan soal pembentukan Dewan Revolusi itu benar putusan Dewan Harian dan kemudian ternyata terjadi Gerakan 30 September serta dalam Dekrit No. 1 ditegaskan, bahwa:„Untuk sementara waktu menjelang pemilihan umum MPR sesuai dengan UUD 45, Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam negara RI," maka hal tersebut adalah bertentangan dengan sikap politik Partai.
Bertentangan dengan sikap politik Partai berarti melanggar prinsip sentralisme demokrasi dan oleh karena itu, tidak sah dan tidak bisa dinyatakan sebagai putusan PKI. Oleh karena itu PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam Gerakan 30 September. Yang melibatkan diri dalam gerakan itu adalah sementara oknum pimpinan PKI. G 30 S dan Kudeta.
Benarkah Gerakan 30 September itu merupakan suatu kudeta atau perebutan kekuasaan negara?! Memang inilah yang menjadi persoalan, kudeta atau bukan kudeta!
Ada orang berkata, tak bisa diungkiri lagi „G 30 S" itu merupakan suatu kudeta. Katanya lebih lanjut, G 30 S itu merupakan suatu tindakan dengan kekerasan merebut RRI, telekomunikasi dan membunuh Jenderal2. Saya tidak akan menyangkal, bahwa G30S pernahmemblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI menyiarkan Dekrit, Pengumuman dan keputusan G30S pada tanggal 1 Oktober 1965. Semua itu dilakukan tanpa kekerasan senjata.
Dan sebagai ekses dari peruncingan situasi kongkrit pada waktu itu telah menyebabkan terbunuhnya jenderal2, sesuatu yang semestinya tidak boleh terjadi.
Saya berpendapat terbunuhnya jenderal2 pada waktu itubukan merupakan ciri dari suatu kudeta. Begitu juga memblokir telekomunikasi dan menggunakan RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 untuk keperluan penyiaran G 30 S juga bukan suatu ciri dari suatu kudeta. Baik Jenderal, RRI ataupun telekomunikasi tidaktermasuk sebagai atribut negara.
Dialoog itu berjalan terus dan orang itu menjawab: „Bukan itu saja yang telah dilakukan oleh G 30 S. Telah dibentuk Dewan Revolusi yang berwenang sebagai sumber kekuasaan tertinggi. Kemudian Kabinet juga didemisionerkan. Tidakkah perbuatan2 itu merupakan suatu kudeta?!" Benar bahwa saya pernah mendengar siaran RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 tentang dibentuknya Dewan Revolusi dengan komposisi yang luas meliputi berbagai golongan dalam masyarakat dan dikeluarkan oleh Letkol Untung Komandan Gerakan 30 September.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan pengumuman tersebut sudah bisa dinyatakan bahwa Dewan Revolusi itu benar2 telah terbentuk?! Bukankah pengumuman dibentuknya Dewan Revolusi dengan personalianya itu merupakan suatu pernyataan politik dari Letkol Untung sendiri, tanpa sepengetahuan dari orang2 yang bersangkutan?
Dalam proses pengadilan selama 7 tahun ternyata nama orang2 yang dicantumkan sebagai pimpinan atau sebagai anggota Dewan Revolusi tidak pernah diberitahu sebelumnya, sedangkan fihak pengadilanpun tidak bisa membuktikan mengenai hal tersebut. Bila Dewan Revolusi ini dituduh sebagai komplotan yang melakukan makar terhadap negara, mengapa tidak semua anggota komplotan tersebut diajukan dan dituntut didepan pengadilan? Tidakkah dengan itu menunjukkan adanya ketidakadilan hukum?! Ataukah karena dibentuknya Dewan Revolusi baru merupakan pernyataan ex. Letkol Untung sendiri tanpa pemberitahuan pada orang2 yang dijadikan anggotanya, maka orang2 tersebut tidak bisa dituntut menurut hukum yang berlaku?!
Kecuali itu sebagai Dewan yang abstrak, Dewan Revolusi tersebut belum pernah bersidang dan karena itu dalam kenyataannya Dewan Revolusi itu tidak pernah ada. Karena Dewan itu tidak pernah ada, pasal2 hukum mana yang bisa dituntutkan pada sesuatu yang tidak ada itu? Karena Dewan Revolusi itu tidak pernah ada, maka tidak mungkin Dewan Revolusi itu berbuat makar.
Tentang pendemisoneran Kabinet, inipun baru merupakan pernyataan politik dari ex. Letkol Untung sendiri. Dan perlu dijelaskan, bahwa tidak ada suatu kudeta yang hanya mendemisionerkan Kabinet, karena itu berarti penguasa lama masih tetap dan kedudukan Presiden tidak diganggugugat.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 itu Presiden masih berfungsi sebagai Presiden, terbukti dengan pengangkatan yang dilakukan terhadap Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagaiPanglima Angkatan Darat ad interim dan Jenderal Suharto sebagai Panglima Operasi Keamanan. Memang Gerakan 30 September tidak bisa dinyatakan sebagai suatu kudeta, sebab gerakan itu tidak merebut kekuasaan negara. Malahan sebaliknya merupakan gerakan mencegah makar yang bermaksud menyelamatkan Presiden Sukarno dari usaha kudeta Dewan Jenderal.
Pada saat gerakan itu terjadi Presiden Sukarno, dr.Leimena, Pangal Laksamana Madya E. Martadinata dan pejabat2 penting lainnya pada tanggal 1 Oktober 1965 berada dipangkalan udara Halim yang pada waktu itu menjadi pusat gerakan G 30 S. Sesudah peristiwa itu terjadi, tidak pernah Presiden Sukarno menyatakan Gerakan 30 September sebagai suatu kudeta terhadap pemerintahan Indonesia yang dipimpinnya sendiri. Malahan terhadap peristiwa itu Presiden pernah menyatakan sebagai„een rimpel in de Oceaan." Memang tidak masuk akal, bahwa perwira2 muda yang maju dalam Angkatan Darat sebagai pendukung Presiden Suykarno akan melakukan kudeta terhadap Presiden yang dihormati dan dicintainya.
Demikian pula tidak masuk akal, bahw oknum2 pimpinan PKI akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno justru dalam keadaan dimana kerjasama antara Presiden dan PKI bertambah erat. Sesudah peristiwa G 30 S pada tahun 1965 sampai akhir hayatnya pada tanggal 1 Juni 970, Bung Karno dalam pidato2nya menunjukkan tidak pernah meninggalkan rasa persahabatannya dengan kaum komunis Indonesia, sesuatu yang tak mungkin terjadi seandainya PKI atau oknum2 pimpinan PKI melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang dipimpinnya. Malahan suara banter difihak Orba lewat berbagai macam mass media, juga lewat interogasi2 justru berusaha untuk melibatkan Presiden Sukarno dalam „G 30 S." Ini merupakan tambahan bukti, bahwa gerakan 30 September memang tidak ditujukan pada Pemerintah RI yang sah dibawah Presiden Sukarno.
Dari keterangan2 tersebut diatas, baik ditinjau dari segi maksud ataupun, perencanaan ataupun tindakan fisik dan akibat kongkrit daripada gerakan itu adalah cukup jelas, bahwa Gerakan 30 September bukan suatu kudeta. Sebaliknya justru merupakan suatu gerakan untuk mencegah makar dari komplotan Dewan Jenderal terhadap Pemerintahan RI yang sah dibawah Presiden Sukarno.
~~~~~~~~~~~~
Pledoi Mohammad Munir #3
~~~~~~~~~~~~
B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA?
Diatas sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya.
Suatu ekses telah terjadi pada saat gerakan itu pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2 pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini.
Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pimpinan Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan."
Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden.
Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh.
Mahkamah Pengadilan Yth,
Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-
Kampanye besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama ditujukan pada Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis." Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama.
Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan?
Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka meningkatkan aksi2 terornya dengan pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik. Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat.
Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap."
Bapa dan Ibu bisa sekaligus dibawa beserta anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya.
Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2 penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora?
Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet?
Dimanakah Njoto, Wk. Ketua II CC PKI, pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara?
Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas?
Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak.
Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya.
Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam.
B. SIAPA YANG MELAKUKAN KUDETA?
Diatas sudah dijelaskan, bahwa ditilik dari seluruh jalannya peristiwa, maka G 30 S tidak merupakan suatu kudeta ataupun bukan pula suatu percobaan kudeta. Sedangkan PKI sebagai organisasi Partai Politik, tidak terlibat dalam G30S. Bahwa terdapat sementara oknum pimpinan PKI yang melibatkan diri dalam gerakan tersebut, saya tidak ingin membantahnya.
Suatu ekses telah terjadi pada saat gerakan itu pada tgl. 1 Oktober 1965 sedang berlangsung. Ekses besar itu adalah terbunuhnya sementara Jenderal2 pimpinan terras Angkatan Darat, suatu hal yang sangat disesalkan. Ini merupakan titik kelemahan yang paling serius dari gerakan ssb. Kaum reaksi cepat menggunakan kelemahan ini.
Presiden Sukarno segera bertindak untuk mengatasi situasi gawat. Pangal Laksamana Madya E. Martadinata pada tgl. 1 Oktober 1965 jam 11.00 telah diutus dengan perintah supaya Jenderal Suharto panglima Kostrad menghadap Presiden/Pangti ABRI. Tetapi Jenderal Suharto telah menolak perintah tsb. Pada waktu itu juga Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai pimpinan Angkatan Darat ad. interim, sedang Jenderal Suharto diserahi untuk menertibkan keamanan. Pada hari itu juga Penerangan Angkatan Darat Pusat mengumumkan suatu Keputusan, bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Suharto sendiri. Pengumuman itu ditandatangani sendiri oleh Jenderal Suharto. Reaksinya terhadap keputusan Presiden itu sbb.: „Dalam kehidupan militer tidak pernah terjadi ada dua pimpinan yang secara formil ditetapkan pada waktu yang bersamaan."
Kemudian ajudan Presiden Kolonel Bambang Wijanarko diutus dengan perintah supaya Panglima Kodam Jaya, Jenderal Umar Wirahadikusumah menghadap Presiden. Ternyata Jenderal Umar sudah berada di Kostrad. Kepada Kolonel Wijanarko dinyatakan oleh Jenderal Suharto, bahwa Jenderal Umar tidak bisa menghadap Presiden.
Insubordinasi telah terjadi berulang kali. Kostrad telah menjadi tempat dimana jenderal2 bisa berlindung dan mengatur siasat. Jenderal A.H. Nasution pun pada waktu itu sudah berkumpul di Kostrad. Perintah Presiden/Pangti ABRI untuk penghentian tembak menembak disatu fihak ditaati oleh Gerakan 30 September, tetapi di fihak lain Kostrad tidak menaatinya. Dengan ditolaknya perintah2 Presiden/Pangti oleh Jenderal2 itu, maka mulailah terungkap dengan jelas tidak adanya loyalitet sementara jenderal2 itu terhadap Presiden/Pangti ABRI. Orang sulit untuk menyangsikan, bahwa dimasa lalu tidak terdapat jenderal yang tidak loyal terhadap Presiden/Pangti. Menggunakan G30S sebagai alasan, jenderal2 itu sudah mulai berani menentang perintah2 Presiden/Pangti yang kemudian mempunyai akibat jauh.
Mahkamah Pengadilan Yth,
Kaum reaksioner dalam negeri yang berkomplot dengan CIA sudah lama me-nunggu2 celah2 dan kesempatan2 untuk kembali melakukan tegen-offensif-
Kampanye besar telah dicanangkan untuk mengganyang kaum Komunis di seluruh tanah air. Telah dilontarkan kata2 yang keji sehubungan dengan terbunuhnya sementara jenderal2 Angkatan Darat dengan maksud membakar semangat benci orang terhadap PKI, ormas2 revolusiner, terutama ditujukan pada Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam rapat2 umum telah dibakar semangat balas dendam:„Satu Jenderal diganti dengan 100.000 Komunis." Mereka menyerbu, merusak, membakar dan merampok kantor2 PKI dan kantor2 Ormas revolusioner. Bukan itu saja, rumah2 pun mengalami nasib yang sama.
Semua saja yang dianggap berbau Komunis diganyang tanpa ampun. Dimana perlindungan hukum terhadap milik organisasi dan milik perorangan?
Presiden Sukarno menyerukan: „Stop gontok2an, tunggu Komando." Tetapi kaum reaksi tidak perduli, kesempatan baik yang jarang didapat tidak mau dilewatkan. Mereka meningkatkan aksi2 terornya dengan pembunuhan kejam yang tidak ada taranya dalam sejarah dunia. Mereka memotong kepala orang seperti memotong kepala ayam. Mereka menjirat leher orang seperti menjirat leher jangkrik. Teror putih telah mengamuk. Mayat berkaparan di-mana2 sejauh mata memandang, di-jalan2, di-sungai2, ya kuburan massal sebagai akibat pembantaian massal telah terdapat dibanyak tempat.
Sungai Berantas dan Bengawan Solo telah menjadi saksi dari kebiadaban yang jarang terjadi dimuka bumi. Dimanakah perlindungan hukum terhadap jiwa ratusan ribu manusia warganegara Indonesia? Ratusan ribu lainnya telah dijebloskan dalam kamp2 tahanan dan penjara2. Di-kota2, bila malam telah tiba, jeep berhenti didepan rumah, sepatu berderap mendekat, perasaan mencekam telah meliputi seluruh keluarga. Dari lobang kunci pintu para tetangga mengintip „gerangan siapa lagi yang ditangkap."
Bapa dan Ibu bisa sekaligus dibawa beserta anaknya yang dituduh menjadi anggota IPPI. Tinggalah anak2 kecil tanpa induknya.
Diperkampungan dan desa2, bila matahari mulai terbenam, sunyi senyap. Pintu2 pada tutup semua. Algojo2 mulai beroperasi mencari mangsanya. Pintu diketok, bulu roma berdiri, wajah seisi rumah pucat lesi, sikorban diseret dikegelapan malam untuk tidak kembali lagi dikeharibaan keluarga dan anak2 yang dicintainya. Indonesia yang indah permai telah berubah menjadi kamp2 konsentrasi yang berbau busuk dengan penyiksaan2. Bila tembok2 penjara bisa berbicara, mereka akan bercerita takhabis2nya tentang siksa dan derita, tentang kelemahan dan keteguhan para tahanan politik menghadapi perut lapar, penyakit, penyiksaan fisik selama interogasi. Sistim bon telah berjalan untuk membunuh orang yang telah berada dalam tahanan resmi pemerintah. Dimanakah DN Aidit, Ketua CC PKI, seorang Wk. Ketua MPRS merangkap Menko dalam Kabinet Dwikora?
Dimanakah MH Lukman Wk.Ketua CC PKI, Wk. Ketua DPR merangkap Menteri dalam Kabinet?
Dimanakah Njoto, Wk. Ketua II CC PKI, pembantu pimpinan Dewan Pertimbangan Agung, seorang Menteri Negara?
Dimanakah Ir.Sakirman anggota Politbiro CC PKI, Wk.Ketua Bappenas?
Ach Sdr. kiranya fihak yang berkuasa lebih tahu daripada saya, bahwa mereka sudah lama dikirim kealam baqa. Saya menyampaikan penghormatan dan perasaan duka saya dari lubuk hati yang mendalam. Rasa hormat dan dukacita itu saya tujukan pada semua keluarga Komunis dan semua orang demokrat yang telah menjadi korban teror putih karena mereka mengemban cita2 politik yang suci, berjuang untuk kepentingan Rakyat banyak.
Saya berharap dan menyerukan agar tragedi nasional seperti pada masa epiloognya G 30 S jangan sampai terulang lagi. Janganlah regim sekarang menumpuk investasi balas dendam dalam hatinya orang2 Komunis dan Rakyat banyak beserta keluarganya.
Penahanan tanpa batas jangka waktu, pengisolasian keluarga tapol dari masyarakat serta pengejaran yang terus menerus, ini berarti investasi balas dendam.
Peristiwa Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita.
Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah hak2 asasi manusia dan jangan di- injak2.
Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat tak sepanjang hari."
Sidang Pengadilan Yth,
Kampanye politik penghancuran secara fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti Presiden Sukarno, menjatuhkan prestise pribadinya dan karier politiknya.
Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan," telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-
Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura," hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan.
Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura":
Bubarkan Kabinet Dwikora,
- Bubarkan PKI,
- Turunkan harga barang kebutuhan hidup.
Tritura itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa aksi2 itu telah lampau. Kabinet Dwikora sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan dibubarkannya PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah dalam jaman Orba sekarang, kebudayaan/pendidik
Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD).
Dengan bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai Waperdam I telah diselamatkan dan menyingkir ke Bogor.
Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah Jenderal Suharto, suatu delegasi berangkat dari Jakarta pada jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan kepada Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam 19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau „Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar)
Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
S U R A T P E R I N T A H
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi.
2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya.
III. Memutuskan/Memerint
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT.
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/
M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN
BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S
ttd.
S O E K A R N O
SESUAI DENGAN JANG ASLI
SEKRETARIAT NEGARA BIRO I
PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN
a.n.b SESUAI DENGAN SALINAN
PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN, PERTAMA ANGGOTA TEAM
TJAP/TTD PEMERIKSA PUSAT
(NJ.SUMARKINAH) G I M O E N
Kopral Udara Satu
Menilik isi SP 11 Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2 kanan Angkatan Darat dengan para penasehatnya, telah melakukan kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan" kekuasaan executif dari tangan Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi Pasal 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb:
„Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD." Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan:„Dibawah MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden."
Presiden pada waktu itu tidak keluar negeri, tidak berhalangan untuk tetap memimpin Negara, malahan pada masa itu aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi Presiden telah meneken SP 11 Maret bukan atas kemauannya sendiri, namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata.
Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang pada waktu itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan Rakyat dan ABRI, maka mereka tidak melakukan perebutan kekuasaan secara terbuka, tetapi berselubungkan kain sutera. Disinilah letak kelihayan mereka dengan para „penasehatnya.
Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi" Presiden. Mereka mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri.
Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan.
Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl. 12 Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah semua kaum buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI dengan tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th 1952 sbb: „SOBSI berjuang untuk perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan Kongresnya yang ke IV th 1959 ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia." Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2 tidak masuk akal lagi pembubaran SB2 dan SOBSI, karena organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat dengan Gerakan 30 September.
Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb:
a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2.
Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu Partai Politik.
c. Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar pada Undang2 Dasar '45 dan Penpres 7/59 dan Perpres 13/60 sebagai Undang2 yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20 Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb:
156 anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang.
Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata:
a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada.
b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum.
Selanjutnya MPRS yang sudah direvisi besar2an itu memakaikan baju konstitusionil pada Supersemar dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada tgl. 1 Juni 1966). MPRS sendiri merubah fungsinya sebagai MPR hal mana bertentangan dengan Penpres tentang pembentukan MPRS yang membatasi wewenangnya karena sifatnya yang sementara. MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah:
Membuat haluan negara,
- Membuat garis2 besar Pola Pembangunan Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak mengangka Wakil Presiden.
Dengan ini jelas tindakan merevisi MPRS secara besar2an dan memberikan fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil.
Tindakan2 selanjutnya adalah:
Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang Menteri Kabinet.
Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.
Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh.
Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawab
Sdr. Hakim Ketua yth,
Sekarang sesudah 7 tahun Gerakan 30 September itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu.
Kebenaran itu hanya ada satu, tidak lebih dari satu! Ia tidak ditentukan oleh dan bukan terletak pada suara terbanyak atau pada siapa yang berkuasa. Seseorang atau segolongan masyarakat bisa saja mencap yang lain sebagai „pembunuh," „penghianat," „kudeta," „makar" atau dengan istilah yang sejenis itu, karena mereka berada di fihak pemenang. Namun kebenaran atasnya akan selalu diuji, dan batu ujian kebenaran itu adalah praktek, pengalaman atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri.
Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan, barulah kesimpulan/tanggapa
Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30 S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia.
Kiranya fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan apa sesungguhnya„G 30" itu.
C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN.
Sdr. Hakim Ketua,
Sidang Yth,
Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus. Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis.
Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI?
Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul persoalan2, baik dibidang organisasi, politik maupun ideologi. Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan sementara anggota/kader PKI terhadap pimpinan PKI, baik di-daerah2 maupun ditingkat Pusat. Perbedaan2 pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan baru mengenai berbagai masalah.
Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan PKI terlibat dalam gerakan itu. Kelemahan ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total. Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2 hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum.
Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI merenungkan dan mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah terjadi. Dengan terjadinya Gerakan 30 September dan kemudian epiloognya G 30 S, mereka menjadi berani memformulasi fikiran2-nya dan mengajukan kritik2 pedas yang dialamatkan pada pimpinan PKI.
Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung kritik2 dari bawah dan kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966.
Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai th '65.
Peristiwa Gerakan 30 September adalah peristiwa politik dan ini hanya bisa diselesaikan secara politik pula. Politik bukan soal sentimen, tapi soal ratio, politik bukan soal yang tabu, tapi suatu perjuangan untuk mencapai cita2. Biarkanalah beraneka cita2 politik tumbuh bersama serta bersaing secara bebas dan sehat dalam taman sarinya Indonesia tanah air kita.
Biarkanlah demokrasi tumbuh dalam alam kita dan jangan diberangus. Hormatilah hak2 asasi manusia dan jangan di- injak2.
Ingatlah: „Taufan tak sepanjang pagi, hujan lebat tak sepanjang hari."
Sidang Pengadilan Yth,
Kampanye politik penghancuran secara fisik terhadap kaum Komunis disusul dengan kampanye politik anti Presiden Sukarno, menjatuhkan prestise pribadinya dan karier politiknya.
Arah kampanye politik itu menjurus menggulingkan Presiden dari kekuasaan Negara. Dalam hal ini mahasiswa dan pelajar dengan kaum militeris dibelakangnya memainkan peranan besar. Rapat2 umum dan demonstrasi2 terkenal dengan nama „MPRS jalanan," telah meledak di-mana2. Bandung-Jakarta-
Jiwa muda yang telah terbakar oleh rangsang racun anti Komunis dan anti Presiden Sukarno tak pernah kenal rasa takut, menerjang apa yang bisa diterjangnya, lebih2 katena aksi2 mereka ditunggangi dan berkombinasi dengan kaum militeris. Semboyan „hanura," hati nurani Rakyat telah muncul diberbagai kesempatan. Hakikinya jiwa para pelajar dan mahasiswa adalah jiwa berontak terhadap yang lama, gandrung pada yang baru dan kebebasan.
Dalam aksi2 itu lahir apa yang mereka namakan Angkatan'66 dengan Kami-Kappi sebagai intinya. Mereka meningkatkan gerakannya dengan tuntutan „Tritura":
Bubarkan Kabinet Dwikora,
- Bubarkan PKI,
- Turunkan harga barang kebutuhan hidup.
Tritura itu langsung ditujukan pada Presiden Sukarno dan pada Menteri-Menteri Kabinet Dwikora. Aksi2 membela TriTura secara bergelombang berdemonstrasi dengan Istana sebagai sasarannya. Masa aksi2 itu telah lampau. Kabinet Dwikora sudah lama bubar; PKI pun pada tgl. 12 Maret 1966 telah dibubarkan pula. Apakah dengan hancurnya orla dan dibubarkannya PKI, telah dicapai dengan apa yang dinamakan cita2 Angkatan '66? Apakah dalam jaman Orba sekarang kebebasan demokrasi, hak2 azasi manusia dan hukum lebih baik daripada jaman Orla? Apakah dalam jaman Orba sekarang, kebudayaan/pendidik
Bagaimana kelanjutannya? Saya yakin generasi muda kita akan menemukan jalannya sendiri. Mari kita kembali lagi sesaat sebelum penandatanganan Supersemar. Kabinet sedang bersidang dan bersamaan dengan itu Istana telah dikepung suatu pasukan tanpa tanda badge yang kemudian ternyata adalah pasukan para (RPKAD).
Dengan bantuan helikopter Presiden dan Dr. Subandrio sebagai Waperdam I telah diselamatkan dan menyingkir ke Bogor.
Penulis Amerika O.G. Roeder dalam bukunya „The Smiling General" pada hal. 46 menulis sbb: „Atas perintah Jenderal Suharto, suatu delegasi berangkat dari Jakarta pada jam 14.00 untuk menemui Presiden di Bogor. Delegasi yang terdiri dari Jenderal Basuki Rachmad, A. Yusuf dan Amir Machmud menyampaikan kepada Presiden tentang perlunya diciptakan suasana yang tenang dan stabil bagi pemerintah dan bagi kelangsungan revolusi. Tujuan ini hanya akan tercapai dengan dialihkannya sebagian dari kekuasaan Presiden kepada Jenderal Suharto. Musyawarah berlangsung hingga jam 19.30 malam. Bertentangan dengan nasehat kedua pembantunya yang terdekat, Wk. Perdana Menteri Dr. Subandrio dan Chaerul Saleh, Presiden akhirnya menyerah dan menandatangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau „Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif Kepada Jenderal Soeharto" (Supersemar)
Isi lengkap SP 11 Maret 1966 sbb:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
S U R A T P E R I N T A H
I. Mengingat:
1.1. Tingkatan revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik
Nasional maupun Internasional.
1.2. Perintah harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersendjata/
II. Menimbang:
2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintahan dan jalannya Revolusi.
2.2. Perlu adanya djaminan dan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi sertra segala adjaran-adjarannya.
III. Memutuskan/Memerint
Kepada: LETNAN DJENDERAL SOEHARTO, MENTERI PANGLIMA ANGKATAN DARAT.
Untuk: Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi:
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan djalannja revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dankewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin BesarRevolusi/
M.P.R.S demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan Koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima Angkatan2 lain dengan sebaik-baiknja.
3. Supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung djawabnja seperti tersebut diatas.
IV. Selesai.
Djakarta, 11 Maret 1966
PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/PEMIMPIN
BESAR REVOLUSI/MANDATARIS M.P.R.S
ttd.
S O E K A R N O
SESUAI DENGAN JANG ASLI
SEKRETARIAT NEGARA BIRO I
PD. KEPALA I BAGIAN KEARSIPAN
a.n.b SESUAI DENGAN SALINAN
PD. KEPALA SEKSI PENGETIKAN, PERTAMA ANGGOTA TEAM
TJAP/TTD PEMERIKSA PUSAT
(NJ.SUMARKINAH) G I M O E N
Kopral Udara Satu
Menilik isi SP 11 Maret tsb. benarlah apa yang dikatakan oleh O.G. Roeder: „Presiden akhirnya menyerah dan menanda tangani apa yang kemudian dinamakan „Instruksi" atau "Surat Perintah Pemindahan Kekuasaan Executif kepada Jenderal Suharto." Disinilah letak kepandaian jenderal2 kanan Angkatan Darat dengan para penasehatnya, telah melakukan kudeta berselubungkan sarung tangan sutera.„Penyerahan" kekuasaan executif dari tangan Presiden pada Jenderal Soeharto, bertentangan dengan UUD 1945 sebagai bunyi Pasal 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 ayat 2. Menurut UUD 45 pasal 4 ayat 1 sbb:
„Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD." Kemudian dalam Penjelasan tentang UUD No. IV dinyatakan: „Dibawah MPR, Presiden ialah Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggungjawab adalah ditangan Presiden."
Presiden pada waktu itu tidak keluar negeri, tidak berhalangan untuk tetap memimpin Negara, malahan pada masa itu aktif memimpin sidang2 Kabinet. Tetapi Presiden telah meneken SP 11 Maret bukan atas kemauannya sendiri, namun karena dipaksa dibawah ancaman senjata.
Jenderal2 kanan Angkatan Darat yang pada waktu itu masih memperhitungkan pengaruh dan kekuatan Presiden Sukarno dikalangan Rakyat dan ABRI, maka mereka tidak melakukan perebutan kekuasaan secara terbuka, tetapi berselubungkan kain sutera. Disinilah letak kelihayan mereka dengan para „penasehatnya.
Mereka mengambil oper kekuasaan Negara atas „Instruksi" Presiden. Mereka mengexitkan Presiden dari kekuasaan Negara dengan„Instruksi" Presiden sendiri.
Dengan SP 11 Maret Jenderal Soeharto telah naik tachta kekuasaan negara. Tetapi tachta kekuasaan itu tidak dicapai dengan jalan konstitusionil. Oleh karena itu baju Konstitusionil perlu digunakan.
Sebelum baju Konstitusionil itu dipakaikan pada Supersemar, pada tgl. 12 Maret '66 telah dikeluarkan Keputusan No.1/1/1966 tentang pembubaran PKI dan organisasi2 massa termasuk SOBSI yang dianggap beraffiliasi dengan PKI. Organisasi2 massa itu termasuk SOBSI sebenarnya tidakberaffiliasi dengan PKI. Menurut Konstitusinya SOBSI adalah gabungan organisasi Serikatburuh yang berdiri sendiri, bebas dan bersifat non-Partai, serta menjadi anggota Gabungan Serikatburuh Sedunia. Yang diterima menjadi anggota SOBSI yalah semua kaum buruh warga negara Indonesia yang menyetujui maksud dan tujuan SOBSI dengan tidak pandang kedudukan sosialnya, keyakinan politik dan kepercayaan agamanya masing2. Sebagai organisasi massa maksud dan tujuan SOBSI telah diletakkan dalam Konstitusi SOBSI sejak th 1952 sbb: „SOBSI berjuang untuk perbaikan upah dan jaminan sosial, untuk hak2 kebebasan serikatburuh, untuk kemerdekaan nasional yang penuh, demokrasi dan perdamaian." Sejak lahirnya MANIPOL, maka dalam Konstitusi SOBSI sesuai dengan putusan Kongresnya yang ke IV th 1959 ditambah dengan: "menerima dan mendukung MANIPOL dan Pantjasila sebagai dasar negara serta menuju pembangunan masjarakat sosialis Indonesia." Semua serikatburuh anggota SOBSI yang telah dibubarkan bersama dengan pembubaran PKI, samasekali tidak ada yang beraffiliasi dengan PKI. Kalau dalam pimpinan SOBSI dan SB2 terdapat orang2 Komunis, tidaklah berarti sebagai organisasi SOBSI dan SB2 itu otomatis menjadi onderbouw PKI. Lebih2 tidak masuk akal lagi pembubaran SB2 dan SOBSI, karena organisasi2 tsb tidak mempunyai sangkut puat dengan Gerakan 30 September.
Juga pembubaran terhadap PKI adalah tidak sah karena alasan2 sbb:
a. Wewenang yang digunakan untuk pembubaran PKI adalah SP 11 Maret. Sedangkan SP 11 Maret sendiri adalah bertentangan dengan UUD'45 fasal 4, 5, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 dan fasal 17 ayat 2.
Pembubaran PKI dan organisasi2 massa melanggar UUD '45 fasal 28 tentang „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan tulisan." Berdasar Penpres 7/59 dan Perpres 13/60, sertabersandar pada Keputusan Presiden No. 128/1961 PKI telah diakui sahnya oleh Pemerintah sebagai suatu Partai Politik.
c. Sedangkan pembubaran PKI oleh Panglima Kopkamtib tidak bersandar pada Undang2 Dasar '45 dan Penpres 7/59 dan Perpres 13/60 sebagai Undang2 yang mengatur masalah kepartaian. Kemudian sebelum Sidang ke IV MPRS pada tgl. 20 Juni sampai 6 Juli 1966, MPRS telah direvisi besar2an sbb:
156 anggota dari PKI dan Partindo dipecat dan 142 anggota yang dianggap Orla diganti, sedangkan total anggota MPRS adalah 616 orang.
Perlu dijelaskan bahwa perbuatan merevisi MPRS bertentangan dengan konvensi seperti ternyata:
a. KNIP tidak pernah mengalami jumlah besar anggota dipecat ataupun diganti. Yang dialami pertambahan anggota tanpa memecat yang telah ada.
b. KNIP karena sifatnya sementara berfungsi hanya sekali menggunakan hak mengangkat Presiden dalam keadaan belum ada pemilihan umum.
Selanjutnya MPRS yang sudah direvisi besar2an itu memakaikan baju konstitusionil pada Supersemar dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966 (Sidang Ke IV MPRS pada tgl. 1 Juni 1966). MPRS sendiri merubah fungsinya sebagai MPR hal mana bertentangan dengan Penpres tentang pembentukan MPRS yang membatasi wewenangnya karena sifatnya yang sementara. MPRS berdasar Penpres pembentukannya, tugasnya adalah:
Membuat haluan negara,
- Membuat garis2 besar Pola Pembangunan Nasional. MPRS karenanya tidak berhak memilih Presiden baru dan mengganti Presiden yang lama, serta tidak berhak mengangka Wakil Presiden.
Dengan ini jelas tindakan merevisi MPRS secara besar2an dan memberikan fungsi MPR pada MPRS merupakan perbuatan meratakan jalan „dengan baju Konstitusionil naik tangga kekuasaan negara secara Konstitusionil.
Tindakan2 selanjutnya adalah:
Pada tgl.18 Maret 1966 telah ditangkap 15 orang Menteri Kabinet.
Sidang ke IV MPRS pada tgl.21 Juni 1966 dengan ketetapan No. IX/MPRS/1966 telah menetapkan Jenderal Soeharto untuk menyusun Kabinet baru. Pada bulan Maret 1967, MPRS memutuskan Presiden Sukarno secara formil disingkirkan dari kekuasaan exekutif dengan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden.
Bersamaan dengan itu Presiden Sukarno dilarang melakukan kegiatan politik. Pada tgl. 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh.
Ditinjau dari segi hukum yang berlaku, maka semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Jenderal Soeharto dkk merupakan suatu kudeta terhadap pemerintahan yang sah RI dibawah Presiden Sukarno. Kudeta itu berbalutkan kain sutera. Dan karenanya Presiden Soeharto seharusnya mempertanggungjawab
Sdr. Hakim Ketua yth,
Sekarang sesudah 7 tahun Gerakan 30 September itu berlalu, maka telah tercipta syarat2 untuk menilainya secara obyektif terlepas dari emosi2 yang memang sengaja diciptakan untuk tujuan politik tertentu.
Kebenaran itu hanya ada satu, tidak lebih dari satu! Ia tidak ditentukan oleh dan bukan terletak pada suara terbanyak atau pada siapa yang berkuasa. Seseorang atau segolongan masyarakat bisa saja mencap yang lain sebagai „pembunuh," „penghianat," „kudeta," „makar" atau dengan istilah yang sejenis itu, karena mereka berada di fihak pemenang. Namun kebenaran atasnya akan selalu diuji, dan batu ujian kebenaran itu adalah praktek, pengalaman atau eksperimen ilmiah manusia itu sendiri.
Hanya bila tanggapan, kesimpulan, ide itu sama dengan praktek, kenyataan, barulah kesimpulan/tanggapa
Penguraian fakta2 yang telah dikemukakan diatas, serta ditambah dengan pengalaman politik, ekonomi dan kebudayaan Rakyat Indonesia pada tahun2 belakangan ini rasanya telah membenarkan kesimpulan yang saya tarik itu, bahwa „G 30 S" hanya sekedar sebab-alasan atau syarat yang sudah lama ditunggu, malahan ada usaha untuk menciptakannya guna membasmi kaum Komunis dan kaum patriotik lainnya, sebagai syarat untuk dapat menjalankan politik yang bertentangan dengan kepentingan2 vital nasion dan Rakyat Indonesia.
Kiranya fakta2 yang saya ajukan diatas akan menjadi fakta2 bagi Majelis Hakim untuk mengambil kesimpulan apa sesungguhnya„G 30" itu.
C. TENTANG PERISTIWA BLITAR SELATAN.
Sdr. Hakim Ketua,
Sidang Yth,
Masih segar dalam ingatan saya suatu daerah pantai selatan Jawa yang ber-gunung2, tanahnya tandus, daerahnya minus. Rakyatnya miskin, rajin bekerja dan ramah tamah. Itulah Blitar Selatan, tempat kedudukan baru Politbiro CCPKI dimasa epiloognya G30S. Daerah itu kemudian terkenal dengan „Peristiwa Blitar Selatan" yang dihebohkan sebagai markas pemberontakan Komunis.
Apakah „peristiwa Blitar Selatan" itu, bagaimana terjadinya dan benarkah peristiwa itu merupakan pelaksanaan dari Otokritik Politbiro CCPKI?
Sebelum terjadinya Gerakan 30 September, dalam tubuhnya PKI sendiri sudah banyak timbul persoalan2, baik dibidang organisasi, politik maupun ideologi. Disana-sini sudah tampak ketidakpuasan sementara anggota/kader PKI terhadap pimpinan PKI, baik di-daerah2 maupun ditingkat Pusat. Perbedaan2 pandangan dan pertentangan2 tsb. Belum berbentuk suatu konsepsi baru yang dihadapkan pada garis politik Partai yang telah ada. Dalam tubuh PKI sendiri sudah mengandung syarat2 untuk lahirnya pandangan baru mengenai berbagai masalah.
Kemudian mencetuslah Gerakan 30 September yang bagaikan bunyi petir disiang hari bolong. Sementara oknum2 pimpinan PKI terlibat dalam gerakan itu. Kelemahan ini digunakan oleh kaum reaksi memukul PKI secara total. Mereka dalam epiloognya G 30 S jelas2 melanggar moral Pancasila, meng-injak2 hak azasi manusia, melanggar hukum serta menempatkan kaum komunis diluar hukum.
Sementara itu pada anggota dan kader2 PKI merenungkan dan mengolah fikirannya mengapa tragedi itu telah terjadi. Dengan terjadinya Gerakan 30 September dan kemudian epiloognya G 30 S, mereka menjadi berani memformulasi fikiran2-nya dan mengajukan kritik2 pedas yang dialamatkan pada pimpinan PKI.
Dibawah pimpinan Kw. Soedisman, Politbiro telah berhasil menampung kritik2 dari bawah dan kemudian dilanjutkan dalam suatu dokumen yang diberi nama „Otokritik Politbiro CCPKI," dikeluarkan bulan September 1966.
Otokritik ini telah menjelaskan situasi kongkrit yang dihadapi PKI pada saat itu yalah mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Kemudian otokritik mengupas tiga kelemahan pokok PKI sejak pembangunannya kembali pada tahun 50-an sampai th '65.
Tiga kelemahan pokok itu adalah:
Pertama: Subjektivisme dibidang ideologi.
Kelemahan ini bersumber pada ideologi burjuis kecil yang masih nempel dalam tubuhnya PKI dan kurangnya menguasai teori Marxisme-Leninisme. Kelemahan ini menimbulkan pandangan subjektif yang meng-idealisasi sesuatu menurut keinginannya dan dengan begitu tidak menganalisa sesuatu berdasar keadaan kongkrit. Subjektivisme inilah yang menjadi sumber ideologi kesalahan2 dogmatisme atau empirisisme dibidang teori, oportunisme kanan atau oportunisme „kiri" dibidang politik dan liberalisme atau sektarisme dibidang organisasi yang pernah terjadi dalam Partai.
Kedua: Oportunisme kanan dibidang politik.
Yang menjadi persoalan pertama dalam hal ini adalah jalan damai atau jalan revolusi mencapai Demokrasi Rakyat Indonesia sebagai masa peralihan ke Sosialisme. PKI dimasa lalu menempuh jalan damai dan demokratis, hal mana dengan jalan ini tidak mungkin mencapai tujuan Demokrasi Rakyat. Soal pokok kedua, karena diciptakannya teori dua aspek. Yang dimaksud dengan teori dua aspek adalah suatu teori yang menyatakan bahwa dalam negara RI terdapat dua aspek kekuasaan negara, yaitu: aspek pro Rakyat dan aspek anti Rakyat. Padahal Marxisme-Leninisme mengajarkan bahwa „negara adalah suatu alat kekuasaan klas, suatu alat untuk menindas klas yang satu oleh klas yang lainnya." bahwa „bentuk2 negara burjuis sungguh sangat bermacam ragam, tetapi hakekatnya adalah sama . diktatur burjuasi," dan bahwa „penggantian negara burjuis oleh negara proletar" tidak mungkin tanpa revolusi kekerasan. Dengan teori dua aspek ini maka PKI telah merevisi teori Marxisme-Leninisme tentang „Negara." Soal yang ketiga adalah PKI makin kehilangan kebebasan dalam front persatuan dengan burjuasi nasional dengan memberi konsesi2 politik terlalu banyak. Sebagai contoh perlu dikemukakan bahwa pimpinan Partai tidak bersikap bebas terhadap Presiden Soekarno, selalu menghindari pertentangan dan sebaliknya selalu menonjolkan persamaan atau persatuan Partai dengan Bung Karno. Rakyat melihat tidak ada politik Bung Karno yang tidak disokong oleh PKI. Demi untuk persatuan yang tanpa prinsip ini, PKI bukannya mengembangkan aksi2 kaum buruh dan tani melawan penghisapan, tetapi justru membatasi aksi2 tersebut.
Ketiga: Liberalisme dibidang organisasi
Ini berarti, bahwa kecenderungan umum dalam PKI adalah untuk mempunyai anggota se-banyak2-nya, mengutamakan kwantitet dan bukan kwalitet anggota. Dinyatakan bahwa PKI adalah Partai kader dan massa sekaligus. Sehubungan dengan cara kerja Partai, pimpinan telah membangun saluran2 organisasi tersendiri diluar kontrol Politbiro CC. Dengan begitu Politbiro dan CC sebagai badan pimpinan Partai yang kompeten, tidak dijadikan tempat untuk memecahkan segala soal urusan Partai dan revolusi. Tidak jarang Politbiro hanya mensahkan langkah2 yang sudah diambil oleh pimpinan itu, atau mempertimbangkan sesuatu soal dengan pengetahuan yang kurang lengkap dan mendalam mengenai persoalannya. Selain itu ada sikap yang kurang kritis terhadap pimpinan Partai baik dalam Politbiro CC maupun badan2 Partai lainnya. Sikap kurang kritis itu antara lain juga disebabkan karena lemahnya teori sehingga menyebabkan kurang kuatnya landasan untuk menyangkal pendapat pimpinan bila dirasa pendapat itu keliru. Kemudian dalam Partai telah ditanamkan kepercayaan yang mem-besar2-kan segi persatuan bulat Partai. Se-akan2 tidak terdapat perbedaan pikiran mengenai soal2 prinsip.
Karena itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak normal bila ada perbedaan prinsip dengan pimpinan. Dalam keadaan2 liberalisme menguasai garis organisasi Partai, maka tidak mungkin dilaksanakan langgam kerja Partai, yaitu „memadukan teori dengan praktek, berhubungan erat dengan massa dan melakukan otokritik." Dan tidak mungkin juga dilaksanakan metode memimpin yang intinya adalah memadukan pimpinan dengan massa, yang harus dilaksanakan dengan atasan memberi contoh kepada bawahan. Sebagai jalan keluar mengatasi 3 Kelemahan pokok itu telah ditetapkan Tripanji Partai yang baru, yaitu:
Pertama: Panji pembangunan Partai Marxis-Leninis yang bebas dari subjektivisme, oportunisme dan revisionisme modern.
Ini berarti, bahwa untuk menegakkan kembali PKI sebagai Partai Marxis-Leninis, maka liberalisme dibidang organisasi dan subjektivisme dibidang ideologi, harus dibongkar se-akar2-nya. Dengan begitu PKI harus dibangun kembali sebagai Partai tipe Lenin, Partai yang dapat memenuhi tugasnya sebagai barisan depan dan bentuk organisasi klas yang tertinggi dari proletariat Indonesia, Partai yang memikul tugas sejarah memimpin massa RakyatIndonesia untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Rakyat ke Sosialisme.
Kedua: Panji perjuangan Rakyat bersenjata yang hakekatnya perjuangan kaum tani bersenjata untuk revolusi agraria anti feodal dibawah pimpinan klas buruh.Ini berarti, bahwa bentuk pokok revolusi Indonesia adalah perjuangan bersenjata dan metode revolusinya dari desa mengepung kota dan akhirnya merebut kota2.
Ketiga: Panji Front persatuan revolusioner Indonesia atas dasar persekutuan buruh dan tani dibawah pimpinan klas buruh.
Atas dasar persekutuan buruh dan tani, klas buruh harus menggalang front persatuan dengan burjuasi kecil dan kaum intelektual revolusioner sebagai sekutu yang dapat dipercaya. Mengenai burjuasi nasional, selama klas ini tidak mengkhianati revolusi, klas buruh juga harus menggalang front persatuan dengannya. Bersamaan dengan itu, klas buruh harus berjuang dengan teguh melawan kebimbangan dan kecenderungan burjuasi nasional untuk berkapitulasi terhadap kapitalis birokrat, burjuasi komprador dan tuantanah.
~~~~~~~~~~~~
Sdr. Hakim Ketua,
Sidang Yth,
PKI yang sesudah peristiwa Gerakan 30 September kehilangan pegangan dan garis perjuangan, maka datangnya Otokritik amat menyegarkan perasaan dan fikiran. Otokritik merupakan jawaban kongkrit tentang bagaimana Partai harus dibangun kembali dalam mengamuknya kontra revolusi bersenjata. Memang bukanlah soal yang mudah untuk membangun kembali PKI dalam keadaan yang demikian itu dan dimana hak legalitet PKI dan hak2 kemanusiaan orang Komunis dirampas samasekali.
Oleh karena itu Partai harus disusun dan bekerja sepenuhnya secara illegal. Partai harus pandai menggunakan kesempatan2 yang dimungkinkan untuk melakukan kegiatan2 secara legal sesuai dengan keadaan, melakukan yang dapat diterima oleh massa untuk membangkitkan perjuangan massa dan memimpinnya setingkat demi setingkat keperjuangan yang lebih tinggi.
Tiga bulan kemudian sesudah dilakukannya Otokritik maka pada bulan Desember 1966 di Jakarta telah terjadi gelombang penangkapan terhadap pimpinan Partai termasuk Kw. Sudisman. Udara Jakarta menjadi sempit karena ketatnya operasi2 yang dilakukan oleh fihak yang berwajib. Oleh karena itu kw. Oloan Hutapea dkk meninggalkan Jakarta dan semuanya bergabung menjadi satu di Surabaya. Kota Surabaya menjadi tempat berlindung banyak kader dari seluruh tanah-air, terasa menjadi sempit karena kurangnya tempat2 penampungan ditambah pula dengan operasi2 penangkapan dan pengejaran2 yang dilakukan oleh alat2 negara dan gerombolan teror, telah mendorong cepat pindahnya anggota2 Politbiro dan anggota2 CCPKI yang masih ada, kedesa.
Dengan itu dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindari dari pengejaran yang se-wenang2 sehingga dengan begitu setapak demi setapak dapat membangun kembali PKI yang bisa digunakan sebagai payung bagi para anggotanya untuk membela diri dan berlawan terhadap rezim yang anti demokrasi, anti Rakyat dan anti Komunis.
Dengan Otokritik sebagai pedomannya, penerus2 dalam keadaan yang amat sulit membangun kembali PKI dari desa dan dalam hal ini Blitar Selatan dipilih sebagai tempat kedudukannya.
Orang bertanya, apakah PKI untuk mencapai tujuannya yaitu Negara Demokrasi Rakyat Indonesia sebagai masa peralihan ke Sosialisme harus menempuh jalan perjuangan bersenjata atau revolusi?!
Untuk itu akan saya kemukakan perkembangan fikiran yang ada pada PKI sejak dibangun kembali th 1950-an. Dalam periode th 50-an telah terjadi diskusi2 dalam Partai mengenai bentuk perjuangan pokok revolusi Indonesia.
Sebagian besar kader Partai berpendapat, bahwa Revolusi Indonesia harus menempuh jalan Revolusi Tiongkok yaitu Revolusi bersenjata melawan kontra revolusi bersenjata. Akan tetapi pimpinan Partai pada waktu itu mengeritik fikiran tsb. Dinyatakan supaya dalam mempelajari Revolusi Tiongkok jangan hanya berusaha melihat persamaannya antara Revolusi Tiongkok dengan Revolusi Indonesia. Yang perlu diperhatikan supaya tahu keadaan khusus Indonesia dan berusaha mengetahui perbedaannya. Jika dianalisa se-dalam2-nya, pendirian pimpinan Partai menolak menggunakan jalan Tiongkok sebagai jalan yang harus ditempuh oleh Revolusi2 di-negeri2 jajahan dan setengah feodal, menolak perjuangan bersenjata sebagai bentuk pokok perjuangan revolusi Indonesia.
Bertolak pada fikiran oportunis kanan, pimpinan Partai menyusun teori Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan, yaitu:
Gerilya dipedesaan terutama terdiri dari buruh tani dan tani miskin,
- Aksi2 kaum buruh dikota terutama aksi buruh transport,
- Bekerja di kalangan militer.
„Tiga Bentuk Perjuangan" yang harus dikombinasi, masing2 dipimpin bukan menuruti jalan revolusi, tetapi menuruti „jalan damai." Dalam prakteknya pimpinan Partai tidak memusatkan pimpinannya kearah perkembangan perjuangan tani yang ada. Pada saat terjadi kebangkitan aksi2 sefihak kaum tani yang langsung melawan tuantanah pribumi, bukannya dikembangkan kearah bentuknya yang lebih tinggi, tetapi telah dibelokkan dengan dilancarkannya berbagai gerakan lainnya yang tidak bersifat melawan tuantanah.
Mengenai kaum buruh walaupun penderitaan hidupnya makin berat, tetapi karena tidak mendapat pimpinan yang semestinya, aksi2 kaum buruh yang mempunyai arti politik makin berkurang. Memang pernah terjadi aksi2 kaum buruh yang tampaknya besar dan mempunyai arti politik penting, yaitu aksi2 menentang larangan mogok, aksi2 pemogokan sebagai protes terhadap agresi Inggris/Perancis dan Israel terhadap Mesir, aksi2 ambil alih perusahaan2 Belanda dalam hubungan dengan aksi2 pembebasan Irian Barat, aksi2 ambil alih perusahaan2 Belgia sebagai tindak balas terhadap Belgia yang melakukan intervensi bersenjata menentang perjuangan kemerdekaan Rakyat Kongo, aksi2 yang berjuang untuk hak2 kebebasan Serikatburuh, aksi ambil alih perusahaan2 Inggris dalam rangka Dwikora dsb. Hasil aksi2 ambilalih disamping mempunyai arti politik, tetapi sebenarnya memberikan keuntungan kepada segelintir kaum kapitalis birokrat, dan tidak memperbaiki penghidupan kaum buruh yang bersangkutan. Kecuali itu perlu dijelaskan, bahwa banyak dilakukan kegiatan oleh serikat buruh atau melalui Dewan2 Perusahaan yang ditujukan untuk memperbesar produksi, menyehatkan jawatan, memperbaiki ekonomi, dll yang tidak memperbaiki nasib kaum buruh dan tidak mempertinggi semangat revolusionernya.
Tentang bekerja dikalangan militer sejak semula sudah berpangkal pada pendirian salah, yaitu sebagai „mengintegrasikan alat2 negara yang penting dengan Rakyat;" "Dwi Tunggal Tentara dan rakyat"; „Rakyat bantu tentara, Tentara bantu Rakyat." Ini berarti mengintegrasikan alat kekuasaan klas2 penindas dengan klas2 tertindas. Kesalahan demikian terjadi karena pimpinan Partai mengingkari ajaran Marxisme-Leninisme tentang negara, memandang RI bukan negara burjuis dan Angkatan Bersenjata RI bukan alat negara burjuis.
Benar bahwa banyak dari tamtama dan bintara asal klasnya dari anak2 kaum buruh dan kaum tani, tetapi hal ini tidak mengubah kedudukan angkatan bersenjata secara keseluruhan sebagai alat negara yang mengabdi pada kepentingan klas yang berkuasa.
Ditinjau dari segi ini, maka MKTBP bukan jalan revolusi, tapi jalan oportunis. Dalam Kongres ke VI dan lebih jelas lagi dalam Kongres luarbiasa PKI pada tahun 1962 mengenai jalan untuk mencapai Demokrasi Rakyat dinyatakan sbb: „Untuk mencapai tujuan Demokrasi Rakyat Indonesia sebagai masa peralihan ke Sosialisme, PKI akan menempuh jalan damai dan demokratis, tidak merombak UUD 45 dan dasar negara Pancasila."
Ke-dua2 jalan tersebut diatas telah dikritik oleh Otokritik Politbiro CCPKI.
Dalam sejarah dunia juga di Indonesia tidak pernah ada pengalaman, bahwa klas yang berkuasa menyerahkan kekuasaannya secara sukarela kepada klas lain. Kaum burjuis memberikan pelajaran pada proletariat, bahwa kekuasaan burjuasi yang didapat dari penguasa2 feodal bukan dicapai dengan jalan damai tetapi dengan jalan Revolusi. Revolusi burjuis Perancis pada th 1789 dan Revolusi2 burjuis kemudiannya membuktikan itu pada kita. Setelah kaum burjuis berkuasa maka belum pernah terbukti adanya regiem Burjuasi yang secara sukarela menyerahkan kekuasaannya pada proletariat. Padahal disatu fihak Rakyat menuntut perubahan fundamentil masyarakat, karena kapitalisme yang hidup dari penindasan dan penghisapan tidak mungkin dan tidak bisa memberikan kehidupan yang diharapkan oleh Rakyat baik materiil maupun spirituil.
Revolusi Oktober Sosialis th 1917 di Rusia, revolusi Demokrasi Rakyat di Tiongkok, Vietnam, dsbnya telah menunjukkan bahwa fihak burjuasi tidak mau menyerahkan kekuasannya secara sukarela kepada proletariat yang menuntut adanya perubahan fundamentil dari masyarakat kapitalis.
Keadaan tersebut memaksa proletariat kesinggasana kekuasaan negara dengan jalan revolusi bersenjata. Oleh karena itu Otokritik Politbiro CCPKI telah melempangkan jalan yang salah selama ini, yaitu jalan damai dan demokratis dirobah dan diganti dengan jalan revolusi bersenjata ke Demokrasi Rakyat sebagai masa peralihan ke Sosialisme menuju terciptanya masyarakat Komunis.
Jalan revolusi yang benar sudah terbentang didepan mata. Tetapi antara pengertian dan pelaksanaan masih terdapat jarak yang jauh. Pada waktu kader2 pimpinan Partai berada di Blitar Selatan dihadapkan pada problem2 yang perlu segera dijawab, yaitu:
Pertama: geografi dan perang gerilya.
Ini sudah menjadi persoalan lama dalam pimpinan Partai. Yang menjadi soal adalah: Apakah geografi di Indonesia memenuhi syarat untuk perang gerilya!
Pimpinan Partai yang lama menempatkan peranan geografi sebagai faktor yang menentukan, dan melupakan ajaran materialisme dialektik dan histori, bahwa Rakyat adalah pembuat sejarah. Dari pandangan berat sebelah tentang peranan geografi dalam perang gerilya dan karena membatasi pandangannya pada Pulau Jawa saja, maka dinyatakan, bahwa keadaan di Indonesia tidak memenuhi syarat yang menguntungkan untuk peperangan gerilya.
Berbicara dari segi geografi sebenarnya Indonesia memiliki semua syarat yang diperlukan. Tetapi soal geografi bukan menjadi masalah pokok dalam perang gerilya. Yang menjadi masalah pokok adalah manusia yang menuntut dan akan melakukan perang gerilya. Bila benih2-nya sudah matang untuk suatu Revolusi, Rakyat akan membebaskan dirinya sendiri. Rakyat adalah pencipta dan pelaksana Revolusi. Selama dalam masyarakat ada perjuangan klas, maka pasti akan terjadi revolusi, dan revolusi ini akan terjadi tidak perduli dalam keadaan geografi yang bagaimanapun. Dengan ini tidak berarti, bahwa geografi tidak penting. Faktor geografi mempunyai pengaruh tertentu terhadap taktik dan strategi perang gerilya, walaupun tidak menentukan.
Kedua: Integrasi dengan kaum tani.
Karena soal Revolusi adalah soal manusia, sedangkan bila kita bicara secara kongkrit tentang manusia Indonesia yang hendak berrevolusi adalah kaum tani, maka persoalan integrasi kader2 Partai dengan kaum tani didesa adalah soal yang amat penting. Tujuan integrasi ini sbb:
Pertama: Mengembalikan dan mengkonsolidasikan kepercayaan massa kaum tani kepada PKI.
Kedua: Mengorganisasi dan memobilisasi massa untuk kepentingan Perang Rakyat. Dalam usaha mengintegrasikan diri dengan kaum tani ditetapkan pedoman sbb:
Jangan suka menggurui,
- Jangan bersikap sombong,
- Jangan menghina kaum tani,
- Jadilah murid yang rendah hati serta kawan yang akrab bagi kaum tani.
Dalam melakukan garis integrasi supaya dilakukan hal2 sbb:
Menyesuaikan diri dengan kehidupan dan kebiasaan Rakyat di desa dengan tujuan meningkatkan kebudayaan serta mengikis adat kebiasaan yang kurang rasionil,
Ikut serta aktif dalam kegiatan produksi,
Membantu atau mengatasi hidup se-hari2,
Menemukan bentuk penghisapan ekonomi serta penindasan politik didesa,
Menemukan klas2 penindas serta kakitangannya secara kongkrit yang merajalela didesa, Mengorganisasi dan memobilisasi massa dalam usahanya untuk membela tuntutan2-nya. Tekad kader2 Partai yang bekerja didesa harus bulat, „dalam keadaan sulit siap untuk memikul beban terberat, dalam keadaan enak mereka harus menahan diri untuk yang paling belakang menikmatinya.
Sandaran Partai adalah kaum tani. Mengatasi kesulitan hidup massa tani didesa berarti mengatasi kesulitan kita sendiri.
Semboyan daripada garis integrasi ini adalah:
Berpoduksi - Belajar - Angkat Senjata.
Sesudah dua persoalan pokok tsb dapat terjawab, maka telah dilakukan usaha2 kongkrit dalam pekerjaan sbb:
Pertama: Partai. Membangun kembali Partai sebagai suatu organisasi klas yang sanggup memimpin Rakyat Indonesia ke Revolusi Demokrasi Rakyat. Pembangunan Partai ini baru dalam taraf memulai dari permulaan.
Kedua: Dokumen2. Membuat dokumen2 Partai sesuai dengan garis otokritik. Untuk itu telah dibuat Tesis Perang Rakyat, Program Untuk Demokrasi Rakyat dan tulisan „Memimpin Perang Gerilya."
Ketiga: Produksi. Dilakukan usaha2 memperbesar produksi pertanian baik perluasan areal tanah maupun intensitet pengerjaannya. Demikian pula dilakukan usaha2 penghijauan daerah2 pegunungan yang gundul. Dalam usaha tsb diadakan regu salingbantu, sehingga tanah2 yang pada mulanya tidak dikerjakan menjadi hijau kembali dengan tanaman.
Dapat dikatakan dalam waktu satu tahun usaha itu berhasil, produksi singkong, jagung, padi mengalami kenaikan besar. Dengan itu memudahkan bagi anggota2 Partai yang datang dari kota untuk mendapat jaminan makan dari kaum tani. Dengan usaha2 kongkrit tersebut menimbulkan rasa simpati kaum tani pada kaum Komunis.
Keempat: Tentara Gerilya.
Mulai dilakukan latihan2 kemiliteran dan dibangun pasukan gerilya. Pembangunan ini dimulai dari taraf yang paling permulaan terdiri dari pemuda2 tani. Mereka samasekali belum pernah tahu persoalan militer. Dan pasukan gerilya yang baru dibangun ini perlengkapannya amat sederhana, yaitu senjata2 tajam dan sedikit senjata api.
Demikianlah PKI mulai dalam proses pembangunannya kembali dengan Otokritik Politbiro sebagai pedomannya. Seperti telah dinyatakan diatas, pembangunan kembali PKI dimaksudkan untuk memayungi para anggota dan keluarganya dari kaum kontra revolusi bersenjata. Kontra revolusi bersenjata harus dihadapi dengan Revolusi bersenjata yang pada hakekatnya merupakan bela diri yang aktif terhadap mengamuknya kontra revolusi bersenjata.
Apakah di Blitar Selatan sudah dilakukan revolusi bersenjata?
Syarat2 untuk memulai revolusi bersenjata adalah:
- Adanya Partai Marxis-Leninis yang kuat,
- Adanya dukungan massa yang luas untuk melancarkan aksi2 revolusioner dan mendukung Perang Rakyat,
- Adanya tentara revolusioner buruh dan tani dibawah pimpinan Partai.
Tentang syarat2 lainnya, seperti masalah geografi dan ekonomi tidak menjadi syarat pokok dan pasti bisa diatasi bila tiga syarat pokok diatas sudah dapat dipenuhi.
Bila tiga syarat pokok tsb belum dipenuhi, maka tak mungkin revolusi bisa dimulai, karena belum matang untuk itu.
Blitar Selatan samasekali belum memenuhi 3 syarat pokok tsb diatas, karena baru dalam usaha menciptakan syarat2 itu. Maksud hati ingin 3 syarat tsb segera menjelma, tetapi kehadiran 3 syarat itu tidak bisa dipaksakan untuk datang. Ini memerlukan proses, proses kerja yang panjang dan ber-liku2.
Dalam keadaan Blitar Selatan belum siap, maka ABRI datang mengepungnya. Makin lama makin besar, makin lama makin rapat kepungannya.
Operasi2 itu dimulai sejak bulan Januari 1968. Korban2 sebagai hasil2 operasi tsb mulai berjatuhan. Rumah2 mulai dibakar atau dibikin hangus. Rumah2 itu harus dipindahkan dekat tepi jalan desa. Tegalan mulai tidak teratur, kebon2 singkong dibabat supaya tidak menjadi tempat persembunyian kaum komunis.
Tiga bulan telah berlalu sejak operasi2 itu. Dalam bulan yang keempat Partai dihadapkan pada suatu alternatif:
"Menyerah, kalah dan mati, atau Membela diri, mencari kesempatan dan lolos dari engepungan.
Pada bulan April 1968 dalam keadaan yang amat sulit, dipaksa oleh keadaan, terpaksa Politbiro memilih jalan Membela diri, mencari kesempatan dan lolos dari pengepungan.
Ini berarti, Partai dengan kekuatannya yang sangat minim harus membela diri dan berlawan terhadap operasi2 ABRI yang telah menimbulkan kekacauan di-desa2 Blitar Selatan.
Menghadapi tekanan dan operasi besar2-an ini akhirnya Blitar Selatan pada bulan Agustus 1968 tidak bisa bertahan.
Pasukan gerilya yang jumlahnya sangat kecil, persenjataannya amat sederhana, belum mempunyai pengalaman bertempur, telah dihancurkan oleh fihak ABRI. Sisa2 pimpinan PKI yang masih
ketinggalan pada ditangkap semua.
Perlawanan bersenjata telah ditindas. Satu kenyataan yang terjadi „Kalah". Kalah ini terjadi karena disatu fihak pimpinan PKI belum berhasil menahan keburu nafsu sehingga dalam membangun kembali Partai dilakukan terlalu ter-gesa2, emosionil dan karenanya mudah aktivitet ini dicium oleh rezim yang berkuasa. Dilain fihak karena dengan kekuatan besar rezim yang sedang berkuasa memukul PKI pada saat persiapan untuk bertempur jauh daripada matang.
Blitar Selatan kalah, tapi dibalik kekalahan terjadi suatu segi positif. PKI sudah menemukan jalannya kembali, jalan Revolusi bersenjata sebagai bela diri yang paling baik menghadapi kontra revolusi bersenjata.
D. REQUISITOIR.
Soal2 yang pokok baik yang dimuat dalam tuduhan maupun requisiitoir sudah saya berikan jawabannya. Walaupun begitu saya memandang perlu untuk memberikan tanggapan2 lainnya dari Requisitoir itu sehingga Majelis Hakim yth mempunyai gambaran yang lebih jelas.
Pertama: Secara teoritis saya menyambut apa yang dinyatakan oleh Sdr. Djaksa bahwa:„..... persidangan yang berlangsung sekarang ini bukanlah suatu arena pembalasan dendam ....." Tetapi persidangan ini adalah arena untuk mencari kebenaran dan keadilan." Dinyatakan, bahwa kebenaran dan keadilan yang berpijak pada landasan2:
1. Filosofis, yaitu Pancasila.
2. Yuridis, yaitu hukum yang berlaku.
3. Sosiologis, yaitu rasa keadilan Rakyat banyak.
Bahwa Sdr. Jaksa mengemukakan persoalan2 tsb tidaklah mustahil sebagai djawaban terhadap pendapat umum dalam masyarakat, bahwa pengadilan terhadap pimpinan2 PKI atau orang2 yang dianggap tersangkut dalam peristiwa G 30 S sebagai suatu pengadilan balas dendam dan tidak tersandar pada hukum yang berlaku. Pendapat umum yang demikian itu hanya bisa ditiadakan, bila praktek2 pengadilan selama ini diganti dengan praktek yang baru sesuai dengan UUD 45 dan Undang2 Pokok Kehakiman yang mengatur ketentuan2 pokok kekuasaan kehakiman. Tapi yang menjadi persoalan sekarang mengenai landasan filosofis dari kebenaran dan keadilan itu, „Pancasila." Dalam hal ini terdapat perbedaan tafsir yang prinsipiil mengenai Pancasila antara Orba dan Orla sehingga apakah tidak karena soal itu bisa menimbulkan hak tidak sama bagi seorang warganegara didepan hukum RI. Saya berpendapat, bahwa perbedaan tafsir tentang Pancasila tidak boleh merubah UUD 45 fasal 27 ayat 1 yaitu: „Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya didalam Hukum dan pemerintahan ...."
Kedua: Peristiwa Madiun.
Peristiwa Madiun itu dimulai dengan penculikan dan penangkapan beberapa orang perwira Divisi IV Panembahan Senopati termasuk penembakan terhadap Kolonel Sutarto Komandan Divisi. Kemudian terjadi pertempuran di Srambatan Solo disebabkan, karena pasukan Siliwangi ditugaskan untuk melucuti brigade Slamet Rijadi. Selama peristiwa itu tidak terjadi perubahan pemerintahan didaerah2 yang praktis dikuasai FDR (Front Demokrasi Rakyat) baik didaerah Surakarta, Semarang maupun Madiun.
Soal Madiun dihebohkan berhubung walikota Madiun menjabat Residen Madiun, karena Residen Madiun yang diutus ke Jogja tidak bisa kembali ke Madiun karena terhalang oleh pertempuran Solo. Divisi Siliwangi melakukan penyerangan2 terhadap daerah2 Semarang, Solo dan Madiun, halmana terjadi pertempuran2.
Bila ditelaah lebih lanjut apa yang dinamakan Peristiwa Madiun itu merupakan red drive proposal sesuai dengan Konferensi Sarangan antara Drs. Moh Hatta dengan Wakil Amerika Serikat. Mengenai peristiwa Madiun disamping keterangan singkat diatas, maka untuk lebih lengkapnya lihat pembelaan DN Aidit Ketua CCPKI didepan Pengadilan Negeri Jakarta pd tgl. 24 Februari 1955 yang berjudul „Menggugat Peristiwa Madiun," halmana sampai sekarang isinya tak terjawab oleh fihak Pemerintah.
Sesudah didalam negeri terjadi perpecahan, maka Belanda telah melakukan perang kolonialnya ke II pd bl Desember 1948. Dalam menghadapi perang kolonial Belanda itu pasukan2 bersenjata Komunis ber-sama2 dengan TNI melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara kolonial Belanda. Percekcokan dalam negeri diakhiri dengan berjuang bersama melawan musuh bersama yaitu kolonialisme Belanda.
Ketiga: Fraksi dan Biro Chusus.
Tidak benar, bahwa Fraksi itu merupakan badan Partai yang illegal. Di badan2 bukan Partai, Lembaga2 atau Jawatan2 dsb dimana terdapat orang2 PKI sudahlah wajar mereka diorganisasi dalam apa yang dinamakan Fraksi. Bagaimana mungkin Partai membiarkan para anggotanya tidak diatur dan tidak diorganisasi. Fraksi adalah sesuatu yang legal, yang konstitusionil. Anggota2 Fraksi bukan orang2 yang gelap-an, tapi mereka adalah orang2 terang. Bahwa PKI tidak mengumumkan nama2 mereka sebagai anggota Partai itu adalah urusan PKI sendiri dan tidak ada larangan hukum.
Mengenai Biro Chusus perlu saya tegaskan, bahwa apa yang dinamakan Biro Chusus itu bukan suatu badan Partai, atau suatu aparat PKI. Biro Chusus merupakan aparat yang dibuat oleh DN Aidit sendiri yang didalam Otokritik Politbiro CCPKI dinamakan „pimpinan (yang dimaksud DN Aidit) membuat saluran organisasi sendiri." Nama Biro Chusus tidak terdapat dalam Konstitusi PKI, dan masalah Biro Chusus tidak pernah menjadi persoalan Comite2 PKI. Demikian pula tidak pernah ada laporan tentang Biro Chusus kepada Comite2 PKI.
Sehubungan dengan itu perlu ditegaskan, bahwa menurut Konstitusi PKI dan instruksi2 CPKI, anggota2 ABRI dilarang menjadi anggota PKI. Seseorang yang akan menjadi anggota PKI melalui masa calon anggota atas tanggungan 2 orang anggota Partai dan sesudah diterima oleh putusan rapat Resort serta disahkan oleh Comite Subseksi (CSS). Kemudian dipersilahkan meneliti Konstitusi PKI Bab II pasal2 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, tentang masalah keanggotaan PKI.
Ditinjau dari segala seginya menurut Konstitusi PKI, tidak dimungkinkan bagi seorang anggota ABRI untuk menjadi anggota PKI. Bahwasanya seseorang anggota ABRI karena berbagai sebab bisa bersimpati pada sesuatu Partai Politik atau bersimpati pada PKI, itu merupakan sesuatu hal yang bisa terjadi, wajar dan tidak ada larangan hukum dan karenanya tidak melanggar hukum.
Keempat: Issue Nasakomisasi?
Mengenai apa yang dinamakan issue NASAKOMISASI pimpinan ABRI oleh PKI, hal tersebut tidak pernah ada. Pimpinan PKI baik CC maupun Politbiro CCPKI tidak pernah membicarakan tentang kemungkinan NASAKOMISASI pimpinan ABRI dan tidak pernah membuat issue mengenai hal tsb.
Kelima: Rapat Politbiro CCPKI yang diperluas.
Seperti telah dijelaskan didepan Sidang Pengadilan saya menyata-kan bukan rapat Politbiro yang diperluas, tetapi briefing ketua CCPKI dengan anggota2 Politbiro dan anggota2 CCPKI yang berada di Jakarta. Karena pertemuan itu sifatnya briefing, maka tidak diambil keputusan dan tidak ada pernyataan setuju atau tidak setuju dari hadirin.
Semua saksi didepan sidang ini menerangkan sama seperti keterangan saya tsb.
Keenam: Dewan Revolusi.
Dalam hal 9 dinyatakan: „perlu dibentuknya Dewan Revolusi sebagai tandingan Dewan Jenderal guna menggantikan Lembaga Tertinggi RI." Apa yang saya kemukakan didepan Sidang sesuai dengan apa yang pernah dikatakan oleh DN Aidit pada saya pribadi, bukan didepan rapat atau briefing adalah: „dibentuknya Dewan Revolusi sebagai tandingan Dewan Jenderal dan berfungsi untuk mempercepat proses pembentukan Kabinet Nasakom."
Ketujuh: Tugas Ke Jawa Timur.
Saya menyangkal apa yang dikatakan dalam hal 9, bahwa kepergian saya ke Jawa Timur „....dalam rangka pembagian tugas diantara anggota pimpinan CCPKI untuk mengoper kekuasaan pemerintah Indonesia oleh Dewan Revolusi." Selama persidangan tidak pernah ada pengakuan dari fihak saya mengenai hal tsb, demikian pula tidak ada seorang saksipun yang menyatakan begitu.
Bahwa DN Aidit menugaskan saya ke Surabaya untuk membantu Rustomo dalam tugasnya melawan Dewan Jenderal itu benar dan kemudian saya ikut rapat yang dipimpin oleh Rustomo dengan beberapa orang militer dalam rangka pelaksanaan tugas tsb. Sedangkan pada Suwandi CDB Jawa Timur saya memberikan informasi politik dan sikap politik Partai menghadapi situasi yang gawat.
Kedelapan: Untuk Tuduhan Pertama.
Tidak benar, bahwa briefing yang diberikan oleh DN Aidit pada tgl. 27 atau 28 Agustus 1965 itu dinyatakan sebagai permufakatan jahat. PKI adalah suatu partai yang resmi diakui oleh fihak pemerintah. Sebagai Partai Politik mengadakan rapat atau menerima briefing dari Ketua CC adalah soal yang biasa dan bukan permufakatan jahat, sebab PKI bukan organisasi illegal dan briefing yang disampaikan oleh DN Aidit adalah soal yang menyangkut dengan keselamatan negara sebagaimana dinyatakan dalam tuduhan pertama bahwa DN Aidit dalam „rapat" tsb tgl. 27/28 Agustus 1965 menjelaskan hal2 sbb:
a. Situasi Politik:
1. Sakitnya Presiden Sukarno yang makin hari makin gawat (meninggal atau lumpuh).
2. Adanya sekelompok Dewan Jenderal yang akan mengadakan kudeta.
3. Adanya golongan perwira2 muda yang maju yang akan melawan kudeta Dewan Jenderal.
b. „Sikap Politik Partai PKI".
1. Melawan kudeta Dewan Jenderal;
2. PKI menyokong dan bersama-sama dengan perwira2 muda yang maju yang akan menngadakan perlawanan kudeta Dewan Jenderal.
3. Membentuk Dewan Revolusi.
Perlu saya saya tegaskan bahwa tidak pernah saya kemukakan, bahwa sebagai sikap Partai yang dikemukakan oleh DN Aidit dalam briefing tgl 27 atau 28 Agustus 1965 itu, terdapat punt b,3 tentang membentuk Dewan Revolusi. Juga tidak ada satu saksipun baik Rewang, Ruslan Wijayasastra, Marjoko, Tjoegito, Sukatno, Suwandi, Iskandar Subekti, Pratomo, Rustomo ataupun A. Sutjiptadi yang menyatakan, bahwa dalam Sikap Politik Partai itu termasuk adanya pembentukan Dewan Revolusi. Bahwa soal Pembentukan Dewan Revolusi dimasukkan sebagai sikap Politik PKI, ini merupakan kechilafan dari Sdr.Jaksa, halmana bisa saya maklumi.
Bila sekali lagi kita baca dengan tenang, jelaslah bahwa fasal2 Tuduhan Pertama tidak bisa dikenakan pada PKI sebagai kejahatan makar atau kejahatan pembrontakan, sebab justru PKI bersikap akan mencegah kudeta yang hendak dilakukan oleh Dewan Jenderal.
Demikian pula fasal2 tuduhan pertama itu karena tidak cocok dengan fakta kongkrit yang ada maka tidak bisa digunakan pada diri saya dan oleh karenanya seharusnya menjadi batal, atau gugur.
Kesembilan: Tuduhan Kedua.
Benar saya mempunyai „niat" seperti Sikap Politik Partai yaitu „akan melawan kudeta Dewan Jenderal." Niat itu bukan untuk menggulingkan Pemerintah, tapi niat untuk membela pemerintahan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. Jadi niat itu bukan niat jahat. Demikian pula pada tgl. 1 Oktober 1965 dengan CDB Jawa Timur saya menjelaskan„Situasi Politik" dan „Sikap Politik Partai," sesuai dengan yang dikemukakan oleh DN Aidit dalam briefingnya pd tgl. 27 atau 28 Agustus 1965 di Jakarta.
Kalau hal tsb dinyatakan sebagai unsur pelaksanaan, maka unsur pelaksanaan tsb tidak bertentangan dengan hukum yang ada, sebab sekali lagi perlu ditegaskan: „bersikap untuk melawan kudeta Dewa Jenderal," dan „membela Presiden Sukarno sebagai Kepala pemerintahan RI." Saya sebagai orang yang ditugaskan membantu Rustomo Kepala Biro Chusus (BC) di Jawa Timur untuk melawan dan menggagalkan kudeta Dewan Jenderal di Jawa Timur, benar menunggu masuknya 3 batalyon ke Surabaya bila unsur2 Dewan Jenderal melakukan suatu gerakan.
Ternyata unsur2 Dewan Jenderal tidak melakukan sesuatu gerakan di Jawa Timur sehingga 3 batalyon yang hendak melakukan suatu tindakan terhadapnya tidak menemui sasarannya dan karenanya 3 Batalyon tsb tidak melakukan suatu gerakan apapun.
Karena niatnya „melawan kudeta Dewan Jenderal dan membela pemerintahan Sukarno," maka pelaksanaannyapun sesuai dengan fakta2 yang saya kemukakan, tidak bisa dikenakan fasal2 dari tuduhan kedua dan karenanya tuduhan itu menjadi gugur.
Kesepuluh: Tuduhan ketiga.
Perlu dijelaskan, bahwa yang telah dibentuk di Blitar Selatan adalah Gerilya Desa yang merupakan milisi desa dan Detasemen Gerilya sebagai pasukan setengah reguler. TPR atau Tentara Pembebasan Rakyat sama sekali belum ada syarat untuk dibentuk dan karenanya di Blitar Selatan tidak terdapat TPR.
Apa yang dimaksud dengan pencegatan atau penyerangan di Panggungjirak, di kedungbanteng dan Lorejo seperti dinyatakan oleh Sdr Jaksa penuntut umum, adalah karena dipaksa oleh keadaan, maka terpaksa bela diri terhadap operasi2 ABRI yang mengepung Blitar Selatan yang telah menimbulkan banyak korban dikalangan kaum tani dan kader2 PKI. Saya mengharap pada Majelis Hakim untuk mempertimbangkannya secara tenang, bisakah fasal2 tuduhan ketiga digunakan dalam keadaan seperti saya jelaskan diatas „dipaksa oleh keadaan, maka terpaksa membela diri." Saya berpendapat bahwa fasal2 untuk tuduhan ketiga tidak bisa digunakan sebab dalam keadaan „nootweer" dan „overmacht."
Kesebelas: Tuduhan Keempat.
Saya merasa heran, mengapa Sdr. Jaksa penuntut umum yang telah menulis dalam requisitoir ini tentang „Situasi Politik" dan „Sikap Politik Partai" yang dibriefingkan oleh DN Aidit pd tgl. 27 atau 28 Agustus itu yang isinya melawan kudeta Dewan Jenderal," dinyatakan sebagai makar dan pembrontakan yang ditujukan pada pemerintah yang sah?! Ataukah mungkin yang dimaksud oleh Sdr. Jaksa, Pemerintah yang sah itu adalah komplotan Dewan Jenderal?! Kalau itu yang dimaksud, benarlah apa yang dinyatakan oleh Sdr. Jaksa, bahwa saya telah melakukan„makar." Tetapi menurut apa adanya pada waktu itu, menurut fakta kongkritnya yang berkuasa atas pemerintahan RI adalah Presiden Sukarno. PKI mendukung pemerintahan Sukarno dan akan melawan kudeta Dewan Jenderal. Mengapa dituduh makar?! Tuduhan tsb saya tolak karena sedikitpun tidak ada kebenarannya.
Kemudian Sdr. Jaksa penuntut umum menyatakan bahwa saya langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan gangguan, penghambatan atau pengacauan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Saya mengharap supaya hal2 tsb dibuktikan kebenarannya, sebab pernyataan tsb hanya merupakan suatu konstatasi belaka dan tidak terbukti. Dari kebenaran materiil yang menjadi sendi pokok dan dasar pokok untuk memperoleh keyakinan Majelis Hakim yth, maka jelaslah, bahwa semua tududan Sdr. Jaksa samasekali tidak terbukti dan karenanya tuduhan tsb menjadi gugur dan batal.
Ditinjau dari segi hukum pembuktikan, maka diharapkan penelitian dan penertiban terhadap cara dan materi pembuktian yang diajukan oleh Sdr. Jaksa penuntut umum, karena akibat dari hukum pembuktian banyak dibuat kesimpulan, analisa dan pembenaran hal2 yang diselaraskan, diserasikan dan diversikan menurut niat asal menuntut saja dan samasekali tidak merupakan kebenaran materiil yang diperoleh dari alat2 pembuktian yang sah menurut hukum.
Dengan ini, maka saya menolak seluruh tuduhan Sdr. Jaksa penuntut umum dan berdasarkan alat2 pembuktian yang sah sebagai kebenaran materiil yang dapat ditunjukkan dalam persidangan ini, maka saya mengharapkan untuk dibebaskan dari segala tuntutan.
Atas kesediaan, perhatian dan kebijaksanaan Majelis Hakim yth, demi tegaknya kebebasan dalam peradilan sesuai dengan UUD 45, tegaknya Rule of Law, kebenaran dan keadilan, maka saya mengucapkan banyak terima kasih. Saya mengucapkan terima kasih pula pada para pembela yang dalam membela perkara saya - perkara G 30 S, ikut berusaha untuk „menegakkan hukum" di Indonesia.
III
MAU KEMANA INDONESIA?
Sidang Pengadilan Yth,
Sampailah saya sekarang kepada Bab III „Mau Kemana Indonesia?"
Sebagai seorang yang dilahirkan dari Rakyat Indonesia, makan dan minum dari tanah air yang tercinta, hidup dan dibesarkan ditengah2 rakyat Indonesia, kiranya saya akan berdosa bila tidak ikut mengungkap bagaimana keadaan Indonesia sekarang, dan mau kemana Indonesia dalam gejolaknya situasi politik internasional pada masa kini.
Sebagai seorang tahanan yang bertahun-tahun disekap dibelakang jeruji2 besi, dengan segala keadaan yang menyedihkan, makan tak berarti makan, berobat tak berarti berobat, dan lektur yang biasanya sebagai santapan spirituil bagi seorang tahanan politik tidak diberi hak untuk membacanya. Perasaan dan pikiran bagaikan katak dibawah tempurung. Betapa sedihnya sebagai putera Indonesia tidak diizinkan untuk mengetahui apa yang tengah terjadi dinegerinya sendiri. Tetapi kobaran semangat didada dan perasaan tanggung-jawab terhadap tanah air dan Rakyat Indonesia yang melahirkan diri saya, membikin saya merasa berkewajiban didepan sidang ini untuk menyuarakan isi hati dan pikiran saya.
A.Indonesia Sekarang
Sesudah Presiden Sukarno digulingkan dari kekuasaan negara, maka berdirilah kekuasaan yang samasekali baru yaitu Pemerintahan Orde Baru dibawah Jendral Suharto. Dalam pidato kenegaraannya Penjabat Presiden Jendral Suharto pada tanggal 16 Agustus 1967 menyatakan:„... Orde Baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi dan untuk mengadakan koreksi total atas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan pada masa Orde yang berkuasa pada waktu itu, yaitu yang sekarang disebut Orde Lama." Mengenai fungsi dan tujuan Orde Baru dinyatakan:
„Mempertahankan, memurnikan wujud dan memurnikan pelaksanaan Panca Sila dan Undang2 Dasar 1945..."
Benarkah demikian? Marilah kita sekarang meninjau bersama, benarkah itu?
1. Panca Sila.
Dalam pidato Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan suatu konsepsi mengenai Dasar atau Azas Negara Indonesia yang hendak didirikan itu. Konsepsi Bung Karno itu adalah Pancasila menurut aslinya sebagai berikut:
Kebangsaan Indonesia.
- Internasionalisme atau peri kemanusiaan.
- Mufakat atau Demokrasi.
- Kesejahteraan Sosial.
- Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian Bung Karno menyatakan, bila saudara2 tidak suka pada angka lima, maka bisa dijadikan Tri-Sila, yaitu:
- Socio Nasionalisme
- Socio Demokrasi
- Ketuhanan.
Bila Trisila ini dijadikan satu, maka jadilah ia EKA SILA. Eka Sila itu adalah: GOTONG-ROYONG.
Dinyatakan bahwa „Gotong Royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu binantu bersama. Amal semua buat kepentingan bersama, keringat semua buat kepentingan bersama."
Jauh sebelum mengucapkan pidatonya itu Bung Karno adalah memang seorang nasionalis yang gandrung pada ersatuan bangsa untuk dijadikan satu kepalan tinju menghalau kolonialisme dari negeri kita. Pada tahun 1926 Bung Karno pernah menulis tentang adanya Tiga Aliran Besar dalam Masyarakat Indonesia, yaitu golongan Islam, Nasionalis dan Marxis. Ini adalah realitas yang hidup ditanah air kita, karenanya Tiga Aliran Besar ini harus disatupadukan.
Rakyat Indonesia yang pada pokoknya terdiri dari Tiga Aliran Besar itu termasuk kaum Komunis didalamnya telah ikut mengambil peranan penting dalam perjuangan yang tak henti2nya menentang Kolonialisme untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Datanglah waktunya yang ditunggu-tunggu, Revolusi Agustus meledak, Bangsa Indonesia menyatakan Kemerdekaan Tanah Airnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila dijadikan Dasar Negara Republik Indonesia yang baru didirikan diatas puing2 Kolonialisme Belanda dan Fascisme Jepang.
Menurut Bung Karno Pancasila itu adalah penggalian dari pengalaman sejarah Bangsa Indonesia dan oleh karena itu Pancasila merupakan cermin daripada Semangat dan Jiwa Bangsa Indonesia. Semangat dan jiwa Bangsa Indonesia itu pada pokoknya telah diletakkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang saya kutip seluruhnya sebagai berikut:
„Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala Bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmad Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam bermusyawaratan/
Republik Indonesia yang baru dibangun itu adalah hasil keringet, hasil perjuangan bersama, ya, RI yang baru dibangun itu dipertaruhkan oleh darahnya Rakyat Indonesia. RI yang baru dibangun itu seharusnya adalah milik bersama kita dan untuk kepentingan bersama massa rakyat. Oleh karena itu sejak RI berdiri, kaum Komunis sudah ikut mengasuh Republik yang masih muda itu yang notabene Dasar Negaranya adalah Pancasila.
Dalam perkembangan kemudian apa yang dinamakan Tiga Aliran Besar pada th 1926 oleh Bung Karno itu, seperti telah diterangkan diatas, mengalami perubahan istilah dan bukan hakiki dari persoalannya. Kata Marxis diganti dengan kata komunis, sehingga apa yang dinamakan Tiga Aliran Besar itu adalah Nasionalis-Islam-
Pada suatu hari Presiden Sukarno terguling dari tampuk kekuasaan Negara. Jendral Suharto naik panggung. Dalam pidato kenegaraan pada tgl 17 Agustus 1967 sebagai Penjabat Presiden, Jendral Suharto berkata sbb:„Pancasila telah diselewengkan dan kehilangan kemurniannya dengan dilahirkannya konsepsi Nasakom, yang mengikutkan dan memasukan komunisme kedalam pelaksanaan Pancasila. Komunisme yang didasarkan pada Dialektika Materialisme, jelas anti Tuhan, sedangkan Pancasila berketuhanan Yang Maha Esa. Agama diselewengkan untuk kepentingan politik," Demikian Jendral Suharto.
Jadi, jelaslah bahwa persoalan pokoknya ialah mempertentangkan Pancasila dengan Nasakom dan dengan Komunisme dan kemudian menempatkan kaum Komunis diluar kehidupan ketatanegaraan.
Yang menjadi masalah sekarang „Siapa yang memberikan penafsiran terhadap Pancasila yang berbeda dengan aslinya?"
Apakah kaum Komunis yang membela Pancasila menurut penafsiran Bung Karno sebagai penggalinya, dapat dinyatakan sebagai suatu penyelewengan? Tidakkah penguasa Orba sekarang begitu takutnya pada aslinya Pancasila sehingga Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 digelapkan dan tidak lagi diajarkan dilembaga2 pendidikan? Bukankah peringatan apa yang dinamakan „Hari Kesaktian Pancasila" pada tiap 1 Oktober, dimana anak2 Sekolah Dasar menghafal dibuku sejarahnya: „Tgl 1 Oktober menjadi Harsak, karena pada tgl 1 Oktober 1965 PKI telah berontak untuk mengganti Dasar Negara Falsafah Pancasila dengan Komunisme, PKI gagal karena Pancasila sakti dsb." Apakah penafsiran baru Penguasa Orba yang menolak Nasakom dan meng-eksklusivkan Kaum Komunis dari kehidupan ketatanegaraan itulah yang dianggap sebagai Pancasila sejati? Sudah diterangkan diatas, bahwa sejak RI lahir dengan Dasar Negara Pancasila, sejak itu kaum komunis memberikan saham besar dalam kehidupan kenegaraan RI. Itu berlangsung sejak Revolusi Agustus 45 s/d Oktober 1965.
Pancasila sejati menurut konsepsi aslinya dilahirkan dalam derap juangnya rakyat Indonesia melawan kolonialisme- imperialisme, yang menyatukan tiga aliran besar termasuk kaum komunis untuk bahu membahu mempertahankan dan membela Republik Proklamasi, dan yang sama sekali menentang setiap bentuk peng-eksklusivan kaum komunis ataupun kaum nasionalis ataupun kaum Agama, yang hanya akan berarti merobek robek Republik Proklamasi tersebut kandas ditengah jalan membawa seluruh rakyat Indonesia ke pantai harapan.
Bahwa „negara" itu adalah milik segenap Bangsa, akan saya kutip dari bunyi penjelasan tentang UUD Negara Indonesia sbb:
„Negara" begitu bunyinya - yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara Persatuan. Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian „pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tak boleh dilupakan." Demikian kutipan. Inilah ETHIEK POLITIK yang seharusnya dilaksanakan oleh setiap Pemerintah Republik Indonesia yang tetap menjunjung tinggi pelaksanaan UUD '45 dan bukan menyelewengkannya.
Pancasila sejak lahirnya tidak pernah menyoalkan „apakah kaum komunis ataupun kaum nasionalis ataupun kaum humanis berpikiran bebas (vrijedenker) ataupun kaum teosofi ataupun kaum teknokrat sekarang ini sebagai individu ber-Agama atau ber-kepercayaan apa, - sebab UUD 1945 yang disusun dengan Dasar Pancasila pada pasal 29 ayat 2 menyatakan: „Negara menjamin kemerdekan tiap2 penduduk untuk memeluk Agamanya masing2 dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dan karena itu pula sejak proklamasi RI 45 tidak pernah masalah Agama dan kepercayaan individu itu menjadi persyaratan untuk bisa atau tidaknya seseorang ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. UUD 45 adalah konstitusi modern, seperti halnya Konstitusi2 dinegara2 demokrasi lainnya didunia ini, masalah kebebasan ber-agama dan berkepercayaan dijamin sepenuhnya sebagai salah satu hak2 azasi manusia, tercantum pula dalam Deklarasi Tentang Hak2 Azasi Manusia Perserikatan Bangsa2 (PBB) - yang telah diterima dan dihormati oleh Negara Republik Indonesia sebagai anggota PBB.
Benar bahwa PKI sebagai partai politik seperti halnya sementara partai politik lainnya di Indonesia tidak mencatumkan Dasar Ketuhanan sebagai azas Partai. PKI sebagai partai proletar menganut ideologi Marxisme-Leninisme. PKI sebagai partai politik tidak menyampuri kepercayaan individu masing2 anggotanya, dan tidak pula menetapkan dalam Konstitusinya masalah kepercayaan pribadi sebagai persyaratan untuk dapat diterima atau tidak menjadi anggota PKI. Ada orang berkata: „Tapi PKI menerima Pancasila sebagai taktik belaka, buktinya dua kali mencoba mengganti Pancasila dengan peristiwa Madiun 1948 dan dengan peristiwa G.30.S 1965."
Jika PKI dalam peristiwa Madiun 1948 hendak mengganti Pancasila, mengapa dalam Majelis Konstituante 1959 PKI tidak tampil dengan usul dasar negara yang lain, misalnya seperti Partai Murba tampil dengan usul Dasar Negara Sosial-Ekonomi, sedangkan Partai Masjumi tampil dengan usul Dasar Negara Darul Islam? Mengapa tidak sedikit kader2 dan anggota2 PKI gugur dalam membantu operasi2 TNI terhadap pemberontakan2 diberbagai wilayah RI yang tegas2 bertujuan hendak mengganti Pancasila? Sikap Partai Komunis Indonesia di Majelis Konstituante 1959 adalah sikap yang dibawakan Partai sebagai mandat kepercayaan kaum komunis dan massa Rakyat pemilih PKI. Dia tidak bisa menjadi soal taktik2-an atau main2-an. Mengenai PKI dan peristiwa G.30.S sudah saya jelaskan tersendiri. PKI sebagai partai politik tidak terlibat dalam peristiwa G.30.S. Jika hendak bicara peristiwa tsb, silahkan membaca sendiri pikiran pimpinan G.30.S sebagaimana diumumkan dalam siaran2 mereka, yang kalau tidak keliru mereka menyatakan bahwa tindakannya itu didasarkan demi keselamatan Negara Republik Indonesia, demi pengamanan pelaksanaan Pancasila dan Panca Azimat Revolusi.
APAKAH JUSTRU BUKAN PENGUASA ORDE BARU YANG MEMBERIKAN
PENAFSIRAN BARU TERHADAP PANCASILA DENGAN MEMPERTENTANGKAN
PANCASILA DENGAN NASAKOM DAN MENG-EKSLUSIVKAN KAUM KOMUNIS
DENGAN ALASAN MEMURNIKAN PANCASILA, MERUPAKAN SUATU BUKTI
TAK TERSANGKAL BAHWA SELAMA TOKOH2 ORBA BELUM BERKUASA TELAH
MENERIMA PANCASILA SEBAGAI TAKTIK YANG LIHAY?
Sidang yth,
Saya mengharap untuk dicatat dengan seksama pendirian saya ini. Saya ingin menegaskan bahwa selama rakyat Indonesia bersama Pancasila, selama itu pula setiap usaha untuk memberikan penafsiran baru terhadap Pancasila menyeleweng dari aslinya pidato lahirnya Pancasila yang menyatukan rakyat Indonesia mempertahankan dan membela Republik Proklamasi 45, - pasti akan menemui kegagalannya, cepat atau lambat. Karena pemberian penafsiran baru tersebut tidak lain ialah tindakan dibidang formil konstitusionil untuk mengesahkan tindakan2nya dalam praktek yang telah menyelewengkan Pancasila dan UUD 45. Disini duduk perkara yang sebenarnya.
Rakyat Indonesia bukanlah rakyat yang bodoh, meskipun ada periode2 dalam sejarah mereka mengalami kesulitan dibawah penguasa yang main paksa dengan kekuatan bedil. Tapi apa artinya itu? Bukankah sejarah cukup memberi pelajaran bahwa penguasa2 yang tidak dihati rakyat itu hanyalah bersifat sementara belaka? Bahkan bisa merupakan guru-negatip bagi rakyat untuk melakukan studi perbandingan yang amat bermanfaat meskipun melewati derita yang tak ada taranya. Rakyat Indonesia cukup matang dan dewasa untuk mempertimbangkan sendiri masalah2 tersebut.
Karena Pancasila sekarang sudah bertentangan dengan aslinya, padahal ia merupakan sumber dasar UUD 45, maka akibatnya tidak bisa lain dalam pelaksanaannya banyak mengalami pelanggaran2 prinsipiil baik didalam bidang politik dalam dan luar negeri, bidang ekonomi dan kebudayaan maupun bidang hukum.
Sidang Yth,
Landasan idiilnya sudah berbeda dan berbedanya adalah prinsipiil. Yang satu adalah Pancasila asli -sebagai Dasar Negara dan Pemersatu Bangsa- seperti apa yang dimaksudkan oleh penggalinya Bung Karno, - Yang kedua, adalah -Pancasila yang sudah dipreteli dan Pemecah persatuan Bangsa - seperti apa yang dimaksudkan oleh Penguasa Orba sekarang ini.
Herankah kita kalau struktur politik di Indonesia berobah samasekali bila dibandingkan dengan masa lampau? Tentu tidak! Cobalah kita perhatikan bersama! Manipol yaitu Haluan Negara RI yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 45 serta merupakan penarikan kesimpulan dari pengalaman2 perjoangan Bangsa, telah dibuang begitu saja oleh Penguasa Orba, tanpa keberanian untuk merumuskan penggantinya.
NASAKOM yang menghimpun tiga aliran besar dalam masyarakat Indonesia yang tumbuh dan berkembang dari bawah secara demokratis, dan bukan diciptakan atau dibentuk dari atas secara otoriter dengan paksa, telah dipertentangkan dengan Pancasila. Kaum komunis di-ekslusivkan dari kehidupan kenegaraan, malahan sebagai anak manusia biasa dikejar, diburu2 dan ditempatkan diluar hukum. Ormas2 revolusioner dan demokratis disapu bersih.
Pemimpin2 golongan Nasionalis dan Agama yang patriotik dan jujur yang diragukan kesetiaannya kepada Penguasa Orde Baru dicabut kedudukannya dari pimpinan partainya dengan tekanan dan campurtangan Penguasa, dikeluarkannya dari kedudukannya sebagai anggota2 Lembaga Negara, serta dipecat atau dischors dari jabatannya pada Dinas2 Negara, -- Dan ini terjadi disemua tingkat dari atas sampai kebawah. Kemudian Partai2 Politik yang sudah „bersih" itu, aktivitasnya mulai dibatasi sampai ke-kota2 Kabupaten atau Dati II saja, sedangkan pegawai negeri yang resminya menurut UUD 45 sebagai warganegara RI memiliki hak kebebasan berserikat tidak diperbolehkan menjadi anggota Partai Politik dan Serikat Buruh, dengan alasan untuk menjamin adanya loyalitas tunggal kepada Penguasa Orba. Selanjutnya diusahakan oleh Penguasa Orba dalam rangka pembaharuan struktur politik dengan menyederhanakan sistim Kepartaian di Indonesia, sehingga tinggalah dua partai politik saja, yaitu Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi dari PNI, Partai Katholik, Partai Kristen Indonesia, Partai Murba dan IPKI, - dan Partai Persatuan Pembangunan Indonesia yang merupakan fusi dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Perti dan PSII. Dengan begitu disamping dua partai tsb, kita menyaksikan adanya golongan militer dan golkar yang ikut dalam kehidupan politik.
Seperti diketahui pimpinan ABRi setelah berhasil menjadikan ABRI mempunyai dwifungsi, yaitu sebagai alat Negara (alat HanKam) dan sebagai kekuatan sosial politik, maka ABRI telah dijamin memperoleh kedudukan k.l. 20% dari jumlah kursi di Lembaga2 Negara tanpa melewati pemilihan umum, dan memperoleh kesempatan menduduki jabatan2 kunci di Badan2 Eksekutif Pemerintahan, di-Perusahaan2 Negara dan dimana saja diperlukan.
Dalam pada itu Golkar yang tampil dalam Pemilihan Umum th 71 telah memperoleh „suara pemilih terbesar." Hal ini terjadi bukan semata-mata karena terlalu lemahnya partai2 melainkan Golkar yang diketahui umum sebagai organisasi massanya kaum militeris telah memperoleh segala fasilitas yang diperlukan dari Penguasa Orba, termasuk bantuan tekanan yang keras terhadap para pemilih agar menusuk Pohon Beringin-nya Golkar.
Pemilihan Umum th 71 merupakan contoh kesekian kalinya betapa hak2 azasi dan hak2 demokrasi begitu mudahnya dilanggar dan diperkosa—tanpa ada gugatan2 yang kuat.
Nama2 calon2 Pemilihan Umum di-skreening oleh Kopkamtib, dan sasarannya yalah calon2 dari partai2 politik.
Pegawai2 Negeri yang sudah tak diperbolehkan masuk partai politik atau Sarekat Buruh, diharuskan memasuki Corps Pegawai Negeri, CORPRI, yang bernaung dibawah Golkar, dan demi loyalitas tunggal harus mentjoblos Golkar. Sedangkan kenyataan lain, terhadap apa jg disebut bekas anggota orpol/ormas terlarang, dalam prakteknya yang dimaksud yalah bekas2 anggota PKI dan anggota ormas revolusioner dan demokratis, telah dicabut hak pilihnya, tanpa melewati vonnis pengadilan manapun.
Presiden Suharto sering menyatakan bahwa Kekuasaan Orba telah melakukan koreksi total terhadap Orla, terhadap Demokrasi Terpimpinnya Presiden Sukarno yang dikatakan bersifat diktator, dengan kultus terhadap Pemimpin. Kata Presiden Suharto pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1968: „Kita dulu ditekan dari atas secara otokratis, sekarang kebebasan tumbuh dari bawah secara demokratis" (vide halaman
18). Dibagian lain dinyatakan: „Partai politik memang merupakan salah satu alat demokrasi yang penting. Adanya partai2 politik dalam sesuatu Negara memang meruoakan salah satu tanda adanya demokrasi" (vide halaman 28).
Marilah kita bandingkan secara kritis antara kata2 Presiden Suharto tersebut dengan fakta2 pembaharuan struktur politik dan fakta2 Pemilu tsb tadi. Sebagai kekuatan sosial politik, logisnya ABRI merupakan pula salah satu alat demokrasi. Karena itu, dia harus memiliki persyaratan disusun, dibentuk dan bekerja secara demokratis pula. Sebab bila tidak, siapa yang dapat menjamin tidak melahirkan adanya otokrasi dari pimpinan, karena pimpinan tidak dapat dipilih dan dikoreksi dari bawah secara demokratis?
Sedangkan sebagai kekuatan pemegang bedil, pimpinannya tsb dapat memerintahkan untuk diarahtujukan kepada siapa saja yang tidak disukainya, termasuk misalnya untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu yang baru lalu, dsb dsbnya lagi. Saya dapat memahami sepenuhnya apabila pers Amerika Serikat sendiri diambang pintu Pemilu 71 di Indonesia ini menilai dengan kalimat pendek yang cukup jelas maksudnya: "The general election in Indonesia means the election for generals" (Pemilihan umum di Indonesia berarti pemilihanuntuk Jenderal2).
Sebagai seseorang dari Gerakan Buruh, saya ingin menegaskan disini bahwa pelarangan pegawai negeri mengorganisasi diri dalam Serikat Buruh melanggar konvensi ILO No. 98 tentang kebebasan berorganisasi. Dimasa lalu, dizaman „Orla" struktur politik RI dalam batas-batas tertentu memiliki sifat2 nasional dan demokratis, dan sekarang sifat nasional dan demokratisnya lenyap. Munculah struktur politik baru, struktur Politik Penguasa Orde Baru, yang ditinjau dari segala segi dan isinya, dengan ilustrasi fakta2 yang saya sebutkan tadi, jelas merupakan struktur politik kediktatoran militer, dengan mesin utamanya Kopkamtib, indikasi adanya SOB tanpa SOB, dan .... dengan kaum teknokrat sebagai otaknya.
2. Ekonomi
Berbicara mengenai masalah ekonomi kita dihadapkan pada dua pilihan yaitu:
1.Hidup bebas merdeka,berdikari walaupun menderita rupa2 kekurangan atau
2.Hidup sebagai „jongos" dengan celana baju tetoron, pomade Tanco, kaos kaki nylon, mobil Mercedes, tetapi harus melakukan kehendak tuannya?
Jiwa 45 memilih no.1. Jiwa '45 mendorong dibatalkannya KMB secara unilateral karena KMB meletakkan dasar restorasi ekonomi kolonial dari penjajahan Belanda.
Bagaimana sekarang?
Data2 menunjukkan,
Semua perusahaan milik negara2 kreditor yang dinasionalisasi harus dibayar atau dikembalikan. Indonesia harus menunjukkan stabilitas politik ekonomi dan terutama moneter. Indonesia harus menjalankan politik pintu terbuka yang memungkinkan penanaman modal asing.
Selain itu IGGI mengajukan saran2:
Supaya Indonesia mengurangi anggaran belanja rutine dengan jalan mengurangi jumlah pegawai negeri dan jumlah personil ABRI.
Menghemat devisa dengan jalan mengurangi dan achirnya menghentikan import bahan pangan dengan usaha menambah produksi dan mengurangi jumlah orang yang harus makan dengan keluarga berencana.
Syarat2 maupun saran2 tsb. praktis dikerjakan semua oleh Pemerintah Orba. Kaum buruh yang berjuang dengan susah payah mengambil alih perusahaan2 modal monopoli asing yang kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Orla, sekarang oleh Penguasa Orba dikembalikan pada modal monopoli asing atau dibayar ganti kerugian atas keuntungan modal monopoli.
Demikian juga Indonesia telah dijadikan tempat terbuka untuk penanaman modal asing. Undang2 pembatasan modal asing dicabut dan diganti dengan Undang2 modal asing yang baru yang memberikan segala fasilitas yang diperlukan untuk melambai-lambai masuknya modal asing kedalam negeri. Undang2 Perbankan yang dimasa Pemerintahan „Orla" melarang operasi dari bank2 asing, sekarang sudah dicabut sehingga bank2 asing banyak beroperasi di Indonesia. Untuk menarik investasi modal asing telah dibuat peraturan2 bebas pajak selama tiga sampai lima tahun, serta diadakan jaminan tidak ada pungutan pajak berganda.
Penanaman modal asing yang pada waktu ini 77% berbentuk joint venture meliputi berbagai bidang, dari perminyakan, pertambangan, kehutanan, perikanan, pertekstilan, obat-obatan, industri makan-minuman sampai supermi dan ice cream Peter dsb. Minyak lepas pantai dikeduk dengan kecepatan luar biasa, angka jumlah tonase minyak mentah yang diangkut dengan tangker2 mereka dapat disulap; tambang2 lain seperti biji2 besi di Cilacap, tembaga di Irian Barat dikerjakan secara cepat; kayu2 dihutan dibabat dengan hebat se-akan2 tidak ada hari esok.
Untuk „memajukan" negeri sedang berkembang tsb. Segera menjadi bagian dunia modern, maka industri2 asembling tertentu didirikan demikian juga industri tekstil yang modern dengan produksinya yang besar. Bahan bakunya datang dari luar negeri, ongkos produksi dan tenaga kerja murah. Hasil produksi kwalitet rendah dapat dipasarkan dinegara2 sedang berkembang, sedangkan produksi yang bermutu dapat dipasarkan ke Jepang atau negeri2 maju lainnya termasuk ke AS. Penguasa setempat bisa berkata:„lihat, kami sudah dapat mencukupi bahan2 tekstil dari hasil industri dalam negeri sendiri." Dengan engalirnya investasi modal asing dan banyak berbentuk joint enture, industri2 dalam negeri megap2,kalah bersaing dan bangkrut. Tidak hanya kaum industrialis dalam negeri yang menerima akibat buruk dari politik ekonomi ini, tetapi lebih2 yang menjadi korban adalah kaum buruh yang hilang lapangan kerjanya yang berarti menambah barisan kaum penganggur yang sudah jutaan jumlahnya.
Itu tidak mengapa, katanya. Itu hanya gejala sementara, itu konsekwensi logis dari pada persaingan sehat untuk menuju modernisasi disegala bidang. Modal2 asing toh harus joint venture dengan modal nasional, harus setahapdemi setahap menempuh proses memberi keahlian kepada tenaga penduduk asli. Ini kan berarti lapangan tenaga kerja baru,biarpun hanya bisa menyerap tenaga kerja sedikit. Begitulah praktek2 apa yang disebut„bantuan untuk memajukan" negeri2 maju kepada negara yang sedang berkembang.Seorang tokoh teknokrat, menjelang lahirnya Dekon 1963 pernah berkata kurang lebih begini: „Pembangunan kita ini mau kemana? Ke Sosialisme secara sungguh2 atau ke Kapitalisme? Jika ke sosialisme dengan berdikari jalannya panjang. Jika ke kapitalisme, jalannya pendek, mudah memecahkan pola pembeayaan, dan dapat dipastikan dalam tempo pendek di Jakarta akan bermunculan gedung2 pencakar langit, jalan2 raya menjadi licin dan lebar." Setelah Orba berkuasa dan tokoh teknokrat tsb. menjadi seorang menteri, maka yang dipilihnya untuk Orba adalah jalan yang kedua, jalan ke kapitalisme.
Investasi modal monopoli asing masuk mengalir walaupun banyak mengalami kesulitan2 administratif. Demikian pula kredit IGGI sejak tahun 1967 sampai 1972 sebesar $ 3165 juta dan untuk tahun 1973 akan memberikan kredit sebesar $ 760juta. Jumlah kredit menjadi $3925 juta. Bandingkanlah dengan hutang RI sampai tahun 1965 sebesar $ 1620 juta.
Sekarang di Jakarta muncul gedung2 baru yang mewah, jalan2 yang licin dan lebar. Malah hendak saya tambahkan, komunikasi darat-laut-udara yang „lancar", hotel2 baru yang megah,nite-club2, kasino2 dan steambath2, serta rumah2 bertingkat dan mobil mewah yang terbaru dari para pejabat2 tinggi RI didaerah Kebayoran dan sekitarnya.
Memang „tanda2 kemajuan", karena kesemuanya itu adalah sarana2 (infrastruktur) untuk melancarkan dan mempermudah lalu lintas kegiatan kesibukan dari operasi modal besar monopoli asing di Indonesia termasuk upah jerih payah bagi para kompradornya disini. Tetapi adakah Rakyat yang luas, termasuk lapisan menengah di Indonesia memperoleh keuntungan dari„kemajuan" berkat „bantuan" modal, keahlian dan teknologi tsb?
Tidak, seperti telah dijelaskan diatas, perusahaan2 nasional menjadi banyak yang bangkrut dan menambah banyaknya kaum buruh yang nganggur, serta adanya tindakan2 mengintensifkan penagihan pajak terhadap Rakyat dengan rencana penempatan mantri2 pajak pada tiap RW serta diperhebatnya tabungan berupa Tabanas dan Taska. Rakyat desa mengeluh terhadap kebijaksanaan memajaki pohon2 buah dalam pekarangan serta atas ternak peliharaan perumahan.
Perkembangan sekarang membikin menyolok perbedaan antara kaya dan miskin, sampai Jendral AH Nasution pernah mengatakan „tidak adanya keadilan sosial mengkroposkan ketahanan nasional."
Dibawah Pemerintahan Orba proses kemiskinan Rakyat Indonesia masih akan terus berjalan. Dan kita semua sedang menyaksikan derap mundurnya dunia kapitalis sandaran RI sekarang. Krisis moneter yang kedua dalam waktu 14 bulan persaingan yang tajam, inflasi dan pengangguran yang bertambah besar, harga naik dan berkembang pesatnya segala macam kejahatan dengan dekadensi moral dan susila yang menyeramkan. Antara satu krisis ke krisis yang lain waktunya kian pendek dan akibatnya kian mendalam rusaknya! Antara konsensus penyesuaian sementara dengan percikan2 api perang dagang diantara kekuatan2 ekonomi dalam dunia kapitalis semakin pendek waktunya. Hal2 itu semakin menghabiskan argumentasi kaum teknokrat untuk mencoba membela diri dengan teori2-nya dengan apa yang selalu mereka sebut sebagai negara maju,dunia modern, kepada siapa, negara2 sedang berkembang seperti Indonesia ini harus meminta bantuannya berupa "modal,keahlian dan teknologi." Katanya ini dimaksudkan supaya Indonesia dapat mengejar ketinggalan, mengatasi keterbelakangan, dengan „akselerasi modernisasi" 25 th!
Celakanya, bahwa Rakyat sedunia termasuk Rakyat Indonesia juga mendengar ucapan tokoh2 dunia kapitalis Eropa dan Jepang, negarawan2 Dunia Ketiga yang sama sekali bukan orang Komunis, yang mengungkapkan dengan kata2 yang tak terbantah bahwa krisis moneter dunia Kapitalis tersebut bersumber pada krisis ekonomi AS. Pabrik2 banyak yang setengah kerja dan gulung tikar dengan ekses pengangguran kian besar, inflasi yang menghebat dengan akibat harga naik dan daya beli yang merosot. Penguasa AS melempar beban krisis tsb. kepundak Eropa dan Jepang dan terutama kenegara2 sedang berkembang.
Departemen Perdagangan Amerika Serikat sendiri menyatakan bahwa biarpun neraca pembayaran perdagangan luar negeri menunjukkan defisit yang besarnya memecahkan rekort selama ini yaitu sebesar $ 13,7 miljard, tetapi sebaliknya angka2 pemasukan laba modal besar AS diluar negeri selalu menunjukkan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Terdorong oleh krisis AS tersebut, wajarlah bila modal2 besar monopoli AS iluar negeri terutama dinegara2 yang sedang berkembang melipatgandakan ksploitasinya, mengeduk kekayaan alam dan memeras tenaga kerja negeri lain yang relatif murah itu, untuk dalam waktu pendek menghasilkan keuntungan yang se-besar2-nya.
Krisis moneter dunia Kapitalis tak bisa tidak akan membawa akibat bertambah buruknya ekonomi dalam negeri.
Dengan devaluasi $ 10%, maka jelas kekuatan pembayaran devisa Indonesia akan menjadi turun juga. Barang2 import pada umumnya akan naik, demikian pula harga produksi perusahaan2 dalam negeri yang bahan bakunya bergantung pada import akan naik pula harganya. Situasi ini akan membuat daya beli Rakyat merosot. Sedangkan mengenai barang2 eksport secara teoritis bisa didorong maju, tapi harganya turun dan oleh karena itu volume eksport harus diusahakan untuk bisa dinaikkan. Disini letak kesulitan Indonesia berhubung perdagangan luarnegerinya (eksport) hanya berjalan dengan dunia Kapitalis yang justru dalam keadaan krisis, sedangkan tidak dengan negara2 Sosialis yang secara relatif ekonominya dalam keadaan stabil.
Sekarang yang perlu diperhatikan ialah bagaimana digalang politik kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Bukan kerja sama ekonomi yang diberi etiket „bantuan" tetapi dalam praktek adalah hubungan antara tuan dan jongosnya; yang untung hanya modal monopoli asing dan segelintir kompradornya dan yang rugi yalah Rakyat Indonesia secara luas.
Apabila jiwa '45 masih menyala didada dengan modal kekayaan alam kita sebagai jaminannya, maka tidak ada alasan untuk tidak dapat dikembangkan kerja sama ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan antara Indonesia dan negara2 lain, apapun sistim sosialnya. Sehingga bantuan yang kita terima pun bukan bantuan yang menjerat leher kita dan menggadaikan anak cucu kita, melainkan bantuan yang membantu mempercepat ekonomi Indonesia,berdikari
Dengan menepuk dada bahwa pemasukan negara dari sektor minyak dan kayu terus bertambah besar, maka kemunduran pemasukan dari sektor eksport barang tradisional kita—seolah2 tidak usah menjadi soal yang dirisaukan. Kendatipun enperdag Sumitro mengakui bahwa penghasilan yang diperoleh ari barang2 tradisionil inilah justru yang menyangkut ebagian besar hidup manusia Indonesia.
Disamping itu tidak perlu menjadi ahli ekonomi untuk engerti bahwa kemerosotan eksport kita disebabkan karena idak bebasnya politik perdagangan luar negeri Indonesia ang telah menjadi embel2 dari pasaran Amerika Serikat dan Jepang. Sehingga untuk berhubungan dengan PBE saja, banyak soal yang menghalangi. Apalagi untuk bebas berdagang dengan negeri2 sosialis ada soal politik katanya.
Sebaliknya negara2 besar Kapitalis sendiri, AS, Jepang maupun negara2 yang tergabung dalam PBE, untuk memecahkan kesulitan ekonominya, mereka dengan hebatnya melakukan diplomasi dagang kemana saja, biarpun persaingan diantara mereka sendiri kian keras dan kian tajam.
Problim pengangguran yang kini bertambah telah mendorong ahli2 ekonomi berbicara tentang teknologi pembangunan, industri2 asing bermunculan dengan teknologi modernnya yang dahulu di-bangga2-kan bakal memecahkan soal pengangguran, kini ternyata hanya memerlukan tenaga kerja sedikit, dan bersamaan itu industri nasional yang sejenis kalah bersaing dan—gulung tikar.
Sekarang konsepsi proyek padat karya yang bisa menampung tenaga kerja banyak dianjurkan. Mana ada modal besar bersedia? Modal nasional dalam keadaan sulit, Jawatan Sosialpun tak mampu. Bukanlah rahasia lagi bahwa keinginan untuk bekerja diluar negeri bertambah besar. Para sarjana kita dan tenaga2 kebanyakan menengah, banyak yang menempuh macam2 usaha untuk bisa bekerja keluar negeri, ke Jerman Barat, ke Malaysia, ke Suriname, New Caledonia dsb. Mereka tidak melihat prospek baginya ditanah-airnya sendiri. Sudah tentu bukan satu hal yang aneh bila para mahasiswa kita yang belajar diluar negeri setelah tamat pun menjadi enggan untuk pulang kembali ke tanah air. Bukan saja soal jaminan adanya lapangan pekerjaan, soal politikpun cukup peka, sedikit saja dahulu bersemangat patriotik, bisa terkena pasal indikasi biarpun pada tahun 1965 tidak berada di Indonesia. Dari politik minta kredit dan investasi modal asing, dari politik perdagangan luar negeri, dari soal teknologi dan tenaga kerja dan sebagainya—menunjukkan, bahwa politik pembangunan ORBA yang katanya rasionil dan pragmatis ini tidak lain yalah pembangunan untuk kemakmuran segelintir kecil orang supaya bisa membikin warisan buat tujuh turunan dan pembangunan untuk memperbanyak dan memperluas kemiskinan di Indonesia yang alamnya kaya raya.
Dan tragis ironisnya mereka yang sibuk memperkaya diri untuk bisa punya warisan tujuh turunan ini paling keras berkata: „Kita sedang kerja keras membanting tulang supaya keadaan semakin mantap, supaya kita bisa mewariskan jiwa '45 kepada generasi sekarang yang akan merupakan generasi penerus."
Dengan contoh2 diatas, nyatalah bahwa ORBA sekarang tidak berpegangan pada Undang2 Dasar '45 fatsal 33 ayat 2 dan 3 sbb: „cabang2 produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara" dan „Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya"
Sidang Majelis Hakim yth.
Mayoritas mutlak Rakyat Indonesia adalah petani,petani penggarap.
Dalam Pelita I Pemerintah Orba mencantumkan prioritasnya kepada pertanian disamping infrastruktur dan dalam Pelita ke II ditambah dengan industri dan pertambangan. Sektor pertanian adalah kunci kenaikan produksi pangan kunci stabilitas nasional.
Sejak RRT berdiri, para ahli AS memberi nasehat tentang betapa berbahayanya jika pembangunan di-negeri2 agraris tidak berhasil mengangkat petani miskin dan tani penggarap yang merupakan mayoritas tenaga produktif itu dari jurang kemiskinan, maka „RRT-2" yang lain akan bermunculan.
Cabang ilmu baru telah lahir di AS untuk mendidik ahli2-nya yang akan disebar ke-negeri2 sedang berkembang yang masyarakatnya agraris, yaitu ilmu pembangunan masyarakat desa, PMD. Peningkatan lebih jauh dari„PMD" ini yalah teori revolusi hijau (green revolution) dan yang terakhir yalah teori revolusi merah jambu (the pink revolution). Intinya yalah dengan pelbagai bantuan teknis pertanian dari bibit sampai dengan pupuk, dari irigasi sampai dengan penggilingan padi dsb-nya, berusaha meningkatkan produksi semaksimal mungkin. Pendekatang secara teknis ini ternyata gagal, perlu ada pembaruan sosial sebab bagaimana tani penggarap bisa produktif bila tidak memiliki tanah sendiri, bila tukang ijon dan tengkulak merajalela, bila tuan-tanah menetapkan syarat2 se-enaknya sendiri pada kaum tani penggarap yang tak berdaya. Tani miskin dan tani penggarap lari ke-kota2 menjadi buruh musiman atau buruh gelandangan. Proses urbanisasi menjadi problim baru yang pelik di-kota2. Ketegangan sosial semakin menajam. Produksi pertanian merosot, sebab tidak ada ceriteranya tuan tanah atau pemilik tanah absente yang bermukim dikota sebagai pejabat yang kelebihan duit, ambil pacul menggarap tanah sendiri. Stratifikasi sosial (susunan/struktur lapisan sosial) yang sedemikian ini pada tingkat tertentu membahayakan kepentingan eksploitasi modal asing dan pemasaran barang2- nya. Pembaharuan sosial yang terbatas perlu dilaksanakan, perlu dengan landreform terbatas, tanah tuan tanah dibeli negara dibagikan pada tani penggarap dan tani miskin sehingga dengan begitu mereka menjadi tani sedang. Modal tuan tanah disalurkan ke proyek2 industri bekerjasama dengan modal asing, tukang ijon dan tengkulak dibersihkan, maka hilanglah sumber bahaya laten, mayoritas Rakyat yang paling miskin tsb. Reform sosial itu mereka namai revolusi merah, jambu.
Bagaimana prakteknya?
Konsepsi tsb. yang nampaknya agak maju hakekatnya adalah bagian integral dari konsepsi neo-kolonialis, untuk menjamin dan melestarikan operasi eksploitasi daripada modal asing di-negara2 agraris. Tetapi kena apa gagal dan gagal? Dan teknokrat2 di-negara2 sedang berkembang yang telah susah payah mencoba untuk melaksanakan rumus2 yang diperoleh di universitas2 AS sana, menjadi rambutnya cepat memutih. Jawabnya sederhana: Penguasa dan aparat utamanya telah menjadi penghalang pokok bagi pembaharuan terbatas tsb. Penguasa dan aparat utamanya yang merupakan minoritas yang berkuasa kepentingannya telah jalin menjalin dengan tuan tanah, tukang ijon, tengkulak dan kaum parasit lainnya didesa. Disitu letak soalnya. Bahwa usaha untuk melenyapkan sisa2 feodalisme dengan ber-macam2 bentuk penghisapan yang tumpuk menumpuk dan jalin menjalin, biarpun hanya terbatas, hanyalah mungkin bila bersandar pada perjuangan mereka yang paling berkepentingan secara sadar, yaitu mereka yang terhisap dan tertindas.
Bagaimana keadaannya di Indonesia?
Bimas, Inmas dan Unit Koperasi Desa adalah program Pemerintah Orba untuk memodernisasi desa. Hakekat Bimas, Inmas dan Unit Koperasi Desa adalah pendekatan secara teknis pada kaum tani. Apa yang dimaksud dengan modernisasi sebenarnya hanyalah penggunaan bibit unggul dari luar negeri, penggunaan pupuk dan obat2-an pemberantas hama import dari luar negeri. Untuk membeli barang2 tsb. kaum tani diberi kredit yang kemudian hutang tsb. dibayar dengan hasil produksinya yang harganya telah ditentukan oleh Pemerintah. Selain hal2 tsb., disuatu desa bisa didatangkan sebagai perkenalan dengan kaum tani alat2 pertanian modern, alat2 penggilingan beras, dsb.
Untuk melakukan pembaharuan sosial terbatas, takut dianggap melaksanakan sebagian daripada Undang2 Pokok Agraria dan Undang2 Pokok Bagi Hasil yang dianggap berbau Komunis. Demonstrasi daripada kegagalan Pemerintah dibidang pertanian ditunjukkan pada waktu enam bulan terakhir ini.
Dalam pidato kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 17 Agustus 1972 menyatakan supaya target produksi beras dari 15,4 juta ton diturunkan menjadi 14,8 juta ton, karena beras sudah cukup dan tidak perlu import lagi.
Tetapi tidak sampai 3 bulan dari pidato kenegaraan itu tahu2 persediaan beras lenyap. Menurut keterangan2 dari pejabat2 Orba, karena musim kering yang panjang produksi beras merosot dan dinyatakan pula kemungkinan adanya eksport beras yang gelap. Yang pasti pejabat2 Orba kalang kabut.
Dimobilisasi besar2-an import beras dari berbagai negara termasuk beras ex RRT dari Hongkong. Menteri Perdagangan Sumitro yang dalam beberapa tahun dapat mempertahankan harga beras yang dapat dikatakan stabil, karena S.O.S beras, akhirnya harga beras naik berlipat ganda. Kenaikan harga beras ini telah diikuti oleh kenaikan harga2 kebutuhan hidup lainnya. Laju inflasi yang dalam th. 1966 sebesar 65% dapat ditekan terus sehingga menjadi 2,47% dalam tahun 1971 dan pada waktu belakangan karena terutama disebabkan kenaikan harga beras, maka inflasi naik lagi menjadi 25%. Laju inflasi ini telah menambah merosotnya nilai upah kaum buruh, sedangkan senjata kaum buruh „aksi2 mogok" untuk digunakan dalam membela hak2 sosial dan hak2 politiknya, dilarang oleh Pemerintah Orba.
Tentang merosotnya produksi padi, Menteri Transkop Prof. Dr. Subroto menyatakan tentang kenyataan bahwa didesa2 banyak petani penggarap yang tidak memiliki tanah sendiri dan bahwa kaum ijon dan tengkulak masih membebani petani dengan tumpukan hutang yang kian berat. Panjang lebar bicara tentang Unit Koperasi Desa, tapi tidak satu kalimatpun menyinggung tentang bagaimana mengubah kedudukan sosial kaum tani penggarap tak bertanah dan tani miskin yang merupakan mayoritas penduduk desa itu.
Sidang Pengadilan Yth.
Selama sisa2 feodalisme yaitu:
pemilikan tanah tanpa batas oleh tuan tanah berlakunya sistim sewa tanah dalam ujud natura atau dalam bentuk kerja adanya kerja rodi, sistim ijon dan hutang yang mencekik leher kaum tani, maka selama itu produktivitas kerja kaum tani tak mungkin bisa didorong naik, produksi pertanian tak akan bisa didorong maju, dan daya beli kaum tani akan terus merosot.
Hal demikian itu akan membawa akibat,
1. tidak bisa diatasinya kekurangan produksi pangan sehingga menyebabkan besarnya jumlah devisa digunakan untuk mengimport beras ataupun tepung, bulgur, dsb.
2. karena lemahnya daya-beli kaum tani, maka hasil2 barang industri tak akan bisa terbeli oleh kaum tani sehingga dengan begitu tidak mendorong perkembangan maju industri dalam negeri, belum lagi kalah bersaing dengan modal monopoli asing.
Dari semua keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa,
Indonesia sampai sekarang tidak berubah sebagai negeri agraris yang terbelakang, sumber bahan2 mentah bagi negeri2 imperialis, tempat penanaman modal asing dan sumber tenaga murah. Indonesia yang ekonomis tergantung pada negara2 Barat terutama AS, maka dibidang politik dan dibidang militer tak bisa membebaskan diri dan malahan sepenuhnya tergantung pada AS.
Demikianlah proses berlangsung selama kekuasaan Orba.
Indonesia yang pada mulanya merupakan negeri yang belum merdeka penuh dan setengah feodal menjadi satu negeri jajahan model baru atau bisa disebut negeri neo-kolonial. Kekuasaan negara dinegeri2 neo-kolonial itu terdiri dari klas2 kapitalis birokrat, komprador dan tuan tanah, mewakili dan mengabdi pada imperialisme dan sisa2 feodalisme. Khusus di Indonesia sekarang, klas2 tsb. diwakili oleh rezim militer kanan yang anti demokrasi, anti Rakyat dan anti Komunis.
3. Histeria
Sidang yth,
Tokoh2 State Department dan Pentagon sering memuji Indonesia sebagai bastion terkuat „dunia bebas" di Asteng, setelah berhsilnya orang2 komunis dan demokrat Indonesia ditumpas dan dilumpuhkan dengan ongkos semurah-murahnya. Ketika IGGI mempersulit pemberian kredit lantaran minta syarat2 yang lebih nikmat lagi maka Menlu Adam Malik mengucapkan kata2 cerdik sebagai berikut: „Ya, kami sudah berhasil gemilang menumpas kaum komunis tanpa sesen dollar-pun dari mereka." Disamping pujian dan soal balas jasa penulis2, sarjana2, tokoh2 dunia kebudayaan dan juris2 dari dunia barat, Termasuk Amerika Serikat sendiri, merasa cemas melihat cara penumpasan terhadap kaum merah di Indonesia. Itu dianggapnya bukan saja memerosotkan martabat kemanusiaan, tapi juga dikuatirkan akan menimbulkan ekses2 dan akibat2 yang jauh dikemudian hari.
Telah menjadi pendapat umum didalam dan diluar negeri, bahwa pembasmian kaum merah dengan terror putihnya diIndonesia telah menciptakan histeria anti komunis dari Penguasa dan sementara aparatnya yang dipupuk terus dengan motief menutupi Kegagalan, kekurangan dan kelemahan penguasa sendiri, dan untuk mengeduk terus dana2 taktis bagi mekanisme sistem intel yang kerjanya siang malam memprodusir ancaman2, kecurigaan2, pemerasan2 untuk melumpuhkan semua ide2, kritik2 dan oposisi terhadap kekurangan atau kekeliruan Pemerintah atau penjabat2 penting Pemerintah yang sudah vested, dengan dalih berburu „sisa2 G.30.PKI."
Saya teringat seorang sarjana asing dari Negeri Barat yang menyatakan k.l. begini: „Jika dibawah Presiden Sukarno dulu RI merupakan negara panitia, maka dibawah Presiden Suharto sekarang ini RI merupakan negara intel." Ucapan tersebut mengingatkan saya kepada Dr. Fidel Castro yang disaat2 revolusi Kuba mencapai kemenangannya pernah berkata k.l. demikian: „Tahukah rakyat Kuba, bahwa kemenangan revolusi Kuba telah dipercepat oleh kerjanya mesin intel-nya rezim Diktator Militer Fulgencio Batista yang siang malam kerjanya menakut-nakuti, mengancam dan menyakiti banyak orang yang dicurigai, sehingga memperluas kekuatan pendukung revolusi Kuba." Disinilah apa yang sering disebutdialektikany
Mari kita periksa, akibat apa yang ditimbulkan oleh histeria anti kom tersebut. Bahwa histeria tersebut telahmerugikan seluruh bangsa telah mengakibatkan hal2 yang menyedihkan dibidang perkembangan ilmu, kebudayaan dan hukum barangkali tidak banyak orang mau memikirkan. Mungkin juga banyak, tapi takut untuk mengemukakan, karena pikir2 akan keselamatan dirinya.
Sidang Yth,
Pelarangan penyebaran Marxisme-Leninisme tElah mempersulit jika tidak menutup kesempatan orang untuk mempelajari theori tsb dibidang filsafat. Karena theori Marxisme-Leninisme tidak hanya berbicara dibidang filsafat tetapi siapapun tahu bahwa dialektika materialisme-
Dalam majalah INTISARI th 1966 pernah ditulis editorial tentang pelarangan mempelajari Marxisme-Leninisme sebagai satu tindakan yang tidak bisa dimengerti, karena bagaimana orang tahu tentang kesalahan atau ketidakbenaran Marxisme-Leninisme kalau untuk mempelajari saja orang dipersulit atau salah2 bisa di „sisa2 G.30.S/PKI „kan. Saya juga memaklumi, jika pusat2 ilmu pengetahuan di Amerika Serikat sendiri kaget, kenapa tindakan itu diambil, padahal penguasa Amerika yang anti komunis itu mengumpulkan semua penerbitan dan publikasi ilmiah sebanyak mungkin dari negara2 sosialis dan dari organisasi2 rakyat/Partai Komunis dari negara manapun untuk distudi dan dilakukan penelitian secara ilmiah.
Akibat histeria anti-kom dibidang kebudayaan juga tidak sedikit bila tidak boleh dikata menyedihkan dan memalukan. Rezim Hitler yang dianggap paling biadab pernah melarang pemusnahan benda2 budaya, termasuk tidak membakari lektur lawannya. Maka di Indonesia yang dianggap berbau "Lekraisme" dirusak, dibakar, disita dan dimusnahkan.
Lukisan dan patung2 karya seniman2 rakyat Indonesia yang menggambarkan Keindahan alam bumi pertiwi Indonesia, yang menggambarkan betapa gairah kerja kaum buruh dan tani dalam mempertinggi produksi dan sebagainya telah dihancurkan. Sampai2 piringan hitam Bing Slamet yang berisi agu rakyat Banyuwangi yang sudah ada sejak 3 zaman, yaitu GENDJER2 pun ikut harus lenyap dari peredaran.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang katanya mengerti kebudayaan—mengerti arti patung dan lukisan, mengerti peranan musik rakyat dan lagu rakyat (folksong) bungkem dalam 1001 bahasa tentang semua kejadian tsb dan kalau kita pinjam logika interogator2 terhadap Tapol, maka bungkem itu berarti setuju.
Kini, kita menyaksikan bahwa kehidupan kebudayaan di Indonesia berpusat dikota2 besar. Kebudayaan yang bagaimana? Indonesia yang baik yang mencerminkan kepribadiannya sendiri? Tidak! Eropa atau dunia barat yang baik yang mencerminkan karya2 senimannya yang baikpun ... tidak!
Seniman2 dan seniwati2 Indonesia yang berbakat, yang banyak sekali jumlahnya itu, telah ditempatkan dalam posisi yang sulit. Untuk hidupnya mereka harus berkarya. Untuk bisa berkarya yang lumayan, mereka harus ikut arus zaman Orba ini, yaitu semua kegiatan kebudayaan praktis dalam rangka sale promotion perusahaan2 besar, dalam rangka hiburan dekaden-nya Nite2 Club dan Casino2, dimana iklim maksiat gampang menjerat mereka yang moralnya tidak teguh atau mereka yang terpaksa - demi periuk dirumah memanggil- manggil! Saya sama sekali tidak menyalahkan seniman2 seniwati kita, mereka hanyalah korban dari sistim dan iklim kehidupan kebudayaan dibawah rezim Orba ini. Ketika hebat2-nya narkotika melanda anak2 remaja dan pemuda2, ketika kejahatan seks merajalela, ketika keberandalan anak2 muda itu meningkat dalam bentuk gang2, maka ada orang bilang "bukannya tak mungkin itu kerja sisa2 G.30.S PKI untuk menghancurkan generasi muda pewaris penerus Orba ini." Bukan main saudara2, histeris ....!
Barangkali bagi siapapun yang masih segar pikirannya, masih ingat adalah pada masa organisasi2 rakyat revolusioner dan demokratis masih ada, mereka tidak pernah mentolerir berbagai penampilan dari kebudayaan dekaden itu. Sebaliknya untuk itu Lekra misalnya aktif mendorong penciptaan kreasi2 baru dari kebudayaan daerah kita, aktif memelihara cabang2 kesenian klassik rakyat kita yang mengandung nilai2 yang tinggi, maupun aktif mendorong penciptaan baru yang modern- kontemporer, dengan prinsip 2 tinggi, yaitu tinggi dalam pemilihan thema yang positip, konstruktip dan edukatif dan tinggi dalam penggarapan dan penyajian artistik-nya. Betapa sedihnya bila kita merenungkan dalam2 tentang thema2 dari sebagian terbesar lagu2 pop sekarang yang melukiskan rasa kecewa, putus asa dalam cinta, putus harapan akan masa depan. Bukankah ini menggambarkan keadaan umum sekarang?
Tetapi saya sama sekali tidak akan menyalahkan anak2 muda remaja kita tersebut. Mereka sebenarnya putera2 berbakat yang tidak dapat menghindarkan dirinya dari arus kebudayaan produk penguasa Orba ini. Saya percaya akan datang harinya -- seperti halnya yang kini sudah mulai terjadi di Amerika Serikat dan kota2 Eropa Barat lainnya, generasi muda akan tampil melawan semua bentuk kebudayaan yang dekaden itu, akan membelejeti segala manifestasi kehidupan kaum vested, kaum establishment yang memuakkan itu.
Sidang yth,
Tidak adanya Rule of Law di Indonesia sekarang sudah saya kupas secara pokok didepan. Kini saya ingin menambahkan beberapa hal saja tentang akibat histeria anti komunis dibidang hukum.
Berkat „pasal indikasi" telah terjadi penangkapan yang semau-maunya terhadap siapa saja yang tidak disukai, kemudian berkat cara pemeriksaan yang sadis, dengan pukulan2 yang mengerikan, dengan stroom listrik, dengan isolasi dan makanan yang membikin orang cepat lumpuh, dengan keluarganya yang tak tahu menahu persoalannyapun ikut ditekan, diancam, diperas, dirusak untuk menekan secara psikis terhadap tapol yang bernasib malang tersebut, cara2 mana tidak saja terhadap laki2 tapi juga terhadap wanita, bahkan perkosaan2 juga berlangsung. Berkat cara2 itu semua yang katanya demi Pancasila dan UUD 45 telah berhasil melahirkan „orang2 PKI baru" yang diciptakan oleh Penguasa sendiri dengan bantuan "pasal dibina" dan „pasal gregetan" („pasal dongkol").
Bagaimana perawatan dan perlakuan terhadap Tapol2 dalam kamp2 tahanan tsb? Inipun sudah menjadi rahasia umum didalam dan diluar negeri. Saya kira semua tertuduh yang pernah disidangkan sebelum saya tentunya sudah membongkar persoalan itu didepan Mahkamah ini, demi rasa keadilan, demi tidak diperkosanya terus UUD '45 dan Moral Pancasila oleh aparat2 Pemerintah sendiri baik secara sadar maupun karena terpaksa oleh tekanan dari atasannya. Sampai detik ini, perlakuan2 yang tidak wajar terhadap tapol masih berjalan terus walaupun sang waktu sudah berjalan hampir sewindu lamanya. Dengan rasa prihatin yang mendalam, saya merasa tak perlu untuk menyingkap fakta2nya satu persatu.
Kemudian juga perlu dijelaskan bahwa cara2 persidangan mengesankan dengan nyata adanya proyek jatah. Untuk menggambarkan seolah-olah G.30.S yang gagal itu memang dipersiapkan dan didukung oleh PKI dan dibantu oleh ormas revolusioner dan demokratis serta dibantu oleh penjabat2 sipil dan militer yang katanya „dibina" PKI, maka diaturlah pemilihan dan urutan dari orang2 yang harus disidangkan itu sedemikian rupa sehingga merupakan suatu konstruksi sesuai dengan kepentingan Penguasa Orba tsb. Sebanyak mungkin orang menjadi Hoofdader, dan satu sama lain menjadi saksi-nya!
Mengenai jalannya pemeriksaan pendahuluan dan berlangsungnya Mahkamah2 Pengadilan terhadap tapol G.30.S, saya menjadi teringat kepada almarhum Edward Douwes Dekker alias Multatuli dalam bukunya Max Havelaar yang melukiskan secara sarkastis keadaan hukum zaman kolonial Belanda dulu yaitu seratus tahun yang lalu. Seorang rakyat kecil ditangkap, dituduh mencuri, dengan gebuk yang bertubi-tubi terpaksa membikin pengakuan palsu dari hanya mencuri sedikit, menjadi mencuri banyak, dan dari mencuri banyak meningkat menjadi membunuh pemiliknya, dan karena itu ia harus dihukum mati.
Saya kira para pembaca di Indonesia dari kalangan yang luas akan dapat membandingkan sendiri secara kritis apakah yang terjadi dialam kolonial seabad yang lalu itu masih berulang lagi dalam bentuk yang lain dizaman kita "merdeka" ini. Sebenarnya saya merasa sangat prihatin harus mengemukakan ini, tetapi seruan saya ini berasal dari kecintaan saya kepada tanah air dan rakyat Indonesia.
Sungguh menyedihkan bagi generasi sekarang dan nanti kalau dibawah semboyan Memurnikan Pancasila dan Pelaksanaan UUD 45 yang terjadi justru praktek2 yang sebaliknya yang membikin buruk tidak hanya nama Penguasa sekarang, melainkan nama Indonesia yang dibela oleh jutaan jiwa dan raga patriot2 yang sudah tiada lagi maupun patriot2 yang masih hidup dan yang bersikap akan meneruskan tekad dan cita2 mereka.
B. Mau Kemana Indonesia Dalam Gejolaknya Situasi Internasional Sekarang Ini
Majelis Hakim yth,
Berbicara tentang masalah situasi internasional pada dewasa ini, tentu orang tidak heran apabila saya mengawalinya dengan masalah Vietnam. Ditandatanganinya persetujuan pengakhiran perang dan pemulihan perdamaian diVietnam pada tanggal 27 Januari 1973 yang baru lalu di Paris oleh Menlu Republik Demokrasi Vietnam (RDV) Nguyen Du Trinh, Menlu Pemerintah Revolusioner Sementara Republik Vietnam
Selatan Ny. Nguyen Thi Binh, Menlu Pemerintah Amerika Serikat William Rogers dan Menlu Pemerintah Republik Vietnam Selatan Saigon Tran Van Lam, adalah salah satu peristiwa bersejarah penting diawal th 1973 ini. Belum pernah orang menyaksikan kesibukan lalu lintas diplomasi sepadat sekarang, yang dilakukan oleh negawaran2 dari negara2 besar, sedang maupun kecil. Vietnam, dan kelanjutan Vietnam serta pengaruhnya, telah menjadi salah satu acaranya. Kehebohan yang ditimbulkan oleh krisis dollar dalam dunia kapitalispun tidak mampu menggeser perhatian dan percakapan dunia terhadap Vietnam, terhadap masalah Indo-China. Dulu pernah ada pendapat bahwa Vietnam adalah titik pusat telengnya kontradiksi2 dunia. Kontradiksi antara bangsa (nasion) yang terjajah dengan imperialisme, kontradiksi antara sosialisme dengan imperialisme, kontradiksi antara imperialisme dengan imperialisme, kontradiksi antara burjuasi dan roletariat.
Kesemuanya itu termanifestasikan dalam pergolakan di Vietnam. Karenanya, dikatakan waktu itu, bahwa penyelesaian Vietnam akan menjadi pendorong penting bagi penyelesaian kontradiksi2 lainnya didunia ini.
Banyak orang dan kalangan berusaha menarik pelajaran dari sejarah perjoangan Vietnam, ditinjau dari sudut pandangannya masing2. Namun, dari macam2 pendapat tentang Vietnam, saya melihat ada satu bidang persamaan pandangan yang menguasai pendapat umum dunia sekarang, yaitu:
Pertama, Di Vietnam telah terjadi perang. Buktinya ada persetujuan pengachiran perang dan pemulihan perdamaian.
Amerika Serikat telah terlibat, meskipun Presiden AS dengan dukungan Konggres tak pernah menyatakan perang kepada Vietnam. Jadi telah terjadi perang yang tidak diumumkan.
Kedua, Perang yang berlangsung di Vietnam adalah perang agresi, perang untuk menyampuri urusan dalam negeri rakyat negeri lain, perang untuk memaksakan kehendak satu negara besar dunia kepada satu negeri kecil, perang yang mengerahkan setengah juta lebih tentera AS yang ultra modern untuk mengalahkan rakyat Vietnam yang lemah, dan yang telah dijawab oleh rakyat Vietnam dengan Perang Pembebasan Nasional jangka panjang yang terbesar dan terhebat dalam sejarah zaman kini.
Ketiga, Perang harus berachir. AS berjanji menarik pasukan2nya dan pasukan2 sekutunya dari Vietnam, AS berjanji menghormati hak2 azasi rakyat Vietnam termasuk hak menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan asing manapun, untuk mewujudkan perdamaian, kemerdekaan, kedaulatan, kebebasan, netralitas serta menyatukan kembali Vietnam secara damai. Jelas disini, bahwa negara besar telah gagal menundukkan negara kecil, dan negara lemah telah berhasil mengalahkan negara kuat.
Keempat, Tekad dan semangat revolusioner rakyat Vietnam membela kemerdekaan dan menyelamatkan tanah air, kesanggupan dan kemampuannya sendiri menempuh perjoangan berlumuran darah yang tahan lama dan berat, telah merupakan faktor utama yang memungkinkan dicapainya persetujuan pengakhiran perang dan pemulihan perdamaian sebagai satu kemenangan gilang gemilang bagi rakyat Vietnam untuk meningkatkan perjoangannya mencapai kemenangan penuh.
Kelima, Kemenangan rakyat Vietnam tsb dirasakan pula sebagai kemenangan rakyat2 Laos dan Kamboja yang telah bahu membahu dalam juang bersama, bersatu dalam tempur melawan agresi Imperialisme AS dan rezim2 bonekanya demi pembebasan Indo-China, dirasakan pula sebagai kemenangan rakyat2 negeri sosialis yang membantu perjoangan pembebasan Vietnam dan seluruh Indo-China serta yang telah menyediakan wilayahnya sebagai daerah belakang yang dapat diandalkan, dirasakan pula sebagai kemenangan rakyat2 sedunia, termasuk rakyat Amerika sendiri yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah melakukan dan melancarkan aksi2 massa yang besar, luas dan hebat untuk memaksa Pemerintah AS menghentikan keterlibatannya di Vietnam.
Demikianlah yang saya lihat dari pendapat umum dunia tentang Vietnam. Saya merasa yakin, bahwa semua patriot Indonesia merasakan kemenangan rakyat Vietnam tsb sebagai kemenangannya sendiri pula, yaitu kemenangan dari prinsip utama membela kemerdekaan, menyelamatkan tanah air dan memenangkan keadilan! Patriot2 Indonesia pernah mengalami sendiri betapa artinya simpati dan setiakawan rakyat2 negeri lain terhadap perjoangan kemerdekaan Indonesia dimasa lampau, karena itu patriot2 Indonesia dapat menilai dengan tepat apakah artinya kemenangan perjoangan rakyat Vietnam. Memang, hanyalah patriot yang dapat menghargai sesama patriot!
Majelis Hakim Yth,
Belajar dari sejarah adalah penting, agar memiliki penglihatan yang jernih tentang arus sejarah, tentang kemana kecenderungan zaman. Sebab, banyak orang tidak menyangka akan perkembangan yang terjadi di Vietnam sekarang ini.
Namun, adalah kollumnis—bukan komunis--Amerika sendiri yang namanya termashur yaitu Wallter Lippman yang pada pagi2 hari sudah berani meramalkan bahwa nasib AS di Vietnam bakal bagaikan seekor gajah terbenam dirawa berlumpur, mengusir seekor nyamuk yang hinggap ditubuhnya saja tiada mampu ...." Kemudian, adalah rakyat AS sendiri yang dari pengalamannya langsung menemukan kesimpulannya yang tepat tentang hakekat perang Vietnam. Gara2 perang Vietnam anggaran belanja militer naik, mendorong deficit anggaran belanja federal.
Deficit mendorong inflasi. Inflasi mendorong harga2 barang naik, mendorong pabrik2 jadi megap2, mengalami stagnasi, dan angka pengangguran bukannya berkurang tapi meningkat terus. Penelitian yang dilakukan Uskup2 AS menunjukkan bahwa di AS terdapat k.l. 36 juta orang yang benar2 miskin, yang seharinya hanya mampu mengeluarkan uang $1(satu) dollar.
Rakyat AS mulai menyangsikan kebenaran doktrin John Foster Dulles tentang peranan AS sebagai polisi „dunia bebas" untuk mengepung „negara2 dibalik tirai besi" sebagai sumber penyakit menular yang bernama : revolusi pembebasan nasional,-- tentang Vietnam sebagai titik strategis penting untuk membendungnya, lantaran RRT dianggap sebagai sumber ilham (inspirator) dan pelaksana utama apa yang disebut „ekspor revolusi" dan „subversi ideologi," yaitu dua istilah yang dalam dunia ilmu pengetahuan AS telah menimbulkan debat hangat sampai dimana kebenaran ilmiahnya dapat diterima.
Akhirnya tersingkaplah bahwa perang Vietnam hanyalah mendatangkan untung yang melimpah bagi Kompleks Industri Berat Militer (The Heavy Industrial Military Complex), yaitu gabungannya raja uang dan raja perang, gabungannya orang2 di Wallstreet dan Pentagon, yang merupakan kapitalis monopoli negara AS.
Sebaliknya industri2 dan perusahaan2 AS yang tidak menerima order dari Pentagon dan lapisan luas rakyat AS telah dirugikan. Rakyat AS dari kaum buruh sampai intelektuilnya, dari aktor aktris sampai Pemimpin2 Gereja, dari pelajar mahasiswa sampai mahaguru, dari wartawan2 sampai pengusaha2, bangkit dalam gerakan massa yang belum pernah terjadi dalam sejarah AS, besar dan luasnya, menuntut penghentian keterlibatan AS di Vietnam. Manifesto gerakan itu menyatakan a.l.:
„Jika kami tidak bertindak, berarti kami melakukan kejahatan berdiam diri. Kami tidak ingin dikelak kemudian hari mempunyai perasaan yang sama seperti rakyat Jerman ketika Pengadilan Sekutu menjatuhkan vonnisnya terhadap Jendral2nya Hitler di Neurenburg.
Rakyat Jerman merasakan vonnis tsb sebagai ditujukan pula kepada dirinya, karena telah tidak berbuat apa2 untuk mencegah Rezim Hitler menimbulkan bencana dan malapetaka kepada ummat manusia dan kemanusiaan. Karena itu, kami harus menghentikan tindakan Pem. AS mengirim putera2 AS dengan panji2 Deklarasi Kemerdekaan untuk membunuh rakyat Vietnam yang tidak berdosa."
Presiden Nixon adalah presiden AS pertama yang memerintahkan penarikan pasukan2 AS dari Vietnam. Pada tahun2 sebelumnya Nixon masih mendukung doktrin J.F. Dulles. Tapi Nixon sebagai tokoh dunia kapitalis AS ternyata cukup berhati2 dalam memperhitungkan realitas2 baru yang berkembang yang menandai adanya proses transformasi duniayang suka apa tidak suka—merupakan faktor2 yang berpengaruh menentukan cepat atau lambatnya peradilan sejarah menetapkan vonnisnya atas nasib kapitalisme AS.
Dipuncak eskalasi perang Vietnam zaman Presiden L.B. Johnson, ada sebuah berita kecil yang menarik. Sebuah diskusi dikalangan beberapa ahli ilmu politik dan ilmu ekonomi AS tentang kapitalisme dan perang. „Harus diakui satu realitas, kata mereka, bahwa setiap krisis selalu dicari pemecahannya dengan perang. Apakah hal itu akan berlaku seterusnya, yang berarti pembenaran terhadap thesisnya kaum Marxis? Harus ada pemecahan lain, kata mereka itu." Saya tidak perlu menanggapi isi diskusinya, tapi adanya diskusi itu sendiri membuktikan betapa hebatnya pengaruh gerakan rakyat AS dan rakyat sedunia menuntut diakhirinya agresi AS di Vietnam, dimana eksistensi perang itu sendiri memang tak dapat dilepaskan dari eksistensi kapitalisme sebagai sistim. Realitas2 baru apakah yang dihadapi Nixon?
Pemecahan masalah sengketa dunia ternyata tidak dapat diselesaikan oleh dan diantara negara2 superpower saja, chususnya oleh AS dan Uni Sovyet, meskipun hal2 yang bisa membawa kedua negeri tsb berhadapan dalam perang telah dapat dihindari, sehingga prinsip ko-eksistensi secara damai antara negara2 superpower praktis sudah terwujud.
Faktor RRT, 20 tahun diembargo, diblokir, dikepung, dimusuhi, ternyata bukannya semakin lemah, tapi semakin mantap dan semakin erat hubungannya dengan negara2 sedang berkembang dan semakin normal hubungannya dengan sementara negara2 kapitalis sendiri.
Faktor belahan barat Eropa juga tidak bisa diatasnamai terus oleh AS dalam menetapkan politik dunianya. Ekonomi AS yang parah sakitnya, selalu berpengaruh lebih parah di Eropa, sampai ada pemeo, Amerika bersin, Eropa kena flu.
Perkembangan masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dengan PBE-nya belakangan ini menunjukkan perlawanan Eropa Barat terhadap hegemoni dan ekspansi modal2 monopoli AS yang menguasai tidak sedikit industri2 penting Eropa, telah diperkuat dengan masuknya Inggris kedalam MEE pada tahun ini. Ini menunjukkan proses regrouping dalam tubuh dunia kapitalis terus berjalan dan adanya kebangkitan baru Eropa untuk melepaskan diri dari AS. Integrasi ekonomi yang meningkat keintegrasi politik dan bidang2 lainnya, akan memungkinkan MEE dengan PBE-nya sebagai kekuatan ekonomi terbesar didunia bersatu dalam menghadapi persaingan yang keras dengan AS dan Jepang.
Faktor Jepang yang dijuluki orang anak emas AS di Asia itu, ternyata kini telah membikin pusing bapak-nya. Beban berat AS dalam perang Vietnam, ongkos produksi yang relatip paling mahal di AS dibanding negeri2 kapitalis lainnya telah mendorong Jepang membanjiri pasaran dalam negeri AS dibidang elektronika, mobil dsbnya. Barang2 AS kalah bersaing, pabrik2nya gulung tikar, sianak yang sudah besar sudah berani pukul bapa-nya.
Faktor negara2 sedang berkembang, AAA atau dunia ketiga, yang selama ini dianggap sebagai ajang permainan kepentingan AS dan negara superpower lainnya, ternyata peranannya semakin kuat dan mendalam dalam percaturan politik dunia. Penulis2 AS sendiri, seperti penulis buku The Ugly American, The Inside CIA, The Invisible Government, Berkeley Mafia David Ransom) tentang G.30.S, telah membongkarsendiri tentang peranan Pemerintah AS dengan CIA- nya dalam menggulingkan sejumlah Pemerintah Nasional Demokratis di AAA dan mendukung kekuasaan baru dari Rezim2 Militer Pribumi yang dapat menjamin kepentingan vital AS dikawasannya masing2. Tetapi, ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Hegemoni dan ekspansi ekonomi modal2 monopoli AS dinegara2 sedang berkembang tsb telah mengajar rakyat ybs, menemukan kesedaran politiknya untuk membela, mempertahankan dan merebut kembali hak2 dan sumber2 kekayaan nasionalnya, untuk bebas berdaulat sebagai tuan dinegerinya sendiri, bukan sebagai jongos dan sapi perahan. Kesedaran baru tsb tak dapat dilumpuhkan, meskipun narkotika, perjudian, kebebasan seksuil, ya kemaksiatan disegala bentuknya yang merupakan ciri kebudayaan Penguasa baru tsb ditambah dengan kuatnya tachayul dinegeri agraris -- telah berkembang dengan hebatnya -- menyertai politik de- politisasi-nya.
Dalam pelbagai bentuk dan tingkat perjoangannya negara2 sedang berkembang, AAA atau dunia ketiga, orang dapat menyaksikan semakin kuatnya kecenderungan zaman yang menampakkan diri dalam arus2 sejarah negara menuntut kemerdekaan, bangsa menghendaki pembebasan dan rakyat mau ber-revolusi! Perkembangan obyektif tersebut tak dapat dibendung oleh siapapun dan kekuatan yang bagaimanapun besarnya! Vietnam, Laos dan Kamboja adalah contoh dikawasan kita. Lihatlah di Timur Tengah. Perkembangan di Timur Tengah yang sudah bertahun-tahun bagaikan lingkaran setan (vicious circle) tak ada ujung pangkal achirnya, kian membuktikan kepada rakyat2 dikawasan ini betapa kepentingan2 dua negara superpower telah bermain, demi keuntungannya sendiri masing2. Saya percaya bahwa belajar dari pengalamannya sendiri dan pengalaman perjuangan rakyat2 sedunia, rakyat2 dinegeri Arab terutama sekali Front Pembebasan Arab- Palestine dibawa pimpinannya Jasser Arafat, akan berhasil dengan kepercayaan penuh kepada tekad dan kekuatan juang rakyat2 Arab sendiri untuk membebaskan wilayah Arab yang diduduki oleh agresor Israel dan mencapai penyelesaian masalah Timur Tengah secara adil.
Lihatlah di Afrika. Gerakan pembebasan nasional bersenjata di Guinea Bisao, di Angola dan Mozambique melawan rezim ascist Portugal telah memperoleh sukses2 gemilang, daerah bebas-nya kian meluas. Perjoangan sengit menentang tindasan rezim rasialis kulit putih Ian Schmidt di Rhodesia dan rezim rasialis Afrika Selatan telah berkembang pesat menyatukan orang2 kulit hitam dan orang2 kulit putih yang berpandangan progresif, serta memperoleh simpati dan dukungan luas pendapat umum dunia. Perjoangan menentang dominasi modal monopoli asing juga tengah berkembang disementara negara Afrika, dimana tekad berdiri diatas kaki sendiri telah memperoleh tempat sebagai harga diri bangsa tersebut. Peranan organisasi Persatuan Afrika (OPA) dalam memupuk dan mengembangkan setiakawan militan perjoangan masing2 anggotanya untuk melawan rezim2 kolonial,fascis, rezim2 rasialis kulit putih, modal2 monopoli asing yang mencekik leher rakyat Afrika dan bentuk2 penindasan lainnya, telah semakin nyata dan tak dapat diabaikan oleh siapapun.
Lihatlah di Latin Amerika. Latin Amerika yang selama ini dianggap sebagai pekarangan belakang Amerika Serikat, kini tampil melawan modal2 besar monopoli AS yang selama ini menguasai pertambangan2 dan perkebunan2, mengangkut kekayaan alam Latin Amerika, serta memperbesar kemiskinan rakyat2 dinegara2 Latin Amerika. Beberapa negeri yang hidup rakyatnya tergantung kepada penangkapan ikan dilaut telah menyatakan secara adil batas wilayah lautnya menjadi 200 mil, sehingga kapal2 penangkap ikan AS yang ber-peralatan modern itu tidak seenaknya sendiri beratus-ratus mil dari negerinya sendiri mengambili ikan disepanjang batas wilayah laut Latin Amerika tsb.
Organisasi kerjasama ekonomi regional ANDES yang menghimpun 5 negeri Latin Amerika untuk mengembangkan ekonomi berdikari melawan dan melepaskan diri dari ketergantungannya kepada modal2 besar monopoli asing AS, untuk semaksimal mungkin mengusahakan sumber2 kekayaan alamnya bagi kepentingan rakyatnya sendiri telah semakin berkembang memperoleh hasil2 yang meyakinkan, mempertebal rasa harga diri rakyat dinegeri2 tersebut.
Demikian sepintas faktor negara2 sedang berkembang.
Semangat dan jiwa apakah yang melandasi perjoangan negeri2 sedang berkembang tersebut?
Jika kita perhatikan dengan seksama aspirasi2 negara2 sedang berkembang dalam forum2 PBB, forum2 konferensi2 regional baik antar pemerintah maupun antar rakyat, forum2 KTT Non Blok, sidang2 UNCTAD, forum2 konferensi internasional gerakan massa dsb dsbnya lagi, maka hasil2 KONFERENSI ASIA AFRIKA yang pertama dalam sejarah tg 18 s/d24 April 1955 di kota BANDUNG, yaitu DASASILA BANDUNG, telah menjadi andasan perjoangan bersama mereka selama ini.
Dasasila Bandung atau The Ten Principles of Bandung sering pula dipadatkan dalam istilah semangat Bandung atau Bandung- spirit, yaitu semangat anti imperialisme, kolonialisme dan neo kolonialisme dalam segala manifestasinya dan prinsip ko-eksistensi secara damai antara negara2 dengan sistim sosial yang berbeda. Sebagai ilustrasi dari kuatnya semangat Bandung ini, pada detik2 ini saya terkenang kepada ucapan Almarhum Ho Chi Minh dan Almarhum Bung Karno. Almarhum Ho Chi Minh berkata: „TAK ADA SESUATU YANG LEBIH MAHAL HARGANYA DARIPADA KEMERDEKAAN!". Almarhum Bung Karno menegaskan: „KITA CINTA DAMAI, TAPI KITA LEBIH CINTA KEMERDEKAAN!"
Memang, proses historis telah menempatkan kondisi2 yang bersamaan di AA, sama hakekat perintang penghalang bagi kemerdekaan dan kebebasannya. Karena itu wajar pula bila AA memiliki landasan juang yang sama. Itulah soalnya!
Majelis Hakim yth,
Dihadapkan pada realitas2 baru tersebut saya kemukakan secara sepintas saja, maka Presiden Nixon telah muncul dengan doktrinnya, Doktrin Nixon. Langkah2 apa yang ditempuh Nixon dengan Doktrinnya tsb? Dengan politik Vietnamisasinya, Nixon mencoba menyulap kemampuan dan ketangguhan tentera rezim boneka Saigon dengan bantuan perlengkapan persenjataan yang hebat untuk sejuta tentera, melatihnya dengan gerakan invasi kewilayah Kamboja untuk menolong rezim boneka Lon Nol serta kewilayah Laos untuk menolong rezim kanan Vientienne. Sementara itu pembom2 strategis AS B.52 membakari dan menghancurkan hutan, sawah, ladang dan perumahan rakyat diVietnam sampai ke utara Hanoi dan juga diseluruh Laos dan Kamboja.
Politik Vietnamisasi Nixon dijawab dengan KTT Rakyat2 Indo-China, dimana pemimpin2 RDV, Pemerintah Kerajaan Kamboja dibawah pimpinan Pangeran Norodom Sihanouk, Pemimpin2 Sementara Pemerintah Rev. Rep. Vietsel dan Pemimpin Front Patriotik Laos, telah bertemu untuk menyatukan tekad dan juang bahu membahu dalam tempur sampai terbitnya matahari kemerdekaan dan kebebasan diseluruh Indo- China. Kemenangan rakyat Vietnam, Laos dan Kamboja di front militer yang susul menyusul, ditambah reaksi dunia yang hebat terhadap kekalapan Nixon yang menempatkan Pemerintah AS benar2 terisolasi didalam maupun diluar negeri, telah memaksa pemerintah AS kembali kemeja perundingan di Paris dan menandatangani persetujuan pengakhiran perang dan pemulihan perdamaian.
Politik Vietnamisasi yang hakekatnya adalah politik neo-kolonialisme telah gagal. Namun persoalannya tidak berhenti disitu. Tahap baru dalam perjoangan rakyat Vietnam untuk mendorong dan memaksa semua pihak melaksanakan Persetujuan Paris secara konsekuen, telah tiba. Kekuatan reaksioner yang haus perang tentu tidak tinggal diam. Mereka mencoba mengerahkan sisa2 kekuatannya untuk membendung arus sejarah sejauh mungkin. Karena itu, rakyat2 sedunia pun tahu bahwa rakyat2 Vietnam dan Laos serta Kamboja yang berpengalaman itu cukup waspada untuk menghadapi segala kemungkinan.
Politik baru AS terhadap RRT dengan kunjungan inkonvensionilnya Presiden Nixon ke Peking setahun yang lampau dan kunjungan Dr. Henry Kissinger ke Peking baru2 ini, wajarlah bila menjadi objek spekulasi pers dunia. Nixon sering menyatakan bahwa politiknya terhadap RRT yalah untuk mengajak RRT ikutserta bertanggungjawab bagi soal2 dunia, bagi peredaan ketegangan situasi di Asia dan Dunia, serta bagi perdamaian dunia. Dari komunike bersama hasil dua kunjungan penting itu kiranya sudah jelas apa yang melandasi hubungan kedua negara, serta kedua rakyat dari kedua negara tsb. Prinsip2 Bandung telah diakui sebagai dasar hubungan antara negara dan dasar untuk menyelesaikan setiap sengketa internasional. Jadi tidak dibenarkan adanya agresi dan intervensi kenegara lain. Masalah2 dalam negeri suatu rakyat, adalah urusan rakyat dinegeri itu sendiri untuk menyelesaikan sendiri dengan caranya sendiri tanpa campur tangan asing manapun. Juga ditandaskan tidak ada suatu keputusan yang menyangkut pihak ketiga. Penegasan tersebut penting, karena dimasa2 lampau telah menjadi kebiasaan negara2 besar untuk membicarakan pengaturan penyesesuaian kepentingan masing2 dinegara2 lain atau pihak ketiga tsb. Penegasan itu sendiri menunjukkan koreknya sikap dalam pelaksanaan prinsip2 Bandung. Dari sudut kepentingan langsung yang menghadapkan AS dengan RRT, dicapai sepakat bahwa Taiwan adalah bagian integral yang sah dari kesatuan Tiongkok. Dari sudut kepentingan kedua rakyat dari kedua negeri, telah dirintis jalan yang lebih maju untuk mempercepat normalisasi hubungan kedua negeri, dengan melaksanakan program kerjasama yang konkrit dalam waktu dekat ini dibidang ilmu, kebudayaan dan perdagangan. Rakyat AS yang hebat dalam aksi menentang perang Vietnam, kini juga menyambut dengan antusias langkah2 maju hubungan AS-RRT, sebagai sumbangan penting bagi peredaan ketegangan diAsia dan di Dunia.
Politik Nixon untuk menjadikan Jepang sebagai pemimpin pembangunan Asia, ternyata tidak sesederhana itu persoalannya. Ekspansi dagang Jepang telah menyulitkan ekonomi AS. Kemampuan AS untuk membantu Asia, terutama kawasan Asteng, telah semakin berkurang, bahkan kecenderungan Kongres AS yalah untuk menghapus semua bantuan luar negeri selama AS masih dalam keadaan krisis yang berat.
Jadi tepatlah apabila Jepang mengisi vacuum di Asia, terutama Asteng tsb. Tapi politik perdagangan serta penanaman modal Jepang dinegara sedang berkembang di Asteng ini telah menimbulkan reaksi hebat dari pengusaha2 nasional dan rakyat2 negeri setempat, karena caranya exploitasi yang cepat, tangkas untung banyak dan bersamaan itu perusahaan nasional dan kerajinan rakyat dengan cepat pula gulung tikar. Muang Thai contohnya. Indonesia-pun punya pengalaman dengan pembabatan hutan oleh perusahaan2 Jepang. Pemerintah Kakue Tanaka membuka approach baru, masih melakukan perlawanan terhadap tekanan2 Amerika dibidang perdagangan, mencoba modus baru untuk mengurangi rasa kurang enak sementara negara2 Asteng terhadap Jepang, dan memperbesar hubungan dagangnya dengan RRT dengan langkah2 yang lebih cepat dari AS.
Demikianlah pilar2 penting dari Doktrin Nixon dan realitas2 yang berkembang kemudian, yang membikin posisi Nixon juga tidak menjadi mudah seperti diduga orang semula.
Majelis Hakim yth,
Ketika berbicara didepan Kongres AS tentang jalan keluar mengatasi krisis ekonomi AS, Presiden Nixon menyatakan a.l.: „Kini bukan zamannya lagi AS unggul dibidang ilmu dan kebudayaan, bukan zamannya lagi barang2 AS membanjiri negeri2 lain, juga bukan zamannya kemakmuran dapat dikejar dengan peransang perang." Setahun yang lalu Nixon pernah berkata bahwa kini AS bukan negara No. 1 lagi didunia, Uni Sovyet, RRT, Jepang dan Eropa telah menjadi kekuatan2 penentu dalam percaturan politik dunia. Demikian pengakuan Nixon yang menggambarkan posisi AS dalam konstelasi dunia sekarang. Satu hal yang menarik, Nixon tetap meremehkan peranan negara2 yang sedang berkembang, AAA atau dunia ketiga. Seingat saya, setahun lebih y.l. seorang sarjana Universitas Indonesia yang saya tidak ingat lagi namanya pernah mengatakan tentang peranan dunia ketiga dalam hubungannya dengan masuknya RRT ke PBB. „Masuknya RRT menjadi anggota PBB menandai perobahan penting dalam konstelasi dunia, peta politik dunia dapat dibaca dari hasil pemungutan suara terhadap resolusi Albania-Aljazair. Negara sedang berkembang atau dunia ketiga telah lama merasa
dikecewakan oleh PBB, karena PBB hanya mengatur penyesuaian kepentingan AS dan Uni Sovyet saja, kepentingan2 negara superpower. Masalah2 kepentingan negara sedang berkembang selalu diabaikan. RRT telah menyatakan dirinya bukan sebagai negara superpower melainkan sebagai negara sedang berkembang atau termasuk negara dunia ketiga. RRT selalu menekankan pentingnya prinsip2 Bandung diwujudkan dalam praktek hubungan antar negara. Disinilah letaknya mengapa negara2 dunia ketiga yang telah ingin mempunyai pembela di Dewan Keamanan PBB, segera memberikan dukungannya kepada RRT. Jika, RRT ternyata kelak memenuhi harapan mereka, maka posisi RRT akan menjadi kuat dikalangan negeri2 sedang berkembang. Bagaimana Indonesia?" demikian a.l. pandangan sarjana Universitas Indonesia tsb. Perkembangan akhir2 ini disekitar kita memang kiranya cukup menarik. Ucapan2 dari tamu2 penting Pemerintah RI juga menjelaskan banyak segi dari perkembangan dunia dikaasan Asteng dan Asia Timur ini. Wakil Presiden AS Spiro Agnew misalnya menegaskan tetap kehadliran AS di Asteng, AS tidak akan meninggalkan sahabat2nya. Menlu Adam Malik pun segera dapat memahami kehadliran pasukan2 AS di Asteng untuk sementara.
Menteri Pertahanan Inggris Lord Corrington ketika di Indonesiapun menegaskan kesediaan Inggris untuk memberikan bantuan militer kepada Indonesia. Inggris tetap mempertahankan persekutuan pertahanan lima negara dengan Malaysia, Singapura, Australia dan Selandia Baru.
Kunjungan Perdana Menteri Australia, tokoh Partai Buruh Australia, Gough Whitlem ke Indonesia memberikan corak yang menarik dari perkembangan pendapat umum disementara negara kapitalis, yang telah memberikan kepercayaan terpilihnya partai2 buruh atau sosialis disementara negara Eropa, Selandia Baru dan Australia, yang dalam programnya mencantumkan, stop perang Vietnam, jangan bantu AS di Vietnam, adakan hubungan dengan RRT, lakukan politik dagang yang bebas menguntungkan. PM Whitlem mengusulkan pembentukan organisasi regional baru di Asteng dan Asia Timur Pasifik yang berdasarkan realitas yang ada, yang menembus batas2 ideologi, yang dapat melakukan kerjasama untuk memantapkan perdamaian diwilayah ini. Organisasi mana meliputi anggota ASEAN ditambah dengan Australia, Jepang, RRT dan RDV. Presiden Suharto dapat menerima gagasan tsb, tetapi hanya mungkin terwujud dalam jangka yang panjang.
Sebagai pencetus gagasan netralis di Asteng, Pemerintah Malaysia berulangkali menegaskan pendiriannya, bahwa supaya netralisasi Asteng memperoleh jaminan 3 besar yaitu AS, Uni Sovyet dan RRT, maka d iseluruh Asteng harus tidak terdapat pangkalan dan pasukan militer asing manapun."
Dalam sidang Menlu2 ASEAN di Kualalumpur baru2 ini, gagasan Indonesia untuk memperluas keanggotaan ASEAN dengan negara2 Indo-China termasuk RDV dan Burma, nampaknya telah disetujui dan pendekatan2 kearah itu sedang dilakukan. Terhadap ASEAN, Pemerintah RDV selalu menilainya sebagai proyek neo-kolonialis.
Dari sekelumit hal2 diatas sebenarnya sudah jelas bagaimana sebenarnya politik luar negeri RI sekarang ini. Saya tidak akan ikut membubuhi kecaman2 yang hebat yang bermunculan dipers Indonesia yang menilai bahwa politik luar
negeri RI telah meninggalkan prinsip politik bebas aktif anti imperialisme kolonialisme dan neo-kolonialisme menuju perdamaian dunia. Politik Luar Negeri Pemerintah RI telah meninggalkan Ketetapan MPRS No. XII/1966 tanggal 5 Juli 1966
yang resminya masih berlaku. Dalam menghadapi kecaman2 tersebut mungkin Menlu Adam Malik akan menjawab bahwa politik luar negerinya sudah tepat, terbukti dari kedudukan Indonesia sebagai ketua panitia 20 perumus sistim moneter internasional, dari kedudukan Indonesia sebagai anggota K.P.I di Vietnam dan kini peserta Konferensi Perdamaian Paris, serta lain2 hal yang membuktikan kian kuatnya posisi internasional Indonesia. Komentar saya pendek saja: terpilihnya Indonesia sebagai ketua panitia 20 memang saya akui posisi Indonesia yang kuat dikalangan negara2 kapitalis yang tengah krisis itu, karena Indonesia medan nikmat penanaman modal asing. Soal terpilih sebagai KPI, dalam dunia politik biasa ada tenggang-menenggang
Berbicara tentang politik luarngeri RI dalam gejolak situasi internasional yang sudah saya kemukakan secara sepintas didepan, orang sulit melepaskan dari satu rumus:
„Politik luarnegeri suatu pemerintah tak pernah merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Dia refleksi dari politik dalam negerinya. Jika politik dalam negerinya melindungi modal2 besar monopoli asing beroperasi sak-enaknya sendiri melakukan exploitasi berlipat, maka bukan barang yang aneh bila politik luarnegerinya berangkulan mesra dengan politik luarnegeri negara2 pemilik modal tsb. Yang aneh yalah oleh pemahamannya yang lebih realistis terhadap perkembangan dunia sekarang, maka negara pemilik modal monopoli tsb lebih bebas politik luar negerinya daripada negara tempat exploitasi modalnya itu." Disini tragisnya!
Ucapan yang menyatakan bahwa politik luarnegeri itu dapat berdiri sendiri tak ada hubungannya dengan politik dalam negerinya, kiranya merupakan satu pendapat yang akan menjadi bahan tertawaan dalam dunia ilmu politik. Politik dalam negeri anti komunis dan anti semua yang patriotik adalah dua sejoli dengan politik melindungi penanaman modal asing dan politik kredit menggadaikan anak cucu kita. Politik luar negeri RI hanya mungkin bebas dan aktif sebagai yang diusulkan oleh jiwa dan semangat UUD 45, sesuai dengan Pancasila, setia kepada Dasasila Bandung, apabila politik dalam negeri RI mengalami perubahan prinsipiil.
Bagaimana selanjutnya?
RAKYAT INDONESIALAH YANG AKAN MENENTUKAN JALANNYA SENDIRI, SESUAI DENGAN ARUS SEJARAH DAN KECENDERUNGAN ZAMAN.—IV PENUTUP
Majelis Hakim yth,
Saya sudah sampai pada saat2 akhir dari pledoi saya.
Terima kasih saya ucapkan pada Majelis Hakim yang terhormat, Saudara Jaksa Penuntut Umum, Para Pembela, dan pada semua hadlirin yang telah dengan sabar mengikuti pembacaan pembelaan ini. Maafkan bila terdapat kata2 yang tidak berkenan dihati Saudara. Maafkan bila terdapat kalimat2 yang menyinggung perasaan. Maafkan bila ada sikap yang tidak korekt selama dalam persidangan ini.
Bukan maksud hati untuk menyinggung perasaan, jauh api daripada panggang. Didepan Mahkamah ini saya bicara tanpa tedeng aling2, blak2-an. Apa yang menurut perasaan dan fikiran saya putih, saya katakan putih, apa yang merah, saya
katakan merah. Kebenaran dan keadilan itu relatif. Soalnya dari segi mana kita meninjau itu. Kebenaran itu pahit, membutuhkan keberanian dalam membela yang benar. Tak sedikit orang tahu „yang itu benar dan yang itu salah," tetapi orang sering takut mengemukakan pendiriannya, sehingga apa yang salah menurut pandangannya yang hakiki ia katakan benar, dan yang benar ia katakan salah. Mana kepribadian kita? Kalau orang awam berpendirian begitu karena takut ancaman, itu masih bisa difahami. Tapi kalau „penegak hukum" yang berbuat begitu, alangkah gelapnya udara Indonesia, segelap yang sudah berjalan selama ini. Saya melihat dicelah-celah kegelapan ini terdapat bintik2 terang yang melawan kegelapan. Saya berharap Mahkamah sekarang akan menjadi bintik terang dalam kegelapan malam.
Majelis Hakim yth,
Tuduhan dan requisitoir Saudara Jaksa Penuntut Umum sudah saya jawab dengan gamblang. Dari fakta2 konkrit yang telah dibuka diatas meja itu, saya tidak bisa dikenakan semua pasal tuduhan yang dialamatkan kepada diri saya. Oleh karenanya tuntutan hukuman apa saja, apalagi tuntutan hukuman mati sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan oleh sebab itu, saya tolak. Semoga Mahkamah Pengadilan ini menelaah, mengendapkan dan memikirkan sedalam-dalamnya perkara ini, sehingga dapat mengambil keputusan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, berpegang teguh kepada prinsip berdiri tegak, bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi baik oleh kekuasaan Eksekutif maupun kekuasaan Legislatif.
Sejalan dengan isi dan makna pledoi saya, maka seharusnya semua tahanan politik sipil dan militer yang kena „pasal G.30.S" baik komunis maupun non-komunis, baik yang berada dipulau Buru, maupun dikamp wanita Plantungan, baik yang berada di Nusakambangan maupun dikamp2 konsentrasi lainnya yang berserakan diseluruh tanah air, segera dibebaskan dari tahanan.
Demikian pula seharusnya pengejaran terhadap kaum komunis dan orang2 yang diindikasi sebagai komunis segera dihentikan.
Hukum harus ditegakkan kembali.
Dasar Negara Pancasila dan UUD45 harus dilaksanakan menurut aslinya.
Mari kita bersatu dan berjuang membela kemerdekaan, demokrasi dan keadilan!
Sekian, terima kasih.
Tertanda
ttd.
(MOHAMMAD MUNIR)
Jakarta, 2 Maret 1973. Pk. 04.30
Rumah Tahanan Militer
Jalan Budi Utomo
Sumber: Kabarnya Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar