Wajah Gayus tampak menegang. Sesekali jemarinya bergerak, seperti meremas sesuatu. Dia tampak cemas. Siang itu, mantan pegawai pajak itu menyampaikan “curhatnya” ke hadapan majelis hakim.
“Berdasar cerita John Grice pada saya, John Grice bilang dia adalah agen CIA yang semua kegiatannya diketahui dan direstui oleh salah seorang anggota Satgas (Pemberantasan Mafia Hukum)," kata Gayus dalam di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Rabu (19/1/11) seperti dikutip dari detik.com.
Teori konspirasi seakan dibuat nyata oleh Gayus. Entah untuk alasan apa. Satu yang pasti, kisah tindak-tanduk agen CIA (Central Intelligence Agency) di negeri ini berkali terjadi dan selalu berakhir pada pertanyaan yang sama: benarkah?
Pengujung November 2008 lampau masyarakat geger. Adam Malik, pemuda angkatan 45, wartawan senior dan wakil presiden era Orde Baru disebut-sebut jadi spion CIA di Indonesia. Gara-garanya sebuah buku karya Tim Werner yang menyebutkan kalau dia menjalin kontak dan menerima sejumlah bantuan CIA untuk memberangus kelompok komunis pascaperistiwa G.30.S 1965.
Pada halaman 330 dalam buku yang berjudul Membongkar Kegagalan CIA itu disebutkan kalau “Stasiun CIA (di Jakarta) memiliki seorang agen yang punya posisi baik: Adam Malik, mantan Marxis berusia 48 tahun yang mengabdi sebagai duta besar Sukarno di Moskow dan menteri perdagangannya.”
Informasi mengenai kedekatan hubungan antara Adam Malik dan Amerika Serikat (AS) sebetulnya sudah pernah beredar luas pada 2002. Saat itu Departemen Luar Negeri AS mempublikasi dokumen rahasia hubungan luar negeri AS dengan Indonesia pada periode 1964-1968. Dalam dokumen telegram yang dikirim oleh Marshal Green, Duta Besar AS di Jakarta, kepada Departemen Luar Negeri AS pada 1 Desember 1965, disebutkan kalau Green pernah memberikan uang Rp 50 juta kepada Adam Malik untuk mengendalikan Kelompok Aksi Pengganjangan (KAP) Gestapu.
Sokongan kepada CIA kepada Adam Malik memang masuk akal apabila dikaitkan dengan kepentingan AS terhadap Indonesia dalam konteks Perang Dingin. “Indonesia di bawah Sukarno lebih cenderung untuk “mesra” dengan Soviet, ada kalanya juga lebih “romantis” dengan China,” kata Bernd Schafer dalam makalahnya, “Setting of the Cold War”.
Dalam situasi saling merebut pengaruh itu masuk akal jika CIA menggunakan beragam cara untuk menjalin kerjasama dengan pihak yang anti komunis. Apalagi ketika Sukarno semakin lama semakin akrab dengan PKI dan tak ada jalan lain bagi AS kecuali menumbangkan kekuasaannya. Usaha Amerika lewat CIA untuk menumbangkan kekuasaan Sukarno telah telah berkali-kali dilakukan, terlebih ketika dia menginisiasi Gerakan Non-Blok pada 1955 yang secara konsisten menentang kolonialisme dan imperialisme yang masih diusung negeri-negeri barat pada saat itu.
George McTurnan Kahin dan Audrey Kahin dalam bukunya, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, menyuguhkan fakta kalau CIA terlibat langsung dalam pemberontakan PRRI/Permesta yang gagal di Sumatera dan Sulawesi. Buat Gedung Putih perlawanan yang dikobarkan oleh beberapa perwira Angkatan Darat yang berkoneksi dengan beberapa tokoh PSI dan Masyumi itu menjadi momentum untuk menjatuhkan Sukarno.
Agen CIA menjalin hubungan rahasia dengan Sumitro Djojohadikusumo yang bertugas sebagai penggalang dana pemberontakan PRRI/Permesta. Allen Dulles, tokoh nomer wahid CIA langsung turun tangan untuk mengatur siasat operasi klandestin itu. Sejumlah perwira pembangkang seperti Simbolon, Ventje Sumual dan Ahmad Husein pun dijadikan partner dalam operasi subversif CIA untuk menumbangkan Sukarno.
Pada kenyataannya CIA gagal. Pasukan PRRI lari tunggang-langgang diserang TNI di bawah kepemimpinan Jend. Nasution, perwira yang dikenal anti-komunis. Semua di luar dugaan AS. Bantuan senjata dan latihan tempur yang diberikan AS kepada pihak pemberontak sia-sia tanpa guna. Operasi bawah tanah CIA yang langsung dikontrol oleh kantor pusat CIA pun bubar. Para pemberontak tak sempat meledakkan instalasi minyak Caltex di Pekanbaru, Riau sebagaimana direncanakan oleh CIA yang kelak akan digunakan sebagai dalih AS menyerang Indonesia.
Tapi AS tak mau menyerah. Lewat jejaring spionasenya ia masih saja berupaya mendongkel kekuasaan Presiden Sukarno. Lewat para pemberontak Permesta di Sulawesi Utara CIA terus menyokong perlawanan terhadap pusat. Namun lagi-lagi aksi klandestin CIA terbongkar ketika tentara Indonesia berhasil menembak jatuh pesawat yang dikemudikan Allen Pope, pilot berkewarganegaraan AS. Dia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Pope diampuni setelah istri dan ibunya memohon pembebasannya kepada Presiden Sukarno.
CIA juga disebut-sebut mendalangi upaya pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. Salah satu aksi pembunuhan yang gagal dan cukup menggegerkan adalah Peristiwa Cikini, 30 November 1957. Dalam peristiwa itu 11 orang tewas seketika dan 30 lainnya mengalami luka-luka. Sebagian besar korban adalah anak-anak, siswa Perguruan Cikini. Presiden Sukarno yang baru saja selesai mengikuti bazaar di tempat anak-anaknya bersekolah itu tiba-tiba dilempari granat. Pengawal berhasil menyelamatkannya.
Zulkifli Lubis disebut-sebut ada di balik percobaan pembunuhan itu. Dia yang juga dikenal sebagai pendiri intelijen Indonesia berkali-kali melakukan upaya pendongkelan Presiden Sukarno. Dalam peristiwa 17 Oktober 1952 Lubis justru berseberangan dengan kelompok Nasution yang menjadi aktor penodongan moncong meriam ke Istana Merdeka namun pada pemberontakan PRRI dia memiliki peranan yang cukup penting.
Amerika memang tak nyaman dengan gaya kepemimpinan Sukarno dan
upayanya yang menggalang kekuatan dunia ketiga. Sukarno memang menyatakan kalau Gerakan Non-Blok tak memih kepada salah satu kekuatan, di Timur maupun di Barat. Namun demikian menurut pengakuan Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia merasa lebih nyaman bekerjasama dengan Soviet setelah Presiden AS John Kennedy tewas. Tewasnya Kennedy memupuskan harapan hubungan Indonesia-AS untuk lebih akrab lagi.
“Presiden Kennedy dapat memahami jalan pemikiranku...Andaikata Presiden Kennedy masih hidup, Indonesia dan Amerika Serikat mungkin tidak akan hanyut terpisah jauh satu sama lain,” kata Sukarno pada Cindy Adams.
Amerika lewat tangan CIA tak pernah berhenti untuk menjatuhkan Sukarno.
Mereka bahkan membuat sebuah film porno yang diperankan oleh seorang aktor berpostur seperti Sukarno. Sheffield Edwards pejabat tinggi CIA di era Allen Dulles otak di belakang pembuatan film cabul itu. Sukarno dijadikan bahan olok-olok oleh Amerika. Besar kemungkinan pula AS khawatir akan kehilangan pundi-pundi uangnya kalau Sukarno tetap menjadi presiden dan menasionalisasi seluruh aset perusahaan milik AS yang telah beroperasi di Indonesia sejak zaman kolonial.
Penggulingan Sukarno bagi AS adalah tujuan yang masuk akal. Penggunaan aset-aset CIA di Indonesia pun menjadi keharusan untuk mendukung tujuan tersebut. Membandingkan keadaan era Sukarno dengan sekarang tentu berbeda. Sekarang pemerintah AS relatif tak punya halangan berarti di dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia, apalagi semenjak pemerintah Suharto berkuasa. Jadi apakah Gayus benar dengan pengakuannya di Pengadilan? Satu yang pasti, CIA bukan tipe spion melayu yang mengaku intel ketika menjalankan aksinya.
0 komentar:
Posting Komentar