JANUARY 10, 2011
Soekarno, Omar Dhani, Ahmad
Yani. Berakhir di Lubang Buaya. Siapa mengorbankan siapa?
TATKALA serangkaian ekses silih berganti terjadi –berupa
korupsi para jenderal, penyalahgunaan hukum dan sejumlah tindak kekerasan yang
lahir dari kesewenang-wenangan kalangan penguasa– di masa rezim baru setelah
kejatuhan Soekarno, pengibaratan ‘lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut
harimau’ menjadi tepat. Tentu saja pengibaratan dengan khewan-khewan buas
buaya dan harimau itu tidak ditujukan kepada Soekarno maupun Soeharto sebagai
pribadi, melainkan merujuk pada bentuk dan cara kekuasaan yang mereka jalankan.
Rezim Soekarno adalah suatu kekuasaan otoriter sipil yang
untuk sebagian ditopang unsur militer, berakhir dengan titik awal kejatuhan di
Lubang Buaya melalui Peristiwa 30 September 1965. Sedangkan penggantinya adalah
rezim Soeharto, suatu kekuasaan otoriter militer yang titik awal kekuasaannya
melalui pengobaran kemarahan –yang kemudian menjadi dukungan– kaum sipil atas
penemuan jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama di Lubang Buaya itu.
Tetapi kejatuhan kedua rezim mempunyai persamaan, yakni karena gerakan-gerakan
yang melibatkan kekuatan generasi muda, terutama kelompok mahasiswa.
Untuk Jakarta, gerakan pertama mahasiswa dimulai dengan
pencetusan Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat 10 Januari 1966. Berbeda dengan
mahasiswa Jakarta, mahasiswa Bandung yang sejak 1 Oktober 1965 telah
mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap Dewan Revolusi disusul appel serta
gerakan anti PKI pada 5 Oktober, sekaligus juga sudah mulai ‘menggugat’
kepemimpinan Soekarno dengan politik Nasakom-nya.
Mahasiswa Jakarta dalam pada itu lebih ‘menyederhanakan’
persoalan dengan tidak menyentuh lebih dulu mengenai Soekarno, dan dengan
Tritura 10 Januari membatasi diri pada masalah kenaikan harga, pembubaran PKI
dan retoolingkabinet Dwikora.
Letnan Kolonel Untung, Mayor
Jenderal Soeharto dan Pangti ABRI Soekarno. Segitiga yang membingungkan dalam
hubungan penuh tanda tanya. Siapa memanfaatkan siapa?
Semula, hanya Gerakan 30 September 1965, yang dipimpin
Letnan Kolonel Untung –seorang komandan batalion Pasukan Pengawal Presiden
Tjakrabirawa– bersama Sjam Kamaruzzaman yang dikaitkan namanya dengan Lubang
Buaya. Tetapi pada saat berikutnya, nama Soekarno dan Laksamana Udara Omar
Dhani juga dilibatkan, karena Soekarno datang ke Halim Perdanakusumah menjelang
tengah hari 1 Oktober, dan adalah kebetulan bahwa Lubang Buaya di Pondok Gede
terletak tak jauh dari pangkalan angkatan udara itu.
Dikaitkannya nama Soekarno dengan tragedi Lubang Buaya,
menjadi awal gerakan mematahkan mitos kekuasaan Soekarno yang seakan takkan
mungkin tergoyahkan. Bagaikan Teseus yang membersihkan Athena dari kekacauan,
setelah mengalahkan mahluk setengah manusia setengah banteng Minotaurus –yang
sebenarnya mahluk khayalan belaka yang menjadi sumber mitos bagi kekuasaan raja
Minos– di gua labirin Kreta, Soeharto membersihkan Jakarta dari Gerakan 30
September. Lalu tercipta mitos baru, yang menempatkan Soeharto sebagai pahlawan
yang berhasil menyelamatkan bangsa dengan kesaktian Pancasila.
Soekarno, karena ke Halim dikaitkan dengan Lubang Buaya
Setelah ‘pembersihan’ di Jakarta, benturan berdarah
terjadi di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau
dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa
PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain,
‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian yang berdarah-darah mencapai angka
korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak dalam
pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal
kemerdekaan, dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya, telah selesai.
Hitam-Putih di Wilayah
Abu-abu
Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok
jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon
pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan
peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di
tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam
gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama,
menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran
abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan
oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil.
Maka tak jarang demonstrasi-demonstrasi mahasiswa yang
pada akhirnya menuju istana Soekarno, harus berhadapan dengan bayonet tentara
yang kerapkali tadinya disangka kawan seiring.
Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali
mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno
maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam
dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman
Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.
Mahasiswa sebagai korban kekerasan tentara: Berkali-kali mahasiswa menjadi korban kekerasan tentara, baik oleh pasukan pengawal Soekarno maupun kesatuan-kesatuan yang disangka adalah ‘partner’. Dua korban jiwa, dalam dua peristiwa berdarah, ditahun 1966, dengan korban mahasiswa UI Arief Rahman Hakim dan mahasiswa wartawan Harian KAMI Zaenal Zakse.
Hanya sedikit sebenarnya yang berada di wilayah sikap
hitam-putih seperti kelompok mahasiswa di kalangan tentara maupun politisi
sipil. Di kalangan tentara, yang bersikap jelas dan menarik garis tegas siapa
lawan siapa kawan, bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang sedikit itu
adalah kelompok perwira idealis yang juga kerap dikategorikan kelompok perwira
intelektual. Kelompok perwira idealis ini dengan cepat memikat simpati kelompok
mahasiswa, tetapi dengan cepat pula, hanya dalam bilangan tahun yang ringkas
mereka telah disisihkan demi kepentingan kekuasaan.
*Esei bergambar dalam Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun
1966, Mitos dan Dilema: Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970, Kata
Hasta Pustaka, Jakarta 2006.Karikatur oleh Haryadi S dan T. Sutanto.
0 komentar:
Posting Komentar