JANUARY 12, 2011
Ambivalensi dan Oppotunisme
Politik
Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap
yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun
1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi
sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga
diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan.
Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan
taktisnya, kerapkali terkesan bersikap ambivalen, setidaknya di mata kelompok
mahasiswa pergerakan 1966. Bahkan pada akhirnya menular hingga ke kalangan
mahasiswa sendiri.
GODAAN KURSI PEMILIHAN UMUM.
Bukannya sama sekali tidak ikut memikirkan nasib rakyat dan gerakan menghadapi
Gestapu (G30S), tetapi kekuatan-kekuatan politik yang berada dalam Front
Pancasila bagaimanapun lebih mengutamakan kepentingan masing-masing. Begitu ada
godaan janji pemilihan umum yang dilontarkan Presiden Soekarno, iman pun goyah
dan konsentrasi lalu alih fokus pada ancang-ancang untuk memperebutkan kursi pemilu
yang semula direncanakan berlangsung tahun 1968.
Sikap ambivalen yang membingungkan berkali-kali
ditunjukkan Soeharto. Di satu saat ia menekankan penyelesaian konstitusional
terhadap Soekarno, sejalan dengan aspirasi yang ditunjukkan kesatuan aksi dan
kelompok mahasiswa pada khususnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ia juga
melakukan pula perundingan-perundingan untuk berkompromi dengan Soekarno, untuk
segera memperoleh penyerahan kekuasaan secara penuh dari Soekarno. Separuh
kekuasaan telah diperolehnya melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, kini ia
menginginkan seluruh kekuasaan.
APA BEDA ORDE LAMA DAN ORDE
BARU? Namanya beda, bungkusnya pun beda. Tetapi isinya kok sama-sama kecap?
Bahan baku, sama.
Gerakan-gerakan kesatuan aksi dan mahasiswa yang
menentang Soekarno, terutama tuntutan agar Soekarno mundur dan kemudian
diajukan ke persidangan Mahmillub untuk diperiksa dan memberi pertanggungjawaban
secara hukum mengenai Peristiwa 30 September 1965, menjadi alat penekan yang
ampuh dalam menghadapi Soekarno.
Soekarno memang akhirnya, terdorong mundur setapak demi
setapak dan pada akhirnya menyerah di bulan Pebruari 1967. Dengan penyerahan kekuasaan
oleh Soekarno sebelum Sidang Istimewa MPRS, membuat Soeharto ‘tak terlalu
berhutang budi’ kepada MPRS yang pada bulan Maret berikut, mencabut seluruh
mandat kekuasaan dari tangan Soekarno.
RAMALAN TENTANG PAHLAWAN KESIANGAN. Sebelum Sidang
Istimewa MPRS, mahasiswa terlibat gerakan menjatuhkan Soekarno. Banyak pihak
yang maju mundur. Tapi, karikatur yang dibuat Januari 1967 ini, sebelum SI MPRS
mencabut mandata dari Soekarno, telah meramalkan suatu proses munculnya
pahlawan kesiangan yang tiba-tiba lebih bersemangat daripada mahasiswa, setelah
tanda-tanda kejatuhan Soekarno sudah sangat jelas. Terjadi perlombaan melakukan
dorongan terakhir…
AKHIR DARI SEORANG PEMIMPIN BESAR. Karikatur yang dibuat
bulan Maret 1967 ini, menjelang SI MPRS, menggambarkan ‘nasib akhir’ yang akan
menimpa diri Soekarno. Sebuah kursi yang ‘sunyi’ dan benda-benda yang pernah
dipakai sebagai atribut kekuasaan, kacamata yang semestinya adalah lambang
kecerdasan intelektual seorang pemimpin, pisau berdarah dan buku Manipol
(Manifesto Politik), yang semuanya bertebaran di lantai.
BERAKHIR PULA DUALISME. Keputusan Sidang Istimewa MPRS
1967 yang mencabut mandat kekuasaan dari Presiden/Mandataris MPRS Soekarno,
lalu menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden, sekaligus
mengakhiri pula dualisme dalam pemerintahan yang dijalankan suatu Presidium
hasil ‘kompromi’ dengan Soekarno, beserta segala dilemanya seperti yang
digambarkan T. Sutanto dalam karikaturnya dalam Mingguan Mahasiswa Indonesia di
tahun 1966, bulan September.
0 komentar:
Posting Komentar