JANUARY 11, 2011
‘DJAS MERAH SOEKARNO’. Dalam
peringatan Proklamasi 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” yang diringkas mahasiswa menjadi
‘Djas Merah’. Warna merah pada masa itu selalu dikonotasikan dengan komunis.
‘OFFENSIF’ KARIKATUR
Selain dengan gerakan ekstra parlementer di jalanan, para
mahasiswa juga menggunakan media pers sebagai alat perjuangan mereka. Ini
terutama setelah kelahiran Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno
kepada Mayor Jenderal Soeharto. Tetapi setelah itu, terdapat dua matahari dalam
kekuasaan. Mahasiswa memilih untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno yang dianggap
otoriter dan telah menjadi satu kediktaturan. Akan menjadi apa Soeharto
nantinya, tak terlalu terpikirkan, bahkan banyak harapan yang diletakkan
kepadanya.
HARUS DIDORONG-DORONG. Sikap
maju-mundur MPRS untuk meminta pertanggunganjawab Presiden Soekarno membuat
mahasiswa tak sabaran. Pada akhirnya pertanggunganjawab Soekarno itu ‘berani’
juga ditolak oleh MPRS.
Pertengahan tahun 1966, bulan Juni, lahir sejumlah media
pers yang dikelola oleh para mahasiswa aktifis. Di Jakarta terbit Harian
KAMI yang dipimpin oleh Zulharmans dan Nono Anwar Makarim. Lalu
terbit Mingguan Mahasiswa Indonesia dalam dua edisi. Edisi Pusat
dipimpin oleh Louis Taolin. Edisi Jawa Barat didirikan oleh sejumlah aktifis mahasiswa
Bandung, dipimpin oleh Awan Karmawan Burhan dan A. Rahman Tolleng. Edisi Pusat
berusia ringkas, sehingga selanjutnya edisi Jawa Barat lah yang lebih dikenal
sebagai Mingguan Mahasiswa Indonesia. Harian KAMI dan Mingguan
Mahasiswa Indonesia bisa mencapai tiras peredaran nasional yang memadai
yang kerapkali bisa mengalahkan tiras suratkabar umum yang ada.
Mingguan Mahasiswa Indonesia amat terkemuka dalam
kampanye menjatuhkan Soekarno dan menjadi media kaum intelektual dalam
melahirkan konsep-konsep awal Orde Baru. Namun adalah tragis bahwa konsep
dan penamaan Orde Baru ini dalam perjalanan waktu berubah di tangan Soeharto
dan lingkaran jenderalnya yang berkecenderungan otoriter. Sehingga beberapa
tahun kemudian selangkah demi selangkah makin tak dikenali lagi, bahkan oleh
para pencetus konsepnya sendiri, yakni sejumlah kaum intelektual dan sekelompok
kecil jenderal idealis.
MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO?
Tuntutan kesatuan-kesatuan aksi berkali-kali berbenturan dengan sikap Soeharto
yang menolak keinginan mengadili Soekarno. Apakah karena menjalankan filosofi
‘mikul dhuwur mendhem jero’? Nyatanya di kemudian hari Soekarno memang tak
pernah diadili, tetapi ia dibuat lebih menderita sebenarnya dengan pengenaan
tahanan rumah dalam keadaan sakit dan tak mendapat pengobatan yang layak. Apa
memang dikehendaki ia tak sembuh? Akhirnya ia meninggal dunia sebagai tahanan,
pada tahun 1970. Suatu keadaan yang sebenarnya justru tidak adil.
Salah satu kekhasan Mingguan Mahasiswa Indonesia adalah
‘offensif’ karikaturnya. Dalam setiap penerbitannya mingguan ini menyajikan
karikaturnya yang tematik sesuai fokus berita dan situasi aktual yang terjadi.
Sepanjang penerbitannya hingga diberangus oleh rezim Soeharto Januari 1974, ada
sekitar dua ratus karikatur yang telah diterbitkan. Seluruh karikatur dalam
esei bergambar ini diangkat dari dokumentasi Mingguan Mahasiswa Indonesia,
mulai dari penerbitan tahun 1966, 1967, 1968 hingga 1969.
Karikaturis-karikaturis yang berkontribusi antara lain adalah Sanento Juliman
(almarhum), T. Sutanto (TS), Harijadi Suadi, Ganjar Sakri (Gas), Dendi Sudiana
dan Keulman (Ke) semuanya dari Senirupa ITB. Lalu ada sesekali ‘Napraja’, dan
kemudian seorang wartawan karikaturis, mahasiswa dari Yogya Julius Pour.
PARTAI DAN GOLONGAN. Memilih
kepentingan golongan sendiri.
Setelah menyorot Soekarno, karikatur-karikatur tersebut
sesuai perjalanan waktu dan situasi beralih menyoroti perilaku korupsi, ekses
perilaku tentara dalam kekuasaan hingga pada perilaku politisi sipil yang tak
kalah buruknya.
Ketidakberanian para anggota MPRS juga menjadi sasaran
sorotan para mahasiswa pengeritik, sebagaimana juga sikap ‘kompromistis’ yang
ditunjukkan oleh Soeharto sendiri terhadap Soekarno. Dalam hal tuntutan untuk
mengajukan Soekarno ke depan Mahmillub, sebuah karikatur menunjukkan adanya
kesan bahwa Soeharto tidak menghendakinya dan bahkan tergambarkan bersikap
‘menghalangi’. Semula, banyak pihak memahami sikap Soeharto itu sebagai
pencerminan sikap mikul dhuwur mendhem jero yang
merupakan filosofi dalam kultur Jawa tentang bagaimana memperlakukan para
pemimpin yang pernah berjasa.
BERLOMBA MENGKLAIM DIRI ORDE BARU. Tatkala penamaan Orde
Baru muncul dan berada di atas angin, tak beda dengan yang terjadi di masa
Soekarno saat semua orang berlomba menyatakan setia kepada revolusi dan berdiri
di belakang Pemimpin Besar Revolusi, maka orang juga berlomba menklaim diri
Orde Baru. Nyatanya, Orde Baru kemudian menjadi milik begitu banyak orang,
sebagai milik bersama, untuk kemudia dirusak bersama-sama pula, selama 32
tahun. Sampai, akhirnya datang era reformasi dan kembali terjadi arus besar,
berlomba untuk menyebut diri reformist dan memetik hasilnya.
0 komentar:
Posting Komentar