Jakarta 06 April 2011 (YPKP 65)
Hari Kamis 04 April 2011 pukul 14.45 WIB secara resmi telah didaftarkan ke
Mahkamah Agung R.I dengan Nomor Perkara: 08/2011/HUM.
Gugatan tersebut ditujukan kepada Presiden Republik
Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu berupa Judisial Review
(Uji/Peninjauan Material) atas Keppres No 28 Tahun 1975 mengenai
perlakuan diskriminatif atas mantan Tahanan politik Tragedi Kemanusiaan
1965/66*
Judisial Review (JR) ini disampaikan oleh Pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak
Konstitusional Warga Negara, yaitu Haris Azhar, SH, MA
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan
(KontraS), Sandra Yati Moniaga Ketua Badan Pengurus Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Erna Ratnaningsih, SH,
LL.M Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Bedjo
Untung Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966
(YPKP 65), Sumaun Utomo Ketua Umum Lembaga Perjuangan
Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KORB), dan sejumlah perseorangan
warga negara Indonesia, antara lain: Nursyahbani Katjasungkana (Advokat), Zumrotin
K. Soesilo (Aktivis Sosial/mantan Komisioner Komnas HAM), Tjasman
Setyo Prawiro ( mantan Pegawai Kehutanan/Tapol Pulau Buru 1966-1979), Rusdiarno (mantan
Pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan/ Tapol Pulau Buru 1965-
1979), Ngatemin ( mantan Pegawai Negeri Markas Besar
Angkatan Laut Jakarta, Tapol 1965–1977 Salemba, Jakarta), Suriah dan Rianto.
Ada pun Kuasa Hukum Pemohon terdiri dari para Aktivis Hak Asasi
Manusia, Pengacara yang selama ini konsisten membela kepentingan
para Korban Pelanggaran HAM, khususnya Korban 65, yaitu:
Ali Nursahid, SHI, Crisbiantoro, SH, Daud Beureuh, SH, Edy Halomoan
Gurning, SH, Feby Yonesta, SH., Maruli Tua Rajagukguk, SH, Pratiwi
Febri, SH, Restaria F. Hutabarat, SH, Sinung Karto, SH, Sri
Suparyati, SH, LLM, Wahyu Wagiman, SH, Zainal Abidin, SH,
Alghiffari Aqsa, SH, Ikhana Indah B, SH, Indriafernida, SH, Ki Agus
Ahmad BS, SH, Muhammad Isnur, SHI, Muhammad Sidiq, SHI, Nurkholis Hidayat,
SH, Syamsul Alam, SH, Tommy Albert
Tobing, SH, Wahyudi Djafar, SH, Yati Andriyani, SHI
dan Putri Kanesia, SH.
Gugatan/Judisial Review ini dilandasi oleh latar belakang persoalan yang prinsipil,
yaitu:
Dari sudut sejarah dan politik akibat peristiwa yang terjadi pada tahun 1965/66),
sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan. Hal ini terjadi karena pemerintah
tidak melakukan upaya–upaya pengungkapan kebenaran dan keadilan atas
kasus Tragedi Kemanusiaan 1965/66.
Dari sisi kemanusiaan akibat peristiwa 1965 jutaan orang
yang ‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki
keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dibunuh tanpa melalui
pembuktian proses hukum.
Akibat peristiwa 1965 menyebabkan orang–orang yang dituduh berafiliasi atau
menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia
(PKI), telah mengalami sejumlah pelanggaran HAM, baik hak–hak Sipil Politik
(SIPOL) maupun Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), berupa pembunuhan,
penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan, kekerasan
seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan, stigmatisasi sosial
dan politik baik bagi mereka secara langsung maupun secara tidak
langsung bagi keluarga dan keturunannya.
Sampai saat ini belum ada proses hukum, dan atau putusan hukum yang
berkekuatan hukum tetap terhadap mayoritas orang–orang yang mengalami
pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengasingan, pemerkosaan,
kekerasan seksual, perampasan hak milik, tanah, pemecatan pekerjaan,
stigmatisasi sosial dan politik akibat peristiwa 1965.
Akibat dari ketiadaan upaya pemerintah melakukan pengungkapan kebenaran
peristiwa 1965, pelanggaran HAM dalam bentuk stigma sosial, politik dan
diskriminasi perundang-undangan terhadap orang–orang yang
‘dituduh’ berafiliasi atau menjadi simpatisan atau memiliki keterkaitan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) masih terus terjadi sampai dengan
saat ini.
Salah satu diskriminasi perundang–undangan tertuang dalam Keputusan
Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka
yang Terlibat G.30.S Golongan C.
Undang –Undang ini menghalangi pemberian hak pensiun bagi orang–orang yang
diduga terkait dengan PKI dan masuk dalam golongan C, meskipun sampai saat ini
tidak ada keputusan pengadilan ataupun hasil pemeriksaan yang membuktikan
orang–orang tersebut terlibat dalam peristiwa G 30 S;
Pada Tragedi kemanusiaan 1965/66 tersebut banyak para Pegawai Negeri Sipil
yang ‘dianggap’ bersalah terlibat dalam gerakan politik G 30 S, sehingga dari
hal itu ribuan orang diberhentikan tanpa prosedur hukum dan kepastian hukum,
sehingga menimbulkan trauma dan ketidakadilan;
Untuk melegalkan pemberhertian tersebut kemudian Pemerintah mengeluarkan
KEPPRES RI No.28 Tahun 1975 dan dilanjutkan dengan Keputusan Pangkopkamtib No.
Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban;
Sebelumnya, pada tahun 1966/1967 telah dikeluarkan beberapa Surat Keputusan
Gubernur, seperti halnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur yang acuannya
adalah Instruksi Presiden RI No.09/KOGAM/5/66, yang memberhentikan Pegawai
Negeri Sipil tersebut sejak 1 Desember 1965 dan/atau 1 September 1966 yang
kemudian dikuatkan dengan KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan
terhadap mereka yang terlibat G.30 S Golongan C dan Keputusan Pangkopkamtib
No.Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Kedua
peraturan tersebut, secara nyata telah melahirkan perlakukan diskriminatif
terhadap Pegawai Negeri Sipil yang sudah bertugas dan mengabdi kepada negara
bertahun tahun.
Sejak dikeluarkanya peraturan tersebut di atas, ribuan Pegawai Negeri Sipil
telah kehilangan pekerjaan dan pengabdian pada negara, yang dilakukan dengan
cara sewenang-wenang, menjatuhkan martabat, dan tidak mendapatkan uang pensiun
sebagaimana Pegawai Negeri Sipil pada umumnya;
Pemberhentian ribuan Pegawai Negeri Sipil tersebut, dilakukan tanpa proses
hukum yang seharusnya, akan tetapi hanya disandarkan pada interpretasi
peraturan di atas, yang pada praktiknya di lapangan, justru dilakukan sesuai
dengan selera pejabat atasannya, sehingga penyimpangan dan kesewenang-wenangan
terus terjadi;
Hingga saat sekarang KEPPRES RI No. 28 Tahun 1975 tentang perlakuan
terhadap mereka yang terlibat G 30 S Golongan C dan dilanjutkan dengan
Keputusan Pangkopkamtib No. Kep. 03/KOPKAM/VIII/1975 tentang Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban, sampai saat ini masih berlaku dan belum ada ketentuan yang
mencabut peraturan tersebut.
Pada tahun 2000 ada perkembangan baru dengan keluarnya KEPPRES No. 38 Tahun
2000 tentang Pembubaran Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional
(yang dibentuk atas dasar KEPRES No.29 Tahun 1988) dan KEPPRES No. 39 Tahun
2000 tentang Pencabutan KEPRES No.16 Tahun 1990 tentang Penelitian Khusus
Pegawai Nageri Rl.
Dengan keluarnya kedua Keppres tersebut di atas, sesungguhnya bertujuan
untuk menghilangkan unsur subjektif dalam pemerintahan, sehingga setiap Pegawai
Negeri Sipil diperlakukan sama sebagai Warga Negara di depan hukum, sesuai
dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Pada intinya KEPRES No. 38 Tahun 2000 tersebut secara substansial sudah
menghapus isi yang ada dalam KEPPRES No.28 Tahun 1975 yang mengatur tentang
perlakuan Pegawai Negeri Sipil Golongan C yang terlibat G 30 S;
KEPPRES No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Pangkopkamtib No.
03/KOPKAMIVHI/1975 tersebut secara formal masih berlaku, sehingga menyebabkan
terus terlanggarnya hak-hak pensiun para mantan Tapol.
Selain latar belakang penyampaian Judisial Review tersebut, para Kuasa
Hukum Pemohon juga mendalilkan beberapa argumen/alasan
hukum sehingga patut dipertimbangkan oleh Yang
Mulia Majelis Hakim Mahkamah Agung.
Alasan-Alasan tersebut adalah:
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau
hanya untuk kepentingan penguasa serta bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi dan konstitusi. Hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin
kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan
rasa keadilan bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat)
yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische
rechtsstaat’atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam
setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi,
sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya
berdasar atas hukum.
Objek sengketa melanggar negara hukum, rule of law dan
prinsip due process of law
Bahwa dalam negara hukum yang demokratis, pelarangan terhadap sesuatu oleh Pemerintah,
Instansi maupun Pejabat Negara lainnya, pemberhentian secara tidak hormat
pegawai negeri, harus menghormati prinsip due process of Law dimana
hanya institusi pengadilanlah yang berwenang untuk melakukannya.
Hal-hal yang berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan haruslah
dilakukan oleh badan peradilan yang merdeka dan independen, sebagaimana
ditegaskan di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan,
“kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Untuk penegakkan hukum dan keadilan, menurut Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Pelakunya adalah kekuasaan kehakiman yaitu sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Negara hukum seperti Indonesia, mutlak adanya due process of Law yaitu
penegakkan hukum dalam suatu sistem peradilan, dalam kerangka menjamin hak-hak
warga negaranya, khususnya hak atas keadilan. Apabila ada suatu perbuatan
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui
putusan pengadilan sehingga suatu penghakiman dan atau pemberhentian
seseorang pegawai negeri secara sewenang-wenang dengan tuduhan masuk dalam
golongan c berdasarkan Keppres No. 28 Tahun 1975, tidak dapat lagi
diterima tanpa melalui suatu putusan pengadilan.
Objek Sengketa melanggar Asas Materi Muatan Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dalam membentuk
suatu peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan asas pembentukan
peraturan perudang-undangan. Dalam asas pembentukan peraturan
perundang-undangan disebutkan bahwa peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan:
a.
Asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketentraman masyarakat . Akibat
Pemberlakukan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak
menunjukan diterapkannya asas pengayoman, karena sejumlah korban tidak bisa
mengakses sejumlah haknya untuk mendapatkan hak berupa pensiun atas pengabdian
mereka terhadap negara dengan menjadi Pegawai Negeri.
b. Asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Dengan adanya Keputusan
Presiden No. 28 Tahun 1975 tidak mencerminkan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta harkat dan martabat manusia pada
umumnya, karena pemohon tidak mendapatkan haknya sebagai PNS dan dalam proses
pengurusanya mendapatkan banyak hambatan dari instansi pemerintah yang
berwenang.
c.
Asas keadilan adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali, sehingga dengan adanya Keputusan
Presiden No. 28 Tahun 1975 bersifat diskriminatif karena tidak melalui
proses hukum untuk membuktikan status seseorang apakah dia bersalah atau tidak.
d. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial. Akibat dari Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975, pemerintah
telah menempatkan posisi sejumlah warga negara yang tidak setara di depan
hukum, dimana dalam proses pemenuhan hak sejumlah pegawai diabaikan.
Objek Sengketa Bertentangan dengan Peraturan Perudang-Undangan yang ada di
atasnya
Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan “kekuatan
hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki peraturan
perundang-undangan”. Pada penjelasannya disebutkan bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari asas ini terlihat pertentangan
antara Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dengan Undang-undang di atasnya,
seperti:
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yaitu :
a. Pasal 27 ayat (1)
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
b. Pasal 28 D ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 :
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum"
c. Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 :
"Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan"
d. Pasal 28 I ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 :
"Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang diskriminatif itu"
Keppres 28/1975 bertentangan dengan
ketentuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, yang menegaskan apabila seseorang
diduga terkena pidana, maka proses hukum yang harus dilakukan adalah dimuka
pengadilan, sebagaimana disebutkan di bawah ini:
Pasal 4
Tiada seorang juapun dapat dihadapkan didepan
pengadilan selain daripada yang ditentukan, baginya oleh Undang-undang.
Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali
apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh
kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan
undang-undang.
Dalam hukum acara pidana, hak setiap orang atas
“pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil”
tercermin antara lain dari dihormatinya dan diakuinya asas-asas hukum
yang bertujuan melindungi keluhuran harkat serta martabat manusia (vide Penjelasan Umum KUHAP butir 3). Salah satu asas hukum yang
dihormati dan diakui eksistensinya dalam hukum acara pidana Indonesia adalah
asas “praduga tidak bersalah” atau “presumption
of innocence”. Seperti ditegaskan dalam Penjelasan Umum
KUHAP angka 3 huruf c, yang menyebutkan,
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Keppres 28/1975 Bertentangan dengan Pasal Pasal 23
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian
Pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 menyebutkan:
(1) Pegawai Negeri
Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena:
Permintaan
sendiri; telah mencapai usia pensiun; adanya penyederhanaan organisasi
Pemerintah, tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Pegawai
Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya
dianggap diberhentikan dengan hormat.
(3) Pegawai
Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat, karena: melanggar
Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil, Sumpah/Janji Jabatan Negeri, atau
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena dengan sengaja
melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara setinggi-tingginya 4 (empat) tahun atau diancam
dengan hukuman yang lebih berat.
(4) Pegawai
Negeri Sipil diberhentikan tidak dengan hormat, karena:
dihukum
penjara atau kurungan, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan sesuatu tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak
pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan;
Keppres 28/1975 bertentangan dengan Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, yang berbunyi:
“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan
benar.”
Keppres 28/1975 Bertentangan dengan Pasal 26 Kovenan tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi oleh Indonesia dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005
Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights
(Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik)
Pasal 26 Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik
menyebutkan:
“Semua orang berkedudukan sama di depan hukum dan
berhak, tanpa diskriminasi apapun, atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal
ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang
sama dan efektif bagi semua orang terhadap diskriminasi atas dasar apapun
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat
lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, harta benda, status kelahiran atau
status lainnya.
Keppres 28/1975 Bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tentang Pengujian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Pada putusan MK tersebut, dalam salah satu
pertimbanganya dikatakan:
…..terlepas pula dari tetap berlakunya Ketetapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966 juncto Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tetapi orang perorang bekas anggota Partai
Komunis Indonesia dan organisasi massa yang bernaung dibawahnya, harus
diperlakukan sama dengan warga negara yang lain tanpa diskriminasi;
.......Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan
mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang)
yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal,
atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam
rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.
Bahwa berdasarkan keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 2000 tentang Pembubaran
Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Seharusnya maka secara
otomatis Keppres No.28/1975 dan keputusan pangkopkamtib No. 03/KOPKAM/VII/75
tentang pelaksanaan Keppres No. 28/1975 harusnya tidak berlaku, karena lembaga
yang menjalankan sudah dibubarkan.
Bahwa dalam menuntut hak atas pensiun pegawai negeri di departemen terkait
masih memakai Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 dan Keputusan Panglima
Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor:
KEP-03/KOPKAM/VIII/1975, bahwa harus ada bukti keputusan perubahan penggolongan
non-klasifikasi oleh instansi yang berwenang atau keputusan yang telah
ditetapkan oleh Pangkopkamtib atau Laksus Pangkopkamtibda, sementara kedua
instansi negara yang menangani persoalan tersebut sudah
dinyatakan bubar.
Bahwa sudah ada keputusan dari beberapa lembaga negara yang meminta untuk
Presiden untuk merehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban atas
tuduhan/cap/stigma PKI.
Beberapa keputusan tersebut antara lain:
a.
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 12 Juni 2003,
telah menyurati Presiden RI dengan Nomor: KMA/403/VI/2003 tentang permohonan
rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban dengan tuduhan/cap/stigma PKI
yang isinya adalah menyarankan kepada Presiden agar mengambil langkah-langkah
penyelesaian tuntutan Rahabilitas dengan mengembalikan harkat dan martabatnya
sebagai warga negara sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD
1945 amandemen keempat.
b.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Pada tanggal 25 Juli 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor:
KS.02/3947/DPR-RI/2003 tentang tindak lanjut surat Mahkamah Agung
yang isinya adalah meneruskan permohonan dan aspirasi para korban
peristiwa tahun 1965, dan menyarankan kepada Presiden untuk menggunakan hak
prerogatifnya dalam menjawab permohonan tersebut.
c.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Republik Indonesia
Pada 25 Agustus 2003, telah menyampaikan surat kepada Presiden RI Nomor.
147/TUA/VIII/2003 tentang Rehabilitasi Terhadap korban G.30/S.
yang isinya ialah meminta kepada Presiden RI untuk memberikan
rehabilitasi kepada para korban G.30/S. mengingat bahwa Mahkamah Agung RI telah
memberikan pertimbangannya kepada Presiden RI untuk memberikan Rehabilitasi
terhadap korban G.30/S. lewat surat Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/403/VI/2003
tentang permohonan rehabilitasi terhadap mereka yang menjadi korban
PERMOHONAN
Dengan latar belakang serta argumen dalil-dalil pengajuan Judisial review
atas Keppres 28/1975, maka kuasa hukum pemohon mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Agung, agar:
1.
Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Presiden
Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang diduga Terlibat
G.30.S Golongan C, yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juni 1975 beserta seluruh
peraturan di bawahnya;
2.
Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden guna
membatalkan
Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975
tentang Perlakuan Terhadap Mereka
yang diduga Terlibat G.30.S Golongan C yang dikeluarkan pada tanggal 25
Juni 1975,
3. Presiden segera merehabilitasi para korban
dengan mengembalikan harkat dan martabatnya sebagai warga negara, yang
ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur mengenai
langkah-langkah dan mekanisme rehabilitasi bagi para korban Keputusan Presiden
Nomor 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan Terhadap Mereka yang
dituduh Terlibat G.30.S Golongan C.
Demikian rangkuman permohonan Judisial Review atas Keppres
28/1975 yang disampaikan oleh Tim Advokasi Hak Konstitusional Warga Negara
kepada Mahkamah Agung RI. Hadir dalam penyampaian berkas antara lain:
Pratiwi Febri, SH. (LBH), Putri Kanesia, SH. (Kontras), Bedjo Untung (YPKP
65), Mujayin (LPR-KORB), Witaryono dan Kusnendar
*). Keppres yang dimaksud lengkapnya adalah
: ( Keppres No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka
yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C.)