1 APRIL 2011
Foto: Kapal Tujuh Provinsi (zeven provincien) saat berlayar di Selat Malaka. (Sumber: Wikipedia)
Suasana kota Surabaya mencekam pada hari itu, 27 Januari 1933. Para pelaut Indonesia dan Belanda sedang menggelar pemogokan umum. Mereka menolak keputusan penurunan gaji, yang diputuskan oleh De Jonge (1931-1936), gubernur Jenderal Hindia-Belanda saat itu.
Ketika pemogokan itu meletus, para perwira pelaut Belanda berusaha mengisolasi kejadian ini. Segala pemberitaan mengenai pemogokan dilarang, dan orang-orang dilarang membicarakan kejadian itu.
Meskipun begitu, berita mengenai pemogokan ini tetap terdengar di telinga pelaut di luar Surabaya, termasuk di kapal tujuh (seven provincien), yang saat itu sedang berlabuh di Sabang, Aceh. Adalah Maud Boshart, seorang korporal Belanda, yang mendengar kejadian itu di ruang radio. Dia memang dikenal berpikiran radikal, dan menolak haluan mayoritas teman-temannya yang sangat moderat.
Sehari sesudah mendengar kabar itu, tanggal 28 Januari 1933, menjelang hari lebaran Islam, para pelaut Indonesia dan Belanda menggelar rapat tertutup. “Rapat itu pura-pura membahas rencana penyambutan lebaran, tetapi sebetulnya mempersiapkan pemogokan,” tulis Harian Ra’jat, koran Partai Komunis Indonesia (PKI), saat mengenang kejadian itu.
Tetapi, perwira-perwira Belanda sempat mencurigai rapat itu, karena pelaut Belanda yang dipimpin Boshart juga ikut rapat. Beruntung, sebuah kebakaran besar terjadi di pusat kota, sehingga Polisi Belanda dikerahkan ke sana. Rapat pun dilanjutkan dengan pidato-pidato. Pertemuan itu ditutup dengan menyanyikan lagu “Internasionale,” lagu gerakan buruh internasional yang terkenal itu.
Pada tanggal 30 Januari 1933, berita mengenai pemogokan pelaut di Surabaya kembali terdengar oleh Boshart. Merespon gerakan pemogokan itu, para pelaut di kapal tujuh kembali melakukan rapat. Diantara yang ikut rapat adalah Rumambi, Paraja, Hendrik dan Gosal.
Mengetahui bahwa kabar ini sudah tersiar, komandan kapal dan para ABK melakukan briefing. “Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga dikapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal tujuh.
Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para ABK. Paraja dan Rumambi, dua ABK berdarah Indonesia, memimpin sebuah gerakan untuk pemberontakan di atas kapal tujuh itu. Diputuskan pula bahwa mereka akan membawa kapal perang milik Belanda ini ke Surabaya.
Paraja dan Rumambi mendorong sebuah pertemuan di darat. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Hadir pula Maud Boshart dan pelaut-pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan.
Begitulah, pada 4 Februari 1933, sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Para awak kapal melakukan pengambil-alihan kendali kapal dari tangan Belanda. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd.
Dua perwira Belanda yang memimpin kapal, Vels dan Bolhouwer, berhasil meloloskan diri dari pemberontak setelah menjebol jendela. Mereka melompat ke laut dan berenang hingga ke daratan.
“Kapal Tujuh yang usang itu datang dari Oleh-Le ke selat sunda dipimpin oleh seorang kelasi bangsa Indonesia yang berkulit hitam itu dan di dorong maju oleh mesin-mesin yang dilayani oleh seorang corporal masinis bangsa kulit putih,” tulis Harian Ra’jat mengenai peristiwa itu.
Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia, yang memberitahukan bahwa Kapal perang “Zeven Provincien” sudah diambil-alih oleh mereka dan sedang bergerak ke Surabaya. “Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.
Mendengar berita pemberontakan ini, belanda dibuat kalang-kabut. Mereka pun mengirimkan sebuah kapal untuk mengejar, yaitu kapal Aldebaren. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat. Kapal Aldebaren pun mundur dan berhenti mengejar.
Belanda tidak berhenti. Mereka kembali mengirim kapal penyebar ranjau, Goudenleeuw, untuk melakukan pengejaran. Tetapi kapal ini tidak berani untuk terlalu mendekat. Penyebabnya, kedua kapal pengejar ini memiliki meriam lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding kapal tujuh.
Kapal tujuh terus berlayar. Tanggal 5 Febuari kapal sudah berada di pulau Berueh, lalu tanggal 6 febuari berada di pulau Simeuleu, kemudian sampai di Sinabang pada tanggal 7 februari, dan akhirnya tanggal 10 Februari sampai di selat Sunda.
Akhir Pemberontakan
Begitu memasuki selat sunda, pihak Belanda mengirimkan kapal perang “Java”, dan dikawal dua kapal torpedo: Piet Hien dan Evetsen. Selain itu, untuk benar-benar melumpukan pemberontak, pihak Belanda juga mengerahkan kapal perang yang baru tiba, yaitu Gouden Leeuw, dan sebuah pesawat pembom Dornier.
Van Dulm, yang memimpin kapal perang Java, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal tujuh untuk segera menyerah. Tetapi Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah. “Kami tidak mau di ganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya,” demikian balasan kapal tujuh kepada ultimatum Van Dulm.
Sesaat kemudian, pesawat dornier mulai berputar-putat di atas kapal tujuh, lalu mengeluarkan ancaman. Tetapi, Martin Paraja dan kawan-kawan kembali menyatakan menolak untuk menyerah.
Pada hari Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak kapal tujuh memberikan perlawanan. Beberapa orang mengalami luka-luka. “J Pelupessy mendapat luka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang kejadian tersebut.
Kapal tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Martin Paradja, yang memimpin pemberontakan ini, tewas saat pemboman itu. 20 awak Indonesia dan 3 awak belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Diantara yang gugur adalah Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon.
Sementara itu, 545 ABK bangsa Indonesia dan 81 ABK bangsa Belanda ditahan akibat pemberontakan itu. Kawilarang, karena dianggap memimpin pemberontakan, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun.
Para pemberontak kapal tujuh (seven provincien) akhirnya di tempatkan di pulau Onrust, kamp tawanan paling mengerikan saat itu. Sebagian besar pemberontak kapal tujuh meninggal dan dimakamkan di pulau itu.
Pengaruh pemberontakan ini
Kejadian di kapal tujuh sangat mengagetkan kaum kolonial. Koran “Soeara Oemoem’, yang berkantor di Surabaya, dibredel pemerintah kolonial. Salah seorang wartawannya, Raden Tahir Tjindarboemi, diputuskan bersalah karena telah menyiarkan kabar pemberontakan di kapal tujuh.
Pada saat itu, pers-pers asing sudah ramai mengabarkan kejadian ini. Mereka menyamakan kejadian di kapal tujuh (seven provincien) dengan pemberontakan di kapal Potemkim II–dalam sejarah revolusi Rusia.
Akhirnya, kejadian ini terdengar juga di negeri Belanda dan menjadi pembicaraan di sana. Salah satu organisasi pergerakan di Belanda, yaitu perhimpunan Indonesia, mengeluarkan manifesto yang mendukung pemberontakan itu.
Jauh sebelum pemberontakan di kapal tujuh, Gubernur Jendral De Jonge memberlakukan hukum yang sangat keras bagi pergerakan Indonesia. Dia memberlakukan pengawasan ketat terhadap rapat-rapat umum, melakukan penangkapan dan pemenjaraan terhadap sejumlah aktivis, hingga melaran kegiatan pers.
Dengan kejadian itu, pemerintah Belanda seperti ditampar mukanya. Sehari setelah kejadian itu, De Jonge menggelar pawai kesetiaan di depan kantornya, di Batavia. Ia seolah berusaha menegaskan bahwa kekuasaan kolonial tidak tergoyahkan oleh kejadian itu.
Apa yang menarik kita lihat hubungannya dalam pemberontakan ini adalah keterlibatan organisasi pergerakan, khususnya PNI dan golongan komunis yang dituding menjadi provokator pemberontakan ini.
Jaksa Agung Hindia-Belanda saat itu, Verheyen, dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal, telah menuding PNI baru cabang Surabaya punya andil dalam pemberontakan itu. “PNI baru adalah yang paling berbahaya di antara partai-partai nasionalis karena pimpinanya yang revolusioner,” katanya.
Sementara versi lainnya, yang juga sangat penting untuk diketahui, bahwa sebagian besar pelaut di kapal tujuh adalah anggota serikat buruh “Inlandsche Marine Bond (IMB)”, yang banyak terpengaruh nasionalisme dan marxisme. Majalah IMB yang bernama “Sinar Lautan”, banyak menulis soal marxisme dan nasionalisme.
Bagaimanapun, pemberontakan kapal tujuh adalah pemberontakan anti-kolonial pertama di kalangan para pelaut Indonesia. Andre Therik, seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu, pernah mengatakan:
“Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”
Mahesa Danu
Sumber: BerdikariOnline
0 komentar:
Posting Komentar