Bonnie Triyana | Kamis 17 Maret 2011 WIB
ETHAN Hunt menerima pesan yang dibungkus dalam sebuah mortir tanpa hulu ledak yang ditembakkan beberapa meter di depannya. Sebuah kacamata hitam yang tersimpan dalam selongsong mortir dipakainya untuk membaca instruksi misi rahasia yang harus dilakukan Hunt. Di akhir pesan, Hunt diminta untuk menjaga kerahasiaan misinya. Kalau bocor, Kementerian Luar Negeri akan menyangkal semua aksinya.
Cuplikan adegan itu diambil dari film Mission Impossible I (1996) di mana aktor Tom Cruise memerankan jadi Ethan Hunt, agen rahasia andalan dinas intelijen Amerika Serikat (AS). Sebagaimana judul filmnya, misi Ethan Hunt selalu berakhir sukses dan tak pernah mendapatkan penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri AS.
Hal yang dipertontonkan dalam film itu sebetulnya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi belakangan ini, terutama soal penyangkalan informasi yang termuat di dalam data intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks. Seperti diberitakan oleh koran The Age dan Sydney Morning Herald, WikiLeaks menguak penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Para petinggi Indonesia ramai-ramai membantahnya. Bahkan Presiden SBY pun pada 14 Maret 2011 secara resmi meminta agar media dan masyarakat menghentikan semua polemik tentang WikiLeaks.
“Tidak perlu kita terus menerus ikut dalam kegaduhan ini. Banyak yang lebih penting soalnya,” kata SBY seperti dikutip dari laman berita Vivanews.com.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS sendiri tak pernah secara resmi menyampaikan penyangkalan atas informasi yang termuat di dalam data yang dibocorkan oleh WikiLeaks kepada dua koran besar di Australia itu. Alih-alih menyangkal isi dokumen, Duta Besar AS Scot Marciel malah memberikan keterangan bagaimana mereka mendapatkan informasi.
“Tak hanya pejabat pemerintah setempat, tapi juga cendekiawan, jurnalis, politisi, masyarakat awam dan lain-lain. Kami berbicara dan bertukar pikiran atas segala hal yang menjadi perhatian masing-masing pihak,” kata Marciel, beberapa waktu lalu seperti dikutip dari Vivanews.com.
Kontroversi kebocoran informasi intelijen ini bukanlah yang pertama dalam sejarah di Indonesia. Pada 16 September 1963 sejumlah massa yang mendemo dukungan Inggris terhadap Federasi Malaysia (Malaya, Brunei, Sabah dan Sarawak) menyerbu Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Mereka mengobrak-abrik dan menjarah kedutaan Inggris yang terletak tak jauh dari Bundaran Hotel Indonesia itu. Pada saat itulah ditemukan dokumen yang memuat informasi strategis hasil kajian Kedubes Inggris di Jakarta tentang friksi internal Angkatan Darat.
“Tetapi, paling mengejutkan, Kartono Kadri dan Rubijono menemukan analisis pribadi dari Dubes Sir Andrew Gilchrist, “...posisi Presiden Soekarno sekarang bagaikan tikus terpojok,” tulis Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang.
Kartono Kadri adalah petinggi di Badan Pusat Intelijen (BPI) sedangkan Rubijono yang disebut oleh Julius Pour adalah Rubijono Kertapati, dokter pribadi Presiden Sukarno. Temuan itu mereka laporkan kepada Perdana Menteri I Djuanda Kartawidjaja, namun dia tak melaporkannya pada Presiden Sukarno karena khawatir presiden marah.
Pada Mei 1965 sejumlah anggota Pemuda Rakyat yang menyerbu vila milik Bill Palmer, distributor film Amerika di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang diduga jadi mata-mata CIA. Saat itu para pemuda juga menemukan dokumen yang memuat telegram rahasia Sir Andrew Gilchrist kepada atasannya di Kementerian Luar Negeri Inggris tentang kemungkinan kerjasama antara Inggris dengan Angkatan Darat Indonesia (Our local Army friends) serta rencana gabungan Inggris-AS untuk mengintervensi Indonesia. Dokumen itu kemudian dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.
Dokumen terakhir menyingkapkan keterlibatan segelintir perwira Angkatan Darat yang dianggap tak loyal kepada Presiden Sukarno dalam soal konfrontasi dengan Malaysia. Dokumen yang sempat diragukan keasliannya itu dilaporkan oleh Kepala BPI Soebandrio kepada Presiden Sukarno. Presiden Sukarno panik dan memanggil seluruh panglima angkatan. Dalam pertemuan itu seluruh pimpinan angkatan menyangkal tuduhan yang disebutkan dalam dokumen Gilchrist.
Seiring waktu, isu itu menggelinding bak bola liar dan memunculkan dugaan adanya Dewan Jenderal yang berencana mengudeta Presiden Sukarno. Situasi politik pun semakin memanas dan kemudian berujung pada peristiwa G.30.S/1965. Sukarno disebut-sebut akan dikudeta pun terjungkal dari kursi kepresidenannya. Secara perlahan Soeharto mengambilalih kekuasaan sampai akhirnya diangkat sebagai presiden definitif pada 27 Maret 1968.
Pada saat Dokumen Gilchrist itu ditemukan dan menjadi bahan pemberitaan di media massa, tak sedikit orang yang meragukan keaslian informasi di dalamnya. Sejumlah keraguan muncul karena susunan tata bahasa Inggris yang digunakan dalam dokumen itu tak mencerminkan gaya bahasa seorang diplomat Inggris. Bahkan Soebandrio sendiri sempat meragukan validitas dokumen tersebut dan meminta Kepala Staff BPI Soetarto untuk membandingkan jenis kertas dokumen dengan kertas yang biasa digunakan oleh Kedubes Inggris.
Tapi sejarah punya cerita lain. Dokumen Gilchrist yang menyebutkan adanya kerjasama beberapa perwira Angkatan Darat dengan pihak Inggris dalam urusan konfrontasi Malaysia itu kelak terbukti dengan adanya fakta bahwa perwira tinggi di Angkatan Darat tak berminat menjalankan instruksi Sukarno secara serius. Jamie Mackie dalam bukunya, Konfrontasi: The Indonesia-Malaysia Dispute 1963-1966 menulis tentang kekhawatiran Brigjend. Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, yang merasa ada upaya sabotase dalam operasi itu untuk tak meningkatkan eskalasi konflik dengan pihak Malaysia.
Dugaan adanya upaya kudeta dari segelintir perwira Angkatan Darat terhadap Sukarno, bila merujuk pada apa yang terjadi, pun terbukti di kemudian hari. Struktur kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, sebagaimana digambarkan oleh David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983, hampir sepenuhnya didominasi oleh para jenderal. Usaha untuk mengambilalih kekuasaan lewat penyingkiran kekuatan politik pendukung Sukarno, seperti PKI, dengan sendirinya “terkesan” membenarkan apa yang pernah disebut-sebut dalam dokumen itu.
Dugaan keterlibatan asing dalam penggulingan kekuasaan Sukarno semakin menguat ketika pada April 2001 pemerintah AS memublikasi dokumen Departemen Luar Negeri AS yang selama 30 tahun lebih dirahasiakan.
Dokumen itu menguak peran AS pada periode transisi kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Uniknya dokumen yang sempat terpublikasi lewat situs resmi National Security Archieve itu tiba-tiba ditarik kembali atas campur tangan CIA begitu Megawati Sukarnoputri dilantik menjadi Presiden Indonesia akhir Juli 2001. Kabarnya Pemerintah AS tak enak pada Megawati dan khawatir relasi Indonesia-Amerika akan terganggu.
Namun dokumen bertajuk Foreign Relations of the United States (FRUS) 1964-1968: Indonesia, Malaysia, Singapore, Philippines, Volume XXVI itu terlanjur tersebar luas. Bahkan penerbit Hasta Mitra menerjemahkannya dan menerbitkan bundel dokumen itu dengan judul yang provokatif: Dokumen CIA: Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G30S 1965 dengan kata pengantar dari Joesoef Isak, wartawan yang pernah ditahan Pemerintah Soeharto selama sepuluh tahun tanpa pengadilan. Tidak ada penyangkalan dari pihak pemerintah Amerika atas informasi yang terdapat di dalam dokumen-dokumen itu, kecuali beberapa bagian yang mereka hitamkan, menunjukkan tingkat kerahasiaan informasi.
Dari dokumen itu juga Tim Weiner menulis buku Legacy of Ashes: A History of CIA yang sempat menghebohkan publik di Indonesia pada pengujung 2008 karena menyebut-nyebut nama Adam Malik sebagai agen CIA di Indonesia. Banyak tokoh membantah tulisan Tim Weiner, termasuk Jusuf Kalla yang saat itu masih menjabat wakil presiden.
Pemerintah AS sendiri memiliki peraturan untuk membolehkan dibukanya arsip-arsip penting (dan rahasia) setelah berumur 30 tahun (declassified). Arsip-arsip itu dianggap telah bersifat statis karena peristiwanya sudah lama berlalu dan sebagian besar orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu sudah meninggal dunia.
Sementara itu arsip yang masih bersifat dinamis, di mana proses dan kontinuitas peristiwanya masih berlanjut, diberi label Top Secretdan tak mungkin dibuka untuk umum. Masuk akal bila sekarang, saat WikiLeaks membocorkan dokumen-dokumen rahasia milik Pemerintah AS yang masih bersifat dinamis, ada upaya untuk menutupinya.
Seperti sebuah gosip, informasi intelijen yang dibocorkan oleh WikiLeaks itu terletak di wilayah abu-abu. “Informasi itu bisa disebut sebagai hoax (isapan jempol-red) kalau sudah terbukti bohong. Tapi yang sekarang terjadi adalah tak ada pihak yang bisa membuktikan kalau itu bohong atau benar adanya,” kata antropolog LIPI Dr. Fadjar Ibnu Thufail.
Sumber: Historia.Id
0 komentar:
Posting Komentar