Bonnie Triyana | 1 Mar 2011, 00:00
Empat belas tahun pengasingan di Boven Digul. Tujuh tahun penahanan di Pulau Buru.
RUMAH berpagar
kuning itu terletak berhadapan dengan lapangan serbaguna di sebuah perumahan di
bilangan Kunciran, Tanggerang. Gerbang pagar setinggi dada orang dewasa itu
segera dibuka setelah beberapa kali terucap salam. Seorang pria senja berkemeja
putih dan bercelana panjang batik tampak berdiri di pintu menyambut dengan
senyum dikulum. Tangan kirinya berpegangan pada tembok, menopang tubuh
rentanya.
“Tangan kanan saya kena stroke, tak bisa lagi digerakkan. Silahkan masuk,” katanya mempersilahkan. Dia pun menyeret langkahnya untuk duduk di kursi.
Lelaki itu adalah
Tri Ramidjo, 85 tahun. Sakit tak pernah menghalanginya untuk beraktivitas. Tri
melek teknologi. Dia tak gagap menggunakan komputer dan akrab dengan internet.
Sampai hari ini dia aktif sebagai anggota jejaring sosial Facebook dan kerapkali membagi pengalaman
hidupnya di berbagai mailing list.
Semangatnya tak pernah pudar.
“Tubuh saya sakit, tapi semangat saya masih selalu ada,” kata dia.
Senyumnya selalu
mengembang saat bercerita tentang pengalaman masa kecilnya di Boven Digul,
Papua. Pria kelahiran Kutoardjo, 27 Februari 1926 itu dibawa saat masih bayi
oleh kedua orangtuanya, Kyai Dardiri Ramidjo dan Nyi Darini Ramidjo, ke Tanah
Merah, Digul. Kyai Dardiri dibuang ke Digul karena turut aktif dalam
pemberontakan komunis melawan pemerintah kolonial pada 1926. Dardiri dan Darini
masih sepupuan. Mereka adalah cucu dari Kyai Hasan Prawiro, pengikut setia
Pangeran Diponegoro yang mengobarkan perang Jawa pada 1825-1830.
Kamp Boven Digul
dibangun oleh pemerintah kolonial pertama kali untuk memenjarakan aktivis PKI
yang terlibat pemberontakan 1926. Menurut Ruth T. McVey pemerintah kolonial
memindahkan 1.308 lebih mereka yang terlibat pemberontakan. Beberapa tokoh yang
ditahan di sana antara lain Ali Archam, Sardjono, Mas Marco Kartodikromo, Kyai
Maskur (ayah MH Lukman, tokoh PKI) dan KH Tubagus Achmad Chatib, pemimpin
pemberontakan PKI di Banten. Pada masa selanjutnya kamp Digul juga digunakan
sebagai tempat pembuangan aktivis pergerakan nasional seperti Hatta dan
Sjahrir.
Menurut Bung
Hatta dalam buku Mengenang Sjahrir (1980)
waktu itu kampung Tanah Merah terbagi dua.
“Kedua bagian itu dipisah pula oleh sebuah jalan yang lebarnya kira-kira dua meter. Rumahku terletak di jalan itu. Sebelah kanan jalan itu disebut kampung B, sebelah kirinya kampung A,” kata Bung Hatta.
Menurutnya orang-orang yang tinggal di kampung A memilih untuk tak
bekerja pada pemerintah. Mereka disebut kaum “naturalis” karena menerima jatah
makanan per bulan secara natura dari pemerintah setempat dalam bentuk 18 kg
beras, 2 kg ikan asin, 300 gram teh, 300 gram kacang hijau, 2/3 botol limun
minyak kelapa. Sementara itu kampung B dihuni golongan “werkwillig” yang
bekerja untuk pemerintah dengan upah 40 sen sehari.
Sementara
golongan ketiga adalah golongan “die hard” yang sejak datang kali pertama ke
Digul menolak bentuk kerjasama apapun dengan penguasa setempat. Bahkan mereka
menolak untuk membersihkan pekarangan tempat tinggal mereka sendiri. Mereka tak
mau membangun rumah atau pun kampung sendiri dan memilih untuk tinggal di satu
barak yang telah disediakan. “Mereka itu dicap sebagai “onverzoenlijken”
– menentang terus,” tulis Bung Hatta. Golongan ini ditempatkan di Tanah Tinggi,
kira-kira berjarak tempuh sehari perjalanan ke arah hulu sungai Digul.
Tri dan
orangtuanya tinggal di kampung Tanah Merah dan masuk ke dalam golongan
naturalis. Kemudian ayah Tri berhenti jadi natura dan memutuskan untuk jadi
“daggelder” (buruh harian). Berbeda dengan keterangan Bung hatta, upah yang
diterima ayah Tri sebagai buruh harian sebesar 10 sen per hari. Tri kecil dan
kawan sebayanya sering bermain mengunjungi rumah Bung Hatta untuk belajar
bahasa Inggris. Dia pun mengenal baik Sjahrir dan kerapkali mendapatkan cokelat
darinya.
“Oom Hatta itu orangnya penyendiri sementara Oom Sjahrir lebih luwes mau bergaul dengan siapa saja,” kenang Tri yang memanggil kedua tokoh itu selayaknya paman sendiri.
Hatta dan Sjahrir tak lama berada di Digul. Mereka datang pada
Januari 1935 dan dipidahkan ke Banda Neira pada November 1935.
Para tahanan
politik Digul selalu merayakan peringatan pemberontakan PKI setiap 12 November.
Tri mengisahkan pada perayaan itu dia dan kawan sebayanya saat itu menyanyikan
lagu-lagu perjuangan seperti
“Dua Belas
November”, “Satu Mei” dan “Enam Jam Kerja”.
“Tapi sayang, tengah kami bernyanyi-nyanyi, datanglah sepasukan baju hijau, yaitu serdadu kolonial Belanda bersama Lurah Tanah Merah Oom BS,” kata Tri merahasiakan nama lurah itu. Tanpa babibu lagi pasukan langsung membubarkan hajatan.
“Perayaan kami dibubarkan, diobrak-abrik, dan kue-kue yang seharusnya bisa kami nikmati itu berhamburan di tanah berwarna merah kecoklat-coklatan di halaman rumah Oom Kadirun,” kenang Tri menggambarkan suasana.
Dia kembali melanjutkan kisahnya, “Anak-anak perempuan ada yag menangis karena kehilangan kuenya... Mas Suroso dan Mas Lukman digelandang oleh serdadu-serdadu Belanda walaupun mereka berdua belum dewasa mereka dijebloskan dalam tahanan.”
Lukman yang
dimaksud Tri adalah MH Lukman, kelak jadi tokoh PKI dan dikenal sebagai salah
satu dari tiga serangkai Aidit-Njoto-Lukman. Seperti Tri, Lukman pun turut ke
Digul beserta kedua orang tuanya. Ayahya, Kyai Muklas juga tokoh dalam
perlawanan terhadap Belanda di tahun 1926.
Setelah insiden
perayaan itu, Kyai Muklas dan beberapa keluarga lainnya dipindahkan ke Tanah
Tinggi, daerah pembuangan buat golongan “die hard”.
Sedangkan BS yang
dimaksud Tri kemungkinan besar adalah Budi Soetjitro (dalam buku Mengenang
Sjahrir Bung Hatta
menyebutnya Budisucipto, Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan
Komunisme Indonesia menulisnya
dengan ejaan Budisutjitro) tokoh PKI yang ditunjuk jadi lurah Tanah Merah dan
dianggap telah tunduk pada pemerintah.
Ketika Jepang datang, Belanda
bertekuk lutut tanpa perlawanan.
Sebagian tahanan
politik di Boven Digul dibawa ke Australia, tempat di mana pemerintah Hindia
Belanda menjalankan pemerintahan pengasingannya. Pada 1942 Jepang berhasil
menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Dua tahun sebelum kedatangan Jepang,
Tri bersaudara diboyong terlebih dahulu ke Jawa oleh ibunya.
“Semula ibu tak mau pulang karena di Jawa sudah tak punya apa-apa, tapi ayah mendesaknya karena sebentar lagi akan terjadi perang besar, nanti anak-anak akan sangat menderita,” kata Tri dalam memoarnya Kisah-Kisah dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru.
Pada 1944 Tri
ikut pelatihan militer dan lulus sebagai perwira yang bertugas di Kalimantan
Barat. Saat Jepang mulai kalah perang, Tri melarikan diri bersama puluhan anak
buahnya yang bersenjata lengkap. Jepang kemudian kalah perang. Indonesia
merdeka. Pada masa revolusi itu Tri kembali melanjutkan sekolahnya yang sempat
tertunda sambil bekerja mengayuh becak di Jakarta.
Tri kemudian
bekerja di Algemeene Volkscrediet Bank. Sebagai pegawai bank, dia mendapat gaji
dan tunjangan yang mencukupi hidupnya.
“Kemapanan” itu
hanya berlangsung beberapa saat saja, sampai kemudian, pada suatu hari di bulan
Agustus 1950 dia bertemu dengan Siti Rollah, kakak perempuan MH Lukman, yang
pernah tinggal bersama di Tanah Merah beberapa tahun sebelumnya. Sembari
bercanda Rollah menyindir Tri yang memilih hidup sebagai pegawai bank.
“Kamu mau jadi borjuis, yah?” kata Tri meniru sindiran Rollah diamini oleh Lukman, Njoto, dan Aidit yang ada pada saat itu.
“Saya malu betul waktu itu,” kata Tri pelan.
Setelah pertemuan
itu Tri keluar dari pekerjaannya. Dia memilih untuk bergabung dengan tiga
serangkai Aidit-Njoto-Lukman dan mengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI.
Kegiatan redaksi Bintang Merah menumpang di pavilyun kontrakan milik
Peris Perdede di Gang Kernolong 4, Jakarta Pusat. Dari bilik kontrakan itu pula
Aidit, Njoto dan Lukman membangun kembali kekuatan partai yang sempat luluh
lantak setelah peristiwa Madiun 1948. Tri yang alumnus Universitas Waseda,
Jepang itu bahu membahu mengerjakan semua hal. “Mulai administrasi sampai
redaksi saya kerjakan semua.”
Pada masa-masa
awal itu Tri mengambarkan betapa sulitnya mengelola penerbitan berkala. Untuk
mencetak perlu izin dari kementrian penerangan berupa Surat Izin Pembelian
Kertas (SIPK). Tanpa izin itu sukar untuk mencetak secara resmi.
“Beruntung waktu itu Pak Budiardjo yang bekerja di Departemen Perekonomian mau membantu kami untuk mendapatkan surat izin,” ujar Tri.
Budiardjo adalah
suami Carmel Budiardjo, perempuan Inggris yang bekerja untuk Kementerian Luar
Negeri RI. Mereka berdua ditangkap setelah pergolakan politik Oktober 1965
meletus. Carmel kini tinggal di London dan aktif mengelola lembaga nirlaba
TAPOL yang memokuskan kegiatan pada advokasi tahanan politik dan penegakan hak
azasi manusia.
Seiring waktu
kegiatan redaksi Bintang Merah dan Bulletin PKI semakin bertambah. Apalagi Aidit, Njoto
dan Lukman mulai mengadakan pembenahan di tubuh partai. Markas mereka pun
berpindah dari Gang Kernolong 4 yang sempit ke sebuah rumah di Gang Lontar IX
No.18, Jakarta Pusat. Tri mengontrak sebuah kamar di jalan Salemba, tak jauh
dari tempatnya beraktivitas. Hubungan Tri dengan Njoto kian akrab. Dia bahkan
menawari Njoto untuk tinggal bersamanya.
“Njoto saya ajak tinggal bersama di tempat saya. Dia orang yang pintar, suka musik dan olahraga. Kami sering main bulutangkis sama-sama,” kenang Tri lirih.
Tri punya
kenangan lain bersama Njoto. Pada Agustus 1951 kabinet Sukiman melancarkan
razia terhadap anggota PKI. Razia tersebut bermula ketika segerombolan orang
tak dikenal mengenakan simbol palu arit menyerbu kantor polisi di Tanjung
Priok. Ribuan kader dan pemimpin PKI ditangkap. Sehari sebelum kejadian, Tri
mengajak Njoto pindah ke rumah sebelah.
“Buat apa pindah?” kata Njoto ragu, mencoba menolak ajakan Tri. Setelah meyakinkan Njoto, Tri berhasil mengajaknya pindah kos. Mereka berdua pun selamat dari razia.
“Saya juga nggak mengira seperti itu, tapi akhirnya kami tak kena razia,” ujar Tri mengulum senyum.
Aidit juga lepas
dari kejaran itu. Berdasarkan penuturan adiknya, Murad Aidit, dia bersembunyi
di sebuah rumah kontrakan di bilangan Tanjung Priok untuk beberapa waktu
lamanya. Kabar yang sempat tersiar saat itu Aidit melarikan diri ke luar
negeri. Razia tersebut menjadi salah satu rintangan berat yang dihadapi oleh
mereka di saat merintis kembali kekuatan partai yang sempat terserak.
Dalam kolomnya di
Majalah TEMPO edisi khusus Aidit, 1 Oktober 2007,
sejarawan Hilmar Farid menulis sejak Januari 1951 Aidit beserta Njoto dan MH
Lukman mengambilalih kepemimpinan partai.
“Pengambilalihan partai dari apa yang disebut "kalangan tua" oleh Aidit, Lukman, dan Njoto, pada awal 1951 bukanlah proses yang mudah. Perdebatan berlangsung di tingkat pimpinan pusat sampai kader-kader daerah,” tulis kandidat doktor National Unversity Singapore itu. Kerja keras meraka tak sia-sia. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh suara terbanyak keempat setelah PNI, Masyumi dan NU.
Tri masih tetap
aktif mengelola penerbitan dan sukarela berkegiatan di partai yang telah
memiliki kantor sendiri di jalan Kramat Raya 81. Tapi dia tak pernah sengaja
mendaftar jadi anggota PKI.
“Persyaratannya terlalu berat, saya takut melanggarnya,” kata Tri sambil menyebutkan beberapa syarat keanggotaan yang masih dia ingat betul. Kegiatan Tri di partai dibarengi dengan pekerjaan rutinnya sebagai pegawai di Departemen Pekerjaan Umum.
“Waktu dulu gampang saja bekerja di PU sambil aktif di partai,” ujarnya.
Pada 1962 Tri
berhasil diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Waseda, salah satu
universitas terbaik yang ada di Jepang. Di tahun itu juga dia berangkat ke
Tokyo, Jepang meninggalkan seorang istri dan anaknya yang tetap tinggal di
Jakarta. Saat menempuh kuliah itulah peristiwa G.30.S 1965 meletus. Ribuan
pemimpin dan kader PKI ditangkap dan dibunuh. Sahabat Tri, Njoto, pun hilang
tak tentu rimbanya. Begitu pula Aidit dan Lukman. Selesai studi pada 1967, Tri
memutuskan pulang ke Indonesia. Nasib baik tak berpihak padanya.
Salah seorang
kerabatnya melaporkan kalau Tri, anak PKI Digul, telah pulang ke Indonesia.
Polisi pun segera menangkapnya. Setelah penangkapan itu siksaan demi siksaan
diterimanya.
Tri dipaksa mengaku sebagai anggota PKI dengan lecutan ikan pari
dan bogem mentah sampai babak belur.
Tak hanya itu, interogator yang terdiri
dari seorang letnan, seorang sersan RPKAD dan seorang interogator sipil
menjulurkan kabel, menyetrum kemaluan Tri. Siksaan itu masih harus ditambah
lagi dengan gencetan kaki meja pada ujung jempol kakinya.
Setiap kali
dipaksa mengaku PKI, secara lantang dia mengakuinya.
“Ya, ayah saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mendapat pengesahan dari Departemen Sosial RI dan setiap bulan mendapat tunjangan sosial dari pemerintah. Saya juga PKI, Perintis Kemerdekaan Indonesia,” tutur Tri mengisahkan penyiksaannya.
Jawaban itu
ditingkahi dengan pukulan bertubi-tubi dan setruman yang tanpa henti sampai Tri
tak sadarkan diri.
Belakangan, saat
Tri berada di pulau Buru, tahu kalau interogator sipil itu adalah tokoh
organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan PKI.
“Dia anggota pimpinan pusat IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, yang namanya cukup terkenal dan bahkan katanya ketika pernikahannya mendapat sambutan dari Ketua CC PKI DN Aidit,” katanya
Pada 1971 Tri
ditahan di Pulau Buru. Dia ditempatkan di Unit 15 setelah sebelumnya ditahan di
Unit 14.
“Unit 15 ini, orang mengatakan tempat tokoh-tokoh pimpinan PKI, mantan anggota DPR, sarjana lulusan pelbagai universitas dalam dan luar negeri. Ya, pokoknya yang dianggap oleh penguasa tokoh-tokoh kepala batu, die hard,” kenang Tri.
Tri dibebaskan
pada 20 Desember 1977. Setibanya di Jakarta dia mendapatkan kabar kalau
istrinya telah menikah lagi dan memperoleh seorang anak dari perkawinan itu.
“Aku terdiam. Aku tak bisa berucap kata. Ke mana aku harus menuju sekarang. Ke rumah kontrakan istriku yang kini sudah bersuamikan orang lain atau ke mana?” tulis Tri dalam memoarnya.
Setelah menemui istrinya, Tri akhirnya memilih
tinggal di rumah salah satu kerabatnya.
Dia tak ingin
menganggur dan pasrah. Berbekal batu asah, Tri keliling Menteng, menjajakan
keahliannya mengasah pisau dan gunting. Suatu hari di jalan Pekalongan seorang
perempuan memanggilnya dan meminta Tri mengasah pisau. Selesai mengasah nyonya
rumah datang ke rumah dan turun dari mobilnya. Dia langsung memegang pisau yang
baru diasah dan bergumam dalam bahasa Jepang, mengagumi ketajaman pisau hasil
asahan Tri.
“Untuk memotong sashimi, bukan?” timpal Tri dalam bahasa Jepang. Nyonya Jepang tadi pun kaget, bagaimana bisa tukang asah pisau berbahasa Jepang.
Pertemuan itu pun
membawa kemujuran buat Tri. Dia diperkenalkan kepada suami nyonya tadi, yang
ternyata bekerja untuk stasiun televisi Jepang, NHK. Tri diberi pekerjaan
sebagai penerjemah dan kemudian dilibatkan dalam beberapa proyek pembuatan film
dokumenter NHK.
Lepas dari NHK,
Tri bekerja sebagai wartawan di Japan Economic Journal sembari membuka kursus
bahasa Jepang di rumahnya. Kehidupan yang mulai beranjak baik mendorongnya
untuk menyatukan kembali keluarganya yang tercerai berai, termasuk istrinya
yang sempat bersuamikan orang lain.
Kini Tri
melintasi masa tuanya dengan terus menulis apa pun yang masih diingatnya dari
masa yang telah usai. Kesadarannya akan laku manusia dalam sejarah membuat Tri
Ramidjo tak pernah mendendam pada siapa pun yang menyebabkan hidupnya
menderita.
“Mengapa rasa benci dan dendam itu kutenggelamkan? Karena rasa benci dan dendam bagaikan api dalam sekam yang akan membakar diri sendiri,” tulis Tri, melepas semua beban yang menggelayutinya.
0 komentar:
Posting Komentar