29 Agustus 2011 | Purwantoro | Km 198 | Pkl 12.02
Jika terminal Purwantoro adalah persinggahan “akhir” banyak bus besar dari pelbagai jurusan seperti Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, bahkan beberapa kota di Sumatera, maka rumah Mas Yahya Perwita di belakang terminal bus Purwantoro, Wonogiri, itu menjadi persinggahan terlama dalam perjalanan mudik saya yang bertajuk #syawalitumerah.
Dua jam saya beristirahat di belakang gereja jawa itu. Ya, saya datang sekira pukul 10 dan berangkat lagi pukul 12 setelah disuguhi kopi pahit ukuran gelas jumbo dan makan siang dengan opor ayam, tahu, dan daging sapi.
Menurut pendeta yang ditahbiskan pada 1992 ini, memasak makanan lebaran itu sebagai cara menyambut lebaran yang belum jelas jatuh pada hari apa, Selasa atau Rabu, 30 atau 31. Di atas meja ruang tamu di rumah yang masih dikelilingi pohon dan tegalan, terhampar sekira 5 toples berisi kue lebaran dan juga permen. Itu juga untuk menyambut tamu-tamu lebaran yang dirayakan setiap tahun oleh umat Islam itu.
Di rumah yang riuh oleh dua ekor anjing dewasa dan lima bayi anjing itu dikepungi oleh buku-buku. Rak-rak ada di luar (pintu belakang gereja), di dapur, di ruang tamu, bahkan di dapur. Kata Bu Asrie Lesningtyas, buku dan majalah itu adalah koleksi perpustakaan keliling KiRaNa yang didirikan sebulan setelah kopdar Apresiasi Sastra dilangsungkan di rumah ini, Mei 2007.
Mas Yahya adalah lulusan teologi Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, sementara Mbak Asrie lulusan ekonomi IKIP Semarang.
Di luar semua gambaran dan keramahan Mas Yahya dan Mbak Asrie menyambut “tamu mudik” seperti saya ini, saya beruntung mendapatkan jamuan puisi. Ya, Pak Yahya menghadiahkan sekuplet puisi merah yang dibacakannya sendiri dari laptopnya. Saya merekamnya dengan recorder dan kamera handycam.
Puisi itu berkisah tentang sebuah kawasan pembuangan akhir mayat-mayat kaum kiri hasil bersih-bersih serdadu dengan dukungan golongan masyarakat yang berseberangan pergerakan dengan PKI, seperti NU, PNI, Masyumi dan semua organ jejaring bawahnya. Kisah tentang daerah bernama Luweng Mloko di tepi Desa Johonut, Kecamatan Paranggupito.
Inilah puisi yang diberi judul “Luweng Mloko” dan ditujukan kepada penyair Lekra JJ Kusni a.k.a Kusni Sulang. Saya kutipkan bait awal puisi yang dibikin pada 15 Agustus 2003 ini.
Dengan kehilangan kata-kata di hadapan Luweng Mloko
Tanpa menaburkan bunga peziarahan ini kurasa tetap sah saja
38 tahun berlalu sudah
Dan tetap tergambar jelas
Rentetan tembak dan teriak mengiring jatuh tawanan-tawanan
Terbanting di dinding-dinding bebatuan
Terkapar di dasar kegelapan
Masih hidup, luka-luka, atau langsung mati bukan lagi urusan
Tanpa menaburkan bunga peziarahan ini kurasa tetap sah saja
38 tahun berlalu sudah
Dan tetap tergambar jelas
Rentetan tembak dan teriak mengiring jatuh tawanan-tawanan
Terbanting di dinding-dinding bebatuan
Terkapar di dasar kegelapan
Masih hidup, luka-luka, atau langsung mati bukan lagi urusan
Setelah puisi panjang itu dibacakan, Mas Yahya berkisah bagaimana perjalanannya bersama tiga rekannya yang lain pada Agustus 2003 itu ke Luweng Mloko. Mereka berangkat pagi setelah sarapan di warung Pak Tarsa yang belum buka dan beberapa saat mampir menelpon di Slogohimo.
Perjalanan mereka sempat tertunda untuk menolong tiga orang pengendara dua motor bebek yang tergelincir jalan licin dan bertabrakan di tikungan jembatan sebelah timur Pom Bensin Jatisrono, mencegat mobil, mengantar ke Puskesmas Slogohimo yang lebih dekat jaraknya, diserahkan petugas jaga di Puskesmas yang ternyata sedang mempersiapkan pesta pelepasan dan penyambutan dokter baru, motor diantarkan ke bengkel.
Kengerian melihat kecelakaan motor sebelumnya mengarahkan rombongan ini untuk memilih rute jalan yang lebih sepi. Maka diputuskan berbelok di Jatisrono, lewat Jatiroto, gunung Tunggangan, turun di Tirtomoyo, belok di Kayangan, Batuwarno, sampai di Pastori Baturetno pk. 09.10 WIB. Termasuk cepat melewati jalur ini. Pdt. Sunu Prakosa ternyata sudah menunggu rombongan kecil ini.
Sesuai informasi yang mereka terima sebelumnya, mereka kemudian menuju rumah Pak Misdi di desa Selur, Ngargoharjo. Menunggu di rumah adalah Bu Suratmi, Pak Misdi yang sedang mempersiapkan tegalnya untuk persiapan tanam bila nanti turun hujan. Pak yahya ikut Bu Misdi menyusul ke tegalan, baru beberapa rumah berjalan ternyata sudah bertemu. Sesudah berkenalan, pahamlah Pak Misdi maksud tujuan kedatangan mereka.
“Yang saya ceritakan ini apa adanya ya, tidak ditambah-tambah atau dikurangi. Kalau tidak tahu saya juga bilang tidak tahu. Waktu itu saya masih kelas 6 SD (lahir tahun 1950), jadi masih kecil. Waktu kejadian orang-orang yang sudah besar berjaga-jaga di batas kampung, di luar rumah. Anak-anak kecil dilarang keluar rumah. Meski demikian dari cerita-cerita orang kami tahu semuanya karena beritanya memang sudah tersebar sehari sebelum kejadian. Malam itu ada kiriman orang PKI ke Luweng Mloko, jumlahnya berapa saya tidak tahu. Nanti tanya saja penghuni yang dekat luweng itu. Penduduk setempat tidak tahu menahu, pokoknya ada perintah dari atas iya sudah dijalankan tidak ada yang bertanya-tanya. Sesudah kejadian itu, sampai tiga bulan sesudahnya angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya, bau bangkai menyebar ke arah mana angin membawanya. Lebih baik kita meninjau langsung tempat kejadiannya saja.”
Pak Misdi yang ditemui Mas Yahya dan teman-temannya itu asli kelahiran Selur. Selulus SD Pak Misdi melanjutkan SMP Kanisius di belakang Balaikota Solo. Hanya satu tahun di sana, dijemput pulang karena ayahnya meninggal dunia, dan tidak sekolah lagi. SMP Kanisius bersebelahan dengan bangunan militer yang dijadikan kamp tahanan orang-orang PKI di Solo.
“Saya dan teman-teman mengintip dengan memanjat dari celah pagar, mereka yang ditahan kurus-kurus, biasanya hanya duduk-duduk saja. Kalau mereka (tahanan) melambaikan tangan mengusir kami, iya kami lari, takut.”
Mata pencarian sehari-hari adalah bertani. Pak Midi tidak menanam ketela pohon, lebih memilih menanam kacang tanah, jagung, dan padi (tadah hujan) yang bisa dijual dengan harga lebih tinggi dari ketela. Bila ada pesanan, Pak Midi menukang kayu, mengerjakan perabot rumah atau bakal rumah (kusen, pintu dll.). Putri satu-satunya sudah lulus D-3 Akademi Uang dan Bank di Solo, dan sekarang melanjutkan sarjana di Universitas Slamet Riyadi Solo.
Kondisi wilayah khas pegunungan karst Gunung Kidul. Batu-batu karang dasar laut purba jutaan tahun lalu menyembul ke daratan, menjadi bukit-bukit kapur tandus. Sepanjang perjalanan ke lokasi ada pipa-pipa dan tandon air minum. Banyak penduduk antre dengan ember dan jerigen air. Sama sekali tidak ada sumur. Telaga-telaga sudah mengering, beberapa kali berpapasan dengan truk tanki air yang membawanya ke rumah penduduk yang memesan, satu tanki air dihargai Rp 40-60 ribu, tergantung jaraknya. Biasanya ada tandon air tadah hujan di rumah penduduk, katanya cukup untuk persediaan rumah 2-3 bulan sesudah hujan terakhir, setelah itu Pak Midi harus antre ke bak-bak penampungan air untuk umum, atau beli.
Luweng Mloko ada di wilayah Desa Bringin, tetapi letaknya tepat di perbatasan desa Johunut. Ada satu bukit kecil di kiri (timur) jalan aspal ke jurusan Paranggupito, tepat di pertigaan jalan tanah ke barat, di kaki bukit selatan ada tanah lapang, dan SD Johunut II, selanjutnya rumah-rumah penduduk Dusun Johunut, Desa Johunut, Kecamatan Paranggupito.
Di hari pertemuan itu Pak Misdi datang bersama Pak Paimo, Pak Lik-nya. Mereka duduk-duduk di teras sekolah yang lenggang siang hari sesudah murid-murid dan guru pulang. Sementara berkenalan dengan Pak Paimo, seseorang bercaping menggembalakan 6 ekor domba yang beberapa lama mengawasi mereka di lapangan datang mendekat.
Setelah tahu maksud kedatangan Pak Yahya dan teman-temannya untuk mencari tahu kisah-kisah peristiwa 1965 berkaitan dengan Luweng Mloko, langsung saja penggembala itu lancar bercerita, sambil berpesan, tidak usah dicatat namanya.
Setelah tahu maksud kedatangan Pak Yahya dan teman-temannya untuk mencari tahu kisah-kisah peristiwa 1965 berkaitan dengan Luweng Mloko, langsung saja penggembala itu lancar bercerita, sambil berpesan, tidak usah dicatat namanya.
“Waktu itu tahun 1965 PKI mengadakan kudeta, membunuh jendral-jendral di Jakarta, maka di daerah-daerah pengikut-pengikutnya ditahan di penjara. Tahun 1968, bulan Besar, malam Kamis Legi ada satu mobil jeep dan tiga truk RPKAD dari Kandang Menjangan Kartosuro, membawa tahanan kemari. Mereka dibunuh di Luweng Mloko. Benar, tentaranya berbaret merah. Tidak tahu jumlah yang dibunuh ada berapa.”
Penggembala itu, yang kemudian dari Pak Paimo diberikan namanya adalah Kepala SD Johunut, terus pamit setelah Pak Yahya mengkonfirmasi keterangannya bahwa bagaimana bisa tahu tentara itu dari Kandang Menjangan Kartosuro. Apa betul harinya Kamis Legi, apa betul sungguh-sungguh menyaksikan peristiwa itu atau hanya mendengar dari orang lain. Ternyata benar perasaan Mas Yahya. Orang itu hanya menjawab, “Katanya, katanya”. Sambil terus berpesan, jangan menyebut namanya, menyangka bahwa rombongan Mas Yahya adalah wartawan.
Mas Yahya bisa memastikan bahwa orang itu tidak mengatakan yang dia ketahui benar karena RPKAD yang berubah nama jadi Kopasandha lalu Kopassus baru bermarkas di Kandang Menjangan Kartosura sekitar tahun 1970-an.
Pak Paimo jauh lebih apa adanya. Tuturnya:
“Saya hanya cerita apa yang saya tahu. Malam itu adalah malam Jumat Pon, saya catat betul karena keesokan harinya saya mendirikan kandang sapi. Anak saya Satinem waktu itu umurnya masih belum selapan, jadi tahunnya 1965, bukan 1968, ini apa adanya lho. Kamis Pahing sebelumnya ada perintah dari Lurah Dusun untuk membuat jalan ke Luweng Mloko, sedusun ikut serta.
“Tapi kami tak tahu jelas untuk apa pekerjaan itu. Ketika malam, pk. 12.00 tengah malam datang 3 truk tentara, bukan polisi, mereka berhenti di pertigaan di tepi bukit tempat Luweng Mloko itu. Saya tahu betul karena saya berjaga di bukit sebelah selatan itu, mencegat orang-orang yang berangkat ke pasar Giritontro, hari pasarannya itu Pon, waktu itu belum ada kendaraan, maka orang ke pasar jalan kaki saja memikul jualannya. Saya mencegat mereka karena disuruh tentara, supaya orang-orang tidak mendekat ke Luweng Mloko.
“Waktu itu bukit di selatan gundul, tidak ada pohon-pohon jatinya seperti sekarang, maka apa yang terjadi di sini terlihat jelas. Lampu-lampu menyala bersinar di sekitar Luweng Mloko ini. Sunyi sekali, terus ada rentetan tembakan serta teriakan. Orang-orang tidak tahu apa yang terjadi.
“Dua tiga hari setelah kejadian itu, bau bangkai menyebar dari Luweng itu. Oleh karena itu penduduk sekitar dikerahkan untuk menutup luweng itu dengan semak-semak dan daun-daunan. Ada mayat pria bersarung, tangannya diikat di belakang, tersangkut di batu. Saya ikut mendorong mayatnya masuk ke Luweng memakai bambu. Katanya ada juga perempuan yang jadi korban di luweng itu. Sampai tiga bulan angin membawa bau bangkai ke desa-desa sekitarnya.”
Ketika ditanya siapa yang memilih tempat itu untuk membunuh orang-orang PKI, katanya ada seorang tokoh PNI Wonogiri asalnya dari daerah itu, kemudian ia jadi anggota DPRD mewakili PNI pada pemilu 1971).
Semula yang akan dipakai adalah luweng di tengah perumahan Johunut, tetapi penduduk sekitar tidak menyetujui, akhirnya luweng Mloko yang dipilih.
Sudah ada yang pernah menuruni luweng itu, pernah ada tukang becak yang turun ke sana, karena katanya ada harta karun, tetapi tidak ada. Lalu terakhir rombongan mahasiswa KKN 2001 dari Unisri pernah menuruni luweng itu dan luweng-luweng di sekitarnya, ada banyak tulang-tulang manusia ditemukan di Luweng Mloko. Tetapi penduduk tidak pernah mengurus hal itu, jadi tidak tahu menahu.
Demikian kisah Luweng Mloko. Salah satu pembuangan akhir mayat-mayat kiri yang dibunuh secara brutal dan dianggap sewajarnya oleh sebuah rezim dan masyarakat dalam kurun semasa. Luweng Mloko hanyalah salah satu pekuburan massal dari sebuah periode mass murder yang bersembunyi di balik dalih pemberontakan PKI yang tak pernah bisa dibuktikan secara meyakinkan itu.
Dari Purwantoro, kini perjalanan mudik ini akan berlanjut ke Ponorogo. Mengikuti sepotong rute long march yang pernah dilalui Amir Sjarifuddin seusai peristiwa Madiun Affair 48 meletus.
Ya, ya, Purwantoro memang pernah dilalui ribuan pengikut Amir yang terdiri dari laskar merah, perempuan, dan anak-anak keluarga Komunis yang setia. Dan di Purwantoro pula, keluarga besar yang dikejar-kejar tentara KNIL pimpinan persekutuan Nasution-Hatta ini kehilangan satu brigade Abdoel Moetolib yang terpisah dari pasukan induk yang sebagian besar adalah brigade Pesindo. (Bersambung ke #5 Ponorogo)
* Seri catatan mudik #syawalitumerah
0 komentar:
Posting Komentar