29 Agustus 2011 | Ponorogo | Km 155 | Pkl 12.45
Memasuki gerbang selatan Ponorogo, Jawa Timur, disambut pintu terbuka bertartalkan aksara: Ponorogo Bumi Reog. Pintu itu berada dalam barisan kayu-kayu jati yang tumbuh menusuk langit. Di suatu masa, ada keyakinan Lekra dan budayawan merah bahwa kesenian rakyat Reog haruslah abadi. Karena itu rakyat Ponorogo bersatu. Ada sikap dan optimisme kuat dalam Musyawarah Reog pada Februari 1965 Pertemuan pelopor yang dikerjakan dengan sepenuh kesadaran. Jauh sebelum Malaysia obral klaim bahwa reog adalah bagian dari kesenian mereka.
Di benak saya terpacak asumsi yang gawat yang selalu menggoda; bahwa semua laki-laki Ponorogo berkumis tebal. Asumsi banal dan sangat laki itu dipelihara oleh sebuah gambaran yang disodorkan oleh film yang saya nonton di bioskop kampung Ujung Bou, tetangga kampung saya. Judulnya Suromenggolo. Film yang disutradarai Dasri Yacob (1991) itu saya tonton ulang pada 2010. Walau dengan pengetahuan yang sudah jauh berbeda, tetap saja asumsi banal yang laki itu susah dikibaskan.
Buktinya saya masih tergoda di siang bolong ketika saya sudah menempuh jarak perjalanan 155 km dari Kotagede Yogyakarta. Di alun-alun Ponorogo yang masih kuyuh dan kumuh karena baru bangun setelah semalam suntuk menghelat pasar malam, saya masih memperhatikan wajah kaum lelaning jagad reog ini. Dan hasilnya: sedikit sekali yang masih memelihara kumis tebal dengan berpakaian hitam, seperti leluhur-leluhur penjaga tradisi dan jago kelahi di tebing-tebing jurang serta ilmu gaib mahasakti yang tergambar dalam Suromenggolo.
Barulah saya terjaga, bahwa Ponorogo bukan hanya gambaran dalam film itu. Banyak spektrum tradisi bekerja di sana. Bahwa Ponorogo masyhur dengan tradisi santrinya yang dipresentasikan oleh Pondok Pesantren Modern Gontor yang sewaktu mudik 2008 pernah saya singgahi. Dan kini berkibar-kibarlah presentasi kemasyhuran Gontor yang pernah melahirkan cendekiawan-cendekiwan Indonesia berkelas jagad seperti Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Din Syamsudin, Hidayat Nur Wahid, setelah buku A. Fuady berjudul Negeri 5 Menara membukukan rekor sebagai salah satu novel terlaris pada 2011 ini.
Barulah saya terjaga, bahwa Ponorogo bukan hanya gambaran dalam film itu. Banyak spektrum tradisi bekerja di sana. Bahwa Ponorogo masyhur dengan tradisi santrinya yang dipresentasikan oleh Pondok Pesantren Modern Gontor yang sewaktu mudik 2008 pernah saya singgahi. Dan kini berkibar-kibarlah presentasi kemasyhuran Gontor yang pernah melahirkan cendekiawan-cendekiwan Indonesia berkelas jagad seperti Nurcholish Madjid, Emha Ainun Nadjib, Din Syamsudin, Hidayat Nur Wahid, setelah buku A. Fuady berjudul Negeri 5 Menara membukukan rekor sebagai salah satu novel terlaris pada 2011 ini.
Tapi bumi Ponorogo bukan bumi santri. Bumi Ponorogo adalah bumi reog. Dan pernyataan itu sudah diberitahu kepada siapa pun yang memasuki Ponorogo di semua pintu terdepannya dari segala jurusan. Ya, ya, Ponorogo bumi reog. Selamat datang!
Dan Lekra serta barisan budayawan merah menyadari betul posisi reog dalam spektrum budaya masyarakat Ponorogo. Campur tangan Lekra itu saya temukan dalam sebuah guntingan berita yang dimuat di Harian Rakjat pada 7 Maret 1965. Berita itu mengabarkan Musyawarah Reog Ponorogo se-Indonesia yang dihadiri perwakilan dari Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur dan khususnya daerah Ponorogo pada 25 – 28 Februari 1965.
Dalam musyawarah itu, demikian Harian Rakjat menggambarkan, reog tak hanya dilihat semata sebagai kesenian untuk menghibur, tapi menjadi karnaval politik di jalanan yang banyak menyedot perhatian Rakyat. Karena itu, musyawarah itu lewat beberapa resolusinya, mendorong bagaimana mutu ideologi reog menaik.
Bagi Lekra Jawa Timur, mutu artistik Reog Ponorogo tak usah disangsikan lagi. Ia sudah menjadi tradisi yang dipagelarkan secara turun-temurun. Tugas Lekra kini adalah bagaimana menaikkan mutu ideologi reog sehingga menjadi senjata paling depan untuk menghantam musuh-musuh Rakyat. Musuh-musuh Rakyat itu adalah kaum reaksioner dalam negeri dan juga persekutuan negara-negara nekolim seperti Malaysia.
Wajar kemudian, selain berikhtiar mengadakan pembaharuan dan menciptakan syarat-syarat guna mengembangkan kreasi, Lekra juga mendorong agar daerah-daerah yang memiliki unit-unit reog menyatukan diri ke dalam suatu organisasi yang progresif revolusioner.
Lekra memang tak langsung menyediakan diri menjadi pemersatu kelompok-kelompok reog itu. Kelompok reog itu sendirilah yang didorong membentuk lembaga bersama yang menjadi payung besar mereka untuk bermusyawarah, seperti kelompok ketoprak yang memiliki lembaga bersama bernama Badan Kontak Ketoprak se-Indonesia (Bakoksi).
Lewat organisasi besar itulah pelbagai permasalahan dalam dunia reog bisa dibahas dan dipecahkan. Lewat forum itu pula kelompok reog dan dibantu Lekra bisa mendiskusikan format ideologi, pembaharuan isi, dan arah perjuangan seperti apa agar reog tak tercerabut dari akar tradisi awalnya yang menyebabkan kenapa reog lahir.
Ancaman tergerusnya tradisi reog itu memang mencemaskan bagi budayawan Lekra dan barisan budayawan merah lainnya, khususnya perkembangannya di perkotaan. Secara sosiologis, masyarakat kota telah mendapatkan kompensasi hiburan dari maraknya film-film Amerika dan India yang mendominasi gedung-gedung bioskop. Nasib reog nyaris sama dengan lenong yang terus terdorong ke pinggiran Jakarta. Dalam catatan Lekra, lenong pada 1964 hanya beroperasi di Cakung, Cibinong, Bekasi, Pasarminggu, dan Cengkareng.
Reog adalah anak kandung kebudayaan rakyat Ponorogo. Karena itu seluruh perkembangan reog mestilah mengabdi kepada kepentingan ibu yang melahirkannya. Jika ada usaha yang memisahkan kebudayaan dan rakyatnya, maka reog akan tampil menjadi pemukul musuh.
Maka pahamlah kita kemudian mengapa dalam Musyawarah Reog Ponorogo pada 1965 itu muncul resolusi-resolusi yang secara sambil-lalu tak berhubungan dengan reog secara artistik, tapi secara ideologi memiliki kaitan yang erat, seperti meritul Adam Malik dan Chairul Saleh, mendukung deklarasi Indonesia keluar dari PBB, menjatuhkan hukungan mati bagi pelaku korupsi 50 juta ke atas, mendukung keputusan untuk mempersenjatai buruh-tani, mendukung pembubaran BPS, HMI, Manikebu, dan ormas-ormas yang abu-abu memberikan dukungan bagi perikehidupan Rakyat.
Reog juga ikut turun ke jalan bersama laskar-laskar kebudayaan lainnya mengganyang film-film imperialis dan menyingkirkannya dari bioskop.
Tapi, keyakinan itu bertahan tak cukup setahun. Pada Oktober 1965, justru tentara hasil reorganisasi 1948 oleh Nasution yang berada di bawah pimpinan serdadu yang pernah didakwa koruptor di Divisi Diponegoro Jawa Tengah, Soeharto, memimpin perburuan manusia-manusia merah. Warga yang dituduh progresif itu diganyang dan dibantai. Yang tak terbantai disiksa, dipenjarakan, dan mengalami pembuangan seperti leluhur merah mereka sejak 1926, 1935, dan 1948.
Kawan Dwi Raharyoso yang berasal dari Ponorogo berkisah via Facebook, daerah Kali Keyang di Kecamatan Jetis merupakan kawasan pembantaian warga yang dianggap menjadi anggota dan simpastisan PKI.
“Lebaran kemarin ketika kami berkunjung ke rumah pakde di kawasan Jetis (daerah yang dulu terkenal dengan daerah tukang jagal sapi), setelah pulang orang tua saya mengatakan bahwa pakde saya yang tadi kami kunjungi itu juga termasuk salah satu ‘tukang jagal’ dari rombongan pemuda Ansor yang memang ditunjuk langsung (entah oleh siapa) untuk menjadi algojo bagi kaum merah tersebut,” tutur penyair yang sekolah di salah satu universitas “keren” Yogyakarta itu. (Bersambung ke #5 Ponorogo: Jalan Musso, Bermula dari Prambanan Berakhir di Ponorogo)
# Catatan mudik #syawalitumerah (Serial: #Ponorogo)
0 komentar:
Posting Komentar