Sabtu, 04 Februari 2012
Situasi politik di
Banyuwangi sebelum peristiwa berdarah di Bayuwangi, sudah diwarnai persaingan
Nahdlatul Ulama kontra PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam pertikaian di wilayah-wilayah
lokal Banyuwangi dan tentunya basis PKI yang mereka sebutb sebagai
tanah abang[1] (Karang asem, dukuh Mantekan, Cemetuk).
Pada masa penjajahan
kolonial Hindia-Belanda, dalam satu periode Kubu PKI membunuh pemimpin-pemimpin
Nahdlatul Ulama di desa Kalipahit karena mereka mengangap para kyai–kyai yang
menjadi asuhan atau antek-antek Belanda.
Pada tahun 1960-an persaingan
dua kubu; PKI dan Anti-Komunis mewarnai berbagai daerah di Banyuwangi memakai
isu tentang Land-Reform. Aksi
Kekerasan yang radikal ini juga menyeret orang-orang kaya dan Pemilik
tanah.
Menjelang Pemilihan Bupati
(Pilbub) di Kabupaten Banyuwangi pada bulan Desember 1964, komposisi fraksi
DPRD Tingkat II Kabupaten Banyuwangi sebagai Berikut : NU (15 kursi), PKI (12
kursi), PNI (9 kursi), Golkar (5 kursi), partai-partai gurem (4 kursi). Di
dalam Pilbup tersebut, semula NU mengusung Hafid Suroso BA sebagai calon bupati
(cabub), PKI mencalonkan Suwarno Kanapi SH, sedangkan PNI tidak memiliki kader
untuk dicalonkan, sehingga mengusung Dandim Banyuwangi Kol. Djoko Supaat Slamet
(TNI-AD) sebagai cabub.
Di dalam perkembangannya,
wakil-wakil NU di parlemen ada ketidak-harmonisan, sehingga terbelah menjadi
dua kubu yaitu NU-Utara ini mencakup wilayah Kecamatan Rogojampi, Kecamatan
Kabat, Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Glagah, Kecamatan Giri, Kecamatan
Wongsorejo, Sedangkan NU-Selatan Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan
Muncar, Kecamatan Purwoharjo, Kecamatan Jajag, Kecamatan Gambiran, Kecamatan
Genteng, Glenmore, Kecamatan Kalibaru.[2]
PKI dengan upayanya
mendekati H. Ali Mansur selaku pimpinan kubu NU-Utara untuk dapat tambahan
suara politik yang diusungnya yaitu Cabub Suwarno Kanapi. Ini menjadikan kekhawatiran
kubu NU-Selatan terhadap cabub yang diusungnya untuk memenangkan pemilihan
bupati di Banyuwangi.
Kubu NU-Selatan akhirnya menarik
Hafid Suroso BA dari bursa Cabub, dan menerima ajakan PNI untuk berkoalisi
mencalonkan Kol. Djoko Supaat Slamet agar memenangkan Pilbub di Banyuwangi.
Namun sia-sia saja dalam perolehan akhir PNI-NU-Selatan-TNI AD kalah melawan
PKI-NU-Utara.
Kekalahan ini
mengakibatkan kekecewaan massa pendukung PNI-NU-Selatan-TNI AD, sehingga mereka
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada saat pelantikan bupati terpilih
Suwarno Kanapi SH pada 3 Januari 1965 untuk menolak hasil Pilbub dan menuntut
agar diadakan pemilihan ulang. Tapi kenyataan tuntutan itu ditolak oleh
Gubernur Jawa Timur, Wijono dengan alasan proses Pilbub sah di mata hukum.
Ulah demonstrasi ini
sempat menunda pelantikan bupati terpilih, Suwarno Kanapi SH. Akhirnya
pelantikan bupati Banyuwangi berjalan mulus pada Agustus 1965. Pilbub ini
menguatkan persaingan Politik antara PKI dan NU. Sehingga menjadi bom waktu
yang setiap saat meledak menjadi konflik horizontal di masyarakat.
Sikap dan Strategi Pemerintah
Di wilayah tingkat
nasional terdengar desas-desus bahwa para Panglima Jenderal akan membentuk
Dewan Jenderal untuk menggulingkan jabatan Soekarno; di saat Bung Karno sedang
sakit parah. Tragedi G30S yang terjadi pada tanggal 1 Oktober dinihari,
menandai bergesernya sebuah rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.
Tragedi yang ditandai
dengan penculikan beberapa perwira tinggi militer dari Angkatan Darat (AD),
yakni Jenderal Abdul Haris Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen R. Suprapto,
Mayjen Harjono Tirtodarmo, Mayjen S. Parman, Brigjen Donald Izacun Panjaitan,
dan Brigjen Soetojo Siswomiharjo.
Penculikan yang dikepalai
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa ( pasukan pengawal pribadi presiden
yang ditunjukan kepada jenderal-jenderal anggota apa yang menamakan dirinya
“Dewan Jenderal”)[3] yaitu Letnan Letkol Untung, Lettu Doel Arif.
Letkol Untung dibantu oleh
Batalyon 454, Brigade Infantri I Latief, Pemuda Rakyat (PR), dan
Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang mendapat tugas sebagai penjaga.
Pada saat operasi ini,
para penculik dibagi menjadi tujuh regu yang masing-masing menangani satu
jenderal. Penculikan yang dipimpin oleh Lettu Doel Arief membuahkan hasil.
Beberapa jenderal dapat diculik, namun terjadi kesalahan. ketika hendak
menculik Jenderal Nasution. Nasution dapat meloloskan diri dari penculikan,
tetapi seorang ajudan dan anaknya, yakni Lettu Pierre Tendean dan Ade Irma
Nasution, terbunuh pada peristiwa tersebut.[4]
Sejumlah jenderal telah
ditangkap dan alat komunikasi yang penting-penting serta objek-objek vital
lainnya sudah berada dalam lindungan Gerakan 30 September. Seorang jenderal
senior Angkatan Darat yang tidak menjadi sasaran penculikan ialah Mayor
Jenderal Soeharto. Suatu keganjilan G30S tidak menetralisir Kostrad, barangkali
karena Kostrad bukanlah merupakan instansi militer utama di Jakarta. Berbeda
dengan Kodam Jaya, Konstrad tidak mempunyai pasukan tetap yang di asramakan di dalam
atau sekitar kota.[5]
Meskipun demikian, Kostrad
mempunyai arti strategis yang besar, mengingat tokoh yang terkadang bertugas
sebagai panglima Angkatan Darat setiap Yani bepergian ke luar negeri. Jika
pasukan pemberontak ingin menguasai Jakarta, mereka harus memastikan bahwa
Soeharto, orang peringkat pertama yang langsung akan menggantikan Yani, tidak
dapat mengerahkan pasukan untuk melakukan serangan balasan.
Mayor Jenderal Soeharto,
Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat. Hal ini sesuai order tetap Menteri/Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad) tentang pejabat yang sedang berhalangan dapat digantikan dan
disetujui oleh beberapa perwira tinggi TNI-AD.
Pada Pukul 07.15 Letkol
Untung mengumumkan Dekrit No.1 Dewan Revolusi di siaran RRI Studio Jakarta. Isi
Dekrit itu tentang berlangsunya:
A) Gerakan pembersihan
terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal.
B) Tentang telah di
bentuknya Dewan Revolusi Pusat dan Daerah oleh Gerakan 30 September.
C) Pengumuman tentang
telah demisionernya kabinet dwikora dan menyatakan bahwa Dewan Revolusi
merupakan sumber dari semua kekuasaan yang ada dalam Negara Republik Indonesia.[6]
Mayjen Soeharto selaku
pangkostrad mengambil langkah strategis dengan merebut RRI dari tangan pelaku
G30S dan menguasai media cetak serta media elektro seperti Televisi Republik
Indonesia (TVRI). Pengambilalihan itu dilakukan untuk keperluan agitasi dan
provokasi guna menghancurkan PKI dan menggulingkan Presiden Soekarno.
Setelah pukul 21.00 WIB (1
Oktober 1965) RRI dapat dikuasai oleh pasukan Soeharto sekaligus memberikan
pidato singkat dan memberitakan pengambilalihan kepemimpinan TNI-AD melalui
pengertian bersama antara AD, Angkatan Laut, dan Kepolisian untuk menghancurkan
G30S.[7]
Kudeta G30S 1965 akhirnya
dapat ditumpas pasukan militer di bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto dan
menamai dengan istilah “Gestapu”.[8]
Setelah kudeta G30S 1965
berhasil ditumpas, TNI-AD, Konstrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD)[9] melakukan berbagai pendoktrinan untuk menciptakan
ketakutan, kebencian secara umum, dan melakukan pembalasan terhadap PKI berikut underbouwnya.
Foto-foto para jenderal
yang terbunuh diberitakan melalui media massa dengan komentar bahwa
penganiayaan dan pembunuhan terhadap para jenderal merupakan perbuatan underbouw PKI
seperti Gerwani dan Pemuda Rakyat.
Publikasi yang
besar-besaran itu merupakan salah satu bentuk propaganda militer yang
dikomandoi Pangkostrad Mayjen Soeharto. Klaim rezim Soeharto bahwa PKI
bertanggung jawab atas G30S. Pendalangan atas PKI ini, apakah tiga juta lebih
anggota partai keseluruhan bertanggung jawab? Atau hanya sebagian? Atau hanya
pimpinan partai? Apakah pihak pimpinan itu Cental Comite atau Politbiro?.
Malahan secara terus
menerus menggunakan istilah “PKI” masyarakat digiring untuk percaya bahwa bukan
hanya tiga juta lebih anggota partai yang bertanggung jawab, tetapi juga siapa
saja yang berhubungan dengan PKI di tumpas sampai ke
akar-akarnya. Seruan tersebut tersebut sampai di Banyuwangi,
sehingga terjadilah konflik horisontal antara pendukung Kol Djoko
Supaat Slamet (massa NU-Selatan dan PNI yang didukung oleh TNI AD) berhadapan
dengan massa Pendukung Suwarno Kanapi SH (massa PKI)
Dengan alasan balas
dendam, Nahdhlatul Ulama (Ansor) mencoba membangun kekuatan untuk membersihkan
PKI, dengan menggandeng Pemuda Marhaeinis dan kelompok yang anti terhadap
Komunis. Kegiatan-kegiatan Ansor dan pemuda Marhaeinis semakin marak dilakukan
untuk melawan Komunis. Kegiatan ini dilakukan karena alasan balas dendam, dan
jauh sebelum kegiatan yang dilakukan oleh para orang yang anti-Komunis
sekitar tahun 1965-an para Pemuda di Karangasem menggunakan kekuatan
mistik atau kekuatan supranatural.
Mereka mengalungkan janur
kuning dan daun salam di masing-masing pemuda yang tidak berbaju di desa Karang
Asem. Bahkan pemuda-pemuda anti-Komunis juga mengunakan mantra-mantra atau
jimat-jimat untuk menandingi Orang Komunis tersebut.
Selama minggu
ketiga bulan Oktober 1965 kegiatan untuk menghabisi PKI dilakukan oleh Pemuda
Ansor dan Pemuda Marhaeinis dengan persiapan-persiapan secara khusus.
Pada tanggal 18 Oktober
Mursid seorang kyai yang ditunjuk untuk memimpin sekolompok pemuda dalam
operasi untuk menyapu bersih sisa-sisa Gestok di Kalipahit. Sebuah konvoi besar
ini dan banyak antusias bermunculan sepanjang jalan yang dilalui, bahkan massa
rakyat juga ikut berpartisipasi dalam operasi yang dilakukan Mursid dan
kelompok pendukungnya. Dalam perkembangannya Basis PKI di Kalipait, Cemetuk, Karang
Asem. Tiba di Karang Asem, Konvoi ini dihadang oleh Pemuda setempat yang tidak
memakai baju, yang terlihat mereka hanya memakai kalung janur kuning di leher.
Dengan alasan untuk
mempertahankan wilayah mereka, karena massa Ansor membakar rumah warga Karangasem
dan sebagian atap masjid juga dibakar. Massa dari Ansor beranggapan bahwa
masjid yang berada di wilayah Karang asem itu Masjid PKI dan simpatisannya.
Bentrokan mulai meledak,
Banyak warga yang menjadi korban keganasan orang-orang anti-Komunis. Massa
Ansor yang lari ke Cemetuk di hadang oleh PKI Cemetuk dan mereka dibunuh dengan
cara dikubur hidup-hidup. Sekitar 62 anggota Ansor tewas di Cemetuk[10].
Hari itu regu patroli dari
Kodim Genteng menerima laporan tejadinya bentrokan di Karangasem, Mantekan, Dan
Cemetuk. Dalam perjalanan ke Karang asem, mereka melihat kerumunan-kerumunan
orang di sepanjang jalan. Kebanyakan mereka tidak memakai baju, dan membawa
senjata seperti pedang, parang, bambu runcing. Orang-orang di sekitar terlihat
menjaga rumah masing-masing. Dan terlihat rumah-rumah ada yang terbakar.
Patroli Kodim segera melakukan tindakan evakuasi dan berhasil mengendalikan
kondisi. Kekuatan-kekuatan nonkomunis yang mulai kesetanan menyerang PKI,
dengan memerintahkan mereka untuk meninggalkan daerah itu sehingga konfrontasi
fisik dapat dihentikan.
Peristiwa-peristiwa yang
terjadi di Karangasem yang didahului dengan pembantaian-pembantaian terhadap ribuan
anggota PKI dan simpatisannya oleh orang-orang non-komunis. Peristiwa-peristiwa
ini bukan hanya merupakan bagian permulaan dari bagian permulaan dari
segelombang pasang aksi massa, tetapi juga merupakan permulaan gelombang balas
dendam terhadap PKI dan organisasi-organisasi massanya.[11]
Kutipan
Sumber:
[1] Tanah abang merupakan wilayah basis PKI di
wilayah Banyuwangi selatan. Karang asem, dan Mantekan yang sekarang merupakan
admistratif masuk Kecamatan Gambiran, sedangkan dukuh Cemetuk masuk
administratif Kecamatan Cluring. Lihat : Firman Syahyudin, Peristiwa
Cemetuk Tahun 1965.(Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah-Fakultas Sastra Universitas
Jember, 2009).hlm 1
[2] IG Krisnadi, jurnal ilmu pengetahuan sosial, vol
ix (Jember:Universitas Jember, 2007) hlm 1
[3] Dewan jenderal adalah gerakan subvertif yang
disponsori oleh CIA. Dewan ini sangat aktif, terutama sejak Presiden Soekarno
menderita sakit yang sangat serius pada minggu pertama bulan Agustus . Mereka
berharap, Presiden Soekarno akan meninggal dunia sebagai akibat dari
penyakitnya. Lihat: Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang Aksi dan Penumpasannya (Jakarta:
PT Galia Indonesia, 1994).
[4] Anderson, Benedict R. O’G. dan Macvey, Ruth T., Kudeta
1 Oktober 1965 Sebuah Analasis Awal (Yogyakarta: LPKSM-SYARIKAT, 2001),
hlm. 13-32.
[5] Kostrad yang dibentuk pada 1960 merupakan usaha
pertama Angkatan Darat untuk membetuk cadangan pusat. Walaupun pasukannya masih
pinjam dari komando-komando daerah, Kostrad dirancang untuk memberi panglima
angkatan daerah (yang dipegang Yani sejak Juni 1962) batalyon-batalyon yang
berada di bawah komandonya sendiri. http:// en.wikipedia.org/wiki/Gerakan 30
September, (Akses: 19 Desember 2009).
[6] Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia Jilid IV,
Pemberontakan G30S/PKI Dan Penumpasannya, (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi
ABRI,1994), hlm. 235.
[8] Istilah Gestapu dikenalkan oleh direktur
koran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Brigjen Sugandi, yang
bermaksud mengaitkannya dengan istilah “Gestapo”. “Gestapo” merupakan singkatan
dari Gehieme Staatpolizei yaitu polisi rahasia Jerman di masa
pemerintahan Nazi. Dinas inilah yang bertanggung jawab atas keamanan di dalam
“Imperium Ketiga”. Tugas mereka mencari, menangkap, dan menahan “musuh-musuh
negara” di dalam kamp konsentrasi. Lihat: Hersri Setiawan, op. cit., hlm.
97-98.
[9] Cikal bakal RPKAD berupa satu kesatuan pasukan
“kelompok komando” dengan kekuataan sekitar satu kompi yang dilatih secara
khusus oleh tentara Eropa. RPKAD dibentuk tahun 1952/53 atas prakarsa Panglima
Divisi Siliwangi dalam menghadapi lasykar DI/TII. RPKAD sering disebut tentara
langit atau pasukan baret merah. Pasukan ini kemudian berubah nama menjadi
Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Lihat: ibid, hlm. 248-249.
[10] Untuk memperingati 62 anggota Ansor yang tewas
di Cemetuk ini, Rezim Orde Baru membangun monumen Pancasila seperti halnya di
Jakarta lubang buaya.
[11] Robert Cibb. The Indonesian Killings;
Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966,(Yogyakarta: mata rantai , cetakan
kelima, September 2004), lihat hal 262-263
Sumber: PriyaPurnamaWeblog
0 komentar:
Posting Komentar