sebuah cerita dokumenter atas peristiwa, Solo, 1998
Senja bukan lagi masalah yang memintaku untuk berpikir lari lagi, mencari
tempat untuk berlindung sembari membaringkan tulang belakang ku, di gedung tua
ini aku sudah menetap, 30 tahun sudah, menjadi penikmat sisa sisa sejarah yang
mulai tak bernilai sejarah termakan oleh kebodohan dan ketidakperdulian mereka,
begitu pun juga aku, yang menjamah masuk untuk sekedar mencuri atap dari
tatapan langit,.
Di Jalan Dr. Radjiman ini
aku menetap, mendekam sebagai yang kalah dalam percaturan hidup mereka, menjadi
tuna wisma di kota sendiri, di Negara sendiri, dan di bumi sendiri, di ujung
timur sendiri kecamatan LAWEYAN aku menikmati ringkukan ku, di bangkai dari
bekas RS KADIPIRO, yang dulu ramai pastinya, pikuk menjadi pusat distribusi
orang sakit kota SOLO , menjadi ajang pertempuran ilmu etika kedokteran dengan
kenyataan dunia bisnis pada jaman nya, hiruk dengan lalu lalang mobil ambulan
dan lewatnya para suter suster yang memegangi infuse atau preparat, dan
tentunya semerbak bau obat obat analgesik maupun anti infeksi menjadi hidangan
reseptor bau dikala itu, dan tetap saja aku masih meringkuk saat aku
membayangkannya, menatap atap yang begitu kokoh ,atap bangunan yang dulu
menjadi ruang IGD ini, betapa dunia ku begitu lucu, di bekas rumah sakit ini aku
meringkuk sebagai pesakitan yang tak merasakan perawatan, seorang diri dengan
mesin jahit peninggalan ibu ku yang dulu membuka jasa jahit di depan pasar
KADIPIRO, yang hanya sayang sudah kalah tergilas majunya industri industri kain
besar, dan semakin maraknya penjahit penjahit baru yang berdatang ke solo ini,
akhh,,bukan itu, sebenarnya ibu tak melanjutkan karena di tangkap bersama ayah
karena peristiwa G30S PKI, peristiwa yang merengut semua sayang yang seharusnya
aku dapat di usia kanak ku, biarlah, aku tak bisa berbuat apa apa soal ini, aku
hanya orang kecil,sampai sekarang.
Dulu tempat ini tak
seramai sekarang, hanya aku, Prasojo dan Senen yang tidur dan menganggap sisa
bangunan ini sebagai rumah bersama, walau tanpa pengakuan resmi, dari siapapun,ahhh,,,tapi
toh memang tak ada yang mengaku dan merasa memilikinya, baik itu dari
pemerintah kota, mereka tidak merawatnya, jadi apa salah kami meninggali?? Kalo
yang punya hanya mengaku punya tanpa memperdulikan, membiarkanya tergerus
hancur bersama waktu, menganaktirikan dengan datangnya bangunan bangunan yang
lebih gemerlap dan lebih modern untuk sekedar di pandang,mengabaikan sejarah
yang dulu di ukir dengan derai keringat, kucuran darah dan pekikan pekikan,
ahhh….pantaslah kalo sekarang kita tak bisa menghargai manusia pada kebanyakan,
karena hati sudah tak lagi bisa belajar menghargai pada terima kasih,
Setiap hari aku berjuang
hidup sebagai penjahit baju, celana atau apapun yang mereka percayakan padaku
untuk aku jahit, tak begitu ramai memang, mereka yang datang padaku pun adalah
mereka yang benasib kurang lebih sama dengan ku, menjadi manusia-manusia
pelengkap,seperti menjadi bakteri penghancur mungkin untuk istilah biologi, ya,
sebagai penerima dan pemakai sisa-sisa dari mereka yang lebih punya, tak apalah
setidaknya aku tak terlalu sia sia benar untuk hidup, dan kata kata inilah yang
selalu membuatku tersenyum saat pikiran tentang pertanyaan-pertanyaan hidup,
keadilan Tuhan , dan kenapa ada kehidupan menyergapku, walau entah ku pikir
kenapa pula aku juga bisa berpikir seperti itu, padahal mengenyam sekolah saja
aku tak pernah, sudahlah….membahas pertanyaan itu saat ini tak akan membuat
perut ku berhenti berkoar minta makan., aku harus menjahit, walau entah apa
yang akan aku jahit, saat ini tak ada apa apa , barangkali tak makan lagi aku
hari ini,
Ya,walau tak sepenuhnya
aku menggantungkan hidupku dari menjahit, aku punya pekerjaan lain,
mengantarkan mereka-mereka yang datang untuk melihat tempat ini, bangunan yang
ku anggap sebagai rumah ku, mengantarkan mereka yang tertarik pada seni
bangunan kuno eropa, pada mereka yang mengenang sejarah kota solo, pada mereka
yang datang untuk menikmati dan membingkai sejarah lewat jepretan foto atau
guratan kuas, atau pada mereka yang datang dengan penuh gaya untuk meninjau
lokasi pembangunan gedung baru yang akan didirikan di atas bangunan ini,walau
berarti aku mengantarkan mereka yang kelak akan mengusurku jika terjadi
kesepakatan antara pemerintah kota dengan dia, walau aku yakin itu memang tak
akan pernah terjadi, kota ini masih punya orang orang yang perduli pada
sejarah, mencintainya dan menghargainya, walau hanya segelintir, termasuk aku
mungkin yang akan berdiri menentangnya,bukan karena masalah ini tempat aku
berteduh, tapi karena aku selalu di ajari bapak ku untuk menghormati perjuangan
bangsa ini,Negara ini. Ya pekerjaan sampingan ku untuk mengantarkan tamu tamu
yang peduli pada tempat berteduhku, tamu tamu dengan pandangan yang berbeda
beda untuk bangkai ini , darinya cukup untuk mengganjal rasa lapar selama
seminggu, membeli benang yang berbeda warna dari sedikit warna yang sudah ku
punya, atau menganti benang yang sudah mulai habis.
Dulu aku, Prasojo dan
Senen saja yang tinggal di tempat ini, aku memilih tempat bekas IGD ini sebagai
kamar ku, Prasojo orang yang lebih tua dariku memilih ruangan lebih dalam, di
bawah sebuah pohon beringin di sebelah utara penampungan air, berdiri bangunan
menghadap ke selatan dimana katanya dulu adalah ruang untuk penjaga bangsal, ya
disitulah Prasojo tinggal, laki laki yang saat pertama kali ku temui bilang
berasal dari kota kecil di daerah Klaten, dia juga mengalami hal sama
sepertiku, tiada sanak dan tempat tinggal baginya di sana, suasana di sana
terlalu kejam dari pada di solo saat terjadi peristiwa itu tuturnya, entahlah,
aku tidak tau benar soal itu,tentang benar apa tidaknya, tapi mungkin
saja dia benar, dia memilih untuk tinggal pada kamar tengah karena trauma pada
keramaian jalan, yang akan mengingatkanya pada teriakan teriakan mereka-mereka
yang akan menghajar, menghakimi yang entah atas kesalahan apa,pada siapa saja
yang berhaluan kiri, atau di cap kiri,dan dari cerita-cerita ngerinyalah aku
menyimpulkan alasan kenapa dia tak mau balik atau sekedar melihat tempatnya
dulu, ya…..kurang lebih sama sepertiku, hanya saja bukan kebengisan masa yang
memisahkan hubunganku dengan keluargaku, tapi aparat, dan tentunya akan membuat
sedikit lain pula siapa yang pantas kami taruh kecewa padanya, kenapa tak ku
tulis untuk dendam? Aku tak ingin membenci atau mendendam pada apa yang tak ku
tahu kebenaranya. Dan Senen, laki laki yang tak ingin memiliki kamar tetap, dia
berumur 18 tahun saat aku mengenalnya, begitu muda dan energik, istilah seperti
kata kata orang sekarang, dia memilih untuk berjalan jalan keliling kota,
menikmati apa yang di suguhkan pada mata saja, karena tak ada yang mampu untuk
di beli, laki laki yang ku kenal dengan pikiran pikirannya yang kritis terhadap
masalah sosial,yang kadang ku pikir,“dapat dari mana dia pandangan pandangan seperti
itu”, hingga belakangan ku tahu, dia ikut menjadi salah satu anggota organisasi
serikat buruh di kota solo ini, dan lenyaplah dia dengan segala kegiatannya,
pergi berkeliling, dan sesekali datang ke gedung renta ini menemuiku dan
Prasojo, bercengkrama dengan cerita cerita yang selalu saja menarik,dari
pandangannya yang entah itu tentang budaya Jogjakarta yang sudah mulai luntur
oleh banyak nya pendatang sebagai mahasiswa, tentang artis artis ibukota yang
begitu seronok dengan mudahnya, menjual harga diri hanya untuk sejumput uang,
tentang pemerintahan dan kekuasaan yang korup dan masalah masalah lain yang
dari nya membuat kami sedikit mengerti bahwa dunia sedikit demi sedikit mulai
berubah, aku dan Prasojo menjadi sedikit tahu banyak tentang permasalahan
sosial yang menderanya, hingga terkadang kami terlalu berharap untuk menjadi
yang di soroti oleh pemikiran-pemikiran Senen yang mendalam ini, tapi sudahlah
tampaknya kami memang harus menerima dan sabar untuk masalah lampau kami
sendiri,
“Kita orang jawa terlalu
gampang untuk tunduk, terlalu menerima, dan terlalu cepat putus asa,
malas berusaha dan gampang merasa puas, terlalu percaya dan pasrah pada nasib
dan payah nya lagi orang jawa terlalu mengandalkan pada kekuatan mistis yang
entah ” kata kata Senen yang selalu ku ingat, di mana saat dia berkata ini
pertama kali, aku dan Prasojo bertolak belakang dengan pikiran Senen, tapi
lambat laun kami mengerti, apa yang ingin di sampaikan Senen pada kami, apa
yang diharapkan dan di inginkan pemuda kurus dan kurang tidur itu,.
“ PERUBAHAN ”
12 Mei 1998, gedung gedung terbakar, menyala merah
mengepulkan asap yang bikin ngeri orang yang melihatnya, penjarahan
barang-barang ,baik elektronik, sembako, dan barang barang yang terpikir
berharga dan bagus sudah pasti di lakukan,barang-barang yang dikata milik para
kaum asing,entah warga keturunan maupun barat, masyarakat yang merasa kaya dan
takut di jadikan sasaran amukan orang orang kalap berlomba lomba mencoret-coret
di tembok sendiri, coretan-coretan bertuliskan “ PRIBUMI, JAWA ASLI, PRO
REFORMASI” atau tulisan tulisan yang senada dengan itu menjadi pandangan yang
banyak di temui pada waktu itu, entahlah kenapa harus bertuliskan itu dan
kenapa mereka yang menurut mereka bukan itu harus di bunuh, di bakar dan di perkosa,
aku kecut saat itu, menjadi orang bodoh yang tak tau harus bagaimana, karena
mereka yang kalap juga menjarah pintu dan jendela bangunan yang ku diami,
“Bukankah ini milik
pribumi, milik pemerintah? Atau sebenarnya tidak milik pemerintah ?? lalu milik
siapa ?? kalo tidak milik keduanya pun kenapa mereka berebut dan begitu brutal
tanpa ampun saat menghancurkan bangunan sejarah ini?? keberadaanya sebagai
sejarah di kemanakan ?? kalo begitu kenapa tidak bakar kraton saja sekalian?!”.
Erangku,. Sayang nya aku
tak bisa berbuat apa apa, suaraku tak terdengar, terlalu kecil dan lemah,
memang tanpa kedudukan mustahil suara akan di dengar, dan akupun terlalu renta
untuk melawan begitu lebat manusia-manusia itu, manusia-manusia yang sedang
marah pada kekuasaan yang salah, manusia-manusia yang melepas luapan keinginan
yang ku pikir dengan salah pula, bertindak salah untuk meluapkan marah pada
yang mereka persalahkan, dan aku hanya bisa menangis, melihat bangsa dengan
budaya yang di banggakan dengan ADI LUHUNG, INGGIL TOTO KROMO ,bisa berbuat
seperti manusia manusia pedalaman yang tak mengerti pendidikan, etika, sopan
santun dan bertindak dengan begitu PURBAnya,.
Berkutat dengan mesin jahit yang tetap hitam mengilat
di usianya yang lebih tua dari pada diriku sendiri, menjahitkan pakaian pakaian
lusuh yang lebih layak di jadikan kain lap dari pada di kenakan untuk menutup
tubuh, menikmati satu gelas teh tawar yang tak lagi hangat sisa tadi pagi, dan
akhir-akhir ini tampaknya aku lebih banyak melamun, jahitan ku tak seramai dulu
lagi, teman teman ku juga sudah tak lagi bisa mengajak ku bicara, Prasojo
meninggal saat tragedi MEI 1998,mungkin karena serangan jantung, teringat
kembali akan peristiwa di Klaten yang dulu dulu rupanya, dan Senen, pemuda yang
biasa mendongengkan derai sejarah baru tentang negeri ini menghilang, tak lagi
muncul, dengar-dengar dia sudah pindah ke Jakarta, mencoba untuk lebih mengerti
PERUBAHAN yang selalu dia inginkan, tinggal aku sendiri, di sini, di bangkai
sejarah yang tak lagi di perdulikan, dengan mesin jahit yang tak bisa
bercerita, dengan tumpukan kain kumel yang berbau pesing, mengenangkan masa lalu,
menjadi saksi sejarah baru, sebagai orang kecil yang tak bisa berbuat apa-apa,
menjadi penjaga bangunan yang tak jelas mau dikemanakan nasibnya, menjadi
pesakitan di diri sendiri,dikota sendiri, di negeri sendiri, “sekarang aku
rajin batuk”.
“Aku yang tak menyebutkan
namaku di sini, di cerita ini, sebagai orang yang tak di dengar karena tak
memiliki apa-apa, aku yang diam di sudut depan bangunan ini, terasing sendirian
tanpa kepantasan, mereka tak memperdulikan ku, tak memperdulikan keberadaan ku,
di kota kelahiranku sendiri, di Bumi pertiwi ku, hanya menunggu maut yang ku
harap bisa berbuat lebih adil dari kehidupan,lebih adil untuk memandangku,
lebih adil untuk memperlakukanku, menerimaku ” .
Source: Decungkringo
0 komentar:
Posting Komentar