30 April 2012
Tempo 30 september 1972. Ditemukan sejumlah selebaran
gerakan pki bawah tanah di pontianak, kalimantan barat. kebanyakan anggotanya
keturunan cina. di jawa tengah gerakan serupa tetap ada, pihak keamanan telah
mengetahuinya.
7 TAHUN setelah peristiwa G30S/PKI, kekuatiran bahaya
laten dari sisa-sisa pengikut golongan terlarang itu – seperti yang banyak
diperingatkan oleh berbagai penguasa militer baik di pusat maupun di daerah
agaknya bukan tanpa didukung oleh fakta-fakta. Di luar negeri dengan
menggunakan Moskow dan Peking sebagai pangkalan, mereka masih tetap giat
menjalankan gerilya politik sampai hari ini.
Di Negeri Belanda, dengan mendapat dukungan partai
Komunis serta unsur-unsur kiri di sana, mereka seakan bertanding gencar dengan
orang-orang dari kelompok-kelompok yang menamakan dirinya Republik Papua
Merdeka pimpinan Kasieppo maupun Republik Maluku Selatan pimpinan Manusama,
melakukan kampanye anti Indonesia. Di dalam negeri penangkapan-penangkapan baru
terhadap orang-orang yang dicurigai ada hubungan dengan G30S/PKI di luar maupun
dalam kalangan pemerintah sipil dan ABRI masih terus berlangsung.
Sementara itu kegiatan-kegiatan nyata dari para sisa dan
simpatisan partai terlarang itu tak jaang menampakkan diri dalam bentuk yang
kadang-kadang mencengangkan. Dalam hubungan ini tidak heran jika minggu lalu di
Pontianak, mayor jenderal Ali Murtopo, berbicara tentang perlunya lembaga
Kopkamtib dipertahankan terus.
Tanjungpura
kecolongan.
Dan agaknya bukan kebetulan bahwa Aspri Presiden bidang
politik dan keamanan itu harus mengatakan hal itu di Pontianak, ibukota
Kalimantan Barat. 189 orang korban yang telah gugur dalam rangka menumpas
gerombolan komunis PGRS/Paraku di propinsi perbatasan itu, rupanya tidak cukup
untuk membangkitkan kewaspadaan penguasa militer Kodam Tanjungpura akan adanya
gerakan komunis bawah tanah di daerah yang 75O penduduknya keturunan Cina itu.
Ini terbukti dengan peristiwa penyebaran pamflet-pamflet gelap anti pemerintah
bulan Mei yang lalu di sana. Seakan untuk merayakan hari ulang-tahun PKI,
masyarakat kota Pontianak yang bangun pagi Kamis tanggal 25 Mei itu telah
dikejutkan oleh adanya pamilet-pamflet yang bertebaran di jalan-jalan, di
tembok-tembok umum, tiang-tiang listerik, pohon-pohon bahkan juga di pagar dan
dinding kantor-kantor resmi maupun tempat kediaman para pejabat. Di Pal V
Pontianak, bahkan selembar bendera merah dengan lambang palu-arit sempat
dikibarkan di sebuah mesjid.
Ternyata kejadian serupa juga dialami oleh kota-kota
kecil di luar Pontianak seperti Mempawah, Pemangkat, Tebas Sambas dan terutama
di Singkawang. Di kota yang terakhir ini, bendera PKI sempat terlihat dinaikkan
di halaman kantor imigrasi dan di tiang bendera lapangan tempat latihan militer
di sana. Matinya listerik di kota Pontianak dan turunnya hujan di daerah
Singkawang malam itu memang rupanya telah memulaskan orang, penguasa atau
bukan, sehingga para penyebar pamflet itu dapat menjalankan aksinya dengan
aman. Tentu saja kecolongan ini telah dirasakan sebagai tamparan bagi fihak
penguasa militer Tanjungpura dan secara buru-buru mengerahkan
petugas-petugasnya untuk menyapu bersih semua pamflet dan corat-coret gelap itu
dan dilanjutkan dengan pengusutan dan pengejaran terhadap para pelakunya.
Tapi usaha Laksus Kopkamtibda Tanjungpura untuk menyimpan
kejadian itu menjadi rahasia sendiri, tak berhasil. Tak urung harian Seksama di
Pontianak 2 hari kemudian terbit dengan cerita lengkap mengenai kejadian
tersebut, yang kemudian dihidangkan pula di Jakarta oleh mingguan Khas beberapa
minggu kemudian. Tapi sementara mingguan Khas – yang konon membawa suara
setengah resmi itu tak mengalami kesulitan apa-apa, harian Seksanla ternyata
harus membayar “keberaniannya” itu dengan harga mati yang amat tinggi: izin
terbitnya dicabut oleh Laksus Kopkamtibda Tanjungpura! Organisasi tanpa bentuk.
Meskipun bahaya yang dihadapi sama tapi lain Kodam lain
kondisi dan laksusnya sehingga lain pula peri lakunya. Jawa Tengah yang
berpenduduk padat dengan kemelaratan yang masih merata itu, adalah daerah di
mana sisa-sisa G30S/PKI yang juga belum kunjung henti menunjukkan kegiatannya.
Tapi sementara fihak Laksus Kopkamtibda Tanjungpura cendrung untuk mengirit
berita-berita tentang kegiatan PKI bawah tanall di sana, Kodam Diponegoro di
Jawa Tengah justru memperlihatkan kecendrungan sebaliknya. Dari sana baik
panglima mayor jenderal Widodo maupun Asisten bidang Intel, Leo Ngali yang
belum lama ini naik menjadi kolonel, tak selang lama selalu keluar dengan
cerita-cerita terbaru mengenai kegiatan G30S/PKI di daerahnya.
“Bukan karena kami mau menakut-nakuti, bukan untuk
menimbulkan angst-psychose”, kata Leo Ngali kepada reporter Yunus Adicondro
dari TEMPO awal bulan ini. Diakuinya bahwa kegiatan sisa-sisa G30S/PKI sekarang
ini masih terdapat di seluruh Indonesia, “tapi kami di sini yang lebih banyak
bisa mendeteksi kegiatan mereka”, katanya tanpa menyembunyikan rasa bangga.
Kami bisa bicara karena kami punya bukti.
Dan bicara soal bukti-bukti, perwira intel kelahiran Blitar
yang pernah mengikuti pendidikan militer di Breda, Negeri Belanda, itu bisa
menunjuk pada penangkapan dan hasil pengusutan terhadap Tjokrowarsito, 4 tahun,
seorang kopral purnawirawan AD di Wonogiri (lihat box). Siapa yang memberi
konsumsi ide bagi Tjokro, belum diketahui, atau setidak-tidaknya belum bisa
dikatakan oleh Leo Ngali. Tapi sebelum itu dari sel-sel PKI yang telah
diringkus, berhasil ditangkap pula Hartodjimin, 40 tahun, bekas anggota Biro
Khusus PKI ex-karesidenan Surakarta yang telah menjadi pegawai pada koperasi
Waris di Solo. Sepuluh hari kemudian, dari pabrik gula Klakah, berhasil pula
ditahan Sarmidi, bekas anggota BPH kabupaten Blora fraksi PKI yang telah
bekerja sebagai buruh pada pabrik gula tersebut. Tapi jauh sebelum itu dan jauh
yang lebih penting bagi fihak satgas intel Kodam VII agaknya adalah penangkapan
terhadap Dr. Soegiono, di Kebumen bulan Pebruari tahun 1971 yang lalu. mendapat
gelar Doktor Filsafat Marxisme-Leninisme dari Universitas Pyongyang, Korea
Utara bekas rektor Akademi Ilmu Sosial Ali Archam serta pernah memimpin
Departemen Ilmu & Perguruan Tinggi CC PKI di zaman Aidit, Soegiono adalah
seorang otak terpenting dari gerakan PKI di bawah tanah khususnya di Jawa
Tengah, setelah peristiwa Blitar Selatan.
Soegiono sendiri mengecam habis-habisan peristiwa
tersebut yang dianggapnya akibat dari taktik salah yang dijalankan oleh
kawan-kawannya yang melakukan pengelompokan aktifis di sana. Kesalahan itu
menurut Soegiono yang menyebabkan tertangkap dan terbunuhnya sejumlah pimpinan
dan kader-kader penting oleh Operasi Trisula yang dipimpin Kolonel
Witarmin-yang sekarang menjadi Komandan RPKAD dengan pangkat Brigjen. Dalam
kondisi sekarang Soegiono berpendapat justru perlu dilakukan apa yang
disebutnya “desentralisasi absolut”: memencar dan menghindari berkelompok.
Inilah yang dikatakannya sebagai taktik OBT (Organisasi Tanpa Bentuk). Sehingga
kepada interogatornya yang menanyakan nasib gerakan bawah tanah PKI setelah ia
tertangkap, Dr. Soegiono berkata: “gerakan akan jalan terus”.
Kader &
Kondisi Masyarakat.
Soegiono juga berpegang pada strategi Tri Panji Partai
pembangunan kembali partai, perjuangan bersenjata (perjuta) dan menciptakan
front persatuan serta KoK (Kritik oto-Kritik). Tapi berbeda dengan
kamerad-kameradnya, Soegiono rupanya menilai bahwa kondisi objektif bagi PKI
pada tingkat sekarang sudah kembali mundur jauh pada keadaan semacam masa
pra-revolusi sehingga titik berat gerakan haruslah panji ke 3 sebagai mantel:
menciptakan front persatuan. Untuk itu 2 sasaran yang harus digarap: kaum tani
di desa dan kaum buruh di kota.
Dalam pengembaraannya sejak tahun 1968 sambil menyamar
sebagai tukang loak sampai ia tertangkap, Soegiono mendapat kesimpulan bahwa
Jawa Tengah bagian Selatan merupakan daerah yang menguntungkan secara taktis
untuk tempat membangun kembali basis-basis PKI.
Sebagai saluran-komunikasi antar tempat, Soegiono memilih
jalur PNKA. Apa sebab? “Dengan sifatnya yang khas, sangat sulit mendeteksi
kontak-kontak PKI liwat jaringan kereta-api”.
Dengan memindahkan titik berat dari perjuangan bersenjata
ke penciptaan front persatuan, itu tidak berarti ditinggalkannya taktik-taktik
kekerasan. Meskipun untuk itu, seperti diungkapkan oleh Machtub lladi, seorang
kader Dr Soegiono yang telah tertangkap lebih dahulu, “PKI biasanya
memanfaatkan recidivisten sebagai pelaksana-pelaksana praktis untuk mengadakan
pengacauan pengacauan”. Dan pelaksana-pelaksana praktis itu, seperti dikatakan
pula oleh Leo Ngali, umumnya mereka yang tidak terlalu banyak tahu tentang
politik bahkan sengaja tidak dididik dalam ideologi komunisme. Di Kalimantan
Barat, para pelaku penyebar pamflet tanggal 25 Mei itu umumnya terdiri dari
orang-orang keturunan Cina yang lemah ekonominya. Berdasarkan pengakuan dari
240 orang yang telah tertangkap sampai tanggal 29 Agustus kemarin,
masing-masing penyebar pamflet itu “mendapat upah antara 500 sampai 3.000
rupiah”, seperti dikatakan kata panglima Kodam Tanjungpura, Brigjen Sumadi.
Memberikan penjelasan kepada para pemuka masyarakat sipil maupun ABRI serta
para undangan yang terutama orang-orang keturunan Cina di Pontianak bulan lalu,
Sumadi berkata bahwa di daerah itu gerakan di bawah tanah PKI memang digerakkan
oleh orang-orang keturunan Cina. Sumber-sumber logistiknya juga adalah
orangorang keturunan Cina yang bergerak di semua sektor usaha: perusahaan kayu
agen rokok, bandar judi. Di Sambas penyokong logistik ini ternyata adalah A
Bong, pemilik perusahaan angkutan bus Asia Baru, sementara di Pemangkat adalah
A Djun, pemilik sebuah toko obat di sana.
Di tempat tahanannya di Semarang, Dr Sugiono memberikan
penjelasan bahwa pasang surutnya gerakan bawah tanah ditentukan oleh 2 faktor:
kader dan kondisi masyarakat. Dan di Kalimantan Barat kedua faktor itu lebih
khas sifatnya. Kenyataan bahwa mayoritas penduduk terdiri dari keturunan Cina
yang menguasai pula berbagaibagai sektor bidang usaha di satu fihak telah
memudahkan sisa-sisa G30S/PKI membina kekuatan kembali sementara di lain fihak
menghadapkan fihak penguasa bisa-bisa dituduh rasialis jika tidak hati-hati.
Karena itu dalam pertemuan tersebut, Brigjen Sumadi berkata tentang perlunya
“menyelamatkan Cina-Cina yang lain agar tidak turut dan terpengaruh masuk
gerakan bawah tanah komunis”, di samping usaha-usaha membuat mereka “lebih
lndonesia”.
Dalam hubungan yang terakhir ini agaknya, beberapa waktu
sebelumnya Laksus Kopkamtibda di sana memerintahkan agar “kelenteng-kelenteng
bertuliskan huruf Cina di rubah dengan huruf Latin”, mengingat bahwa kelenteng
selama ini ternyata telah digunakan sebagai salah satu simbol memelihara
perasaan rasial di samping juga untuk tempat kontak-kontak kader.
Harga Sebuah
Kepala
Di Kalimantan Barat, organisasi gerakan bawah tanah PKI
baru mulai sejak tahun 1970 yang lalu. Dan seperti juga di Jawa Tengah, di
Kalimantan Barat mereka juga bergerak dengan taktik “Organisasi Tanpa Bentuk”,
kata Letkol Romli, Wakil Asisten intel Kodam Tanjungpura kepada pers di
Pontianak tanggal 19 Agustus yang lalu. Meskipun menggunakan taktik OBT,
ternyata gerakan gelap PKI di sana bukannya tak mempunyai organisasi yang
berbentuk. Dari hasil interogasi para pelaku penyebaran pamflet tanggal 25 Mei
iu dapat di ketahui struktur organisasi CDB dengan eselon-eselon di bawahnya
serta nama-nama yang duduk di sana. Siapa yang duduk sebagai pimpinan CDB
rupanya belum di ketahui sampai sekarang. Fihak satgas intel kodam Tanjungpura
menduga setidak-tidaknya yang mengendalikan dari belakang masih tetap
S.A.Sofjan – bekas ketua CDB lama yang sekarang masih jadi buronan. Dan di mana
orang ini sekarang? “Sampai saat ini masih berada di daerah Kalbar dan selalu
berpindah-pindah”, kata Brigjen Sumadi di hadapan sidang pleno DPRD Propinsi
Kalbar akhir Agustus kemarin. Dan saking sulit rupanya menangkap orang ini,
maka fihak Laksus Kopkamtibda Tanjungpura telah mengumumkan kepada masyarakat
agar membantu menangkap Sofjan hidup atau mati dengan disediakan hadiah uang
kepada yang berhasil. Tapi tarif kepala S.A.Sofjan makin lama mpanya makin
naik, sebab hadiah yang semula disediakan Rp 1 juta, kemudian dinaikkan menjadi
Rp 2 juta dan terakhir sudah dinaikkan lagi menjadi Rp 3 juta. Namun Sofjan
masih tak jelas di mana rimbanya.
CDB menurut struktur organisasi itu membawahi CDP (Comi
Daerah Pantai) dan CDK (Comite Daerah Sungai Kapuas) yang pertama di pimpin
oleh A Pin dan Tan Bun Hiap, sedang yang kedua dipimpin oleh The Bun Kiat.
Selanjutnya CDP membawahi P (Comite Partai) yang kemudian membawahi pula Comite
Desa. Sementara CDK membawahi CK (Comite Kapuas) yang kemudian membawa pula
baik Comite Desa maupun Comite Kapuas tingkat desa lainnya (lihat skema). Dalam
operasinya, gerakan komunis itu memang lebih terlihat di daerah sepanjang
pantai Kalbar dan sepanjang Sungai Kapuas, oleh karena di kedua alur daerah ini
justru terdapat penduduk yang cukup di samping mudah melakukan kontak-kontak
dengan dunia luar dan berbicara tentang kontak dengan luar, kolonel Wahab Uzir,
kepala staf Kodam XII itu tidak bisa menyembunyikan dugaannya bahwa “gerakan
komunis di Kalbar digerakkan juga oleh komunis di luar negeri”. dan dengan luar
negeri, ia menunjuk pada UNi Soviet, “tapi yang lebih besar adalah RRT”,
katanya.
Adanya kemungkinan Uni Soviet dan RRT turut menggerakkan
kegiatan sisa-sisa G30S/PKI di Indonesia, memang bukan hal yang mustahil dan
sudah amat sering pula dikatakan orang. Kolonel Leo Ngali Di Jawa Tengah
agaknya bisa berbicara banyak mengenai hal itu di daerahnya. Tapi yang tak
kalah penting agaknya adalah kemungkinan dipakainya jalur-jalur resmi maupun
tidak resmi yang ada di dalam negeri sendiri. Pengalaman dengan peristiwa
penyebaran pamflet di Kalbar tanggal 25 Mei itu misalnya bukan tidak
menimbulkan dugaan yang bukan-bukan terhadap aparat intel di sana.
Pamflet-pamflet itu tidak sedikit jumlahnya, tercetak
rapi dengan menggunakan kertas yang baik, disebarkan pula secara aman dan
serentak di berbagai kota seakan-akan komandonya berada “di dalam”. Adakah
penahanan kolonel Soegijono dari intel Kowilhan III Kalimantan kemarin ada
hubungannya dengan peristiwa ini, tidak jelas. Yang jelas, Wapangkopkamtib
Jenderal Soemitro beberapa waktu yang lalu pernah menegaskan bahwa penangkapan
dan penahanan beberapa perwira ABRI beberapa waktu yang lalu memang dalam
hubungan dengan G30S/PKI.
Himawan di
Pasemah.
Menarik pula untuk dicatat kejadian-kejadian terhadap
jaringan kereta-api di Jawa Tengah yang dikwalifikasikan oleh fihak intel Kodam
VII sebagai usaha sabotase, dengan menghubung-hubungkan pernah besarnya
pengaruh komunis di perusahaan pengangkutan itu. Senin malam akhir Juli yang
lalu misalnya, seorang petugas PNKA di emplasemen stasiun Tugu Yogya ketika
hendak memberikan tanda aman bagi kereta-api yang masuk dari jurusan barat,
telah menemukan kawat sinyal terklem dengan plat logam dan diskrup.
Pers di Yogya menilai kejadian ini hanyalah perbuatan
kriminil biasa karena ketika kereta-api terpaksa berhenti menunggu sinyal1
dibuka, banyak tukang-tukang copet berloncatan menyerbu ke dalam gerbong. Tapi
pengusutan yang dilakukan fihak satgas intel Diponegoro berhasil menangkap
seorang wanita serta beberapa orang lelaki yang dicurigai yang semuanya
ternyata adalah bekas tapol C yang telah dibebaskan.
Tapi kejadian serupa itu bukan baru pertama kalinya
terjadi di tempat yang sama. Sebelumnya telah terjadi pula pemacetan sinyal
untuk jurusan timur, yang mengakibatkan tertabraknya beberapa wagon yang sedang
nongkrong di stasiun oleh kereta-api yang baru masuk. Masih di bulan Juli itu
juga, di seluruh Jawa Tengah, seperti pernah dijelaskan Direktur Operasi PNKA
Ir. Soenarto kepada pers, telah 7 kali terjadi gangguan-gangguan terhadap
jaringan perkereta-apian: 2 kali di Wates dengan melepas baut-baut dan mur
sambungan rel, 3 kali pembongkaran bantalan-bantalan rel antara stasiun Maos
dan Cilacap, 2 kali terjadi pengganjelan dengan besi sambungan rel dekat
stasiun Kapuan, Cepu.
Bagaimanapun makin sulitnya menarik kesimpulan yang pasti
bahwa gangguan-gangguan seperti itu punya latar belakang politik, tapi dari
satu segi pola kejadian-kejadian itu memang tidak berbeda dengan
pencurian-pencurian kabel telepon di sana dan penggarongan-penggarongan di
kawasan Merapi-Merbabu yang masih juga sering terjadi sampai hari ini. Jika di
belakang peristiwa-peristiwa tersebut memang bergerak tangan-tangan PKI,
keuntungan yang diharapkannya agaknya bukanlah pada hasil langsung dari
perbuatan yang nampaknya dari luar hanya kriminil biasa, melainkan-suasana
kekacauan dan rasa tidak aman yang ditimbulkannya di tengah masyarakat. Agaknya
dari segi ini Pangdam IV Sriwijaya Brigjen Sutanto Himawan tak urung menilai
bahwa kecelakaan yang nyaris terjadi pada keretaapi di Sumatera Selatan yang
sedaln ditumpanginya beberapa waktu yang lalu, sebagai ulah dari sisa-sisa
G30S/PKI juga. Waktu itu Panglima dan nyonya menumpang kereta-api dari Palembang
ke jurusan Lubuk Linggau dalam perjalanan ke Bengkulu untuk menyambut
kedatangan Presiden yang akan berkunjung ke kota itu. Pada suatu tanjakan tekat
Tebing Tinggi, tiba-tiba gerbong yang ditumpangi Panglima lepas dari loknya dan
meluncur turun sendiri.
Menceritakan kembali kejadian tersebut kepada Bastari
Asnin dari TEMPO Yang berkunjung ke Palembang bulan lalu Sutanto Himawan
berkata bahwa di hutan-hutan daerah Pasemah Lintah memang masih terdapat
gerombolan sisa-sisa G30S/PKI, meskipun kekuata intinya tinggal sekitar 8
sampai 10 orang saja.
Pembinaan di
Kampsing.
Wal akhir memang masih bisa dimengerti jika sampai hari
ini, masalah penanggulangan bahaya G30S/PKI masih berada di nomor teratas dalam
daftar masalah keamanan yang dihadapi pemerintah. Sebab “pengalaman di Jakarta”
kata Pangdam V Jaya, mayor jenderal Poniman kepada reporter Syahrir Wahab
minggu lalu, “setiap situasi terbuk kemungkinan untuk ditunggangi PKI Poniman
menunjukkan contoh kecil pada peristiwa perkelahian antara karyawan bus Arion dengan
tukang-tukan becak beberapa waktu berselang. “Betul itu ditunggangi PKI.
Orangnya sekarang masih dalam tahanan”, kata Poniman.
Malangnya penahanan tidak dengan sendirinya akan
mengurangi jumlah mereka. Bahkan mungkin justru sebaliknya Tahanan-tahanan
politik yang dititipkan ke penjara-penjara biasa, bukan tidak mungkin justru
bisa menyebarkan benih-benih komunisme kepada para narapidana di sekitarnya.
Berbagai Kodam sampai hari ini masih banyak terdapat tapol C yang belum
dibebaskan meskipun waktu pembebasan yang dijanjikan telah liwat, dan mereka
ini umumnya dititipkan seperti itu. Sistim pencampur adukan antara tapol dan
narapidana seperti yang terdapat sekarang, agaknya justru akan bisa merobah
tempat tahanan menjadi semacam sekolah pembibitan kader. Tidak terkecuali juga
di Kampsing-kampsing (kamp pengasingan) yang khusus peruntukkan bagi para tapol
juga mempakan tempat yang subur bagi pembinaan sel-sel bagi PKI, jika tidak
selalu diadakan pemindahan-pemindahan dari satu Kampsing ke Kampsing lain–seperti
yang antaranya dilakukan oleh Kodam Diponegoro.
Pedukunan Cokro
Cokrowarsito, pensiunan kopral yang pernah praktek
perdukunan di bandung tertangkap. ternyata ia simpatisan pki sejak 1957.
pengikutnya banyak. ia tertangkap ketika punya hajat besar di wonogiri.
KISAHNYA bermula di desa Ngadirejo-Wonogiri, dekat kota
Solo.
Pertengahan bulan Juli yang lalu seorang pensiunan kopral
bernama Tjokrowarsito, 48 tahun kelahiran Surabaya dan sejak 1966 menetap dan
membuka praktek pedukunan di daerah sekitar Bandung. Tetapi sejak 1970 dia
berada di Ngadirejo dan suatu hari berhajat mengkhitankan anak laki-lakinya.
Tidak jelas apa karena cintanya yang berkobar-kobar pada sang anak atau memang
ada sebab-sebab lain, tapi upacara khitanan itu sedianya akan diadakan secara
besar-besaran. 7 hari 7 malam akan ia gunakan untuk memeriahkan peralatan itu
dengan mengadakan berbagai perlombaan seperti balapan becak, memanjat tiang
bambu dengan bermacam barang hadiah di puncak tiang disamping pertunjukan
wayang berlakon “Bharata Yuda”. Serta yang paling menarik perhatian, terutama
bagi petugas-petugas setempat, adalah rencana pemutaran film untuk umum Entah
didorong oleh macam naluri apa, tapi atas instruksi atasan Satgas Intel telah
bertindak menyita film-film itu sebelum sempat dipertunjukkan. Dan setelah
diadakan pemeriksaan, berhasil juga diketahui bahwa disamping film-film yang
dipinjam dari Kedutaan Jerman Barat kedapatan juga film-film yang berasal dari
Kedutaan Rusia.
“Semua film-film Rusia yang masih ada dalam sitaan kami
itu bertujuan memuji-muji keunggulan ideologi Komunis”, kata Kolonel Leo Ngali,
Assisten Intel Pangdam VII Diponegoro kepada TEMPO.
Putera
Hamengkubuwono.
Tanggal 27 bulan itu juga, Tjok rowarsito bersarna
isterinya ditahan dan langsung dibawa ke Semarang untuk interogasi. Dan menurut
pngakuannya sendiri di rumah tahanan Satgas Intel jalan Dr. Cipto Semarang
dimana dia ditahan sekarang, dia sudah menjadi simpatisan PKI sejak tahun 1957,
semasa ia bertugas di Salatiga dan Kudus. Dua tahun kemudian setelah lulus
ujian partai dia disumpah. Dan sebelum pemberontakan G-30-S meletus, sebagai
anggota Kodim Wonogiri, di aktif melatih sukarelawan yang akan dikirim ke
Malaysia. Sedang gerakan sukarelawan itu kemudian jelas-jelas diketahui hanya
merupakan sebuah tameng untuk bisa mempersenjatai dan melatih sebanyak mungkin
anggota Pemuda Rakyat. Setelah PKI gagal mengadakan kudeta, dan udara di
sekitar makin terasa berbahava juga dirasakan oleh diri kopral pensiunan itu,
segera saja ia menyingkir dan menghilang ke Bandung pada awal tahun 1966 Di
situlah Tjokro yang dalam pengakuannya sama sekali tak memiliki kesaktian atau
keistimewaan apa-apa, mulai membuka praktek pedukunan dan mengadakan
pertemuan-pertemuan yang dinamakannya “pengajian” setiap hari Jum’at dan Selasa
Kliwon.
Praktek itu sendiri, yang juga diakuinya sebagai isapan
jempol, tidak bisa lain dari suatu siasat untuk mencari pengalaman. Untuk ini
Tjokro bukannya tidak berhasil. Banyak juga ia dapatkan pengikut-pengikut baik
dari kalangan tinggi maupun rendah, tidak peduli apakah ia ABRI atau sipil.
Belum lagi terhitung pengikut-pengikut setia yang datang dari rakyat
kebanyakan.
Termasuk diantaranya Kari, yang sudah disiapkan Tjokro
untuk menjadi lurah desa Singodutan tetapi keburu ditangkap bersama-sama si
guru. Bahkan Achmad Kasmuri bin Achmad Kastowi yang mmengaku bernama Pangeran
Hadikusumo dengan usia 27 tahun, sebagai putera Hamengku Buwono IX dari selir
nomor 4 hanya karena menyimpan gambar sultan itu
Ketika akhirnya ditangkap diketahuilah bahwa ia pernah
ditahan selama 3 tahun di Semarang dengan status tahanan politik golongan C
Menarik juga pengakuannya, ketika dengan lancarnya dia menyebut sejumlah nama
tokoh-tokoh penting sebagai muridnya.
Leo Ngali:
Hands-off.
Sudah barang tentu berjenis-jenis cara ia lakukan untuk
bisa mendapatkan lebih banyak pengikut. Sebagai contoh, pernah seorang penjual
kubis yang berniat menjual hasil buminya ke Bandung. Tjokro yang kebetulan
mengetahui hal ini langsung mengutus orang-orangnya untuk mengintimidasi penjual
yang sederhana itu, hingga takutlah sang penjual. Dan setelah meminta restu dan
petunjuk dari dukun sakti kopral pensiunan itu selamatlah si penjual tadi dari
marabahaya yang sebenarnya tak pernah ada. Dalam menjalankan praktek-prakteknya
dukun Tjokro selalu dibantu oleh isterinya yang menurut dia konon masih punya
hubungan dengan Nyai Roro Kidul.
Barangkali karena merasa pengaruhnya sudah cukup besar
serta marabahaya dirasa sudah semakin jauh dari dirinya, maka pada tahun 1970
orang ini setelah sebelumnya sering mondar-mandir Wonogiri-Bandung akhirnya
memutuskan untuk menetap kembali di Wonogiri. Dan di daerah yang banyak
terdapat buntut Nalo serta kebanyakan rakyatnya adalah pemakan gaplek ini
pulalah dukun Tjokro berniat rnengadakan khitanan anaknya secara besar-besaran.
Tidak seorangpun sampai sekarang mengetahui darimana ia punya uang sekitar Rp 2
juta bagi peralatan yang direncanakannya itu, termasuk hadiah-hadiah pelincir
hingga ia dapat memperoleh izin.
Rupa-rupanya praktek pedukunan memang merupakan sasaran
yang dipandang paling menguntungkan serta paling tidak banyak mendatangkan
resiko oleh PKI untuk menyusun serta mengkonsilidir kekuatan mereka kembali.
Orang-orang semacam Tjokro secara persis mengetahui bahwa kebanyakan rakyat
masih memiliki kepercayaan yang begitu tebal pada hal-hal yang bersifat mistik
dan gaib-gaib Dan dimandatkanlah keadaan itu untuk kepentingan mereka. Orang
tentu masih ingat kasus “Mbah Suro” di daerah Cepu 5 tahun yang lampau. Dukun
ini telah berhasil membuat serentetan kejadian yang sensasionil serta sempat
pula menarik-narik beberapa nama yang penting, sebelum akhirnya ditembak mati.
Karena itu, wajarlah bila kemudian Leo Ngali menyerukan supaya masyarakat
“hands-off” dari praktek-praktek pedukunan semacam ini.
Sumber, Peristiwa Nasional
Disalin: S-Kisah
0 komentar:
Posting Komentar