Jumat, 25 Desember 2009
Pembantaian Massal Orde Baru Dibalik Strategi CIA
Pendahuluan
Bangsa ini telah mengalami tragedI pembunuhan massal yang paling besar setelah korban perang dunia kedua. Jutaan orang dibantai tanpa kesalahan atas dirinya. Pembantaian, penculikan, kekerasan penahanan tanpa mengindahkan norma-norma keadilan dan kemanusiaan terjadi di mana-mana pada 1965-1966. Hak Asasi Manusia (HAM) dilecehkan secara massal, sekalipun kita dalam konstitusi menjunjung tinggi azas kemanusiaan sejak Proklamasi dibangunnya RepublikIndonesia .
Sampai hari ini telah 43 tahun lamanya tak ada tanda-tanda kekuasaan pemerintah, maupun organisasi internasional PBB mau memberikan perhatian tentang keadilan yang sejatinya kepda Korban. Kalau pun ada lembaga penelitian HAM, bentuknya hanyalah untuk membenarkan dan memberikan justifikasi kepada pelakunya, sebuah basa-basi politik, penipuan dan penyesatan terhadap publik.
Peneliti internasional yang independen, tokoh-tokoh terhormat dan lembaga-lembaga HAM PBB tak mampu membuka jalan keadilan bagi korban. Oleh karena itu sebagai seorang Korban yang mengalami langsung penyiksaan, sejak sebelum kejadian, selama kejadian dan setelah kejadian hingga hari ini , ingin memaparkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan sikap apa yang tepat menyikapi pelanggaran HAM berat 1965/1966.
Politik Pasca Perang Dunia Kedua
Perang dunia kedua diakhiri dengan pengeboman bom atom di Hiroshima danNagasaki , dengan kerusakan yang amat mengerikan. Kita bangsa Indonesia tidak menghendaki terulangnya kembali perang yang mengerikan itu. Dan karenanya kita tidak ingin memasuki kubu-kubu pertahanan militer, yang diangun oleh Blok Barat maupun Blok Timur. yang masing-masing mengandalkan bom nuklir yang jauh lebih dahsyat dari bom yang dijatuhkan di Jepang. Indonesia , memilih kebijakan bebas dan aktif.. Akan tetapi sikap demikian ini tidak berkenan bagi pihak Amerika. Bahkan caci-maki umpatan yang kasar dan sadis dilontarkan kepada kita. “Negara yang tidak memihak, Netral, sama dengan tidak bermoral”. Cacian dan penghinaan ini dilontarkan secara absurd. dan konyol. Politik bebas-aktif diartikan sebagai netral, sesuatu kebodohan dari kaum intelktuil dan menamakan dirinya negarawan..
Kepala Negara kita menjadi bahan olok-olokan, dan puncaknya ingin melikuidasinya. Dalam suatu seminar, kaum pewaris fasis ini dengan jelas-jemelas memilih Sukarno sebagai sasaran politik globalnya, bukan pemimpin Negara Komunis, Kruschev atau Mao Tse-tung yang jadi sasaran, melainkan Sukarno yang menjadi musuh utamanya.
Subversi, melalui CIA, USIS, Students Exchange Program, MAG (Miliatary Advisory Group), melalui segala aspek kehidupan, pendidikan terutama pendidikan militer. Mereka berhasil mendidik ribuan perwira-perwiara angkatan bersenjata dan kaum intelektuil. Dari sinilah mereka merekrut agen-agen intelijennya (CIA). Perwira-perwira yang cerdas, tapi nasionalisme nya lemah, menjadi sasaran garapan mereka. untuk dijadikan agennya, baik secara tidak sadar atau pun secara sadar, supaya mau menjual dirinya. Ujungnya terlibat secara terbuka, menjadi agen subversi, dan mengorganisasi pemberontakan, seperti PRRI/PERMESTA Namun meskipun pemberontakan ini gagal, dapat ditumpas oleh para patriot dan pembela Sukarno, mereka tidak berhenti sampai disitu, melainkan lebih canggih, lebih intensif. Sukarno yang berjiwa besar, bahkan berpandanganjauh ke depan, demi kepentingan yang jauh lebih dalam dan berjangka panjang membebaskan Allen L. Pope, penerbang yang ditembak jatuh, dan telah dijatuhi hukuman mati oleh Bung Karno dibebaskan dibeaskan secara diam-diam.
Kegagalan Amerika tidak menyebabkan mereka mengakhiri subversinya. Justeru menjadi lebih sistematis dalam menyusun starteginya. Ketika pemerintah kita melancarkan Operasi Pembebasan Irian Barat, dan diakhiri dengan perundingan perdamaian antara Belanda – Indoneisa pada 1962, Ketua Perundingan Perdamain di Camp David, USA, adalah Elsworths Bunker, mewakili pemerinath Amerika, Indonesia diwakili oleh Menlu Dr.Suandrio dan Belanda oleh PM Luns.
Rapat Team CIA di Baguio City Philipina.
Ketika Inggris mencoba memprovokasi dengan memasuki perairan Indonesia dengan Royal Eastern Fleet, convoi kapal induk Victorious-nya pada November 1964, karena dilawan dan dipermalukan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia, kapal induk Victorious ini tunduk, dan manut kepada apa yang kita perintahkan. Dan karena itu pula Laksamana Udara Omar Dani dan asistennya, masuk dalam daftar sasaran CIA dan MI-6 .
Selanjutnya pada bulan Maret 1965, pimpinan Team CIA Timur Jauh menyelenggarakan rapat di Baguio City Philipina, yang dihadiri Averell Harriman, William Bundy, Elsworth Bunker dan Howard P.Jones, mantan Dubes Amerika di Indonesia. Mereka menentukan strategi Penggulingan Sukarno.
(1) Apakah politik Amerika terhadap Indonesia akan dipertahankan seperti yang sedang berlaku pada waktu itu? Sidang menolak, mengingat Amerika menghadapi Vietnam yang semakin gawat, tak mungkin menghadapi dua front. Kongres Amerika akan minta pertanggunganjawab kepada mereka.
(2) Apakah dapat diusahakan pendekatan kepada Sukarno agar Sukarno mau merubah politiknya yang anti-imperialisme Amerika? Jones, menurut David T. Johnson, menguraikan bahwa “Adalah saya yang ditugasnya oleh Presiden untuk mendekati Sukarno untuk menjalin hubungan seerat-eratnya. Dan untuk itu saya sukses. Akan tetapi tidak ada orang di dunia ini yang dapat merubah politik Sukarno yang anti-imperialisme Amerika”
(3) Kalau begitu habisi saja Sukarno. Lagi-lagi Jones menentangnya. dengan mengatakan “tujuh kali telah kami coba, sejak penggranatan Cikini sampai peristiwa Idul Adha, semuanya gagal”. Kalau tidak ingin membuat kegagalan lagi, jangan sekali-kali membuat serangan langsung kepada Sukarno.
(4) Bagaimana kalau kita dorong Angkatan Darat Indonesia untuk menggulinngkan Sukarno? Tidak mungkin dilakukan, karena Angkatan Darat tidak kompak. Sedikitnya ada tiga faksi dalam Angkatan Darat, yaitu loyalis Sukarno, loyalis Nasution dan yang lain. Salah satu bergerak pasti faksi yang lain menghadapi.
(5) Kondisi dan situasi politik Indonesia diwarnai oleh tajamnya politik antara AD dan PKI. Pada akhir tahun 1964 yang lalu telah dicoba melalui Badan Pendukung Ajaran Sukarno (BPS) dan Manikebu dengan mendorong Chaerul Saleh, Murba, Adam Malik, BM Diah, untuk mengucilkan PKI semua gagal. Tapi scheme itu dapat dilanjutkan dengan fersi AD vs PKI. Biarkan PKI terjerumus ke dalam jurang yag mereka gali sendiri, sehingga pelanrangannya menjadi sah. Kalau PKI waspada untuk tidak mau masuk ke dalam lubang yang mereka gali sendiri, harus direkayasa.
Maka strategi dari sari dari lima options di atas telah menjadi garis strategi CIA untuk penggulingan Sukarno, ialah:
(a) Biarkan PKI menggali lubangnya sendiri dan terperosok ke dalamnya sehingga pelarangannya menjadi sah. Kalau mereka mwaspadai hal ini harus direkayasa.
(b) Serangan langsung kepada Sukarno tidak dibenarkan. Melalui law and orde scheme sangat disarankan.
(c) Melalui peningkatan tahap demi tahap sasaran dapat dicapai.
(1) Pasca meeting Baguio City , Elsworths Bunker menuju Jakarta bertemu dengan Marshall Green. Tinggal di Jakarta sebagai Duta Besar Utusan Presiden Lyndon Johnson selama dua minggu.
(2) Pada bulan April 1965 sabotase dump mesiu di pangkalan udara Iswahyudi. Menimbulkan kerugian mesiu besar bagi AURI.
(3) Di Jakarta beredar issu Dokumen Gilchrist, yang intinya rencana seranga Inggris ke Indonesia , dengan bantuan “local army friends”
(4) Bersamaan dengan issu tersebut issu “Dewan Jendral” dilansir dengan sangat sistematik.
(5) Issu sakinya Bung Karno, mendorong pembentukan Komisi Tanggap Darurat tujuannya mencegah situasi chaos. Dengan jelas melibatkan Guy Pauker dari RAND CORPORATION (CIA)
(6) Issu Dewan Jendral dan sakitnya Presiden, dikembangkan menjadi alasan intuk PKI mendorong tampilnya Kolonel Latief, Letkol Untung dan kawan-kawannya untuk menyusun aksi pada 5 Oktober 1965.
(7) Mayor Udara Sujono tampil mengorganisir latihan massa , Akhirnya dijadikan kekuatan sipil untuk mersama dengan kelompok Untung, yang ujungnya membuat rencana penculikan jendral, untuk ditangkap dan akan diajukan kepada Presiden. Tapi dalam perjalanannya penangkapan jendral dikembangkan menjadi “Tangkap mati atau hidup”
(8) Pembunuhan jendral-jendral dan pembentukan Dewan Revolusi dijadikan pembenaran untuk melakukan pembantaian missal oleh ABRI, dengan bantuan kelompok anti-Sukarno, dipimpin oleh Kolone Sarwo Edhie Wibowo.
(9) Pembantai Massal mendapat justifikasi Nasional dan Internasional, dan meminta pertanggungajawab Sukarno sebagai Presiden, dengan cap Orla lawan Orba.
Penggalian Wonosobo Pasca Rezim Suharto
(a) Suatu kelengahan rezim penerus Suharto, memungkinkan penggalian Wonosobo. Berlangsung hanya sekali itu selanjutnya izin penggalian berikutnya tak dapat izin.
(b) Delegasi 65 ke Eropa pada 2003 telah menyelenggarakan pertemuan diAmsterdam .
(c) Pertemuan di Parlemen Eropa di Brussel, Belgia, yang dihadiri anggota parlemen Uni Eropa yang terdiri dari Belgia, Belanda dan Inggris, terbuka pengakuan membenarkan langkah pembunuhan massal oleh rezim Suharto sebagai pembersihan Komunisme. Begitu pula Konferensi Tahunan Komisi Kemanusiaan PBB di Geneva.
Apa yang dapat diperbuat ke depan
1. Komisi Kemanusiaan PBB berhasil membentuk Pengadilan Kriminal Internasional, di Den Haag, Belanda.
2. Akan tetapi pengadilan ini hanya berhasil mengadili pemimpin Serbia , sekalipun ia meninggal sebelum pengadilan berhasil menjatuhkan hukuman kepada Slobodan Melosovik.
3. Terbuka kemungkinan dibawa ke Dewan Keaman PBB (Security Council). Akan tetapi untuk berhasilnya membawa masalah Pembantaian Massal 1965 ke Dewan Keamanan ini dengan tidak mengecilakan usaha kita sangat kecil keberhasilannya,kecuali terjadi perubahan komosisi keanggotaan Dewan Keamanan PBB ini.
Heru Atmodjo
Referensi:
1. George Kahin, Subversion is US Foreign Policy
2. David T. Johnson, CDI (Center of Defense Intelligence), Washington D.C.
3. John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal
4. Sukarno, Nawaksara, 1966
Minggu, 20 Desember 2009
Red Drive Proposal, Awal Mula Campur Tangan Amerika Serikat di Indonesia
23.09
arsip rahasia, CIA, Genosida 65, Internasional, Kliping, Kliping #65, PKI, Red Drive Proposal, Sejarah
No comments
Red Drive Proposal, diyakini merupakan usulan
pemerintah Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia pimpinan Perdana
Menteri Mohammad Hatta, untuk menumpas habis Partai Komunis dan seluruh
elemen kelompok sayap kiri di Indonesia. Inikah awal mula campur tangan
Amerika Serikat di Indonesia? Kesaksian mantan Gubernur Militer Sumarsono
sudah selayaknya digali lebih lanjut oleh para sejarawan Indonesia.
|
Banyak literatur sejarah di zaman Pemerintahan Soeharto
mengatakan bahwa awal keterlibatan Amerika Serikat (AS) bermula ketika pecah
konflik di dalam negeri, yakni PRRI (di Sumatera Barat) dan Permesta (di
Sulawesi Utara) dekade 50-an.
Namun, jika ditelusur ke belakang lagi, justru mulanya
AS berkepentingan langsung untuk turut campur tangan dalam menentukan masalah
dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun setelah Indonesia merdeka pada
1945.
Adalah konflik senjata yang meletus di Solo, Jawa
Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS untuk
turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub
kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah
daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia
Tenggara.
Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dan
geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan
Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang
merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok
Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy)
merasa kecams jika Indonesia pun menjadi sulit dikontrol dan akhirnya masuk
dalam orbit negara-negara komunis seperti Uni Soviet.
Sebuah ulasan yang sangat bagus dan detil ada di buku
“Indonesia Merdeka Karena Amerika”, yang ditulis oleh sejarawan Belanda
Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg (2008), dimana mereka mengamati
kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia sejak 1920 hingga 1949.
Intinya, dalam buku ini, digambarkan bahwa Konferensi
Meja Bundar (KMB) akhir 1949 di mana Indonesia mendapat pengakuan secara
internasional, adalah berkat peran besar AS.
Namun, akan lebih tepat jika melihat KMB tersebut
secara sebab-akibat. Karena, KMB lahir dari akibat perang pengaruh kekuatan
adidaya di masa itu (AS versus Soviet) yang menyeret ke alam Nusantara.
Pemicu yang digunakan adalah konflik berdarah di Solo dan Madiun pada 1948.
Masyarakat Indonesia yang dipelopori para pemuda dari
berbagai golongan, pada intinya tidak ingin menghirup udara kemerdekaan hasil
dari pemberian pihak kolonial.
Itu sebabnya, saat Jepang menjajah Indonesia dan
kemudian negara Matahari Terbit ini dijatuhkan bom atom oleh AS awal Agustus,
para pemuda menghendaki segera mungkin Indonesia merdeka. Sayangnya,
Soekarno-Hatta saat itu sedang diundang ke Dalat (Vietnam) oleh petinggi
militer Jepang yang menjanjikan bahwa kemerdekaan Indonesia “pada saatnya”
akan diberikan.
Berbekal dari janji politik tersebut,
Soekarno-Hatta saat tiba kembali ke Jakarta dan dipaksa oleh para pemuda
untuk segera memproklamirkan Indonesia karena Jepang sudah takluk, belum
yakin seratus persen.
Meletuslah Peristiwa 16 Agustus 1945, di mana
Soekarno-Hatta diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Meski di momentum itu Soekarno-Hatta belum bersedia juga, namun makna dari
penculikan tersebut berdampak sehari sesudahnya. Jam 10 pagi tanggal 17
Agustus, Indonesia pun resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Tiga tahun kemudian, setelah melewati masa sulit awal
pemerintahan dengan jatuh-bangunnya kabinet karena kekuatan kolonial Belanda
terus ingin menguasai Indonesia, di tubuh pemerintahan pun mulai terjadi
perpecahan.
Kubu Amir Syarifuddin yang menjabat sebagai Perdana
Menteri dan didukung oleh gerakan Sosialis-Komunis tak menghendaki adanya
kompromi dengan Belanda. Sementara Soekarno-Hatta di kubu lain lebih memilih
cara praktis, yakni bersedia berunding.
Akibatnya, Amir Sjarifuddin yang saat itu menjabat
sebagai Perdana Menteri dan menjadi ketua perundingan Renville akhir 1947
merasa terjepit.
Sebagian partai politik seperti Masyumi dan PNI, yang semula
menentang kebijakan yang ditempuh Amir saat menandatangani Perjanjian
Renville, tapi Amir setelah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri – lalu
digantikan oleh Mohammad Hatta – malah kedua partai tersebut justru mendukung
pemerintahan yang baru dalam melakukan negosiasi dengan Belanda melalui jasa
Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia dan Australia).
Yang menjadi menarik adalah, mengapa sikap Pemerintahan
Hatta dan pendukungnya lalu melunak untuk melakukan negosiasi dengan Belanda
melalui jasa KTN? Di sinilah sikap AS yang mulai tampak untuk campur tangan
secara langsung dalam konflik internal di Indonesia. Masalah ini kian memanas
dengan iklim perang pengaruh AS versus Soviet di berbagai wilayah dunia
umumnya dan Asia Tenggara khususnya. Dan, peristiwa penting sepanjang 1948,
terutama di dua kota besar Jawa (Solo dan Madiun), tak bisa dilepaskan dari
perang pengaruh kekuatan raksasa dunia di masa itu.
Kesaksian Sumarsono, Mantan Gubernur Militer Madiun “Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin” (2008).
Tak berlebihan, analisa seperti itu. Banyak pengamat
asal Barat pun sepakat tentang hal tersebut. Tragisnya, banyak temuan
baru yang mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan
elit pemerintah di dalam negeri pada waktu itu.
Misalnya saja, kesaksian Soemarsono, 88 tahun, mantan Gubernur Militer Madiun dari unsur Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) ketika pecah perang saudara tahun 1948.
Dalam kisahnya, Sumarsono mengemukakan adanya
konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau
“Red Drive Proposals.” Intinya, pada 21 Juli 1948 di Sarangan (daerah
perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah),
diadakan konferensi rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS
untuk Komisi Tiga Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari
Indonesia adalah Bung Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.
Maksud dari pertemuan tersebut adalah upaya
menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika itu, Muso, kader PKI yang lama
hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah Air dan mulai menarik simpati
masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap PKI pun saat itu meluas,
seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis, Barisan
Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi di Solo (Gubernur
Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).
Semenjak posisi Perdana Menteri beralih dari Amir
Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program sapu bersih pun berjalan. Hatta,
yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat – khususnya Amerika Serikat –
untuk berunding, telah memberikan banyak kelonggaran agar posisi Indonesia
lebih cepat diakui secara internasional. Itu sebabnya, dalam “Pertemuan
Sarangan”, khabarnya, program “sapu bersih” untuk “kelompok kiri” yang
ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta disepakati.
Meski sampai saat ini bukti otentik tentang isi dari
“Pertemuan Sarangan” belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan
adanya campurtangan AS ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu
nyata.
Seperti dikupas dalam buku Indonesia Merdeka Karena
Amerika?, dikemukakan bahwa Cochran diberikan wewenang penuh untuk memainkan
peran AS yang sesungguhnya dalam membendung pengaruh komunisme internasional.
Cochran, juga dibantu oleh Atase Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia,
yang merupakan agen ruguler CIA pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun
memiliki akses langsung ke Wakil Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang
sangat berkuasa.
Alhasil, setelah adanya kesepakatan antara AS dan
Indonesia, keluarlah keputusan untuk merampingkan tentara, yang disebut
dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi).
Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan
dari “Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap
persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di
Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel
Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak
mati tanpa diketahui pelakunya.
Sejak itulah, kota Solo mulai mencekam. Aksi saling culik dan bunuh pun merebak.
Mulanya Madiun tidak terpancing. Lambat laun, pasukan
dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo, pun mulai memasuki Madiun dan
pecahlah perang saudara.
Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan
ultimatum tegas: pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak
yang kalah. Dan yang paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas
Menteri Penerangan I dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10
pengikutnya, dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui
proses peradilan.
Berdasarkan kesaksian Sumarsono yang cukup penting
tersebut, sudah selayaknya para sejarawan mulai menggali lebih lanjut Red
Drive Proposal yang diajukan pemerintahan Amerika Serikat kepada pemerintahan
Perdana Menteri Hatta. Sebab jika kesaksian Sumarsono memang benar adanya,
maka tak pelak lagi Red Drive Proposal bisa disebut sebagai tonggak-tonggak
yang mengawali adanya campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri
Indonesia.
Alhasil, campur tangan Amerika dalam membantu para
pemberontak PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, serta
keterlibatan Amerika dalam membantu fron anti komunis dalam membasmi PKI berikut para petinggi partai pada 1965, justru merupakan kelanjutan logis
dari fondasi yang telah ditanam melalui Red Drive Proposal.
|
Minggu, 15 November 2009
Usai Pembantaian Massal Itu...
Minggu, 15 November 2009
Pengantar Buku Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna
oleh Asep Sambodja
Kepahitan bila berlalu
Jadi lagu sangat merdu(“Sisi yang Cerah”)
Pada mulanya adalah ketidakadilan. Sehari setelah Presiden
Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret yang berisi perintah
pengamanan, dan bukannya transfer of authority, Soeharto
mengeluarkan surat keputusan No. 1/3/1966 yang berisi: 1) membubarkan
Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk bagian-bagian organisasinya dari
tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang
seazaz/berlindung/bernaung di bawahnya. 2) menyatakan PKI sebagai
organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuatan negara Republik
Indonesia (Adam, 2009; Samsudin, 2005).
Menindaklanjuti surat keputusan itu, pada 5 Juli 1966, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang diketuai A.H. Nasution
mengeluarkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pembubaran PKI,
pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara
Indonesia bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan,
mengembangkan faham, atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme (Samsudin,
2005).
Apa implikasinya? Negara berusaha
mencuci-tangan dengan apa yang telah dilakukan oleh Soeharto dan
algojo-algojonya dalam massacre yang terjadi pascaperistiwa G30S 1965.
Pembantaian atas sekitar setengah juta orang di Indonesia dalam jangka
enam bulan sejak Oktober 1965 hingga Maret 1966 adalah tragedi paling
besar dalam sejarah Indonesia modern (Cribb, 2005). Sebelum PKI
dilarang, banyak anggotanya yang dibunuh, ditangkap, disiksa, ditahan
bertahun-tahun tanpa proses pengadilan.
Soal jumlah yang pasti
mengenai korban yang mati memang belum jelas, karena negara sendiri
mencoba menyembunyikan peristiwa berdarah ini dalam kolong sejarah
bangsa Indonesia. Tapi, sebagaimana Robert Cribb, Ricklefs (2005) juga
menyebutkan bahwa jumlah anggota PKI yang dibunuh sedikitnya 500.000
orang. Harian Kompas, 13 Agustus 2001 menyebutkan korban yang
meninggal dalam pembunuhan massal 1965-1966 hingga satu juta jiwa. Sarwo
Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang
memimpin pembantaian massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali itu
bahkan mengklaim telah membunuh tiga juta orang komunis (Ricklefs, 2005;
Aleida, 2009).
Selain itu terjadi penangkapan
disertai penyiksaan dan penahanan terhadap orang-orang PKI yang semuanya
tanpa proses pengadilan. Harus dicatat di sini bahwa penangkapan,
penyiksaan, dan penahanan itu tidak melalui proses pengadilan. Ricklefs
(2005) menyatakan sedikitnya ada 100.000 orang yang diperlakukan secara
aniaya seperti itu. Kompas menyebutkan ada 700.000 orang yang
dizalimi. Mereka memenuhi penjara-penjara yang ada di Jawa dan sebagian
dibuang ke Pulau Buru.
Terkait dengan hal itu,
perempuan-perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) justru mengalami penderitaan yang berlipat-lipat.
Mereka tidak saja ditangkap dan ditahan, tetapi juga diperkosa
berkali-kali di dalam penjara. Testimoni yang mereka berikan terekam
dengan baik dalam buku Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia (2008).
Melihat peristiwa ini, Amerika hanya menutup mata. Bahkan
mereka merasa gembira karena Soeharto telah berhasil menyingkirkan
kekuatan sayap kiri di Indonesia. John Roosa menulis, “Washington sangat
gembira ketika tentara Soeharto mengalahkan G30S dan merangsak
menghantam kaum komunis. Ketidakberpihakan Soekarno dalam perang dingin
dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali
pukul. Tentara Soeharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara
boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dolar
dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya”
(Roosa, 2008).
Sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI mengalami nasib sial.
Pramoedya Ananta Toer, Putu Oka Sukanta, Hersri Setiawan, dan S.
Anantaguna—untuk menyebut beberapa nama saja—mengalami penganiayaan oleh
Rezim Orde Baru. Sebagai anggota Lekra, Putu Oka Sukanta dipenjara
Rezim Orde Baru selama 10 tahun (1966-1976) tanpa diadili (Sukanta,
2008). S. Anantaguna sendiri mendekam di penjara selama 13 tahun
(1965-1978) juga tanpa diadili dan tidak tahu kesalahannya apa.
Pramoedya
Ananta Toer mengatakan dalam esainya, “Saya Bukan Nelson Mandela”,
bahwa ia dibebaskan dari Pulau Buru pada 21 Desember 1979 dengan membawa
selembar kertas yang menyatakan dirinya tidak terlibat dalam G30S.
Namun, tidak ada proses hukum untuk merehabilitasi namanya. Negara tidak
merehabilitasi dan tidak memberikan kompensasi kepada orang-orang PKI,
termasuk sastrawan-sastrawan Lekra, yang telah mengalami penganiayaan
selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan itu. Khusus untuk
sastrawan Lekra, mereka tidak saja ditahan, melainkan buku-buku mereka
juga dinyatakan terlarang. Yang terjadi kemudian adalah karya-karya
mereka lenyap dari buku sejarah sastra Indonesia (Sambodja, 2009).
Mereka adalah orang-orang yang dizalimi bahkan sampai saat ini, karena
Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 itu belum dicabut.
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga mantan Ketua Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta maaf kepada Pramoedya Ananta Toer
sebagai simbol korban pembantaian massal yang pernah dilakukan negara
terhadap rakyatnya sendiri (Kompas, 15 Maret 2000). Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
yang juga sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu), menyayangkan sikap
Pramoedya Ananta Toer yang tidak meniru sikap Nelson Mandela yang
melakukan rekonsiliasi dengan Rezim Apartheid di Afrika Selatan yang
pernah menindas Mandela (Mohamad, 2004). Menurut Pramoedya Ananta Toer,
permintaan maaf Gus Dur itu hanya basa-basi, karena permintaan maaf itu
tidak disertai dengan ketetapan MPR/DPR. Sekarang kita pertanyakan
kembali: bisakah anggota DPR dan MPR yang sekarang ramai dengan
artis-artis sinetron dan pelawak-pelawak itu bisa mewujudkan penegakan
hukum di negeri ini—di tengah genggaman dan kekangan mafioso peradilan?
Apakah mereka punya hati nurani? Apakah mereka punya nyali?
Puisi-puisi Sabar Anantaguna atau yang lebih dikenal dengan S.
Anantaguna ini seperti mengekalkan kezaliman yang diwarisi Rezim
Soeharto, yang tangannya berlumuran darah. Penuh darah rakyatnya
sendiri. Yang dihasilkan Anantaguna sungguh luar biasa; suara yang
dikeluarkannya seperti suara nabi. Mungkin ini terdengar agak
berlebihan. Tapi, kalau melihat penganiayaan yang dilakukan Rezim
Soeharto kepada orang-orang PKI, termasuk sastrawan-sastrawan Lekra,
maka yang mereka alami itu lebih memiriskan hati. Dalam pembicaraan
dengan mantan-mantan tahanan politik (tapol) yang tergabung dalam
Lembaga Pembelaan dan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR KROB),
seorang di antaranya mengatakan bahwa penyiksaan yang mereka alami lebih
sadis dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Nabi Isa. Benarkah? Wallahualam bissawab.
Tapi, kalau membaca puisi-puisi S. Anantaguna, kehidupan mereka di
dalam penjara Orde Baru itu sebenarnya sudah berada di ujung tubir
antara hidup dan mati.
Yang Diburu Juga Memburu
Mimpi yang ditimang
malam dengan bintang
Mimpi yang diemban
malam pesta bulan
mengadu rindu
Hati digoncang banting antara hidup dan mati
diburu tetapi juga ditakuti tak bisa mati
Mimpi yang diayun
angin bau embun
Mimpi sesah
angin dari lembah
menambah indah
Di bumi sepi diburu hidup dan mati
menerawangi hati mencari makna tanpa nyanyi
Puisi “Yang Diburu Juga Memburu” menggambarkan betapa batas
antara hidup dan mati memang lebih tipis dari kulit bawang. Terkadang
manusia merasa diburu kematian sebagaimana Chairil Anwar mengatakan
dalam puisi-puisi akhirnya, “hidup hanya menunda kekalahan” (Anwar,
1990). Tapi, terkadang pula manusia memburu kematian itu jika berada
dalam titik nadir kehidupannya. Barangkali kematian menjadi demikian
indah jika harga diri sebagai manusia telanjur disampahkan. Di sisi
lain, orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian yang maha berat itu
akan merasai makna kehidupan itu sendiri.
Kepedasan Hidup
Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
bila hati matang, dik, petiklah
seperti kecapi
Biar hidup tidak kehilangan arti
Meski megap-megap hidup diarungi
Mengapa berjawab mati
Dari ujung kembali ke pangkal
kita kejar soal
memecahkan soal melahirkan soal
Betapa hati berdegup
merebut kualitas hidup
Awan tidak peduli
kita hidup atau mati
Bila buah cabe bermatangan, dik, petiklah
biar pohonnya tidak cepat mati
Bila hati mematang, dik, petiklah
seperti kecapi
Tanpa persoalan hidup ini sudah mati!
S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidup ini. Melalui
puisi “Kepedasan Hidup”, Anantaguna ingin mengatakan dua hal. Pertama,
ia yang telah menjalani sebagai tahanan selama 13 tahun tanpa proses
hukum, mengerti benar kerasnya atau pedasnya kehidupan. Kedua, pedasnya
hidup itu menjadi pengalaman sekaligus pelajaran yang sangat berharga.
Kalau hal itu dianggap sebagai persoalan, maka persoalan itu harus
ditaklukkan. Dan sejatinya kehidupan tanpa ada persoalan seperti hampa
saja, sebagaimana dikatakan penyair, bahkan tak beda dengan kematian itu
sendiri. Puisi “Sisi yang Cerah” yang saya kutip di atas, yang saya
ibaratkan seperti suara nabi, menegaskan pada pembaca bahwa keberhasilan
kita melalui segala rintangan, penderitaan, kepahitan, maka yang
dirasakan kemudian adalah keindahan. Anantaguna menuliskannya dengan
sangat indah: “Kepahitan bila berlalu, jadi lagu sangat merdu”.
Kini, setelah melalui masa-masa sulit itu, Anantaguna
merefleksikan peristiwa yang membuatnya berada di titik nadir itu dengan
bersahaja. Kebersahajaan itu terbaca dari puisi-puisinya yang
menertawakan keadaan, menertawakan kehidupan, bahkan menertawakan diri
sendiri. Anantaguna sudah memasuki tahap yang sangat matang, sehingga
dengan mudahnya ia memetik buah pengalamannya itu. Puisi-puisi yang
lahir dari tangannya adalah puisi-puisi yang bergizi.
Interogasi
Siapa namamu
namaku cinta
Di mana rumahmu
di hati manusia
Apa pekerjaanmu
memperindah dunia
Apa duniamu
kamar tiga kali dua
kalau sakit tidak diperiksa
tidak sakit malah diperiksa
Siapa temanmu
tak tahu
Harus tahu!
baiklah kalau harus menipu
Siapa menipu!
boleh jabat tangan seri satu-satu
Luar biasa! Saya menempatkan sastrawan-sastrawan Lekra ke
tempat yang terhormat kembali. Dalam pandangan saya, posisi mereka
sebagai sastrawan senantiasa berada di tengah-tengah rakyatnya. Ada
kewajiban bagi sastrawan Lekra untuk benar-benar menyelami dan
menghayati penderitaan masyarakat yang ada di lingkungannya dan kemudian
mereka mengartikulasikan apa yang dirasakan rakyat melalui
karya-karyanya. Di sinilah saya melihat para sastrawan berjasa dalam hal
memperkaya kebudayaan bangsanya. Mereka turut serta membangun monumen
peradaban bangsa.
Penyair-penyair salon tidak akan
menghasilkan karya seperti itu, karena mereka tidak mau “turba”, tidak
mau berkeringat dan kerja keras menyuarakan kebenaran hakiki yang
bersemayam dalam jiwa dan hati orang-orang kecil. Bukankah Tuhan sendiri
berada dalam diri orang miskin, lemah, duafa? Sebagaimana hadits nabi
Muhammad, “Carilah Aku di tengah-tengah kaum duafa. Bukankah kalian
ditolong dan diberi rizki karena bantuan orang-orang duafa?” (Rakhmat,
1991).
Sungguh mengherankan bagi saya bagaimana Taufiq Ismail melalui buku Prahara Budaya
menyudutkan sastrawan-sastrawan Lekra untuk lebih terperosok lagi.
Dalam buku yang disuntingnya bersama D.S. Moeljanto itu, Taufiq Ismail
berupaya keras menaut-nautkan karya para sastrawan Lekra dengan
peristiwa G30S. Ini, misalnya, tampak ketika ia menginterpretasi puisi
Mawie Ananta Jonie yang berjudul “Kunanti Bumi Memerah Darah” dan esai
Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total”
(Moeljanto, 1995). Padahal, kalau kita kaji dua tulisan itu dengan hati
bersih, maka tidak ada sama sekali kata atau kalimat atau simbol dalam
karya mereka yang mengarah ke peristiwa berdarah itu (Sambodja, 2009).
Saya pikir aneh kalau Taufiq Ismail berasumsi atau malah
menuduh sastrawan-sastrawan Lekra itu terlibat dalam G30S. Apa bukti
mereka terlibat dalam peristiwa itu? Apa pula bukti perempuan-perempuan
Gerwani terlibat dalam penculikan dan pembunuhan itu? Bukankah
perempuan-perempuan itu ditelanjangi secara paksa oleh tentara, dan
bukannya menari telanjang sebagaimana yang dimitoskan selama ini?
(Roosa, 2008; Nadia, 2008; Poesponegoro, 1984). Apa pula bukti
keterlibatan ratusan ribu anggota PKI yang dibunuh tentara dan milisi
antikomunis dalam peristiwa itu? Siapa sebenarnya Letkol Untung Samsuri
dan Kolonel Abdul Latief itu? Bukankah mereka teman dekat Soeharto
sendiri? (Adam, 2009).
Tentu saja kita bersyukur atas
terbitnya buku-buku sejarah yang memberikan perspektif yang baru
seperti itu; tidak melulu dari kacamata penguasa. Kita juga bersyukur
atas terbitnya buku Lekra Tak Membakar Buku yang memberikan
gambaran mengenai sastrawan dan seniman Lekra secara proporsional
sebagai komplemen terhadap buku Prahara Budaya. Demikian juga dengan
terbitnya buku Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang sedikit banyak menyelamatkan aset budaya bangsa yang selama ini diberangus Rezim Orde Baru (Yuliantri, 2008).
Lahirnya Puisi-puisi dari Penjara S. Anantaguna ini menjadi
bukti bahwa kebenaran tidak bisa dimusnahkan dari muka bumi. Sebagai
penyair, Anantaguna tidak perlu lagi berpura-pura menyuarakan
penderitaan orang lain, karena pengalaman yang dialami Anantaguna
merupakan ujian yang maha berat, sebagaimana tokoh-tokoh besar yang
keluar dari kawah candradimuka. Maka, apa yang dituturkan Anantaguna
adalah suara-suara yang di dalamnya terpancar kasih Ilahi. Saya kutip
sebuah puisi Anantaguna untuk mengakhiri pengantar ini.
Catatan
Menghidupi hidup
menghayati hati
Angin merunduk
memeluk bumi
Kecup hidup
sampai mati
Citayam, 15 November 2009
__________
AcuanAdam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas.
Aleida, Martin. 2009. Mati Baik-baik, Kawan. Yogyakarta: Akar Indonesia.
Anwar, Chairil. 1990. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia.
Cribb, Robert. 2005. “Tragedi 1965-1966 di Indonesia”, dalam Christine Clark et.al. Di
Ujung Kelopak Daunnya Tetap Ada Airmata. Yogyakarta: Buku Baik.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail (ed.). Prahara Budaya. Bandung: Mizan.
Mohamad, Goenawan. 2004. Setelah Revolusi Tak Ada Lagi. Jakarta: Alvabet.
Nadia, Ita F. 2008. Suara Perempuan Korban Tragedi 65. Yogyakarta: Galang Press.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rakhmat, Jalaluddin. 1991. Islam Alternatif. Bandung: Mizan.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta
Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
Sambodja, Asep. 2009. “Historiografi Sastra Indonesia 1960-an: Pembacaan Kritis
Karya-karya Sastrawan Lekra dan Manikebu dengan Perspektif New Historicism.” Monografi. Belum diterbitkan.
Samsudin. 2005. Mengapa G30S/PKI Gagal?. Jakarta: Buku Obor.
Sukanta, Putu Oka. 2008. Surat Bunga dari Ubud. Depok: Koekoesan.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku.
Yogyakarta: Merakesumba.
http://asepsambodja.blogspot.co.id/2009/11/usai-pembantaian-massal-itu.html
Rabu, 21 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (5)
OCTOBER 21, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung
unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari
pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang
sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang
juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat
penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.
SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara
cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang
Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’
terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan
organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang
menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan
kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta,
kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan
terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di
Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya
sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para
pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah
mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan
bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena
sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah
melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki
dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan
pada PKI.
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI
yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja
dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah
melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI,
lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak
mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara
nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya
kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang
menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di
Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak
militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi
Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan
menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah
tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara.
“Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip
anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah
cukup jauh dari akhir 1965.
Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang
pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin
adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam
arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan
pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung,
dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan
kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula
penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa
dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah.
Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara
sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan
oleh organisasi-organisasi massa.
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh
hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah
lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga
menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun
1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri
yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi
menurut Clifford Geertz.
Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951
terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti
anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur.
Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang
menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh
pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah
satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal
Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri
yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa
mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.
Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang
dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai
skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam
jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu
gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis
angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa,
tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal
serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana
pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan
dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan
data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan
korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan
data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan
Siliwangi.
Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan
terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke
Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup
baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena
akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr
Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan
Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di
wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September
1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa
Barat.
Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan
Soekarno?
Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis
pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka
500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000.
Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di
Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000.
Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah
meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki
catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965
dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut.
Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang,
catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka
usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang
jenderal meninggal.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak
mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena
bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial
tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI,
sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai
tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru.
Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan
politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada,
apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa,
tak terkecuali korban salah tangkap.
Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun
berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari
menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini.
Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui
tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat
maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie
berkali-kali menjadi sasaran teror.
Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa
Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal
sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan
adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa
tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam
suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang
dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah
dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.
Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30
September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan
Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama
mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui
adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap
PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran
mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal
di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang
dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri,
kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu
memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi
subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI.
Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses,
termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh
Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai
Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang
disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya,
juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena
pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang
dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.
-Diolah kembali
dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta
Pustaka, 2006.
Senin, 19 Oktober 2009
Malapetaka Sosiologis Indonesia: Pembalasan Berdarah (4)
OCTOBER 19, 2009 - SOCIOPOLITICA
”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan
terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi
standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone
itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah
mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga
‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.
Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus
daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu
tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka
dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi
sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka
sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa
serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan,
mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan
dieksekusi entah di mana.
Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih
sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya
Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP,
menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima
Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang
merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam
rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan
massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang
menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu,
karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’.
Rumah tokoh-tokoh
PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka
bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan
diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai
Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah
menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang
kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus
penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan.
Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman,
yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah
jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka
banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan
fatal.
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat
Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak
bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan
tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton
dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan
yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina.
Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi
korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis,
tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih
jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam
posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah
satunya adalah HarianMarhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini
membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi
salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak
‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak
menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau
Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI
di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak
melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih
banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar,
sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di
perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI
tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan
GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang
mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang
krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota
masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui
RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal
dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil
wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi
Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada
deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah
satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang
dokter terkemuka di Makassar.
Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan
lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis
hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya
DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi
Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf
Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di
Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik
toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla,
wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun
juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.
Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses
‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah
saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia,
termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin,
karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah,
bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut
gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk
yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat
mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya
hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.
Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang
terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa
lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah
tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI
ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam
kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di
berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi
pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat,
berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam
potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa
pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam
pemaparan-pemaparan berikut ini.
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak
memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk
sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi
partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di
mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki
Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan Sulawesi Selatan
memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan
mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan
berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan
turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni–
maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.
Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan
menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya
–karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku
yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat.
Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira
berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak.
Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur
kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan
baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan
yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya
anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi
anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa
di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam
sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya
menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa
peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada
di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya
dengan cara yang amat mengerikan.
Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum
bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di
antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah,
tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir
merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang
bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun
kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi
Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa
kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya,
terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak
dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan
menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan
hormat dari lingkungannya.
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah
perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan
Kerajaan Gowa.
Untuk suatu jangka
waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang
penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di
bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai
satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis
sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala
terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.
Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini
mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah
meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru
Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang
merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun
memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam
membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan
Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka
mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga
tewas.
Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah
kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah,
perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan
mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai
anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar,
sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala
perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka
terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya,
setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat
peperangan melawan Belanda.
Adalah karena kepopuleran PNI dan
organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah
terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena
kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI
dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca
Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini,
karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu
dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi
momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan
lainnya untuk mengeliminasi PNI.
Berlanjut ke Bagian 5
Langganan:
Postingan (Atom)