OCTOBER 21, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak mengandung
unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari
pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang
sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang
juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat
penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru”.
SEPERTI halnya di Sulawesi Selatan, PNI Sulawesi Utara
cukup menonjol, di antaranya di kabupaten (waktu itu) Gorontalo, Bolaang
Mongondow dan sebagainya. Mirip yang terjadi di Bali, maka peranan ‘pembasmian’
terhadap PKI yang terjadi di daerah ini banyak dipelopori oleh massa PNI dan
organisasi-organisasi mantelnya, serta massa NU yang memiliki dendam antara
lain berdasarkan solidaritas atas nasib akar rumput NU di Jawa Timur yang
menjadi sasaran aksi-aksi sepihak PKI. Meskipun secara historis ada sedikit peninggalan
kebencian dan sikap anti komunis yang kuat di daerah ini sejak masa Permesta,
kebencian itu tidak sampai menyebabkan adanya kekerasan berlebih-lebihan
terhadap anggota PKI pasca Peristiwa 30 September 1965. Sebelum peristiwa di
Sulawesi Utara tak tercatat adanya aksi sepihak soal tanah, karena PKI hanya
sebatas melakukan provokasi dengan ucapan-ucapan bernada ancaman kepada para
pemilik tanah yang luas-luas, bahwa sewaktu-waktu massa akan menduduki tanah
mereka. Jadi memang tak ada kondisi objektif yang pantas untuk menjadi alasan
bagi suatu gelombang pembalasan. Bahkan terjadi suatu situasi unik, karena
sejumlah tokoh pemerintahan atau eks pejabat yang diketahui punya sejarah
melakukan korupsi, seperti yang terjadi di Bolaang Mongondow, justru diduduki
dan dikuasai rumahnya oleh massa, dan ini tak ada urusannya dengan keterlibatan
pada PKI.
Memang, tak dapat dihindari, bahwa ada juga anggota PKI
yang dibunuh, namun jumlahnya terbatas. Faktor dendam pribadi, biasanya bekerja
dalam kasus-kasus seperti ini. Pada umumnya, massa yang bergerak hanyalah
melakukan pengrebegan terhadap anggota-anggota yang dikenal sebagai tokoh PKI,
lalu digiring untuk diserahkan kepada tentara atau polisi. Isteri dan anak-anak
mereka tidak diganggu. Rumah Robby Sumolang, tokoh nasional IPPI yang secara
nasional sangat populer di Jakarta, dan dikenal sangat pro golongan kiri, hanya
kena cat dengan kotak hitam, disertai tulisan di bawah pengawasan Kodim. Yang
menjadi salah satu catatan menarik dalam rangkaian pembasmian terhadap PKI di
Sulawesi Utara ini adalah kasus 40 anggota PKI yang ditangkap oleh pihak
militer di bawah koordinasi seorang Mayor bernama Sudjarwo –yang di Sulawesi
Utara disebut sebagai anak buah Sudharmono– lalu dibawa ke pulau Jawa dengan
menggunakan sebuah kapal kayu. Nasib 40 orang ini tidak pernah jelas, apakah
tiba di Pulau Jawa atau tidak, mereka pun tak pernah kembali ke Sulawesi Utara.
“Mungkin ditenggelamkan di tengah laut”, ujar Lukman Mokoginta mengutip
anggapan masyarakat kala itu. Peristiwanya sendiri terjadi tahun 1967, sudah
cukup jauh dari akhir 1965.
Pembasmian dini di Jawa Barat. Di tengah gelombang
pembasmian PKI, khususnya di pulau Jawa, fenomena yang paling menarik mungkin
adalah yang terjadi di Jawa Barat. Ketika praktis seluruh pulau Jawa ada dalam
arus pembasmian massal yang berdarah, Jawa Barat menunjukkan kelainan. Gerakan
pembasmian PKI umumnya hanya terjadi di kota-kota, terutama di kota Bandung,
dan relatif tidak berdarah karena lebih ditujukan pada pengambilalihan
kantor-kantor milik PKI dan organisasi-organisasi sayapnya. Lagipula
penyerbuan-penyerbuan ke kantor-kantor PKI itu dilakukan oleh massa mahasiswa
dan pelajar yang tidak punya niat dan kemampuan melakukan kekerasan berdarah.
Pola pengambilan dan pembunuhan atas pengikut-pengikut PKI terjadi secara
sporadis saja di daerah tertentu, khususnya di wilayah pantai utara, dilakukan
oleh organisasi-organisasi massa.
Latar belakang bagi situasi ini berasal dari masa sepuluh
hingga limabelas tahun sebelumnya. Orang-orang komunis di Jawa Barat, telah
lebih dulu mengalami pembasmian sampai ke akar-akarnya, sejak tahun 1950 hingga
menjelang Pemilihan Umum 1955, terutama di Priangan Timur. Sejak sebelum tahun
1950, khususnya 1945-1948, pembelahan yang nyata terlihat di antara kaum santri
yang umumnya dari NU dengan kaum abangan, persis seperti dalam teori sosiologi
menurut Clifford Geertz.
Kehadiran DI-TII merubah perimbangan. Sejak 1950-1951
terjadi gelombang pembantaian terhadap pengikut-pengikut komunis seperti
anggota Pesindo dan sebagainya yang berada di pedesaan-pedesaan Priangan Timur.
Di daerah pedesaan Garut sebagai contoh, pengikut-pengikut komunis yang
menghuni desa-desa perbukitan mengalami pembantaian terutama oleh
pasukan-pasukan DI-TII. Garut saat itu berada dalam wilayah ‘kekuasaan’ salah
satu panglima perang DI-TII yang terkenal di Priangan Timur, bernama Zainal
Abidin. Tetapi selain oleh DI-TII, pembantaian juga dilakukan oleh massa santri
yang membenci orang-orang komunis itu, terutama atas dasar anggapan bahwa
mereka manusia tidak bertuhan dan merupakan musuh Islam.
Pembantaian yang berlangsung terus secara bergelombang
dalam jangka waktu yang cukup panjang, terutama berupa penyembelihan, mencapai
skala yang cukup massal secara akumulatif, juga terutama karena berlangsung dalam
jangka waktu yang cukup panjang dalam sebaran wilayah yang luas. Dalam satu
gelombang peristiwa bisa jatuh korban lebih dari seratus, dan secara sporadis
angka korban puluhan dalam setiap peristiwa adalah lazim. Pembasmian serupa,
tak hanya terjadi di wilayah Garut, tetapi merata di Priangan Timur. Hal
serupa, meskipun dalam skala lebih kecil terjadi pula di daerah-daerah di mana
pengaruh DI-TII cukup kuat, sementara sebaliknya tak tercapai dalam jangkauan
dan akses keamanan TNI. Penghitungan yang lebih akurat, misalkan berdasarkan
data yang dimiliki Kodam Siliwangi, menjadi agak sulit karena tercampur dengan
korban-korban DI-TII dari kelompok masyarakat lainya dan tercampur pula dengan
data korban di kalangan rakyat akibat pertempuran antara DI-TII dan pasukan
Siliwangi.
Pembantaian di pedalaman Jawa Barat ini, menyebabkan
terjadinya arus ‘pengungsian’ pengikut komunis ini ke kota-kota, terutama ke
Bandung. Ini menjelaskan kenapa di Jawa Barat, PKI hanya bisa berkembang cukup
baik di perkotaan terutama pada era Nasakom 1961-1965. Sementara itu, karena
akar-akarnya telah ditumpas di wilayah pedalaman, seperti dituturkan Dr
Aminullah Adiwilaga seorang pengajar di Universitas Padjadjaran dan Drs Adjan
Sudjana, maka PKI tak mampu membangun jaringan baru partai secara signifikan di
wilayah luar perkotaan Jawa Barat. Dan ketika pecah Peristiwa 30 September
1965, relatif tak ada sasaran bagi massa anti PKI di wilayah pedalaman Jawa
Barat.
Karena penangguhan ‘political solution’ yang dijanjikan
Soekarno?
Berapa korban yang jatuh dalam malapetaka sosiologis
pasca Peristiwa 30 September 1965? Perkiraan yang moderat menyebutkan angka
500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000.
Tetapi, Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca peristiwa, baik di
Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000.
Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah
meralat angka yang disebutkannya itu. Sebenarnya, Sarwo Edhie memiliki
catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965
dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut.
Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang,
catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka
usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang
jenderal meninggal.
Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie,
catatan itu pasti berisikan hal-hal yang amat berharga dan relatif tidak
mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau catatan itu justru ‘hilang’ karena
bersih dari pemalsuan sejarah? Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial
tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI,
sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai
tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru.
Professor Herbert Feith menyebutkan adanya 80.000 tahanan
politik. Suatu angka yang sebenarnya lebih rendah daripada kenyataan yang ada,
apalagi penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa,
tak terkecuali korban salah tangkap.
Pada tahun-tahun 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun
berikutnya, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari
menyentuh dan membicarakan mengenai pembasmian berdarah-darah atas PKI ini.
Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe Hok-gie melalui
tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat
maupun edisi Jawa Barat. Adalah karena tulisan-tulisannya, Soe-Hokgie
berkali-kali menjadi sasaran teror.
Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa
Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal
sebagai MT Zen pernah menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan
adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa
tahun terakhir, sebagaimana yang kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Dalam
suasana itu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang
dijanjikan Bung Karno, maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah
dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.
Perlu dicatat bahwa setelah terjadinya Peristiwa 30
September 1965, harian-harian milik tentara dan atau dipengaruhi tentara, seperti Berita Yudha dan Angkatan
Bersendjata, sangat berperanan dalam mengkampanyekan kekejaman PKI, terutama
mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Brigadir Jenderal Sunardi DM mengakui
adanya kampanye seperti itu, untuk membangkitkan ‘perlawanan’ rakyat terhadap
PKI dalam suatu percakapan dengan Rum Aly (penulis catatan ini). Penggambaran
mereka terhadap kekejaman yang dilakukan terhadap enam jenderal dan seorang
perwira pertama Angkatan Darat betul-betul berhasil menyulut kemarahan massal
di seluruh Indonesia, dengan dampak yang luar biasa dahsyat.
Baru belakangan diketahui bahwa banyak berita yang
dilansir amat dilebih-lebihkan. Mingguan Mahasiswa Indonesia sendiri,
kendatipun merupakan media yang menonjol sikap anti komunisnya, tetap mampu
memisahkan masalah kejahatan kemanusian dan pelanggaran hak azasi dari dimensi
subjektivitas politik, termasuk yang menimpa anggota-anggota PKI.
Mingguan itu memberi tempat kepada berbagai berita ekses,
termasuk mengenai masalah tahanan politik seperti pengungkapan angka oleh
Herbert Feith dan kemudian bahasan-bahasan ‘ilmiah’ Pater MAW Brouwer mengenai
Marxisme dan tentang nasib orang-orang PKI. Teguran-teguran per telepon yang
disampaikan oleh pihak aparat militer, diabaikan. Pada tahun 1968-1969, Harian Sinar Harapan dan Harian Indonesia Raya,
juga pernah mendapat sedikit ‘kesulitan’ dari pihak tentara karena
pemberitaannya mengenai pembunuhan atas diri orang-orang PKI di Purwodadi yang
dilakukan oleh kesatuan teritorial TNI-AD di daerah itu.
-Diolah kembali
dari buku Rum Aly, Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966, Kata Hasta
Pustaka, 2006.
0 komentar:
Posting Komentar