OCTOBER 19, 2009 - SOCIOPOLITICA
”Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan
terbunuh dalam kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi
standar di berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone
itu terjadi pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah
mutilasi berat, berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga
‘terpisah’ dalam potongan-potongan”.
Bernasib lebih buruk adalah beberapa tokoh pengurus
daerah PKI, yang diambil dari rumah mereka masing-masing, dibawa ke suatu
tempat dan tak diketahui lagi keberadaannya. Dapat dipastikan, mereka
dieksekusi oleh kelompok pemuda dan massa yang pada hari-hari itu menjadi
sangat agresif –sama agresifnya dengan massa PKI dalam berbagai gerakan mereka
sebelum Peristiwa 30 September 1965 sebagaimana tergambarkan di media massa
serta cerita dari mulut ke mulut. Beberapa aktivis CGMI Sulawesi Selatan,
mahasiswa Universitas Hasanuddin, juga mengalami nasib sama, diambil dan
dieksekusi entah di mana.
Keberanian massa melakukan ‘pengganyangan’ PKI masih
sejak hari-hari pertama setelah gagalnya G30S, tak terlepas dari cepatnya
Pejabat Panglima Kodam XIV Hasanuddin waktu itu, Kolonel Solichin GP,
menyatakan membubarkan PKI pada 2 Oktober 1965. Kala itu, jabatan Panglima
Hasanuddin secara resmi masih dijabat oleh Mayor Jenderal Muhammad Jusuf yang
merangkap sebagai Menteri bidang Perindustrian dalam Kabinet Dwikora.
Pada tanggal 10 bulan Nopember 1965, setelah apel dalam
rangka Hari Pahlawan di lapangan Karebosi, Makassar, terjadi gerakan-gerakan
massa yang menandai arus balik politik yang makin deras. Tokoh-tokoh PNI yang
menjadi salah satu partai paling terkemuka di Sulawesi Selatan waktu itu,
karena dianggap partainya Bung Karno, menjadi sasaran ‘pengganyangan’.
Rumah tokoh-tokoh
PNI seperti Haji Ahmad Massiara, Achmad Daeng Siala dan Salman AS –mereka
bertiga adalah pengelola Harian Marhaen di Makassar– diserbu dan
diporakporandakan oleh massa yang terutama dari ormas-ormas onderbouw partai-partai
Islam serta HMI dan PII. Sebenarnya PNI sendiri waktu itu telah terbelah
menjadi dua kubu, yakni kubu Ali Sastroamidjojo-Surachman dengan kubu yang
kemudian hari akan dikenal sebagai kelompok Osa-Usep. Tetapi dalam kasus
penyerbuan massa, hampir-hampir saja kedua kubu itu tak lagi dibedakan.
Barisan Wanita Marhaenis yang merupakan sayap bukan Ali-Surachman,
yang ikut apel di Karebosi di bulan Nopember itu dengan seragam kebaya merah
jambu ikut dikejar-kejar massa. Untung saja karena mereka adalah kaum ibu, maka
banyak anggota masyarakat yang turun tangan mencegah terjadinya perlakuan
fatal.
Pada hari yang sama, Konsulat RRT (Republik Rakjat
Tjina) juga diserbu, namun massa hanya bisa menjebol pintu pekarangan dan tak
bisa memasuki gedung konsulat karena dihalau oleh tentara yang menggunakan
tongkat rotan yang besar. Seorang pelajar yang menuntun sepedanya dan menonton
dari kejauhan, menjadi korban, terlilit dan tersengat kabel listrik jalanan
yang putus karena tembakan petugas. Yang sama malangnya, adalah etnis Cina.
Dalam rangkaian gerakan massa yang terjadi kemudian, mereka justru menjadi
korban. Rumah mereka diserbu, harta benda mereka banyak yang ditumpas habis,
tanpa ada sebab musabab politik yang jelas.
Dibanding penampilan PKI di Sulawesi Selatan, PNI masih
jauh lebih semarak tampilannya, dan menunjukkan keunggulan, termasuk dalam
posisi kemasyarakatan. Di kota Makassar ada dua suratkabar terkemuka, dan salah
satunya adalah HarianMarhaen, ‘milik’ PNI. Kehadiran media cetak ini
membuat PNI menonjol sepak terjang politiknya di Sulawesi Selatan dan menjadi
salah satu penyebab PNI menjadi ibarat satu pohon tinggi yang banyak
‘dilihat’orang. Sementara itu, PKI tidak punya media pers, sehingga tidak
menonjol. Berita mengenai PKI lebih banyak mengenai sepak terjang PKI di pulau
Jawa, sehingga citra PKI di Sulawesi Selatan terutama tercipta dari citra PKI
di pulau Jawa. Organisasi mahasiswa onderbouw PNI, GMNI, juga jauh
lebih menonjol dari CGMI. Hanya HMI yang menandingi kesemarakan GMNI, namun tak
melebihi popularitas GMNI kendati anggota HMI sebenarnya sangat jauh lebih
banyak dari GMNI. Begitu besarnya sebenarnya jumlah anggota HMI di Makassar,
sehingga salah seorang tokoh HMI, Adi Sasono, menggambarkan bahwa ‘’di
perguruan-perguruan tinggi Makassar hampir tidak ada yang bukan HMI”.
Namun, di masa sebelum Peristiwa 30 September, GMNI
tetaplah lebih semarak. Setiap kali ada pawai-pawai di kota Makassar, barisan
GMNI tampil lebih menonjol, rapih dalam baju-baju dan jaket mereka yang
mentereng mengalahkan baju kebanyakan anggota masyarakat yang kala itu sedang
krisis sandang. Kain-kain murah dan murahan hanya bisa diperoleh anggota
masyarakat dengan bersusah payah antri di kantor Kepala Kampung atau melalui
RW-RW, sedang yang dijual di toko-toko Jalan Somba Opu harganya begitu mahal
dan tak terjangkau kebanyakan orang. Bahwa anak-anak GMNI tetap bisa tampil
wah, bisa dimaklumi karena mereka umumnya berasal dari kalangan keluarga elite Sulawesi
Selatan. Apalagi merupakan ciri khas barisan GMNI waktu itu adalah bahwa pada
deretan-deretan depan ditampilkan mahasiswi dan mahasiswa yang rupawan. Salah
satu primadonanya adalah seorang mahasiswi bernama Rini Soetarjo, anak seorang
dokter terkemuka di Makassar.
Bisa dibandingkan dengan anggota-anggota HMI dan
lain-lain yang mayoritas berasal dari pedalaman Sulawesi Selatan yang praktis
hingga tahun 1965 itu situasinya masih dalam suasana pergolakan karena adanya
DI-TII, yang tampilannya jauh di bawah garis. Tapi, pemimpin HMI Sulawesi
Selatan yang kemudian menjadi Ketua KAMI Sulawesi Selatan, Muhammad Jusuf
Kalla, adalah anak seorang pengusaha yang saat itu tergolong sudah terkaya di
Sulawesi Selatan, Haji Kalla yang merintis usahanya dari bawah sebagai pemilik
toko kecil di Watampone, Kabupaten Bone. Merupakan ‘kelebihan’ Jusuf Kalla,
wajah dan penampilannya secara alamiah, meskipun anak orang kaya bagaimanapun
juga selalu menimbulkan kesan sederhana dan tidak wah.
Di antara anggota masyarakat yang banyak mengalami proses
‘pemiskinan’ pada masa itu, sebagai akibat pergolakan dan ketidakamanan daerah
saat itu, pengurus-pengurus dan anggota-anggota Partai Komunis Indonesia,
termasuk di dalamnya dan umumnya juga tak kalah miskinnya. Bahkan mungkin termiskin,
karena kaum urban yang datang dari pedesaan oleh faktor kekacauan daerah,
bagaimanapun masih punya tanah di kampung asalnya. Seorang mahasiswa yang ikut
gerakan penyerbuan ke rumah-rumah para tokoh PKI, sempat tertegun melihat gubuk
yang menjadi kediaman Sekretaris CDB PKI Sulawesi Selatan yang sangat
mengibakan hati. “Saya tak tega, jadi saya tak berbuat apa-apa di sana. Saya
hanya bisa melihat dari kejauhan”, ia menuturkan kemudian.
Apapun, massa partai PKI harus membayar mahal apa yang
terjadi di Jakarta yang melibatkan nama beberapa tokoh pusatnya. Peristiwa
lain, terjadi di Watampone, beberapa waktu kemudian, berupa penyerbuan rumah
tahanan (penjara) tempat sejumlah anggota PKI atau yang dianggap simpatisan PKI
ditahan. Para tahanan itu harus menghadapi kekerasan massa dan terbunuh dalam
kerusuhan itu. Melebihi pemenggalan kepala yang menjadi eksekusi standar di
berbagai penjuru tanah air kala itu, dalam peristiwa di Watampone itu terjadi
pencincangan tubuh atas orang-orang PKI. Pencincangan adalah mutilasi berat,
berupa pemotongan dan penyayatan bagian-bagian tubuh sehingga ‘terpisah’ dalam
potongan-potongan. Dalam sejarah yang terkait dengan Bone, peristiwa
pencincangan merupakan catatan tersendiri yang kisahnya terselip dalam
pemaparan-pemaparan berikut ini.
PNI di Sulawesi Selatan merupakan partai yang amat banyak
memperoleh dukungan kaum bangsawan di daerah itu. Inilah yang membuat untuk
sekian tahun lamanya hingga menjelang kuartal akhir tahun 1965, PNI menjadi
partai yang kuat di Sulawesi Selatan. Meskipun berbeda dengan di Pulau Jawa –di
mana kaum bangsawan memiliki ‘kekuasaan’ yang jelas dengan memiliki
Mangkunegaran ataupun Kesultanan Yogya– bangsawan Sulawesi Selatan
memiliki posisi dan peranan yang cukup besar di masyarakat. Secara umum kebangsawanan
mengundang kehormatan dan prestise di mata rakyat. Kehidupan kaum bangsawan
berada dalam zona ekonomi yang relatif mapan, baik karena kepemilikan warisan
turun temurun –terutama yang berupa tanah dan posisi adat ataukah seremoni–
maupun karena penempatan diri mereka dalam posisi-posisi pemerintahan.
Di tengah masyarakat, kaum bangsawan Sulawesi Selatan
menerjuni berbagai kegiatan mulai dari yang mulia hingga ke kutub sebaliknya
–karena bangsawan juga manusia biasa seperti yang lainnya– berupa perilaku-perilaku
yang sangat tercela yang kerap kali menyakitkan hati kalangan bawah masyarakat.
Dalam tubuh ketentaraan, para bangsawan tampil sebagai perwira-perwira
berpangkat tinggi dan beberapa di antaranya mencapai pangkat-pangkat puncak.
Para bangsawan, terutama yang memegang posisi wilayah dalam struktur
kepemerintahan feodal di masa pengawasan kolonial Belanda, mendapat prioritas
untuk menyekolahkan anak-anaknya. Meskipun tidak semua memanfaatkan dengan
baik, karena pandangan tradisional tertentu, terutama untuk anak-anak perempuan
yang dianggap tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Mereka yang pada dasarnya
anti Belanda, juga cenderung enggan memanfaatkan fasilitas pendidikan itu bagi
anak-anak mereka. Dalam proses perjuangan mempertahankan kemerdekaan beberapa
di antara kaum bangsawan menjalankan peran besar, dan kelak tercatat dalam
sejarah sebagai pahlawan nasional, namun sementara itu beberapa yang lainnya
menjalankan peran sebaliknya dan dianggap pengkhianat. Maka, dalam beberapa
peristiwa, ada kalangan bangsawan diculik dan dibunuh oleh rakyat, bahkan ada
di antaranya, seorang bangsawan tinggi, sampai mengalami pencincangan tubuhnya
dengan cara yang amat mengerikan.
Dalam pergolakan setelah penyerahan kedaulatan, kaum
bangsawan tercatat sebagai pemegang peran dalam berbagai peristiwa besar, di
antaranya dalam Peristiwa Andi Azis. Pada tahun-tahun pergolakan daerah,
tercatat pula Peristiwa Andi Selle, yang pada puncak peristiwanya hampir
merenggut nyawa Jenderal Muhammad Jusuf. Jenderal Jusuf ini sebenarnya seorang
bangsawan Bugis yang menyandang gelar Andi –suatu gelar Pangeran– namun
kemudian menanggalkan gelarnya tersebut. Nama lengkapnya semula adalah Andi
Muhammad Jusuf Amir. Setelah Muhammad Jusuf menanggalkan gelarnya, beberapa
kalangan bangsawan menjadi ‘gamang’ dan ’risih’ dengan gelar kebangsawanannya,
terutama di kalangan militer. Kegamangan itu tercermin dari tidak
dicantumkannya lagi gelar-gelar di depan namanya, namun tidak pernah menyatakan
menanggalkan gelar itu, dan sehari-hari tetap menerima perlakuan-perlakuan
hormat dari lingkungannya.
Kaum bangsawan Sulawesi Selatan juga memiliki kisah
perseteruan besar dalam catatan sejarah, yakni antara Kerajaan Bone dan
Kerajaan Gowa.
Untuk suatu jangka
waktu yang panjang dalam Indonesia merdeka, Aru Palakka dari Bone menyandang
penamaan sebagai pengkhianat karena membantu Belanda memerangi Kerajaan Gowa di
bawah Sultan Hasanuddin, padahal waktu itu belum ada konsep Nusantara sebagai
satu negara. Di masa lampau, Kerajaan Bone merupakan representasi etnis Bugis
sedang Kerajaan Gowa adalah representasi etnis Makassar, yang dulu kala
terlibat dalam semacam perseteruan antar etnis yang cukup tajam.
Posisi sejarah Aru Palakka, pada masa-masa terakhir ini
mengalami semacam koreksi dalam sudut pandang para sejarahwan yang telah
meninggalkan perspektif hitam-putih dalam memahami satu peristiwa sejarah. Aru
Palakka membantu Belanda kala itu dalam kedudukan suatu kerajaan berdaulat yang
merasa terancam dan pernah tertindas oleh kerajaan lain. Aru Palakka pun
memiliki motif pribadi yang kuat menurut sistim nilai masyarakat Bugis, dalam
membalaskan dendam yang dialami ayahandanya. Dalam perang antara Bone dengan
Gowa, sebelum generasi Aru Palakka dan Sultan Hasanuddin, ayahanda Aru Palakka
mengalami perlakuan kejam –dicincang dalam lesung penumbuk padi– sehingga
tewas.
Sesudah peristiwa itu, kerajaan Gowa menjalankan sejumlah
kebijakan rekonsiliasi dengan para bangsawan Bone melalui distribusi wilayah,
perkawinan-perkawinan antara bangsawan Bone dan Gowa, yang diharapkan akan
mampu menghapuskan dendam-dendam lama. Aru Palakka sendiri diangkat sebagai
anak asuh dan diserahkan pendidikannya kepada seorang bangsawan Makassar,
sebagaimana layaknya yang harus diterima seorang anak bangsawan. Tetapi segala
perlakuan itu tidak kuasa menghapuskan luka dendam yang mendalam Aru Palakka
terhadap Kerajaan Gowa. Namun sejarah juga mencatat bahwa pada akhirnya,
setelah membantu Belanda mengalahkan Gowa, Kerajaan Bone juga terlibat
peperangan melawan Belanda.
Adalah karena kepopuleran PNI dan
organisasi-organisasi onderbouwnya di Sulawesi Selatan, maka setelah
terjadi Peristiwa 30 September 1965, ia lebih mendapat ‘perhatian’. Dan karena
kebetulan di tingkat nasional PNI Ali Surachman dianggap sebarisan dengan PKI
dalam sepak terjang politiknya, maka PNI menjadi sasaran utama serangan pasca
Peristiwa 30 September 1965. Aspek persaingan menjadi faktor penting di sini,
karena selama beberapa tahun sebelum Peristiwa 30 September, peranan PNI begitu
dominan di daerah ini dan peristiwa politik yang terjadi saat itu menjadi
momentum bagi partai-partai dan kekuatan politik serta kekuatan kepentingan
lainnya untuk mengeliminasi PNI.
Berlanjut ke Bagian 5
0 komentar:
Posting Komentar