OCTOBER 13, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali
dianggap semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. ‘Seorang
teman sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi
pada malam sebelumnya’, kata Sjahrul. Kelakuan para remaja yang terbawa arus
melakukan pembantaian tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar”.
Setelah Peristiwa 30 September terjadi, 2 Oktober
dinihari, setengah jam sebelum Halim Perdanakusumah diduduki Pasukan RPKAD,
Aidit yang ditinggalkan dalam negosiasi kekuasaan oleh Soekarno, berangkar ke
Yogya dengan C47 milik AURI. Pimpinan PKI yang tersudut dalam percaturan 1
Oktober itu, agaknya memutuskan untuk melanjutkan kegiatannya di wilayah Jawa
Tengah yang dianggap salah satu wilayah basis PKI.
Bertepatan dengan kehadiran Aidit di Jawa Tengah, 2
Oktober, Komandan Korem 72/Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel
Sugijono diculik lalu dibunuh. Adanya penculikan dan pembunuhan ini menunjukkan
bahwa selain Jakarta, situasi Jawa Tengah dan Yogyakarta juga cukup krusial.
Faktanya memang, bahwa di Jawa Tengah ini PKI lebih bersikap agresif, karena memang
cukup kuat. PKI di wilayah itu yang ‘dominan’ dalam opini dan kegiatan politik
yang aktif selama periode Nasakom –dan hanya diimbangi oleh PNI– setelah
Peristiwa 30 September merasa dihadapkan kepada suatu situasi dengan pilihan
lebih dulu membantai atau dibantai. Dan karena itu, pada sisi sebaliknya pada
kelompok non-komunis juga berlaku pilihan serupa.
Dalam laporan Tim Peneliti Gajah Mada dan Arthur Dommen,
terlihat bahwa sejak awal Oktober PKI di Boyolali dan Klaten memilih untuk
mendahului bertindak. Mereka melakukan pembantaian besar-besaran dalam skala
ratusan korban, yang mengakibatkan pula ratusan tokoh PNI dan NU serta massa
mereka yang mencapai belasan ribu orang melarikan diri. Dapat dikatakan suasana
dibantai atau membantai ini berlangsung sepanjang Oktober bahkan sampai
Nopember, dengan korban cukup banyak pada kedua belah pihak. Menurut laporan
penelitian itu, massa PKI juga sempat melakukan ‘kup’ atas camat Manisrenggo
dan merebut senjata yang ada di kantor kecamatan.
Di bagian lain wilayah Jawa Tengah, ketika orang-orang
PKI menculik dan menawan banyak tokoh-tokoh PNI dan anggota organisasi
non-komunis lainnya, maka terjadi pula upaya membebaskan dengan menyerbu
desa-desa basis PKI, dengan meminta bantuan tentara. Karena adanya suasana balas
membalas itu, maka angka korban yang jatuh juga tinggi. Belum lagi bahwa di
tengah suasana saling mencurigai antar desa dan antar penduduk dalam satu desa,
kerapkali terjadi salah bantai, dan tak kurang pula ekses berupa pemanfaatan
situasi balas dendam lama di antara penduduk untuk soal lain sebelumnya yang
sama sekali tak ada kaitannya dengan masalah ideologi dan politik.
Tercatat pula keterlibatan anggota-anggota KKO-AL (Korps
Komando Angkatan Laut) sebagai perorangan dalam berbagai peristiwa di Jawa
Tengah ini. Keterlibatan ini, seperti yang pernah dituturkan seorang perwira
KKO, Letnan Kolonel J. Soejoe yang pernah menjadi Pjs Panglima Pasukan Komando
Armada I di Surabaya, adalah karena faktor emosional semata akibat jatuhnya
anggota keluarga mereka sebagai korban dalam gelombang mass murder yang
terjadi. Kebetulan bahwa keluarga mereka yang dibantai secara membabi-buta itu
adalah dengan tuduhan terlibat PKI –meskipun sebenarnya terselip pula kejadian
sebaliknya, menjadi korban pembunuhan oleh orang-orang PKI– maka keterlibatan
anggota-anggota KKO ini sempat menjelma menjadi suatu isu nasional. Sementara
itu, anggota-anggota KKO yang keluarganya belum menjadi korban, namun terancam
oleh tuduhan terkait PKI, terlibat dalam upaya-upaya membela dan melindungi
keluarga mereka itu dan kerapkali dengan bantuan teman-teman satu korps sebagai
tanda solidaritas, tanpa pertimbangan politis apapun sebenarnya. Saat melakukan
upaya perlindungan itulah para anggota KKO ini banyak terlibat bentrokan dengan
satuan-satuan Angkatan Darat, terutama dengan pasukan RPKAD yang bertugas
melakukan penyisiran terhadap PKI di Jawa Tengah. Hal serupa sebenarnya terjadi
pula di Jawa Timur.
Dan dalam suatu koinsidensi pada masa berikutnya,
Panglima KKO Mayor Jenderal (kemudian Letnan Jenderal) Hartono ‘kebetulan’ juga
banyak tampil dengan pernyataan-pernyataan yang dianggap sebagai pembelaan
terhadap Soekarno, sehingga isu berkembang menjadi lebih jauh lagi dengan
konotasi bertentangan dengan Angkatan Darat pasca 30 September. Letnan Jenderal
Hartono dikenal pula sebagai pengecam terhadap penampilan Angkatan Darat yang
dianggapnya terlalu berpolitik. Salah satu yang dicela Hartono mengenai
Angkatan Darat, adalah sikap ‘pembangkangan’ dan politik-politikan sejumlah
jenderal terhadap Presiden Soekarno. “Dulu saya memang tidak setuju Soekarno
diturunkan kalau tidak melalui cara hukum dan konstitusi. Kita adalah tentara,
dengan disiplin. Siapa pun pimpinan yang sah, kita bela”.
Sikap yang mencela terlalu berpolitiknya para perwira
Angkatan Darat ini, termasuk dalam menghadapi Soekarno, menurut Laksamana Laut
Mursalin Daeng Mamangung, cukup merata di kalangan perwira tinggi Angkatan
Laut, bukan hanya Letjen Hartono. Nasib Letnan Jenderal Hartono sendiri,
menjadi tragis di kemudian hari. Setelah Soeharto menjadi Presiden, untuk
beberapa bulan Hartono tetap ‘dibiarkan’menjadi Panglima KKO. Setelah itu, ia
diangkat menjadi Duta Besar RI di Pyongyang, Korea Utara. Suatu waktu ketika
sedang berada di Jakarta, ia kedatangan seorang tamu bersamaan dengan turunnya
hujan deras. Tamu itu diterimanya di salah satu ruangan.
Tak ada sesuatu yang bisa didengar oleh beberapa anggota
keluarganya yang ada di rumah dalam suasana hujan yang deras. Beberapa saat
kemudian ia ditemukan tewas karena luka tembakan dengan sebuah pistol di
dekatnya. Hartono kemudian disimpulkan secara resmi tewas karena bunuh diri.
Laksamana Madya Laut Mursalin Daeng Mamangung, sebagai
perwira tinggi AL waktu itu sempat datang menengok ke kediaman Hartono dan
bertemu dengan beberapa anggota keluarga. Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono
bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang
menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara
bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil. Jelas Hartono dibunuh dengan sengaja.
Dan ini mau tidak mau harus dikaitkan dengan sikap kerasnya pada tahun-tahun
sebelumnya kepada Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto. Secara resmi,
kasus kematian Letnan Jenderal Soeharto, masuk dalam daftar X kasus-kasus yang
tak ‘terungkapkan’.
Ketika gelombang pembalasan dari kelompok non-komunis
makin meningkat dan makin banyak pula campur tangan tentara, maka pada akhirnya
jumlah korban yang jatuh di kalangan kelompok komunis juga semakin lebih
banyak, dan memasuki skala mass murder. Angka moderat korban yang
jatuh di Jawa Tengah adalah dalam skala puluhan ribu, tetapi mengingat
panjangnya masa pertikaian, ada perkiraan bahwa korban mencapai angka dua ratus
ribuan khusus untuk Jawa Tengah dan Yogyakarta saja.
Keadaan yang agak kurang imbang terjadi di Jawa Timur.
Kecuali di beberapa daerah di mana massa PKI mendahului bersikap agresif dan
melakukan pembantaian, pada umumnya mereka lah yang lebih banyak mengalami
pembantaian. Di Banyuwangi, massa PKI mendahului melakukan penculikan dan
pembunuhan, tetapi sebaliknya di sekitar Malang mereka lah yang menjadi
sasaran. Terjadi pula suatu keadaan khusus di suatu daerah yang pendukung PKI
nya lebih dominan. Sejumlah anggota Pemuda Marhaenis dan anggota Banser dipaksa
menjadi tameng luar untuk pertahanan desa mereka dengan pengawasan Pemuda
Rakyat. Suatu ketika, ada serangan pembalasan atas desa tersebut, dan dua orang
anggota Banser tertawan, lalu ‘diadili’. Seorang anggota Banser dari pihak yang
menawan, dengan sikap ‘darah dingin’ menebas leher salah satu dari tawanan itu.
Temannya yang lain dengan menangis-nangis memberitahukan bahwa mereka
sebenarnya adalah anggota Banser yang dijadikan tameng. Setelah dilakukan
pengecekan, memang ternyata kedua tawanan itu adalah anggota Banser, tetapi
bagaimana pun juga kepala yang telah terpancung itu tak dapat direkatkan lagi.
Seorang siswa SMA, putera seorang penegak hukum yang
bertugas di Malang, Sjahrul –yang kemudian menjadi aktivis mahasiswa dari ITB
di Bandung sejak tahun 1967– mengisahkan betapa di pagi hari merupakan
pemandangan biasa bila ada kepala manusia hasil pembantaian tergantung di pagar
kantor ayahandanya. Keikutsertaan sebagai pembantai bahkan kerapkali dianggap
semacam tugas suci oleh beberapa anak muda belasan tahun. “Seorang teman
sekolah saya di SMA, kerap bercerita, mengenai pengalamannya beroperasi pada
malam sebelumnya”. Kelakuan para remaja yang terbawa arus melakukan pembantaian
tampak berangsur-angsur menjadi tidak wajar. Seringkali ada pengakuan dan
dugaan bahwa pembunuhan sesama manusia itu dilakukan karena diperintah, oleh
tentara misalnya, tetapi menurut Sjahrul cukup banyak yang melakukannya
semata-mata karena terbawa arus saja dan akhirnya terbiasa melakukan tanpa
disuruh. Membunuh itu, bisa mencandu, menimbulkan ekstase. Apalagi bila para
korban tak berdaya meratap memohon, itu akan merangsang para eksekutor untuk
lebih menikmati keperkasaan kekuasaannya. Pada beberapa kalangan massa
organisasi Islam di sana, pembasmian anggota PKI yang dianggap anti Tuhan,
bahkan diyakini sebagai bagian tugas membela agama. Di Jawa Timur, seringkali
dikisahkan bahwa pada masa itu, setiap hari Kali Brantas penuh dengan tubuh
hanyut manusia yang telah diberantas. Kasat mata dan menurut perkiraan, jumlah
korban yang jatuh di Jawa Timur jumlahnya melebihi jumlah korban
peristiwa-peristiwa di Jawa Tengah.
Kisah ‘pembantaian’ di Bali dan mayat di Sungai Ular. Seperti
halnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Bali orang-orang PKI juga
‘mengakumulasi’kan sejumlah tindakan yang menimbulkan keirihatian dan dendam
sejak sebelum Peristiwa 30 September 1965. Pusat Studi Pedesaan Universitas
Gadjah Mada, mencatat terjadi sejumlah aksi kekerasan yang dilakukan
anggota-anggota PKI di pedesaan-pedesaan Bali sejak Januari 1965. Di Buleleng tercatat
beberapa aksi sepihak, seperti misalnya yang dilakukan Wayan Wanci dan
kawan-kawannya dari BTI. Ia menyewa tanah dari Pan Tablen, dan suatu ketika
sewa menyewa itu dihentikan. 250 massa BTI lalu menduduki kembali tanah itu,
pada 8 Januari 1965, disertai aksi penghancuran rumah Pan Tablen. Aksi sepihak
lainnya terjadi 14 Januari, antara seorang menantu yang anggota BTI dengan
mertuanya. Ketika mertua meminta kembali tanah yang dipinjamkan, sang menantu
dan kawan-kawannya dari BTI melakukan pengrusakan atas tanaman jagung di atas
tanah tersebut, lalu menduduki dan menggarap sawah itu.
Aksi-aksi sepihak yang serupa terjadi berkali-kali, dan
biasanya BTI berhadapan dengan para pemilik yang kebetulan anggota PNI. Dalam
salah satu insiden soal tanah, 4 Maret 1965, beberapa anggota PKI menyerang
beberapa anggota PNI dengan parang dan senjata tajam lainnya. Tetapi suatu
serangan pembalasan tidak segera terjadi setelah Peristiwa 30 September,
kendati arus pembalasan yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah masuk
beritanya ke Bali. Setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965 tak terjadi apa-apa
di Bali. Tapi pada bulan berikutnya mulai muncul ‘hasutan’, terutama dari
tokoh-tokoh PNI yang memiliki dendam, seperti dituturkan Soe Hok-gie dalam
tulisannya, ‘Pembantaian di Bali’.
Tekanan utama masalahnya saat itu memang bukanlah kepada
soal-soal ideologis, meskipun perbedaan ideologis adalah satu faktor, melainkan
kepada rivalitas pengaruh dan kepentingan manusiawi yang sudah laten antara
pengikut-pengikut PKI dan PNI seperti digambarkan AA Oka Mahendra. PNI secara
turun temurun dominan di Bali. Golongan bangsawan dan pemuka masyarakat umumnya
adalah pendukung PNI, sehingga dengan pengaruh mereka PNI memiliki massa
pengikut yang besar jumlahnya di Bali. Tetapi PKI di Bali sementara itu
berhasil memasuki celah-celah kesenjangan dalam kehidupan sosial, terutama
dalam mendekati rakyat pedesaan Bali yang menjadi petani dengan kepemilikan
tanah yang kecil atau samasekali tidak memiliki tanah. Sebenarnya selama
puluhan tahun ada harmoni antara kaum bangsawan pemilik tanah dengan para
petani, melalui semacam sistim bagi hasil yang adil. Selain itu, setiap kali
ada perselisihan, mekanisme adat dan peranan kaum agamawan senantiasa berhasil
menjadi media penyelesaian. Akan tetapi kehadiran yang lebih menonjol dan
perubahan perilaku politik PKI pada tahun-tahun terakhir menjelang Peristiwa 30
September, telah menghadirkan sejumlah perubahan. Beberapa petani menunjukkan
sikap yang lebih agresif.
Berlanjut ke Bagian 3
socio-politica.com
0 komentar:
Posting Komentar