OCTOBER 8, 2009 - SOCIOPOLITICA
“Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah
peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia”.
Sebuah peristiwa yang merupakan “ledakan dari suatu masyarakat yang penuh
dengan tension dan friction, penuh dengan ketegangan dan
pergesekan kronis”.
LUMURAN darah tak mengenal pengecualian dalam pilihan
waktu kehadiran sepanjang perjalanan sejarah manusia di kepulauan Nusantara
ini, tak terkecuali pada masa Indonesia merdeka dalam sejarah Indonesia modern.
Tepat pada tahun keduapuluh Indonesia merdeka itu, terjadi lagi satu peristiwa
berdarah, Peristiwa 30 September 1965, dilancarkan oleh Gerakan 30 September, yang
terutama terkait dengan sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia dan perwira
tentara. Peristiwa ini memicu satu malapetaka sosiologis baru, dengan sisa-sisa
kebencian yang belum sepenuhnya pupus hingga kini.
Pada hakekatnya, peristiwa yang merupakan puncak dari
suatu rangkaian pertarungan politik yang panjang itu, yang bahkan memiliki akar
dari masa sebelum Indonesia merdeka, melibatkan begitu banyak kelompok kekuatan
politik sipil ideologis dan ‘kekuatan politik’ angkatan bersenjata. Melibatkan
demikian banyak tokoh dengan kepentingannya masing-masing yang tak lain
bermuara pada pemenuhan hasrat kekuasaan, sebagai petarung-petarung dalam
perebutan kekuasaan politik dan kekuasaan negara. Siapa yang benar, siapa yang
salah, menjadi masalah sejarah yang berkepanjangan. Berlaku adagium, sang
pemenang akan berkesempatan mengukir versi kebenaran sejarah lebih dulu, namun
pada saat sang pemenang surut karena waktu, maupun kalah dalam pertarungan
kekuasaan berikutnya, mereka yang kalah di masa lampau memperoleh momentum
untuk bisa menciptakan pembenaran baru berdasarkan subjektivitasnya sendiri.
Judgement dari generasi baru, pada waktunya mungkin
akan lebih bermakna, sepanjang mereka berkesempatan mendapat dan menggali
informasi jujur dan objektif tanpa prasangka apa pun. Tanpa dendam karena
pertalian darah dengan para korban. Atau, pada posisi sebaliknya, tidak
terjebak mempertahankan versi kebenaran para pemenang awal karena pertalian
darah dan pertalian kepentingan yang diwariskan.
Terlepas dari apapun penyebabnya dan siapa pelakunya,
peristiwa berdarah yang terjadi lebih dari 40 tahun silam itu, bagaimanapun
juga merupakan lembaran hitam dalam sejarah Indonesia merdeka. Melihat kualitas
peristiwanya, dikaitkan dengan tujuan peristiwa yang menjadi bagian dari pertarungan
kekuasaan –yang untuknya diperlukan pembunuhan dengan cara keji terhadap enam
jenderal, seorang perwira pertama dan seorang bintara polisi di Jakarta dan dua
perwira menengah di Jawa Tengah– bahkan mungkin dapat dinyatakan sebagai
lembaran paling hitam sejarah Indonesia hingga sejauh ini. Apalagi, setelah
pembunuhan keji itu terjadi, menyusul pula rentetan pembunuhan massal
–siapapun korbannya dan siapa pun pelaksananya atas nama apapun– terhadap
sejumlah orang yang mencapai ratusan bahkan mungkin sejuta lebih.
Menjadi pertanyaan yang mengganggu dari waktu ke waktu,
ada apa dengan bangsa ini sebenarnya? Untuk menjawabnya, mungkin bisa meminjam
suatu pikiran jernih yang dilontarkan melalui suatu media massa generasi muda
di Bandung hanya tiga tahun setelah Peristiwa 30 September 1965 terjadi.
Mewakili jalan pikiran sejumlah intelektual muda kala itu, media itu
mempertanyakan adakah kita menginsyafi bahwa peristiwa itu hanyalah salah
satu sympton yang menunjukkan tidak sehatnya tubuh bangsa ini?
Peristiwa 30 September 1965 memang adalah sebuah
peristiwa yang meletus sebagai akibat tidak sehatnya tubuh bangsa Indonesia.
Sebuah peristiwa yang meminjam uraian sebuah media generasi muda 1966 merupakan
“ledakan dari suatu masyarakat yang penuh dengan tension dan friction,
penuh dengan ketegangan dan pergesekan kronis”. Sebuah peristiwa yang merupakan
resultante dari kontradiksi-kontradiksi yang terdapat secara objektif dalam
masyarakat kala itu, yang bahkan masih berkelanjutan menembus waktu ke
masa-masa berikutnya, hingga kini. Fakta empiris menunjukkan bahwa dalam
rentang waktu yang panjang hingga masa kini, meminjam lontaran pemikiran
tersebut, kontradiksi-kontradiksi masih melekat di tulang sumsum masyarakat
Indonesia, yang berakar dari sejumlah faktor disintegrasi yang belum juga
tersembuhkan.
Setelah pembunuhan enam jenderal dan satu perwira
menengah dalam Peristiwa 30 September 1965, terjadi gelombang pembalasan. Di
mulai dengan penyerbuan kantor CC PKI dan pembakaran Universitas Res Publica
(belakangan dibuka kembali sebagai Universitas Trisakti), sepanjang Oktober
hingga beberapa waktu sesudahnya terjadi gelombang penyerbuan terhadap
kantor-kantor organisasi lainnya yang ada hubungannya dengan PKI dan organisasi
kiri lainnya. Bukan hanya di Bandung dan Jakarta, tetapi juga menjalar ke
kota-kota lainnya seperti Medan sampai Makassar. Aksi di kota-kota besar itu
umumnya, hanya menyangkut asset, terutama kantor-kantor milik organisasi kiri,
dan tidak ditujukan kepada tindakan fisik terhadap manusia. Kalau pun ada tindakan
terhadap anggota-anggota organisasi kiri, adalah sebatas ‘meringkus’ untuk
selanjutnya diserahkan kepada aparat militer, dari Angkatan Darat.
Ketika para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi
penyerbuan itu, Angkatan Darat, berdasarkan wewenang Jenderal Soeharto sebagai
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menjalankan sendiri
kesibukannya, melakukan pembersihan berupa penangkapan terhadap tokoh-tokoh
organisasi kiri, hampir di seluruh wilayah tanah air. Menurut Soeripto SH, aktivis
mahasiswa tahun 1960-an, “Setahu saya, Soeharto waktu itu memberi perintah,
semua anggota politbiro PKI harus dieliminasi, agar PKI lumpuh”. Kebetulan
politbiro PKI ketika itu didominasi oleh sayap Peking, dan itulah pula sebabnya
banyak tokoh PKI yang merupakan sayap Moskow selamat. Pemberantasan tokoh-tokoh
PKI terutama dijalankan oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di
bawah komando dan berdasarkan inisiatif Kolonel Sarwo Edhie. Secara umum
Soeharto membiarkan inisiatif Sarwo Edhie itu berlangsung dan tidak pernah
menegur.
Fase berdarah
babak kedua
RPKAD yang telah merampungkan tugas di Jakarta, mendapat
tugas lanjutan untuk melakukan penyisiran untuk menangkap tokoh-tokoh PKI dan
organisasi onderbouwnya terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu
kemudian di Bali. Tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula satu gelombang
pembalasan, yang berbeda dengan apa yang dilakukan para mahasiswa dan
organisasi pemuda di perkotaan, justru ditujukan kepada sasaran manusia dalam
rangkaian kekerasan kemanusiaan melalui cara yang berdarah-darah.
Berlangsung secara horizontal, terutama di Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Bali, dilakukan oleh sejumlah organisasi massa dalam kadar yang
tinggi. Juga di beberapa propinsi lain, meskipun dalam kadar sedikit lebih
rendah seperti di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan serta secara sporadis di
wilayah tertentu di Jawa Barat. Bila yang terjadi di kota-kota besar adalah
tindakan fisik terhadap kantor-kantor organisasi politik kiri, untuk
melumpuhkan kegiatan, yang dilakukan oleh pemuda,pelajar dan mahasiswa, masih
bisa dimasukkan dalam kategori insiden politik, maka yang terjadi di
daerah-daerah adalah malapetaka sosiologis.
Kisah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam malapetaka
sosiologis yang terjadi, gelombang pembalasan yang paling parah di Pulau
Jawa dialami oleh massa PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Jawa Tengah, dan
juga di Yogya, para pelakunya justru terutama dari organisasi-organisasi massa
yang terkait dengan PNI, meskipun di tingkat nasional, PKI dan PNI merupakan
partner dalam struktur politik Nasakom. Dalam aksi pembalasan terhadap kelompok
komunis di Jawa Tengah ini, yang menjadi tulang punggung utama adalah Pemuda
Marhaenis, dan mendapat bantuan dari pemuda-pemuda Islam seperti dari Barisan
Ansor Serbaguna. Sementara itu di Jawa Timur, dalam konflik massa komunis
versus kelompok non komunis, kekuatan utama non komunis adalah massa NU,
terutama dari Banser, yang di beberapa tempat seperti Banyuwangi didukung oleh
Pemuda Marhaenis.
Di Jawa Tengah, persaingan politik dan pengaruh memang
terjadi terutama antara PKI dan PNI, mulai dari posisi-posisi di badan-badan
perwakilan maupun dalam pengaruh pada pemerintahan. Menurut tokoh GMNI Siswono
Judohusodo, pada masa Nasakom hanya PNI yang berani menghadapi aksi-aksi keras
PKI, terutama di Jawa Tengah. Para pemilik tanah yang luas dan kalangan dunia
usaha di Jawa Tengah pada umumnya adalah pendukung-pendukung PNI, sementara
para buruh tani dan kalangan buruh kecil, atau setidaknya para petani yang
lebih miskin, pada umumnya adalah pengikut-pengikut PKI. Ketika BTI melakukan
aksi-aksi sepihak dalam rangka UUPA terhadap tanah-tanah yang dianggap milik
para tuan tanah dan para petani kaya, yang terkena pada umumnya adalah
pengikut-pengikut PNI. Dan sewaktu SOBSI tak henti-hentinya menjalankan
aksi-aksi kaum buruh, mereka selalu berhadapan dengan kelompok ‘majikan’ yang
umumnya adalah warga PNI.
Tokoh-tokoh PNI, seperti misalnya Hardi SH pernah mengadu
langsung tentang sikap provokatif dan agresif massa PKI terhadap PNI dan
kepentingan-kepentingannya di Jawa Tengah, tetapi Soekarno selalu balik
mengingatkan agar menjaga kekompakan sebagai satu barisan dalam Nasakom. PKI
Jawa Tengah sendiri, dalam berbagai kesempatan telah melakukan serangan-serangan
politik kepada PNI. PKI juga berkali-kali melakukan serangan-serangan politik
yang menggoyang para bupati yang kebetulan adalah dari kalangan simpatisan PNI.
Sikap tanpa tenggang rasa yang dilakukan PKI Jawa Tengah, selama beberapa tahun
telah mengakumulasi kebencian di berbagai tingkat lapisan PNI, dari akar rumput
hingga ke elit PNI di daerah tersebut. Hal lain yang menjadi fenomena menarik
di Jawa Tengah ini adalah bahwa di beberapa daerah, banyak kalangan tentara
dari Divisi Diponegoro, ada di bawah pengaruh PKI sejak lama dan dalam banyak
peristiwa, baik sebelum Peristiwa 30 September 1965, maupun sesudahnya
menunjukkan perpihakannya yang nyata kepada PKI dan organisasi-organisasi
mantelnya seperti BTI atau Pemuda Rakyat. Bahkan pada 1 Oktober 1965, sejumlah
perwira berhaluan komunis pada Divisi Diponegoro ini sempat mengambilalih
kendali komando Kodam untuk seberapa lama.
Dalam suatu peristiwa aksi sepihak di Klaten, tahun 1964,
sebagaimana dilaporkan oleh sebuah tim peneliti dari Universitas Gajah Mada,
seorang Puterpra (Perwira Urusan Teritorial dan Pertahanan Rakyat) terlibat
melakukan tugas pengawalan tatkala BTI membantu seorang petani menggarap
kembali sawahnya yang pernah dijualnya –dan bahkan sudah dikalahkan di
pengadilan. Sementara anggota BTI menggarap sawah, sang Puterpra mengeluarkan
kata-kata “Teruslah kalian mengerjakan sawah.
Kalau ada orang PNI datang biar saya tembak mereka”.
Banyak Puterpra, terutama di kabupaten-kabupaten yang Komandan Kodim-nya adalah
perwira berhaluan atau simpatisan PKI, dengan alasan untuk aksi Dwikora
melakukan pelatihan-pelatihan kemiliteran secara intensif di desa-desa yang
didominasi oleh PKI, BTI dan Pemuda Rakyat. Bahkan ada sejumlah desa yang
sampai memiliki sistim pertahanan yang kuat berlapis sehingga tak mungkin ada
yang bisa datang dan menyerbu desa itu tanpa ketahuan. Beberapa desa memiliki
persenjataan militer yang umumnya dipegang oleh Pemuda Rakyat yang sudah
menjalani latihan militer.
Berlanjut ke Bagian 2
0 komentar:
Posting Komentar