OCTOBER 17, 2009
“Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling brutal,
seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda seorang
pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra Suyasa,
seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta. Widagda
memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI, meskipun
terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar”.
Faktor lain yang membuat PKI menonjol di Bali adalah
bahwa dalam Nasakomisasi yang dijalankan oleh Gubernur Suteja –seorang yang
dianggap pendukung utama Presiden Soekarno di daerah itu dan mempunyai
kedekatan dengan PKI– sesuai ‘perintah’ Soekarno, PKI mendapat keleluasaan
berlebihan. Suteja merupakan perpanjangan tangan yang baik bagi kebijaksanaan
Nasakomisasi Soekarno yang menguntungkan PKI.
Dalam suasana
Nasakomisasi itu, banyak tindakan-tindakan PKI, yang dipimpin oleh Tio Kandel
sebagai Ketua CDB, seperti aksi-aksi sepihak dalam masalah pertanahan, bisa
berlangsung bebas tanpa penindakan. Ini terutama pula terjadi setelah Brigjen
Supardi yang dikenal amat anti PKI mengikuti garis Markas Besar AD, digantikan
sebagai Panglima Kodam Udayana pada tahun 1963 oleh Brigjen Sjafiuddin yang
sangat patuh terhadap Soekarno saat itu. Dan adalah menarik, meskipun secara
horizontal di lapisan bawah massa PNI banyak berbenturan dengan massa PKI,
dalam banyak hal para elite PNI di Bali bisa berdampingan nyaman dengan tokoh-tokoh
PKI. Bahkan terjadi beberapa jalinan kepentingan bersama yang menguntungkan,
termasuk secara ekonomis. Ada beberapa pengusaha yang kebetulan keturunan Cina,
selain dekat dengan tokoh-tokoh PKI juga punya jalinan dengan tokoh-tokoh PNI,
sehingga terjadi pertalian di antara ketiganya. Meskipun, sebaliknya dalam
beberapa kasus lainnya terjadi pula persaingan kepentingan ekonomi dan politik
yang tajam di antara tokoh-tokoh PNI tertentu dengan tokoh-tokoh PKI di Bali.
PKI juga nyaman bersama Brigjen Sjafiuddin, apalagi
isteri Sjafiuddin punya kedekatan khusus dengan Gerwani dan menunjukkan sikap
mendukung PKI. Namun, setelah Peristiwa 30 September terjadi, pada pertengahan
Oktober sewaktu arah angin dan situasi menjadi lebih jelas, dengan gesit Brigjen
Sjafiuddin melancarkan operasi pembersihan terhadap mereka yang dianggap
terlibat PKI, terutama internal Kodam Udayana. Akan tetapi, sejauh yang dapat
dicatat, tidaklah terlalu jelas ‘kategori’ sebenarnya dari mereka yang
ditangkap, karena sebaliknya banyak yang menurut perkiraan umum akan ditangkap
ternyata ‘lolos’ atau diloloskan. Belum lagi, sejumlah kasus salah tangkap.
Menurut Soe Hok-gie, pemicu kekerasan yang kemudian
terjadi di Bali adalah hasutan-hasutan sejumlah tokoh. Seorang tokoh PNI
menghasut orang-orang untuk melakukan aksi kekerasan dengan mengatakan
bahwa Tuhan menyetujui pembantaian terhadap orang-orang PKI, dan bahwa hukum
tidak akan mengena orang yang melakukannya. Seorang tokoh lain mengatakan bahwa
mengambil harta benda milik orang PKI tidak melanggar hukum. “Kelompok-kelompok
yang berjaga-jaga mulai keluar dengan berpakaian serba hitam dan bersenjatakan
pedang, pisau, pentungan dan bahkan senjata api. Rumah-rumah penduduk yang
diduga sebagai anggota PKI dibakar sebagai bagian dari pemanasan bagi
dilancarkannya tindakan-tindakan yang lebih kejam”. Kemudian pembantaian pun
mulai terjadi di mana-mana. “Selama tiga bulan berikutnya, Bali menjadi sebuah
mimpi buruk pembantaian”. Dengan perkiraan yang paling konservatif, menurut Soe
Hok-gie, “paling tidak 80.000 orang terbunuh”, dari berbagai tingkat usia, pria
dan wanita. Soe Hok-gie menyimpulkan, pembantaian massa PKI di Bali tidak
berlangsung berdasarkan suatu spontaniteit –istilah bahasa Belanda
untuk spontanitas– melainkan terutama karena hasutan tokoh-tokoh PNI.
Ada beberapa sebab kenapa massa PNI menjadi pemeran utama
pembasmian PKI di Bali. Pertama, karena memang adanya faktor dendam akibat
akumulasi perlakuan massa PKI sebelumnya kepada orang-orang PNI di
pedesaan-pedesaan Bali. Namun pembalasan ini baru muncul setelah beberapa tokoh
PNI melakukan provokasi, dan mulai terjadi terutama di bulan November 1965. Hal
kedua, ada beberapa tokoh PNI yang karena ingin menutupi ‘kerjasama’nya dengan
PKI di masa lampau, kemudian memprovokasi suatu eliminasi terhadap PKI. Seorang
pengusaha Cina bernama Tjan Wie menjadi salah satu korban utama, dengan tuduhan
keterlibatan dengan PKI, aset dan hartanya disapu habis, sehingga ia menjadi
gila karena tekanan mental yang tak dapat lagi dipikulnya. Ironisnya, saingan
bisnisnya yang bernama Lie Lie Tjien yang justru adalah pengusaha yang menjadi
donatur utama PKI di Bali Utara tidak tersentuh karena ia bersekutu dengan
Wijana salah satu tokoh utama PNI di Bali.
Selain pembunuhan-pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah,
terjadi pula tindakan-tindakan pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan
yang dikaitkan dengan Gerwani. Salah satu pelaku pemerkosaan yang paling
brutal, seperti yang digambarkan Soe Hok-gie dalam tulisannya, adalah Widagda
seorang pimpinan PNI dari Negara. Ia ini adalah adik laki-laki Wedasastra
Suyasa, seorang tokoh terkemuka PNI di Bali dan anggota DPR-GR di Jakarta.
Widagda memperkosa puluhan wanita yang dituduh dan dikait-kaitkan dengan PKI,
meskipun terbukti kemudian bahwa tidak selalu tuduhan terkait PKI itu benar.
Tiga di antara wanita korbannya mengajukan kasusnya ke pengadilan, dan Widagda
akhirnya dijatuhi hukuman untuk itu, dengan amat tidak setimpal, yakni 3 tahun penjara.
Pelaku-pelaku lain selain Widagda, tak sempat tersentuh hukum. Faktanya,
pembasmian di Bali hanya mengena terhadap akar-akar rumput PKI, dan justru
banyak lapisan atasnya lolos dan bisa tinggal dengan aman di Jakarta.
Gelombang pembantaian terhadap massa PKI di Sumatera
Utara juga termasuk menonjol meskipun tidak terlalu massive seperti
di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Tetapi penggambaran bahwa pada masa-masa di
bulan Oktober 1965 itu Sungai Ular penuh dengan mayat, bukanlah deskripsi yang
terlalu berlebih-lebihan. PKI Sumatera Utara, termasuk agresif, tak kalah
dengan PKI di wilayah lainnya. Peristiwa Bandar Betsi yang mengambil korban
jiwa seorang anggota Angkatan Darat terjadi di propinsi ini. Aksi sepihak BTI
dan buruh perkebunan yang berafiliasi dengan PKI, termasuk intensif di daerah
ini. Dalam periode Nasakom, PKI unggul di kalangan buruh perkebunan dan kereta
api. PKI juga memiliki suratkabar yakni Harian Harapan. Gubernur Ulung
Sitepu dikenal sebagai tokoh PKI dan beberapa tokoh PKI di tingkat nasional
berasal dari daerah ini.
Organisasi anti PKI yang paling kuat dan keras di daerah
ini adalah Pemuda Pantjasila, dan mereka lah paling gencar menggempur PKI
pasca Peristiwa 30 September. Satu dan lain hal, karena organisasi kepemudaan
ini memperoleh informasi cepat dari Jakarta mengenai gambaran situasi
sebenarnya melalui jalur IPKI yang merupakan induk organisasinya. Dan peristiwa
yang menimpa Jenderal Nasution di Jakarta 1 Oktober dinihari, menjadi pemicu
‘kemarahan’ mereka, karena Jenderal Nasution adalah tokoh yang mendirikan IPKI.
Selain Pemuda Pantjasila, organisasi anti PKI yang kuat di wilayah ini,
khususnya di perkebunan-perkebunan adalah Soksi. Organisasi sayap Soksi di
dunia kemahasiswaan, Pelmasi, meskipun tak cukup banyak anggotanya akhirnya
juga cukup berperan dalam gerakan pembasmian PKI di Sumatera Utara. Salah satu
tokohnya di Sumatera Utara adalah Bomer Pasaribu yang cukup berperan dalam
kesatuan aksi dan belakangan tembus ke tingkat nasional.
PKI, PNI dan peran para bangsawan di Sulawesi
Selatan. Suatu keadaan yang agak terbalik dari Jawa Tengah terjadi di
Sulawesi Selatan. Seperti halnya di Jawa Tengah, PNI di Sulawesi Selatan amat
menonjol. Dan inilah yang kemudian menjadi awal bencana bagi PNI di Sulawesi
Selatan. PNI jauh lebih menonjol dari PKI, meski pun tokoh-tokoh PKI di wilayah
ini cukup vokal. Namun dibandingkan dengan perilaku politik PKI di pulau Jawa
yang amat agresif, PKI Sulawesi Selatan bisa dikatakan ‘moderat’. Aksi-aksi
sepihak dalam rangka landreform lebih banyak disuarakan melalui
pernyataan-pernyataan. Kalau pun pernah terjadi aksi sepihak, itu hanya terjadi
di Tanah Toraja. Anggota-anggota PKI di Sulawesi Selatan sejauh yang tercatat
tak pernah melakukan tindakan kekerasan berdarah-darah seperti yang dilakukan
misalnya di Bandar Betsi Sumatera Utara, serta tidak melakukan gerakan
perlawanan seperti di Jawa Tengah. Masih beradanya Sulawesi Selatan dalam
situasi keamanan yang kurang baik terkait dengan masih bergeraknya DI-TII di
wilayah ini menjadi salah satu penyebab terbatasnya ruang gerak PKI. Praktis
PKI tak bisa menjangkau ke wilayah pedalaman, terutama karena kehadiran DI-TII
di wilayah-wilayah luar perkotaan itu. Dengan demikian, PKI Sulawesi Selatan
sebenarnya terhindar dari melakukan tindakan-tindakan mengakumulasi dendam
seperti yang dilakukan PKI di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Maka adalah
menarik bahwa bila kemudian terjadi tindakan ‘balas dendam’ yang cukup kejam di
daerah ini, seperti misalnya yang terjadi di Watampone, Kabupaten Bone, daerah kelahiran
Jenderal Muhammad Jusuf.
Selain Paiso, tak banyak tokoh PKI Sulawesi Selatan yang
menarik perhatian. Begitu pula misalnya tokoh-tokoh organisasi mantelnya,
seperti HSI, CGMI atau Pemuda Rakyat. HSI misalnya, tak banyak tokohnya yang
menarik perhatian masyarakat di Sulawesi Selatan, bahkan cenderung tak dikenal.
Ada beberapa nama, namun tidak terlalu dikenal, seperti misalnya Mochtar dan
Nurul Muhlisa. Tapi salah seorang di antaranya, amat diperhatikan mahasiswa,
yakni Prof Ie Keng Heng, yang mengajar ilmu kimia di Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin, karena selain menyampaikan kuliah kimia, ia sering
berbicara dalam berbagai kesempatan mengenai komunisme. Ia selalu memuji-muji
PKI sebagai kekuatan progressif revolusioner, termasuk dalam memberikan kuliah.
Maka, ketika keadaan berbalik setelah patahnya Gerakan 30 September 1965, dan
nama PKI dilibatkan, ia menjadi salah satu sasaran utama mahasiswa non komunis.
Masih pada 2 Oktober 1965, hari Sabtu, sekelompok
mahasiswa dari organisasi Islam, HMI dan kawan-kawan, menyeret paksa sang
professor saat ia sedang memberi kuliah hari itu, lalu digiring ke tempat lain.
Menurut seorang mahasiswa, Ie Keng Heng dibawa ke aparat keamanan (militer).
Setelah itu, orang tak pernah melihatnya lagi. Ada yang
mengatakan ia di bawah ke Malino, suatu daerah peristirahatan beberapa puluh
kilometer ke arah Tenggara kota Makassar, lalu dihabisi di sana. Tetapi seorang
aktivis PMKRI dari Fakultas Teknik Unhas, Bobby Tjetjep, memperkirakan bahwa
nasib Ie Keng Heng tak sedramatis itu, dan matinya adalah biasa saja, tidak
karena suatu eksekusi. Memang ada juga yang memperkirakan bahwa Ie Keng Heng
yang sehari-harinya sebenarnya tidak bersikap ‘ganas’ sebagai anggota HSI yang
partainya sedang naik daun secara nasional, tidaklah dibawa ke tempat eksekusi,
sebagaimana yang banyak beredar ceritanya waktu itu, melainkan diberi
‘kesempatan’ untuk meninggalkan Makassar.
Putera-puterinya
–hasil perkawinannya dengan seorang wanita Eropah– yang masih berstatus pelajar
dan mahasiswa ikut mendapat getahnya, padahal sehari-harinya mereka tak pernah
tertarik untuk ikut terbawa arus politik seperti ayahanda mereka, dan harus
pula ‘meninggalkan’ kota Makassar entah ke mana.
Berlanjut ke Bagian 4
0 komentar:
Posting Komentar