Dahlan Iskan | Senin, 10
Agustus 2009
- Rangkulan-Bisikan Amir Syarifuddin Bikin
Lemas
Saya juga baru tahu dari Soemarsono tentang latar
belakang sebenarnya mengapa pertempuran Surabaya dulu terjadi. Selama ini saya
hanya tahu bahwa hari itu tentara Sekutu mendarat kembali di Surabaya, lalu
disangka bahwa Belanda akan menjajah kembali Indonesia. Pemuda Surabaya tidak
senang atas kenyataan itu, lalu terjadilah pertempuran dahsyat yang membuat
Surabaya menjadi Kota Pahlawan itu.
Ternyata tentara Sekutu itu mendarat di Surabaya dengan
cara baik-baik. Menurut Soemarsono -tokoh utama pertempuran Surabaya yang ternyata
masih hidup dan berusia 88 tahun ini-, tentara Sekutu waktu itu mendarat dengan
izin resmi dari pemerintah Indonesia. Juga diterima secara baik-baik oleh
kekuatan pemuda Surabaya, yang di dalamnya Soemarsono menjadi ketua.
Sebelum tentara Sekutu mendarat, tiga utusan dari
pemerintah pusat datang menemui Soemarsono. Salah seorang di antara mereka
adalah pejabat Menteri Keamanan Salyo Hadikusumo (menteri keamanan yang
sebenarnya adalah Suprijadi. Namun, sejak sebelum diangkat pun tidak ada yang
tahu di mana pejuang dari Blitar itu berada). Ada juga Menteri Negara Sartono.
Utusan Jakarta ini memberi tahu bahwa dalam waktu dekat tentara Sekutu akan
mendarat di Surabaya.
Tujuan pendaratan itu baik: mereka akan mengurus
tahanan-tahanan perang di masa lalu yang masih ada di penjara-penjara Surabaya.
Yakni, ketika terjadi perang antara Jepang dan tentara Sekutu dengan kekalahan
telak di pihak Jepang di seluruh Asia. Urusan ini, menurut ilmu hubungan
internasional, disebut RAPWI -Repatriation of Allied Prisoners of War and
Internees.
Maka, ketika tentara Sekutu mendarat, para pemuda
Surabaya pun membantu. Mereka menyiapkan di mana saja Komisi Pengurusan Tawanan
Perang Sekutu itu akan bermarkas. Salah satunya di Gedung Internatio -bangunan
dua lantai yang kini berada di bagian barat Jembatan Merah Plaza itu. Di
sinilah Brigjen Mallaby, komandan komisi itu, berkantor.
Menurut Soemarsono, kecurigaan mulai muncul setelah tiga
hari tentara Sekutu berada di Surabaya. Lalu mulailah muncul rumor dan
desas-desus: jangan-jangan Sekutu juga akan melucuti senjata yang secara luas
kini berada di tangan mereka. Sebab, senjata-senjata itu dulu memang milik
Jepang atau Belanda. Baik yang didapat dengan cara direbut maupun hasil dari
tentara Sekutu yang ditembak. Dalam tiga hari itu, berita dari mulut ke mulut
kian luas: kok tentara Sekutu berada di sudut-sudut Surabaya yang strategis.
Berdasarkan kecurigaan itulah pemuda Surabaya membuat
keputusan untuk mendahului daripada didahului. Kekuatan pemuda Surabaya mulai
menyerang pusat-pusat konsentrasi tentara Sekutu. Terjadilah perang selama tiga
hari. Yakni 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
”Perang ini perang besar. Ini perang melawan tentara
Sekutu yang gagah berani, yang persenjataannya modern, yang baru saja
memenangkan perang besar di seluruh Asia Timur/Tenggara,” ujar Soemarsono.
Dalam pertempuran itu, menurut Soemarsono, kekuatan
pemuda Surabaya di atas angin.
”Saya yakin, dalam beberapa jam lagi kemenangan
mutlak sudah bisa didapat,” ujar Soemarsono mengenang peristiwa 64 tahun lalu
itu.
Sekutu sudah kewalahan. Buktinya, Mallaby menghubungi
markas pusat Sekutu se-Asia Tenggara di Singapura. Mallaby minta atasannya itu
mengusahakan genjatan senjata.
”Karena itu, kami sempat jengkel ketika Bung
Karno minta pertempuran dihentikan,” ujar Soemarsono yang dalam usia 88 tahun
ini semangatnya masih luar biasa.
Setelah menerima laporan dari Mallaby, komandan tertinggi
tentara Sekutu di Singapura, D.C. Hawthorn, langsung terbang ke Jakarta. Yakni,
untuk menemui Bung Karno dan Bung Hatta. Hawthorn minta diberlakukan gencatan
senjata.
Waktu itu Bung Karno belum genap tiga bulan menjadi presiden pertama
Indonesia. Soemarsono tidak tahu apa kompensasi yang diberikan tentara Sekutu
untuk tawaran gencatan senjata di Surabaya ini. Yang jelas, hari itu juga Bung
Karno dan Bung Hatta langsung terbang ke Surabaya dengan pesawat dari Singapura
tersebut.
Tiba di Surabaya Bung Karno langsung melakukan konvoi
keliling kota. Bung Karno menyerukan agar tembak-menembak dihentikan. Bung
Karno keliling kota seperti itu karena tidak tahu bagaimana cara mencari para
pimpinan pemuda Surabaya. Mereka semua sedang berada di front yang
berbeda-beda. Soemarsono, misalnya, lagi memimpin pasukan di Wonokromo, bagian
selatan Kota Surabaya.
Soemarsono kaget ketika tiba-tiba mendengar seruan Bung
Karno itu.
”Saya nyumpah-nyumpah dan marah-marah. Bagaimana ini? Perang sudah
hampir menang, kok disuruh berhenti,” kisahnya.
Dari siaran itu Soemarsono juga tahu bahwa mobil konvoi
presiden akan melewati Jalan Ngagel yang tidak jauh dari Wonokromo. Karena itu,
dia pamit kepada pasukannya untuk mencegat konvoi Bung Karno di Ngagel.
”Saya
berdiri di tengah jalan. Saya hentikan mobil yang membawa Bung Karno dan Bung
Hatta. Konvoi itu berhenti. Mallaby juga ada dalam konvoi itu. Saya marah-marah
kepada Bung Karno. Saya beri tahu Bung Karno bahwa sebentar lagi Inggris pasti
kalah. Mengapa dihentikan begitu. Bung Karno diam saja sambil menunduk,” kenang
Soemarsono.
Tidak lama kemudian, Soemarsono melihat Bung Karno
menjawil Mr Amir Syarifuddin. Jabatan Amir kala itu adalah menteri keamanan
rakyat. Jawilan Bung Karno itu maksudnya sebagai kode agar Amir turun dari
mobil untuk menemui Soemarsono.
”Amir langsung merangkul pundak saya dan membisikkan
kata-kata yang membuat saya lemas menyerah,” kata Soemarsono sambil memeragakan
bagaimana Amir merangkul dirinya dengan cara dia merangkul Don Kardono, pemred
harian INDOPOS Jakarta (Jawa Pos Group) yang bersama saya menemui Soemarsono
pekan lalu.
Sambil merangkul Don Kardono, Soemarsono membisikkan
kata-kata seperti gaya waktu Amir membisikkan kata-kata sakti itu kepadanya.
Apa isi bisikan ”maut” itu?
”Marsono, ini sudah dirundingkan dengan kita-kita
di Jakarta,” ujar Soemarsono menirukan bisikan Amir Syarifuddin. Melihat
Soemarsono belum bisa menerima alasan itu, Amir menambahkan bisikannya dengan
mengutip pepatah dalam bahasa Inggris. ”Not the battle. We have to win the
war,” bisik Amir.
Dalam kamus militer, memenangkan pertempuran (battle)
memang belum berarti memenangkan perang (war). Padahal, tujuan serangan yang
sebenarnya adalah memenangkan perang dan bukan hanya untuk memenangkan
pertempuran. Menurut teori ini, kalau perlu sebuah pasukan bisa memenangkan
perang tanpa harus melakukan pertempuran.
Dalam setiap revolusi, kapan pun dan di mana pun, memang
selalu ada konflik intern menyangkut strategi memenangkan perang. Para politisi
sering lebih memilih jalan perundingan. Para pejuang di lapangan sering memilih
jalan perang. Dua kelompok ini sering saling mengklaim dirinyalah yang benar.
Jangankan dalam sebuah perang kemerdekaan sebuah negara. Dalam sebuah partai
kecil pun perbedaan seperti itu tidak bisa dihindarkan. Di Partai Golkar saat
ini, misalnya, pertentangan antara kelompok yang mau oposisi dan yang mau
bergabung ke SBY saja serunya bukan main.
”Mendengar kata-kata Amir itu, saya langsung seperti
Gatotkaca ilang gapite, lemes,” ujarnya. Maksudnya, Soemarsono kehilangan daya.
Soemarsono memang sangat tunduk kepada Amir Syarifuddin.
”Kalau saja hari itu hanya Bung Karno yang meminta saya untuk menghentikan
perang, saya tidak akan tunduk,” ujarnya.
”Tapi, Bung Karno juga tahu kelemahan
saya. Karena itu, Bung Karno mengajak serta Amir Syarifuddin ke Surabaya,”
tambahnya.
Soemarsono akhirnya tidak berdaya ketika justru diajak
Amir untuk naik mobil ikut konvoi. Juga harus ikut menyerukan gencatan senjata.
”Mati aku ini,” katanya dalam hati ketika itu.
Hari itu juga, 30 Oktober 1945, perundingan diadakan di
kantor gubernur Jatim. ”Dalam perundingan itu Mallaby mengatakan ada sekitar
5.000 tentaranya yang hilang. Minta dikembalikan,” ujar Soemarsono mengenang.
”Saya langsung jawab. Kami kehilangan 20.000 orang. Apa bisa minta kembali?”
imbuh Soemarsono.
Perundingan itu memang tidak memuaskan pihak Sekutu.
Karena itu, 10 hari kemudian, 10 November 1945, ketika sudah berhasil
konsolidasi, tentara Sekutu melakukan serangan hebat. Sekutu memborbardir
Surabaya.
”Serangan 10 November itu pada dasarnya adalah serangan pembalasan.
Luar biasa banyaknya korban jatuh. Karena itu, saya usul ke Bung Karno untuk
menjadikan hari itu sebagai Hari Pahlawan. Bung Karno langsung setuju,” ujar
Soemarsono.
Dengan mengusulkan penentuan Hari Pahlawan itu,
Soemarsono bermaksud agar tidak ada satu tokoh pun yang ditetapkan jadi
pahlawan dalam kaitan dengan perang Surabaya ini. Tidak juga dirinya.
”Ini
perang rakyat Surabaya. Bukan perangnya satu orang,” ujar Soemarsono yang kini
menjadi warga negara Australia itu. (bersambung)