29 Agustus 2011 | Bayat | Km 40 | Pkl 6.37
Sebelum sampai di SMP Bayat, Klaten, di pertigaan pohon ringin besar ada sebuah papan penunjuk ke arah kanan: Makam Ki Ageng. Saya hanya melintas. Tidak singgah dan nyekar. Kelak saja jika tema perjalanan adalah nyekar kubur para pesohor. Saya mengonfirmasi makam itu ke budayawan rakyat Bondan Nusantara, benarkah Ki Ageng yang dimaksudkan papan penunjuk itu adalah Panembahan Kajoran? Jawaban penulis roman “Rembulan Ungu” (2011) itu ringkas: betul!
Lengkaplah sudah. Jika Klaten memerah riuh meriah di tahun-tahun 1960-an hingga Gestok 1965 dan Prambanan menjadi pelatuk pertama merancang pemberontakan di akhir tahun 1925, maka jauh berabad-abad sebelumnya, abad 16, Klaten menjadi kawasan pemusatan pembangkangan. Dari Bayat, Raja Mataram Amangkurat I ditumbangkan.
Amangkurat I adalah raja yang bengis, hidup mewah, memiliki stok selir yang tiada habisnya, dan tak segan-segan menggantung di Alun-Alun siapa saja yang tidak mematuhi titahnya. Termasuk yang digantungnya paman dan bibinya sendiri, Pangeran Pekik dan Ratu Pandan.
Bayat menjadi pusat merancang pembangkangan untuk menggulingkan Amangkurat I yang lalim lantaran Panembahan Kajoran tinggal di kawasan itu. Ia adalah salah satu yang dipanggil panglima perang Sultan Agung untuk menyerang Batavia bersama Pangeran Pekik, namun ditolak secara halus.
Dikisahkan dalam babad-babad, Panembahan Kajoran lebih memilih tinggal di luar Keraton karena tidak mau terlibat konflik dan rebutan kekuasaan antar dua saudaranya yang lahir dari garwa prameswari: Pangeran Rangsang dan Pangeran Jolang. Pangeran Rama—nama muda Panembahan Kajoran—adalah putra Panembahan Senopati dari selir.
Atas permintaan Pangeran Rama, Panembahan Senopati memberikan tanah perdikan (Tanah Merdeka) yang bebas pajak di Bayat. Sang pangeran yang sejak muda menyukai ilmu kewaskitaan itu kemudian memilih menjadi guru bagi para petani. Bayat adalah alam yang membesarkan Panembahan Kajoran. Di atas tanah itu, ketika Amangkurat I naik takhta, dijadikan pusat pembangkangan.
Ketegangan Bayat/Kajoran-Mataram itu dipicu lantaran Amangurat I tidak mengakui tanah perdikan kakeknya itu adalah tanah merdeka pemberian Panembahan Senopati yang bebas dari campur tangan Mataram. Amangkurat I menganggap, Kajoran di Bayat itu bukan desa biasa, melainkan tempat berlindungnya para pembangkang, baik yang berasal dari wilayah kekuasaan Mataram maupun bangsa lain.
Cerita seru bagaimana Bayat digembleng menjadi pusat pembangkangan atas Mataram bisa dibaca dalam babad kontemporer yang ditulis dengan cerkas bergaya ketoprak oleh Bondan Nusantara. “Rembulan Ungu”, demikian judul roman itu, sebelumnya adalah naskah ketoprak dan sudah beberapa kali dipentaskan di atas panggung.
“Mataram sudah di ambang kehancuran. Kesombongan, kesewanang-wenangan, dan salah urus telah menjadikan rakyat sebagai tumbal kekuasaan. Demikian juga hubungan ayahmu dengan para pedagang asing yang telah membuat rakyat menjadi kuli di negeri sendiri. Untuk itulah, kami berbagi tugas memperbaiki keadaan. Aku bekerja di luar keraton mengumpulkan kekuatan, sedangkan Pangeran Pekik dan Ratu Pandan berupaya memperlemah kekuatan Amangkurat dari dalam.” – Panembahan Kajoran
Dalam ketegangan Bayat-Mataram, jalur Wedi-Cawas-Bayat menjadi ajang saling selidik dengan titik sebar telik sandi di mana-mana. Di warung-warung kecil, di dangau-dangau petani, atau pun di bawah pohon besar selalu ada teliksandi yang ditanam.
Ketika saya beristirahat di depan warung, saya terngiang-ngiang bagaimana Wiguna dari Mataram dibongkar penyamarannya oleh teliksandi Bayat yang dipimpin pemuda bermata elang yang ternyata pelarian dari Makassar, Karaeng Galengsong. Galengsong adalah panglima perang Hasanuddin yang dikejar-kejar VOC.
Ketika saya beristirahat di depan warung, saya terngiang-ngiang bagaimana Wiguna dari Mataram dibongkar penyamarannya oleh teliksandi Bayat yang dipimpin pemuda bermata elang yang ternyata pelarian dari Makassar, Karaeng Galengsong. Galengsong adalah panglima perang Hasanuddin yang dikejar-kejar VOC.
Selain Galengsong, jagoan-jagoan muda Mataram juga merapat ke Bayat, seperti Panjalu, Sempana, dan srikandi cerdas dari hutan Mantingan, Sekar Pandan. Selain itu, Trunojoyo dari Sampang, Madura juga berdiam di sekitar pondok Panembahan Kajoran. Ia ditunjuk menjadi panglima perang tertinggi Bayat untuk menggempur Mataram. Sebelumnya, pemuda Sampang itu adalah pemberontak paling dicari Cakraningrat II. Pernah raja itu mengirimkan red notice kepada Mataram untuk meringkus pembangkang itu.
Musuh mereka, selain prajurit-prajurit Amangkurat yang dikendalikan pemuda ambisius Wirapatra, juga pendekar-pendekar hitam cum gali-gali dari Merbabu, seperti Suragobang, Suragedug dengan trisum muridnya yang berangasan: Jrabang, Jliteng, dan Brangas. Ada juga bantuan yang direkrut dari Alas Lodaya, yaitu Kelelawar Hijau dan Setan Bongkok dari Gua Cerme serta kepala rampok Kelabang Curing dari Nusakambangan. Dari nama dan asal mereka, seperti Merbabu, Gua Cerme, dan Nusakambangan, sudah terbayang-bayang tingkat kegalian dan kebanditan hasil rekrutan punggawa Mataram itu.
Sementara itu, pasukan perang yang digelar angkatan muda Bayat terdiri dari pasukan gabungan dari Brang Wetan Surabaya dan pasukan Mangunwijaya Banyuwangi. Dan tentu saja pasukan yang telah berlatih gelar perang siang malam di Bayat, seperti prajurit panah yang berlatih di sawah yang habis panen, atau prajurit pemanjat yang berpeluh di lereng-lereng bukit. Di antara pimpinan pasukan itu ada juga pendekar tua seperti Demang Bagelen dari Banyumas dan Ki Gede Gedong Sanga dari lembah Tidar.
Pasukan dari petani Bayat, Klaten, inilah yang memporak-porandakan istana Mataram yang belum lama dipindah: dari Kerta ke Plered.
Krisak | Km 58 | Pkl 07.07
Dan Bayat pun, kawasan yang menjadi leluhur “nasi-kucing” (Jogja: angkringan; Solo: hik), lewat sudah. Tapi saya sempat kebingungan di pertigaan Weru, Sukoharjo. Untuk tidak mengulangi kesalahan sebelumnya, saya bertanya ke mana arah Wonogiri. Ini jawaban salah satu warga yang nangkringdi atas motornya yang sedang parkir di dekat tugu pendek berwarna kuning pudar itu: Arah kanan kiri semuanya ke Wonogiri. Ke kanan menuju Manyaran sementara ke kiri Krisak.
Saya pernah beberapa kali “tersesat” mengambil kanan dan memasuki Wonogiri via Waduk Gajah Mungkur. Lebih lama 45 menit perjalanan tentu saja.
Saya pun kemudian memilih Kiri. Ke arah Krisak. Walaupun jalannya satu kilo rusak (sama dengan rusaknya jalan Ds Tegalrejo, Weru), Krisak menuntun saya memasuki Wonogiri via Kota. Memilih Krisak, berarti memasuki Wonogiri dari Kiri.
setelah Bayat, Klaten, sampai jumpa di catatan mudik berikutnya, #4 WONOGIRI (syawalitumerah).
setelah Bayat, Klaten, sampai jumpa di catatan mudik berikutnya, #4 WONOGIRI (syawalitumerah).
* Serial catatan mudik #syawalitumerah
Sumber: Muhidin M Dahlan
0 komentar:
Posting Komentar