Solichan Arif, Jurnalis · Jum'at 12 Agustus 2011 20:14 WIB
Adi (Foto: Solichan Arif/Koran SI)
TULUNGAGUNG - Pada era sejarah kelam G30 S PKI, Supardi alias Adi (66), seorang tokoh masyarakat yang disegani. Adi dikenal sebagai algojo penumpas yang tegas. Pasca sejarah, ia mengalami goncangan jiwa. Tabiatnya yang dianggap berbahaya yang membuatnya terpaksa meringkuk di dalam pasungan selama 38 tahun.
Kata Kusnoto (46), sahabatnya, Adi, tidak semata-mata mengidap penyakit Malaria. Bukan karena virus gigitan nyamuk anopheles yang membuatnya menjadi beringas. Kontaminasi virus yang dibawa darah untuk disebarkan ke seluruh jaringan tubuh tentu tidak akan membuat warga Desa Podorejo, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, itu seperti kehilangan akal.
Adi mudah mengamuk. Sosok yang dulunya dikenal sebagai pemimpin sebuah organisasi masyarakat yang disegani itu seperti putus kendali. Tak jelas apa yang menjadi gerundelan hatinya, setiap meradang siapapun bisa menjadi tumpahan murkanya.
“Karena badannya yang tinggi besar dan dikhawatirkan membahayakan orang lain, kerabat dan teman memutuskan untuk dipasung,” tuturnya kepada wartawan.
Adi kini berada di sebuah gubuk kecil. “Rumah barunya” itu tak jauh di belakang rumah yang ditempati keluarganya. Bangunan itu hanya berupa empat tiang kayu, dengan selembar terpal yang sudah menutupinya. Terpal yang berfungsi sebagai atap pelindung panas dan hujan itu terlihat begitu usang.
Beberapa bagian di antaranya bahkan sudah sobek, berkibar-kibar setiap kali angin berhembus. Pihak keluarga sengaja menempatkan Adi di sana. Sengaja disembunyikan agar orang lain yang bertandang tidak mudah mengetahuinya. “Tentunya penyakit seperti ini ini sama dengan aib," terang Kusnoto.
Kondisi Adi lebih tepat disebut tragis daripada memprihatinkan. Tragis, karena sebagai salah satu tokoh yang pernah memimpin penumpasan pemberontakan G 30 S PKI 1965, Adi kini tak ubahnya seorang pesakitan. Sebuah rantai besi membelenggu pergelangan sebelah kakinya kuat-kuat. Begitu eratnya ikatan sampai-sampai bentuk rantai membekas merah di permukaan kulit.
Sementara ujung rantai yang lain terikat tak kalah lekat pada pasak besi yang tertanam di lantai gubuk. Panjang rantai sebesar ibu jari itu sekitar 5 meter. Praktis gerak hidup Adi hanya sebatas panjang rantai tersebut. Meski dalam keadaan terbelenggu, dia masih bisa merebus air untuk membuat kopi bagi dirinya sendiri. “Sebelumnya ia sempat juga dipasung. Namun karena pasung itu membuatnya rebah tak berdaya maka diganti dengan rantai besi, “terang Kusnoto yang juga tetangga Adi.
Perubahan pada jiwa Adi terjadi paska tragedi kemanusiaan Gestapu. Usai menjalankan tugas sebagai algojo pelenyap kehidupan orang-orang yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Adi merantau ke Palembang Sumatera Selatan. Bersama beberapa rekan yang juga berasal dari satu desa, ia membuka hutan.
Hampir seluruh pepohonan yang berada pada jarak pandangnya ia tebangi. Ia bersihkan semak, onak dan duri yang dianggap menghalangi. Adi tengah menyiapkan lahan yang luas untuk perkebunan kopi. Rencananya ia akan menetap disana sebagai pengusaha kopi. “7 tahun kami hidup bersama di Palembang, “paparnya.
Gejala aneh mulai terlihat ketika Adi mengeluh jika dirinya selalu diikuti bulan. Kemanapun dia pergi, satelit bumi itu selalu mengikuti langkahnya. “Itu yang membuatnya gelisah dan selalu mondar mandir setiap malam. Katanya dia tengah menghindari bulan yang terus mengikutinya, “terang Kusnoto.
Pada saat bersamaan malaria tropis menyerang. Selain Adi, dua orang rekannya yang ikut membabat hutan juga menderita penyakit yang sama. Satu orang meninggal dunia, dan satu orang lainya tidak diketahui rimbanya. Namun sebelum hilang, warga Desa Podorejo ini juga dianggap tidak waras.
Menurut Mansyur, keponakan Adi, pamanya langsung dibawa pulang ke kampung halaman, begitu mendengar mengalami sakit di tanah perantauan.
“Dibawa pulang sekitar tahun 1973. Pada saat pertama, emosinya tidak terkendali. Selain ngoceh sendiri, masih sering mengamuk, “ujarnya.
Hingga saat ini, praktis sudah 38 tahun Adi hidup dalam pasungan. Kondisi ekonomi yang terbatas yang membuat keluarga tidak mampu menempuh cara-cara medis.
“Karenanya yang kita butuhkan hanya uluran tangan dari pemerintah, “pungkasnya.
Informasi yang dihimpun, di wilayah Kabupaten Tulungagung sendiri sedikitnya ada enam kasus pemasungan karena alasan sakit jiwa. Di antaranya seorang warga Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat. Kemudian dua orang warga Desa Panggungkalak, Kecamatan Pucanglaban, dan dua kakak beradik warga Desa Bendilwungu, Kecamatan Sumbergempol.
Kepala Seksi Sosial, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tulungagung, Amir Bhakti mengatakan, dari sebagian besar kasus yang ada rata-rata ditemukan dalam keadaan yang sudah sangat parah.
“Keluarga sudah berusaha melakukan upaya pengobatan, namun karena tidak membawa hasil, pilihanya dipasung dengan tujuan tidak membahayakan keluarga dan lingkungan,” ujarnya.
Dalam hal ini menurut Amir, pihaknya tidak bisa berbuat banyak, mengingat secara medis mereka sulit untuk disembuhkan.
“Artinya kami pun juga tidak bisa membantu memberikan penanganan secara maksimal,” pungkasnya.
(ful)
Sumber: OkeZone
0 komentar:
Posting Komentar